ANDROMEDA

By ssebeuntinn

223K 36.9K 15.7K

• T E L A H T E R B I T • Andromeda? Andromeda... nama galaksi? Atau nama seorang putri dalam mitologi... More

Intro
[Jovi] Antara Singgah atau Pergi - 01
[Jovi] Antara Singgah atau Pergi - 02
[Jovi] Antara Singgah atau Pergi - 03
[Aksa] Pameran Motor - 01
[Aksa] Pameran Motor - 02
[Aksa] Pameran Motor - 03
[Mario] Polaroid - 01
[Mario] Polaroid - 02
[Mario] Polaroid - 03
[Ardika] Seirios - 01
[Ardika] Seirios - 02
[Ardika] Seirios - 03
[Zidan] Dua Puluh November - 01
[Zidan] Dua Puluh November - 02
[Zidan] Dua Puluh November - 03
[Juna] Kaca Potret - 01
[Juna] Kaca Potret - 03
[Chandra] Rumah Tanpa Tuan - 01
[Chandra] Rumah Tanpa Tuan - 02
[Chandra] Rumah Tanpa Tuan - 03
[Bastian] Sebuah Batas - 01
[Bastian] Sebuah Batas - 02
[Bastian] Sebuah Batas - 03
EDISI ROOM TOUR
[Bayu] Distraksi - 01
[Bayu] Distraksi - 02
[Bayu] Distraksi - 03
[Delvin] Garis Akhir - 01
[Delvin] Garis Akhir - 02
[Delvin] Garis Akhir - 03
[Ardanu] Bait Aksara - 01
[Ardanu] Bait Aksara - 02
[Ardanu] Bait Aksara - 03
[Haikal] Satu Sisi - 01
[Haikal] Satu Sisi - 02
[Haikal] Satu Sisi - 03
[Joshua] Enigma - 01
[Joshua] Enigma - 02
[Joshua] Enigma - 03
[+] Lintas Jejak; Retak
[+] Lintas Jejak; Kontradiksi
[+] Lintas Jejak; Memori
Epilog; Jovi
Epilog; Aksa
Epilog; Mario
Epilog; Ardika
Epilog; Zidan
Epilog; Juna
Epilog; Chandra
Epilog; Bastian
PEMBERITAHUAN
VOTING COVER
PRA-PESAN NOVEL ANDROMEDA

[Juna] Kaca Potret - 02

3K 634 173
By ssebeuntinn



Sebenarnya apasih yang dicari dalam hidup?

Juna bertanya-tanya sendiri sebab semua sudah dia lalui. Kebahagiaan? Sudah didapatkan. Buktinya sejak dia masih tinggal bersama orang tua hingga memiliki pengalaman jadi anak rantau juga sudah Juna tekuni dengan nyaman tanpa kendala. Kesuksesan? Kalau masalah ini mungkin masih fifty-fifty, karena Juna juga gak tahu seberapa tinggi tingkat kesuksesan mutlak, tiap orang memiliki pandangan yang berbeda-beda atas hal ini. Setidaknya Juna sudah mendapat banyak keuntungan dari dunia kuliah dan kerjanya yang dapat dibilang cukup memuaskan.

Lantas apalagi?

Apakah... cinta dan kasih sayang?

"Gak juga, ah. Masa iya gue beneran kurang belaian?"

Pemuda itu menggeleng cepat karena sempat terbayang ucapan Haikal yang kurang bermanfaat tadi malam. Selepas acara bakar ikan, Haikal terus mengekor dan meminta penjelasan lebih terkait kehidupan maya Juna di sosial media. Kawannya itu terus mencibir, padahal jelas sekali dari raut wajahnya saja sudah kentara menyiratkan rasa peduli dan penasaran walaupun dibungkus dengan kalimat yang gak etis.

Juna jadi berpikir ulang. Apa benar cinta dan kasih sayang itu hanya berasal dari keluarga, pacar atau teman dekat?

