PARA PENAKLUK HANTU

By KalaSanggurdi

326 25 9

Herman dan Sharla adalah "orang pintar" yang sering mendapat tawaran untuk membasmi hantu di berbagai pelosok... More

Bab 1: PARA PEMBURU HANTU
BAB 2: LIMA TAHUN YANG LALU
BAB 4: PETUALANGAN KE INDRAMAYU
BAB 5: KLIEN DARI MANINJAU
BAB 6: PARA PENAKLUK HANTU
BAB 7: LUKISAN NYI DI DATARAN TINGGI DIENG

BAB 3: WAWAN BERAKSI

45 3 2
By KalaSanggurdi

Hari ini adalah hari pertama Wawan bekerja bersama Herman dan Sharla. Ia duduk manis di kursi penumpang depan, berseberangan dengan Herman yang menyetir. Sharla memainkan gawainya di kursi belakang.

Ketika Herman merasa lokasi klien sudah dekat, ia menjelaskan kepada Wawan, "Jadi gini, Wan. Lu udah gua ajarin cara pake spektroskop. Jadi, spektroskop lu yang pegang. Gua arahin entar make spektroskopnya di mana aja. Kamera lu juga, ya, yang pasang. Nanti gua arahin juga pasang di mana. Seismograf gua aja yang pake."

"Oke, Bang," Wawan tetap bingung.

Ketika tiga berandal itu tiba di tempat yang disetujui, mereka turun dan melihat rumah klien mereka. Hal pertama yang disadari oleh Herman adalah keadaan rumah tersebut yang jauh dari kata angker. Herman menjadi agak bingung, "Rumahnya keliatan fine-fine aja kok. Kenapa masih manggil kita?"

Sharla menyahut, "Paling penghuninya yang nggak fine-fine aja."

Herman mengangguk, "Mungkin. Yuk, turun."

Ketika mereka turun, mereka disambut oleh seorang laki-laki paruh baya. Mereka dituntun untuk masuk ke ruang tamu dan berdiskusi di sana. Setelah berjabat tangan dan basa-basi, sang lelaki paruh baya mulai menceritakan keluhannya.

"Jadi sebelumnya saya perkenalkan diri. Saya Rahmat, ketua RT di sini. Sebenarnya saya memanggil Anda-Anda sekalian bukan untuk mengusir penunggu di rumah saya. Saya rasa rumah saya tidak ada penunggu. Kalau ada, penunggunya sama sekali tidak mengganggu."

Sharla dan Herman tertawa formal. Wawan ikut tertawa kikuk. Pak Rahmat melanjutkan, "Jadi dekat dari sini, ada rumah tak berpenghuni. Sudah ditinggalkan puluhan tahun. Banyak warga yang mengeluh soal rumah tersebut."

Herman langsung mengerti. Sharla pun demikian. Mereka merumuskan beberapa kemungkinan mengenai rumah tersebut di dalam kepala mereka. Namun Sharla merasa perlu bertanya, "Maksud Bapak bagaimana?"

"Sepertinya penunggu rumah tersebut tidak senang dengan kampung kami. Banyak kejadian aneh di rumah tersebut. Warga sering mendengar yang tidak-tidak di sana. Beberapa juga mengaku pernah melihat yang tidak-tidak juga," Rahmat menjelaskan.

"Seperti apa, misalnya, Pak?" Sharla bertanya lagi.

"Banyak, Mbak. Ada yang mengaku pernah melihat kuntilanak, atau mendengar suaranya. Ada juga yang melapor bahwa ada genderuwo."

Herman mengangguk. Dalam kepalanya, ia menggagaskan bahwa masalahnya mungkin bukan pada rumah tersebut, namun warga sekitar. Dalam waktu yang bersamaan, Sharla menggagaskan dalam kepalanya bahwa warga sekitar tidak mungkin secara bersamaan mempunyai masalah psikologis. Mungkin laporan yang didaparkan oleh Pak Rahmat berasal dari satu-dua warga yang mudah tersugesti. Wawan sendiri berpikir soal lima ratus ribu Rupiah yang baru saja ia dapatkan hanya dengan ikut Herman dan Sharla ke kampung aneh ini.

Setelah berbincang-bincang, Rahmat mengantar ketiga pemburu hantu tersebut ke lokasi angker di kampungnya. Herman menyadari beberapa hal dari rumah angker yang ia lihat. Pertama adalah kondisi rumah tersebut yang sudah sangat bobrok, kedua adalah lebatnya vegetasi di rumah tersebut, dan ketiga adalah luasnya pelataran rumah tersebut.

Herman segera menyuruh Wawan untuk mengeluarkan berbagai alat pemburu hantu dari bagasi mobil. Sharla sendiri berbincang-bincang lebih lanjut dengan Rahmat di luar rumah angker.

Ketika Wawan sudah berbekal senapan spektroskop dan sekantung kamera, ia merasa enggan memasuki kawasan angker yang ia hadapi. Herman dengan petantang-petenteng membuka pagar karatan rumah tersebut dan masuk membawa seismograf.

Herman menyadari sesuatu: sebelum ia membuka pagar berkarat tadi, ia dapat mencium bau karat. Hal itu aneh bagi Herman, karena karat seharusnya tidak punya bau. Karat hanya punya bau jika karat itu sebelumnya berinteraksi dengan minyak keringat manusia. Bahkan sebelum memasuki rumah angker tersebut, Herman sudah tahu bahwa rumah itu sempat dikunjungi orang beberapa waktu lalu.

Ketika Herman melihat Wawan masih belum masuk ke pelataran rumah angker, ia menyahut, "Masuk, Wan. Nggak ada apa-apa."

Wawan masuk pelataran rumah angker dengan ragu. Ia sadar bahwa hari masih siang, namun "aura" yang dikeluarkan oleh rumah angker tersebut sudah cukup membuatnya tidak ingin melangkah masuk. Sekali lagi, Herman menyuruhnya masuk, "Udah, masuk aja."

Ketika Wawan baru masuk pelataran rumah, Herman sudah menjelajahi isi rumah tersebut. Tanpa memerlukan spektroskop yang sedang dipegang Wawan, Herman sudah dapat menyimpulkan bahwa kadar karbon dioksida di dalam rumah itu cukup tinggi. Ia merasa pernapasannya menjadi berbeda, dan mulai merasa tidak tenang.

Jamur berada di mana-mana: di dinding, di lantai, hingga di langit-langit. Ketika Herman melihat langit-langit rumah tersebut, kayu lapuk dan sarang laba-laba menghiasi seluruh penjurunya. Aneh, pikir Herman, karena sebelum memasuki rumah angker tersebut, ia merasa baik-baik saja. Seharusnya dampak psikologis yang diakibatkan oleh kadar karbon dioksida tinggi tidak akan mempengaruhi warga yang hanya lewat di depan rumah angker tersebut. Ditambah dengan bau karat tadi, Herman berpikir bahwa masalahnya mungkin bukan pada rumah itu sendiri.

Herman memanggil Wawan, dan menyuruhnya menggunakan senapan spektroskop di beberapa dinding luar rumah angker.

Ketika ia kembali ke pelataran rumah, Herman menyalakan seismograf. Wawan terkejut karena suara seismograf ternyata sangat bising.

"Buset, Bang. Berisik amet," Wawan berkomentar.

"Emang gitu kerjanya. Gua kemaren belum sempet ngajarin lu cara kerja seismograf. Jadi, ya, seismograf kerjanya begini," Herman menjawab komentar Wawan.

"Buat apa berisik-berisik gitu, Bang?"

Herman menjelaskan, "Sonar. Dia bisa ngedeteksi komposisi tanah. Kalo ada apa-apa, kayak rongga di dalem tanah, dia bisa deteksi. Kalo ada suara-suara yang nggak bisa kita denger, dia bisa deteksi."

Wawan mengangguk.

Herman melihat dampak suara yang dihasilkan oleh seismograf mengusir beberapa hewan dari kawasan angker tersebut. Ia melihat ada burung yang terbang, dan sekilas, ada musang yang berlari. Ia mengangguk, dan berpikir bahwa mungkin suara-suara yang terdengar dari rumah angker ini adalah suara binatang. Ia mengingat-ingat hewan apa saja yang suaranya bisa menyerupai suara manusia: musang, burung hantu, kodok, macan dan kucing hutan, kadal, dan sebagainya. Ia langsung melihat kantung kamera yang dibawa Wawan, dan tahu harus dipasang di mana kamera-kamera tersebut.