"Jun, hari ini ada jadwal apa?" Danu mendadak muncul dari arah pintu depan dan menghampiri Juna yang duduk di dekat teras. Pakaiannya serba rapi, tipikal seorang Danu yang kata orang-orang boyfriend material. Dalam hati Juna mengumpat, belum tahu saja Danu tuh sebenarnya serba jual mahal.

"Gak ada, sih. Gue udah kelar sama jadwal distro."

"Kuliah ada matkul apa hari ini?"

"Gue bolos dulu, hehe. Jadi jangan tanya matkul apaan karena gue males jawab."

"Ganteng kalau bodoh percuma loh."

Juna terkekeh-kekeh. Netranya menatap ujung kaki Danu yang mulai dibalut kaos kaki. "Gak masuk kuliah sehari gak bakalan bikin lo bego. Kuliah penuh selama delapan semester juga gak menjamin lo bakalan jadi mahasiswa paling pinter."

"Apa salahnya berusaha jadi versi terbaik dari diri kita sendiri?"

"Ya mungkin itu versi lo," tukas Juna. "Bagi gue, versi terbaik dari diri gue bukan dengan kuliah rajin non-stop tanpa skip. Versi terbaik dari diri gue sendiri itu ketika gue berhasil menjadi artis. Hehehe."

Cielah, pinter bener tuh mulut bikin pengalihan. Padahal sambatnya gak tanggung-tanggung di akun privat.

"Lo pikir dengan terkenal bisa bikin bahagia?"

Juna mendecak. "Bukannya udah jelas?" Lantas dia menempatkan tangannya di atas pundak Danu, merangkul pemuda itu sambil menepuk kepalanya. "Banyak cuan, dapat banyak hadiah dari fans, ulang tahun lo bakalan rame, banyak perhatian dan bahkan punya relasi luas. Kenalan di mana-mana bikin lo berada di atas awan, bro."

"Dan sebagai konsekuensi, jati diri lo yang asli lama-lama akan hilang dibalik flash kamera. Lo akan menipu diri lo sendiri di hadapan banyak manusia."

Mendengar itu Juna sempat tertegun. Apa katanya? Rengkuhan tangannya kian lemah dan kini dia bersikap canggung. Netranya menyelisik ke arah lain sementara Danu kini justru ikut melakukan hal yang sama selepas memasang sepatu.

"Waktu gue datang ke sini dan lihat lo, gue kira lo ansos akut," tukas Danu yang entah kenapa secara tiba-tiba dan tanpa ditanya berkata demikian. "Tidur di kamar sendiri, paling sering pulang malam, jarang ikut sarapan bareng apalagi main gaple. Yang lo pegang selalu ponsel, ponsel dan ponsel."

"Gue ada kerㅡ"

"Tahu, kok." Danu hanya mengendikkan bahu samar tanpa menoleh ke lawan bicara. "Tapi lo ternyata selalu ada di waktu kontrakan lagi dalam masalah. Tabung gas bocor, listrik korsleting, pintu rak patah, benerin sepeda Bocils, lampu mati sampai ke hal yang gak bisa disebut sepele. Dari situ gue tahu lo bukan orang yang apatis, tapi lo mulai menunjukkan tanda-tanda kalau diri lo mulai merasa kosong karena rutinitas."

Kalau saja pagi itu Juna bisa menemukan alasan untuk kabur, dia akan segera pergi dan memilih memutus obrolan secara sepihak. Danu tipe teman yang suka bicara tentang kehidupan layaknya bapak-bapak pada anaknya dalam serial TV yang Juna lihat. Danu itu pintar dalam berpikir dalam serta sopan dalam bersikap, disiplin pula dalam mengatur segala hal yang berkaitan dengan jadwal harian. Sedangkan Juna tipe yang gak mau ambil pusing. Bisa ya dia lakukan, gak bisa pun ya sudah. Kalau lagi rajin ya berangkat, kalau malas ya tinggal diam di kontrakan. Seperti orang yang pasrah, tapi enggan menyerah.