Herman bertitah, "Wan. Pasang kamera yang gede di ujung sana."

Wawan melihat titik yang ditunjuk oleh Herman: ujung dinding luar rumah. Wawan mengangguk, dan secara hati-hati berjalan ke sudut tersebut sambil menghindari ilalang panjang. Namun, sudut yang diminta oleh Herman terlalu tinggi.

"Di atas banget, Bang? Nggak nyampe," Keluh Wawan.

Herman menepuk dahinya, "Elah. Ya udah. Sini gua gendong."

Wawan terbelalak, "Bentar, Bang," namun Herman sudah terlebih dahulu menghampirinya. Herman bertitah, "Ayo."

Sambil malu-malu, Wawan membiarkan Herman mengangkat badannya. Ia terkejut dan tak mengira Herman kuat mengangkat badannya.

Sambil menggerutu karena keberatan, Herman bertitah sekali lagi, "Ayo, pasang!"

Wawan tergesa-gesa, tetapi berhasil memasang kamera. Ketika sudah selesai. Herman mempertemukan kaki Wawan dengan bumi, kemudian berlari kecil menjauhi Wawan. Herman memandang sesaat pada kamera, kemudian berkata, "Oke."

"Kenapa, Bang?" Wawan bingung.

Herman menjawab, "Kameranya nggak bakal disadarin sama warga sekitar."

Wawan bingung, "Emang kenapa?"

Herman memutar matanya, "Bisa aja ada warga yang masuk ke sini. Terus, mereka-mereka ini yang justru ngebuat rumahnya jadi angker."

Dalam beberapa detik, Wawan langsung mengerti. Ia tersenyum, dan mengagumi Herman yang memperhitungkan segala macam kemungkinan.

Herman dan Wawan memasang dua kamera lain. Satu di salah satu ranting pohon besar, satu lagi di sudut lain di pekarangan rumah angker tetrsebut. Kemudian, mereka berdua memasuki sang rumah angker.

Baru saja beberapa saat di rumah itu, Wawan langsung merasa tidak enak. Ia ingin keluar dari rumah itu, "Bang, ngeri. Kita emangnya boleh masuk sini?"

Sekali lagi, Herman memutar matanya, "Lu udah dapet duit, masih ngeluh aja."

Wawan tidak dapat membela diri, "Iya, Bang. Tapi tetep aja. Ngeri!" Ia melihat sekeliling rumah. Dindingnya dipenuhi graffiti dan berbagai macam noda gelap. Napasnya menjadi tidak teratur, dan ia dapat merasakan berbagai macam "hal" yang berjalan di permukaan kulitnya.

Ketika melihat wajah pucat Wawan, Herman berusaha menenangkan dengan penjelasan, "Gini, Wan. Yang lu alamin itu normal, kalo lu masuk rumah tua. Pertama, lu nyadar bahwa ini rumah angker. Itu aja udah ngebuat lu ngeri sendiri. Kalo lu nggak pernah dibilangin, lu nggak akan ngerasa takut. Paling nggak enak doang. Itu cuman sugesti. Kedua, lu liat di mana-mana banyak jamur? Apalagi, ini ruang tertutup. Pintu rumahnya masih ada. Jadi, karbon dioksida yang dihasilin jamur-jamur ini bakal numpuk. Kalo konsentrasi karbon dioksida di udara naik dikit aja, efeknya bisa dirasain badan lu. Lu bisa pusing, mual, sampe halusinasi. Napas lu bakal jadi nggak bener, dan napas yang bener itu nomor satu kalo soal kesehatan psikologis. Jadi udah, lu tenang aja."

Meski sudah dijelaskan panjang lebar oleh Herman, Wawan tetap tidak tenang. Herman menghembuskan napas panjang, dan menyuruh Wawan menembakkan senapan spektroskopinya ke beberapa permukaan dinding. Selagi Wawan melakukan tugasnya, Herman sendiri memasang kamera di berbagai sudut rumah angker tersebut.

Setelah selesai memasang kamera dan memeriksa dinding rumah dengan senapan spektroskop, Herman menyadari sesuatu: ia lupa memakai masker gas. Ia kemudian menyuruh Wawan untuk mengambil masker gas di mobil, dan memakainya. Wawan menurut, dan cepat-cepat keluar dari rumah angker yang membuatnya resah.

Herman mengelilingi rumahnya sekali lagi. Kali ini, ia mencari petunjuk-petunjuk lain yang belum ia temukan. Ia berusaha menghirup udara di dalam rumah angker tersebut, dan mencari bau selain bau apak dan bau kayu tua. Hanya saja, ia sudah terbiasa dengan bau rumah angker tersebut sehingga ia berpikir untuk mengandalkan masker gas yang nanti akan dikenakan Wawan.

Kemudian, Herman mendapat pencerahan. Ia keluar dari rumah angker tersebut menuju mobil. Dalam perjalanan, ia melihat Wawan sudah mengenakan masker gas dan hendak menghampiri Herman.

Wawan kemudian mendengar Herman berkata, "Lu masuk duluan. Standby di ruang tengah. Diri aja di sana, napas kayak biasa. Gua mau ambil sesuatu."

Herman tak mengacuhkan Wawan yang kebingungan dan sepertinya ingin protes karena disuruh ke dalam rumah angker sendirian. Herman dapat melihat Sharla masih mengobrol dengan Rahmat, dan mengangguk ke arah mereka. Ketika ia membuka pintu bagasi, ia langsung mengambil lampu UV.

Herman kembali ke dalam rumah angker dan menemukan Wawan sedang melihat-lihat senapan spektroskop yang ia pegang. Ia langsung menyuruh Wawan, "Sekarang lu pergi ke tiap ruangan rumah, terus bediri sambil napas. Semenit aja. Sekalian jalan-jalan keliling ruangan."

Wawan mengiyakan, namun bergegas dengan enggan. Herman menyalakan lampu UV-nya, dan menerawang tiap sudut ruangan. Ia berharap menemukan bercak-bercak yang akan menyala dalam paparan sinar UV. Namun di ruang tengah rumah angker tersebut, ia tidak menemukan apa-apa. Ia masih menjelajahi ruang tengah ketika Wawan pindah dari dapur ke kamar mandi.

Herman tidak ingin menyerah. Ia pergi ke ruangan lain dari rumah angker tersebut. Ruangan yang ia kunjungi adalah kamar tidur. Ranjangnya masih ada, namun sudah berada di ambang kehancuran. Ia paparkan ranjang tersebut dengan sinar UV, dan menemukan bercak-bercak yang menyala lemah. Herman tersenyum nakal.

"Dasar. Pantes ada suara kuntilanak," pikir Herman sambil membayangkan denyitan ranjang dan suara desahan wanita. Setelah membuang pikiran tersebut, Herman mendapatkan petunjuk soal keangkeran rumah tua tersebut.

Pada waktu yang bersamaan, Wawan mengunjungi kamar tidur tempat Herman berada. Ketika ia melihat Wawan, Herman tergelak, "Ada yang nakal nih."

Wawan bingung, "Maksud Abang?"

Herman tak menjelaskan, "Pokoknya ada yang nakal lah. Lu tau harusnya."

Wawan tetap bingung. Herman balik bertanya, "Lu punya pacar?"

Wawan menggeleng. Herman malah meledak dalam tawa, "Ya udah. Nanti lu cari pacar aja. Enak-enaknya di sini."

Wawan langsung mengerti maksud Herman, dan tertawa. Tawanya terlalu telat untuk disambut oleh Herman, dan Herman hanya memberikan Wawan putaran mata.

*****

Setelah selesai kunjungan, Herman berdiskusi dengan Sharla di dalam mobil, "Jadi, gimana tadi pas ngobrol sama Pak Rahmat?"

Sharla sedang menyalakan rokok sambil membuka kaca mobil, "Standar lah."

Herman protes, "Standar, standar. Jelasin lah. Biar Wawan belajar juga."

Sharla balas memprotes, "Ya udah sih. Kamu kalo udah aku bilang standar harusnya ngerti juga."

"Napa? Ada warga yang skizotipal?"