Juna gak suka apa yang dia lakukan mulai direcokin, toh itu juga gak membuat orang lain rugi. Juna juga gak suka kalau dirinya dianggap kosong, kekurangan sesuatu atau kesepian karena faktanya menurut dia sendiri tidak demikian.

"Nu, jangan mulai. Lo sepertinya menganggap gue punya masalah yang sama seperti Dika atau Zidan?"

"Gue gak bermaksud seperti itu. Gue cuman mau bilang kalau lo butuh rehat sebentar. Jalan kek ke mana, usahain sendirian sambil refleksi diri karena kita gak selamanya muda." Danu beranjak tanpa menoleh menuju garasi. Namun, sebelum itu dia sempat menengok ke arah Juna sesaat dan bertanya. "Ngomong-ngomong, ingat waktu ponsel lo rusak sebelum beli yang baru?"

Tiba-tiba banget bahas lain topik?

Danu tersenyum samar, berkedip beberapa kali sebelum melangkah dan memasang helm. Garasi cukup kosong pagi itu karena kendaraan banyak yang sudah dibawa pemilik masing-masing, jadi gak butuh waktu lama bagi Danu untuk mengeluarkan dan menaiki motornya. Suara mesin berderu, tetapi Juna masih kepikiran tentang maksud ucapan Danu yang secara acak dan mendadak membahas ponsel yang rusak. Seingat Juna, waktu itu dia hanya meminjam ponsel Danu karena kamar mereka berdekatan selama beberapa jam untuk mengabari pihak-pihak yang berhubungan dengan pekerjaan, setelah itu gak ada lagi. Ponsel baru sudah Juna pegang di hari yang sama karena benda itu termasuk kebutuhan vital pula. Lembaran rupiah yang baru ditransfer langsung berguna seketika.

Lalu kenapa?

Apa hubungannya?

"Nuㅡ"

Danu membuat deru mesin motor semakin kencang terdengar. Jemari kirinya membuka kaca helm pelan, dia setengah berteriak. "Akun lo masih nyambung di HP gue, notifikasinya masuk."

Hah?!

"Hati-hati aja, Jun, orang yang lo anggap sebagai teman cerita di dunia maya kadang gak seperti yang lo ekspektasikan."

Danu berlalu tanpa basa-basi lagi melewati pagar kontrakan bersama motornya yang untung saja gak ngebul macam motor Bayu. Sudahlah, Juna jadi sebal sendiri sebab kini teman-temannya mulai berlagak sok menjadi detektif. Mereka tahu apa, sih? Kalaupun akun privatnya ketahuan, ya sudah gak apa-apa. Toh isinya juga begitu-begitu saja, cuman keluhan tentang kegiatan harian. Gak ada yang mencurigakan seperti jual beli link video gak sehat atau PAPㅡPost A Pictureㅡaneh-aneh ke sembarang orang.

"Dih, masa iya gue pernah login akun privat gue di HP orang? Masa, sih?"

Lalu setelah diingat-ingat, ternyata Juna memang pernah menggunakan ponsel Danu untuk posting keluhan terbaru. Kalau dipikir sebenarnya gak terlalu penting sih, tapi mau bagaimana lagi kalau sudah kebiasaan kan? Hitung-hitung biar beban berkurang dan hati semakin lega. Toh sekali lagi, itu hal yang gak merugikan orang lain. Tangan Juna jadi gatal kalau gak update di sana sewaktu ada hal yang gak sesuai dengan kemauannya.

Juna membulatkan mata karena kini dia ingat betul riwayat notifikasi ponselnya selama beberapa minggu terakhir. Apalagi notifikasi pesan masuk. "Aduh, Danu jadi tahu si Tata dong?"

Mampus.

"Oit! Tata siapa, nih? Abang gue tahu siapa, heh? Hayo ngaku!"