"Nggak. Kalo dari penjelasan Pak Rahmat, palingan cuma kena banyak sugesti aja."

"Aku nemuin sesuatu di ranjang rumah."

Sharla diam sebentar, kemudian tertawa. Setelah puas tertawa, ia merespons Herman, "Pantes ada suara kuntilanak sama genderuwo."

Wawan tersenyum sambil membayangkan suara kuntilanak dan genderuwo yang dimaksud Sharla. Herman sadar dan membalas senyum Wawan, "Nah. Gitu kan? Kalo udah kebelet banget, rumah angker jadi! Hahaha! Ngapain lu takut-takut amet ama rumah angker!"

"Iye, Bang. Kocak."

Sharla melanjutkan, "Kalo harus nyimpulin profil kampungnya, kayaknya emang bukan kampung yang bener-bener banget. Ada bahasan soal preman-preman transaksi narkoba."

"Oh, ya?" Herman penasaran; "Narkoba apaan?"

"Mana aku nanya. Yang penting narkoba."

"Ada hubungannya ama rumah angker?"

"Si Pak Rahmat sih nggak bilang apa-apa. Tapi mungkin ada. Soal 'sesuatu' di ranjang, kalo dari profil warga, ada sih potensi remaja-remaja yang make tempat itu."

"Biar aku tebak: rumahnya dipake buat dijadiin rumah bordil."

Sharla terkekeh, "Si Pak Rahmat nggak ngebahas sampe ke sana. Tapi bisa aja. Doi jelas lah ngejaga nama baik kampungnya."

"Ketua RT doang. Apaan prestige-nya coba?"

"Namanya juga orang Indo. Sekali punya jabatan pemimpin, langsung ngerasa terhormat."

Wawan terkekeh mendengar pernyataan Sharla. Ia mencoba ikut pembicaraan, "Jadi kuntilanak sama genderuwonya hantu gadungan?"

Herman menepuk pundak Wawan, "Lu harus ngerti, Wan. Semua hantu itu hantu gadungan. Hantu itu nggak ada. Yang ada cuma manusia yang percaya ama yang begituan."

Wawan mengangguk, lalu mengerti bahwa pekerjaan Herman dan Sharla lebih dari sekadar pemburu hantu. Dalam benaknya, Wawan mengagumi Herman dan Sharla. Kedua manusia yang aneh itu menjadikan rasa takut dan ketidakpahaman manusia menjadi uang. Mereka mempresentasikan diri mereka sebagai "orang pintar", dan ternyata mereka benar-benar orang yang pintar.

"Nah," Herman melanjutkan; "Sepulangnya kita, Wan, nanti lu gua ajarin cara make dan baca kamera. Kemaren lu udah gua ajarin cara make dan baca spektroskop, sekarang lu harus naik level. Lu juga udah mulai ngerti, kan, cara kerja gua?"

Wawan mengangguk. Kali ini, ia tidak terlihat bingung. Yang Wawan rasakan adalah rasa kagum terhadap Herman dan Sharla. Apa yang dulu ia pikirkan tentang pekerjaan pembasian hantu, ternyata jauh berbeda dari realitasnya. Tidak ada jampi-jampi. Tidak ada doa. Tidak ada ritual pengusir setan. Yang ada hanya sains dan keinsinyuran.

*****

Setelah dua hari menunggu data rumah angker RT Pak Rahmat terunggah ke dalam komputer Herman, Herman mengajak Wawan kembali ke ruang kerjanya. Datanya telah terunggah, dan telah siap untuk diperiksa. Wawan awalnya enggan untuk meladeni ajakan Herman, terutama karena kafe sedang ada pelanggan. Herman perlu membahas lima ratus ribu Rupiah selanjutnya yang akan Wawan dapatkan minggu depan, agar Wawan mau digiring ke jurang neraka matematis. Selagi Wawan ditawan Herman, Sharla menggantikan Wawan menjadi barista.

Aplikasi pertama yang dibuka oleh Herman adalah Spectre-scope. Wawan sudah siap dengan katalog spektrum warna serta buku catatan, dan Herman mengizinkannya duduk di kursi kerja. Satu per satu spektrum warna dilihat oleh Wawan, dan Wawan mencoba mencocokkan tiap spektrum warna dengan apa yang ada di katalog. Ia mencatat molekul apa saja yang berada di jarak "e-9", dan molekul lain yang jaraknya selain "e-9". Pada jarak "e-9", ia menemukan silikon oksida, tembaga, besi, dan sebagainya. Pada jarak yang lain, ia menemukan furfuryl mercaptan, methyl propenyl sulfide, karbon monoksida, metana, hydrogen sulfida, dan nama-nama lain yang tak pernah ia dengar.

Herman melihat data yang dicatat oleh Wawan, dan memberikan komentar, "Rumahnya ternyata masih suka ada penghuni."

Wawan menengok, tak mengerti. Ia melihat nama-nama kimia yang ia catat, dan berusaha mencari hubungan antara keberadaan penghuni sebuah rumah angker dan keberadaan bahan-bahan kimia di sana.

Herman menyadari kebingungan Wawan, dan menjelaskan, "Jadi, Wan, kalo lu liat molekul-molekul yang lu catet, ada molekul kopi, bawang, sama kentut. Setidaknya kalo bukan kentut, ada bekas makanan busuk ato bangke. Kalo masih bisa dideteksi spektroskop, berarti itu semua usianya belum lama."

Wawan mengangguk. Ia mengerti bahwa intinya, Herman mau bilang bahwa rumah angker itu masih dikunjungi manusia.

Herman termenung sesaat, kemudian lanjut berkomentar, "Kalo diliat lagi di 'e-9', ada timbal juga. Antara penghuni kampung markir motor lama di dalem rumah, ato rumahnya pake pipa timbal."

Wawan berusaha mengingat penjelasan Herman mengenai timbal. Namun seingatnya, Herman tidak mengatakan bahwa timbal akan membuat orang bisa melihat kuntilanak.

Herman melanjutkan, "Harusnya sih, timbalnya nggak berarti apa-apa. Kalo nggak ada yang ninggalin ini rumah, efek jangka panjangnya nggak bakal ada."

Sekali lagi, Herman melihat catatan Wawan. Setelah puas melihat, ia berkata, "Oke. Nggak ada yang aneh di Spectre-scope. Tapi kita dapet sesuatu nih, Wan: rumahnya masih dikunjungin warga. Sekarang kita cuma perlu tau kenapa masih dikunjungin. Kalo kemaren dari hasil sinar UV sih, ada yang baru 'maen' di sana. Hahaha!"

Wawan menyambut tawa Herman dengan kikuk. Kemudian, Wawan mengkhawatirkan aplikasi lain yang akan dibuka oleh Herman. Mengetahui bahwa Spectre-scope saja sudah sangat membingungkan, Wawan khawatir otaknya tidak dapat menghadapi data-data ilmiah dari aplikasi lain.

"Sekarang," Herman mengusir Wawan sementara dan mengutak-atik aplikasi Thermo-Ghast; "Lu harus belajar soal jamur. Biasanya tempat yang angker tuh isinya jamur doang. Aplikasi Thermo-Ghast ini... sebenernya nggak bisa ngebantu lu ngidentifikasi jamur apa yang tumbuh sih. Cuma, dia bisa ngasih tau lu keberadaan jamur dari reaksi eksotermik. Tiap makhluk hidup pasti punya metabolisme, dan hampir semua metabolisme itu sifatnya eksotermik. Cuman satu metabolisme yang endotermik yang perlu lu tau, dan itu reaksi fotosintesis."

Wawan gelagapan, "Eksotermik? Endotermik?"

Herman memutar matanya, "Pernah SMP nggak sih, lu? Itu pelajaran anak bocah!"

Wawan tertawa kikuk. Keringat dinginnya mulai keluar karena kecerdasannya mulai dipertanyakan.

Herman menghembuskan napas, "Gini. Gampangnya, reaksi eksotermik bakal ngasilin panas. Reaksi endotermik bakal ngasilin dingin. Ini penjelasannya rada salah, tapi yang penting lu ngerti itu aja. Nah, karena fotosintesis itu reaksinya endotermik, makanya tempat-tempat yang banyak ijo-ijo itu sejuk."

Wawan terbelalak, "Oh, gitu?!"