Habis Danu, terbitlah Dika. Duo yang nyaris selalu bertolak belakang baik sifat maupun cara berpikirnya, yang satu seringnya membantu, yang ini seringnya lebih ke arah merusuh. "Bukan siapa-siapa. Kepo amat lo jadi orang gabut."

"Itu jakun lo bergerak karena nelan ludah. Lo bohong, kan?" Dika setengah berteriak, telunjuknya mengarah ke wajah Juna. Niatnya sih ke teras depan cuman mau ambil sandal terus di bawa ke lantai atas buat menempatkan cucian, gak disangka-sangka justru Dika mendapati Juna yang setengah melamun. "Tata siapa, dah? Bininya Mamang Sabdi bukan, sih?"

"Gobloknya pol, itu Bu Tatik anjir." Datang-datang sudah bikin emosi. Juna jadi mengumpat halus.

"Hah? Bu Tatik bukannya bini Pak Sabar, ya?" Haikal tampak menyela obrolan tiba-tiba. Kali ini dia pergi ke depan untuk pergi kuliah, soalnya kelihatan dari bau pewangi pakaiannya begitu semerbak. "Dik, jangan salah sebut nama istri orang, entar bisa geger kontrakan gara-gara lo menyebarkan info yang gak ada validnya."

"Terus kalau bukan, istrinya Mamang Sabdi siapa dong?"

"Lo mau sensus? Atau mau ngedata buat bansos bulanan?" Haikal jadi gemas. Dia meraih sepatunya di rak sandal setelah mematut diri di kaca riben jendela depan. "Bininya Mang Sabdi si tukang sayur mah Bu Tutik, seringnya ikut dagang di Pasar Minggu juga tiap pagi."

"Kenapa jadi pada rebutan bini mamang sayur dan bini Pak RT, sih?" Sumpah, sejak tadi malam dua sejoli ini kehadirannya begitu mengusik. "Bikin otak gue makin ngebul tau, gak? Dah sana lo, Kal. Pusing gue nyium bau wangi baju lo yang kelewatan."

"Lo mah, ya. Bau asem dikata burik. Giliran ikutin tips ganteng gini lo ledekin."

"Haikal mah tips gantengnya gak elit. Biar harum bukan parfum yang dipakai, tapi pewangi refill buat setrikaan."

"Gitu-gitu tetap modal, Dik," Haikal mencibir, masih sibuk dengan memasang sepatunya yang kemarin baru dicuci. "Contoh gue nih, tipe-tipe pria sederhana. Toh ya tetap aja sih sama-sama wangi, gak kalah juga kek Juna."

"Kalau lo mah bukan sederhana, tapi takut rugi."

Juna mendesah pelan, terlalu malas menanggapi mereka berdua. Karena Haikal dan Dika pula dia nyaris lupa akan ungkapan Danu tadi tentang akunnya yang lupa untuk dikeluarkan. Semoga saja Danu pulang cepat hari ini supaya Juna gak susah-susah lagi menebak apa yang sekiranya terkandung dalam pernyataan Danu sebelum melipir keluar. Nanti dia akan bicara santai dengan Danu di lantai atas dekat rak jemuran supaya gak tegang-tegang amat, ditemani dengan menu dua gelas kopi. Lagipula kalaupun Danu tahu soal Tata, ya mau bagaimana lagi?

Memangnya salah kasih perhatian lebih terhadap orang yang belum pernah ditemui secara langsung, ya?

Apa Juna keliru kalau punya teman ngobrol di dunia maya?

Apa Juna... gak diizinkan punya niatan cari pacar online?

Kelas kuliah aja bisa online, arisan juga bisa online, masa iya kenalan online gak boleh?

Namun, faktanya hari itu Danu gak pulang ke kontrakan, membuat Juna hanya bisa mengelus dada karena ekspetasinya bubar seketika. Kembali dia menghadap ponsel dan bergelung dengan kasur di kamar, di mana ada beberapa tumpukan baju yang masih rapi dilapisi plastik. Barang lain juga gak kalah ada, beberapa kotak isi sepatu baru, tumpukan topi dan ikat pinggang. Semuanya belum sempat terpakai. Alih-alih berfungsi sebagai tempat istirahat, kamar Juna lebih mirip seperti gudang pakaian.

Juna membalikkan badan ke sisi kanan dan kiri berulang kali. Suntuk, bosan, kesal bercampur menjadi satu. Dia gelisah pula kalau-kalau ada notifikasi aneh muncul di ponselnya, itu tandanya Danu kemungkinan juga menerima notifikasi yang sama. Sialnya pula, Danu gak mengangkat panggilannya sama sekali, menjadikan Juna jadi parno setengah mati.

Ketika malam tiba, apa yang ditakutkan Juna jadi kenyataan.

Satu notifikasi dari akun bernama Tata yang sempat disinggung tadi muncul. Ragu setengah yakin, Juna mengetuk layar ponselnya sekali untuk membuka pesan masuk.

Cie, ada yang perhatian.

Juna ingin mengetik kalimat balasan karena pihak lawan pasti melihat tanda kalau dia sudah membuka pesan masuknya. Lupa total kalau Danu juga mungkin saja memata-matainya karena notifikasi yang sama. Tapi, biarlah. Ini menyenangkan. Siapa yang gak suka merasa diperhatikan dan disapa terlebih dahulu seperti ini?

Ada ikon si lawan tengah mengetik pesan lanjutan. Sedikit panjang dari yang barusan diterima.

"Hati-hati aja, Jun, orang yang lo anggap sebagai teman cerita di dunia maya kadang gak seperti yang lo ekspektasikan."

Seketika pernyataan Danu tadi pagi terngiang-ngiang. Ada banyak pengandaian yang merasuk dalam benak. Tiba-tiba Juna jadi takut. Gimana kalau Tata masih bocil? Atau yang lebih parah... gimana kalau Tata adalah istri orang?

Sebelumnya Juna gak berpikiran demikian, karena gak menyangka ternyata bertukar kabar bisa membuatnya mulai terbawa perasaan. Konteks permasalahannya di sini adalah Juna gak pernah sekalipun tahu rupa nyata si lawan bicara apalagi peringai aslinya. Lalu dia memproses lagi ucapan Danu dan berkaca pada dirinya sendiri. Kalau gue off-camera dan on-camera aja beda, apalagi dia yang sebatas kenal lewat ketikan?

Walaupun begitu, keinginan seseorang gak bisa dihalangi oleh apapun atau siapapun kalau sudah dilandai niat kuat. Juna yakin ini hanya pertemuan biasa sebagai teman. Entah teman internet yang berubah jadi teman ngobrol dengan saling bertemu, atau bisa juga teman hidup kalau Tuhan memberi izin. Ini jelas bukan seperti berita di televisi kebanyakan, yang mana seolah memberitahukan kalau mendapat kenalan lewat sosial media itu hal yang sangat riskan. Bisa ada nafsu yang muncul gak terduga lalu diikuti hal-hal keji lainnya yang mengakibatkan hilangnya salah satu nyawa.

Tampaknya Juna memang gak mengindahkan saran dari Danu sama sekali.

ㅡㅡㅡ



Bermodalkan kaos gratisan bonus dari distro, Juna mulai mematut diri di depan cermin lemari kamar. Jelas gak lupa juga eksistensi sebotol minyak wangi yang wajib disemprotkan sebelum berangkat. Perasaan khawatir mulai bersarang dalam benak. Selain alasan Danu yang mungkin saja menginap di rumah kawannya yang lain, pertemuannya dengan gadis di balik akun bernama Tata juga gak kalah membuat Juna dilanda gelisah. Dia takut berekspektasi banyak, tapi kalau gak gitu dia gak punya bayangan apa-apa tentang gadis itu selain sosok yang dirasa ramah.

Hal pertama yang Juna dapat ketika keluar dari kamar adalah Aksa. Sepertinya dia juga mau berangkat kerja. Juna berbalik untuk mengunci kamar ketika Delvin juga baru keluar dari kamar mandi lantai dua. Gak tahu kenapa, kamar mandi lantai dua tuh kayaknya memang jadi tempat kesukaan semua penghuni. Sampai-sampai manusia yang hidup di lantai satu suka menumpang di sana padahal punya kamar mandi sendiri.

"Buset, Bang. Lantai ini udah kek pabrik pewangi anjir." Delvin menampakkan raut wajah setengah nyolot sembari merapikan ikat pinggangnya.

Aksa tersenyum tipis dan matanya menyipit di balik kacamata yang dia pakai ketika mau ke tempat kerja doang. "Bau parfum laundry, ehehehe. Katanya ini pakai varian baru, bikin ganteng."

"Varian baru kalau pasaran buat apa?" cibir Delvin. "Mang ojol kemarin juga bau begitu. Mang supir angkot langganan sekolah juga. Tetap aja, gantengnya gak ada nambah, tuh."

"Mending bau pewangi laundry daripada baju lo bau karbol lemari." Delvin hanya nyengir karena ungkapan Juna gak salah sama sekali.

"Gue tanpa parfum mahal pun banyak yang naksir, Bang. Biarpun pake karbol bulet warna-warni doang, yang penting bisa gaet maba pas orientasi, haha."

Ya, memang begitulah anak muda zaman sekarang.

"Kok lo belum berangkat, Vin?" Aksa bertanya dengan lugas selepas memakai jas putih andalannya beserta tas punggung berisi kumpulan faktur dan peralatan pembersih pria untuk nanti siang, dompet dan juga camilan sehat. "Keknya tadi Bastian sama Chandra udah pada ngibrit duluan."

"Gue pulang, Bang. Mules. Izin hari ini karena kamar mandi sekolah airnya macet."

"Dan lo, Jun? Hari ini ada pemotretan?"

Juna sempat ragu menjawab, tapi dia lalu berkata apa adanya. "Nanti sorean gue ke distro Fadlan, ini mau ketemu sama client dulu sebentar."

"Ketemu client macem kayak mau ngapelin cewek."

Yang ditanya hanya cengengesan.

Delvin dan Aksa turun bersama setelah Juna menuruni anak tangga terlebih dahulu dan berpamitan. Mereka berdua tengah mengadakan konsultasi dadakan tentang obat yang manjur buat sembelit. Selama menuju area garasi, Juna gak melupakan satu hal wajib.

Self-love dulu lah walaupun bagian muka dipotong. Mau ketemu cewek, nih.

Kalau sudah begini, rasa-rasanya Juna sudah menjadi versi terbaik dari dirinya sendiri. Gak perlu mikirin hari kemarin ada apa aja, hari ini kayak gimana atau hari esok bakalan kayak apa. Katanya let it flow. Entah kelewat santai atau memang dia gak mau buru-buru dalam melakukan segala sesuatunya.

Rencananya, hari ini Juna mau bertemu si Tata di sebuah kafe kecil. Letaknya lumayan jauh dari kontrakan, tapi dekat dengan pusat keramaian karena di sana terdapat area street food yang buka dari pagi hingga malam tiap akhir pekan. Gak banyak yang bisa Juna tangkap ketika datang karena suasana cukup ramai dengan pengunjung yang membeli menu sarapan, pun dengan pejalan kaki yang istirahat setelah melakukan olahraga.

Juna gak langsung masuk. Dia bukan tipe pemuda seperti Mario atau Bayu yang suka memotret objek acak seperti interior kafe, makanan ataupun jalanan yang mulai terik diterpa cahaya matahari. Yang dia lakukan hanya membuka ulang beberapa pesannya dengan Tata, membaca lalu mengingat seberapa lama mereka berinteraksi lewat sosial media tanpa pernah memperlihatkan wajah masing-masing. Asing rasanya kalau Juna membayangkan seberapa asiknya Tata di dunia nyata, karena di sosial media pun gadis itu kelihatannya sangat supel dan mudah diajak berteman.

Lagi, Juna merasa miris karena dalam kalimatnya ketika mendeskripsikan tentang Tata nyaris selalu menggunakan 'kelihatannya' atau 'kayaknya sih'.

Buram dan masih menebak-nebak sekiranya sosok Tata di balik layar dan akun sosial media.

Juna tahu, gak ada jaminan kalau setelah pertemuan ini rasanya akan tetap sama ketika mereka berdua belum pernah bertemu. Juna juga sadar ada banyak kemungkinan yang akan membuat dirinya kecewa untuk hal tertentu. Pada dasarnya manusia seringkali merasa sakit hati karena kecewa dan kekecewaan itu asalnya dari ekspetasinya sendiri yang terlalu tinggi.

Helaan napas terakhir Juna keluarkan sebelum bangkit dari motor. Pintu kafe terbuka lebar, ada beberapa pelanggan yang masuk dan keluar dari sana. Juna serba gak tahu sekarang, apa Tata sudah sampai dan duduk di salah satu kursi atau belum karena Juna pun belum berkirim pesan sama sekali pagi ini.

Baru selangkah Juna hendak masuk, sayup-sayup terdengar suara yang sangat familier.

"Far, kayaknya nih, ya. Masih kayaknya pokoknya, gue mau ngajak lo pulang kampung akhir tahun ketemu bapak sama ibu."

"Kok mendadak banget, Jov?"

"Makanya gue bilang sekarang. Walaupun gue bilang kayaknya, tapi kemungkinan besar bakalan jadi beneran."

Dua manusia yang sudah sangat Juna hafal hendak melewati jalan depan kafe. Satunya memakai baju mirip yang Aksa gunakan, satunya lagi memakai kaos sponsor obat beserta name tag yang dikalungkan. Maka Juna langsung setengah berlari menuju ke dalam kafe. Takut ketahuan.

"Bang Jovi dah ngegas mau bawa-bawa calon bini pulang kampung. Gue pulang kampung yang dibawa cuma baju kotor sama harga diri."

Sial memang, ya. Mau bilang gak iri, tapi dusta. Mau bilang pingin juga, tapi keadaan masih gak berpihak.

Juna melirik ke arah loket pemesanan sedang jarinya membuka layar ponsel untuk memberitahu Tata kalau dia sudah sampai. Ketika ikon kirim berhasil ditekan, Juna bisa mendengar dengan jelas suara notifikasi dari seorang perempuan yang buru-buru membuka ponselnya. Jantung Juna jadi bertalu hebat.

Yang paling mendebarkan bagi Juna adalah melihat satu sosok yang turut ikut dalam gendongan si perempuan. Walaupun perempuan itu masih membelakanginya, Juna seperti memiliki firasat kalau itu adalah sosok dibalik akun bernama Tata.

Juna gak tahu harus apalagi ketika sepasang netranya bertemu tatap dengan si perempuan, terlebih lagi saat dia disapa dengan kalimat yang sudah Juna duga.

"Kamu... Arjuna, ya?"

ㅡㅡㅡ











Yagitu... juna jadi mati kutu :")

Continue Reading

You'll Also Like

14K 1.7K 18
(Selesai)✔ Tiga belas kumpulan cerita pribadi sederhana bikinan penulis yang kalau dibuang beneran 'eman-eman,' Kalau mau luangin waktu untuk ikut ga...
384K 39.5K 35
Menceritakan tentang seorang anak manis yang tinggal dengan papa kesayangannya dan lika-liku kehidupannya. ° hanya karangan semata, jangan melibatkan...
199K 39.9K 27
Jika manusia bisa berbohong, maka semesta juga sama. Jika semesta bisa rusak, maka manusia juga sama. "Sebagian orang tersesat. Dan sebagian lagi men...
172K 8.4K 28
Cerita ini menceritakan tentang seorang perempuan yang diselingkuhi. Perempuan ini merasa tidak ada Laki-Laki diDunia ini yang Tulus dan benar-benar...