Herman tersenyum, "Iya. Pohon buat udara sejuk bukan gara-gara dia ngasilin oksigen, tapi gara-gara reaksi fotosintetsis itu reaksi endotermik."

Wawan terpana. Selama ini ia ditipu pemikiran orang pada umumnya. Herman ternyata bukan orang pada umumnya, meski hal itu sudah jelas dari bagaimana Herman menyia-nyiakan gelar sarjana teknik mesinnya demi membuka kafe kecil dan menjadi pemburu hantu.

Herman menyudahi pana Wawan, "Oke. Balik ke jamur. Nah, jamur tuh bukan tumbuhan. Mereka nggak fotosintesis. Jadi keberadaan mereka nggak bakal ngebuat rumah lu sejuk. Yang ada, rumahlu makin pengap. Dan biasanya, jamur justru bisa jadi alergen buat manusia. Kalo lu asma, dan rumah lu jamuran, asma lu bisa makin parah."

Wawan mengangguk. Setidaknya penjelasan Herman yang satu ini masih dapat dimengerti.

Herman melanjutkan, "Lu ga perlu hapalin nama-nama jamurnya, tapi gua sebut aja ya. Kalo di Indonesia, jamur-jamur yang perlu lu pikirin tuh ada banyak: Ulocladium, Chaetomium, Trichoderma, Altenaria, Aureobasidium, dan lain-lain. Cuma, Wan, yang paling perlu lu inget itu jamur Stachybotrys. Nah, si Stacy ini nih paling bisa lu liat. Dia warnanya item. Sering banget lu temuin di rumah angker kayak kemaren, dan si Stacy ini nih yang nyebabin banyak banget masalah. Lu punya masalah pernapasan? Belum tentu gara-gara lu asma ato ngerokok. Bisa aja gara-gara si Stacy. Bahkan nih ya, si Sharla sempet bilang kalo si Stacy ini bisa nyebabin depresi!"

"Cuma gara-gara tembok jamuran, Bang?" Wawan terpana.

"Iya!" Herman tertawa; "Dan kita tinggal di Indonesia, coy. Udara kita dari sononya udah lembap, jadi jamur pasti tumbuh. Orang-orang suka ngeremehin jamur. Malah banyak yang nggak nganggep jamur itu sumber masalah psikologis, ato bahkan sumber masalah supernatural. Nggak ada yang bakal mikir, 'Eh ada jamur di dinding gua. Harus gua cat nih' waktu ngeliat ada jamur tumbuh. Malah banyak juga yang nggak nyadar kalo tembok mereka ada jamur. Biasanya cuman dianggep kalo rumahnya rumah tua doang!"

Wawan mengangguk-angguk. Ia agak bingung, namun ia mulai terbiasa dibingungkan Herman. Semakin ia mengenal Herman, semakin ia bisa menarik kesimpulan dari omongan anehnya. Kali ini, Wawan menyimpulkan bahwa maksud Herman adalah: jamur itu jahat.

Setelah cerita tentang jamur, Herman menggiring mata Wawan kepada Thermo-Ghast. Kali ini data yang dilihat oleh Wawan adalah kumpulan video dari kamera yang mereka gunakan tadi. Rata-rata videonya berwarna biru, dengan data yang rumit dibaca berada di samping video. Ia menyadari bahwa ada cahaya merah-kuning berbentuk manusia di video pertama.

"Nah, itu lu," Herman menunjuk ke video Thermo-Ghast; "Jelas bakal keliatan merah. Soalnya lu panas. Lu juga nggak bakal ngeliat reaksi eksotermiknya di video. Cuman, kalo lu liat di data sebelah, lu bisa liat ada fluktuasi suhu. Coba lu liat koordinasi fluktuasi suhunya."

Wawan tidak tahu apa maksud dari koordinasi maupun fluktuasi suhu. Ia hanya dapat melihat sambil pura-pura paham.

Herman melanjutkan, "Kalo fluktuasinya gede, yang kayak berubah satu-dua kelvin, itu fluktuasi suhu biasa. Kalo fluktuasinya kecil yang sampe nol koma nol berapa, itu bisa aja fluktuasi suhu yang disebapin reaksi eksotermik. Nah, coba lu tarok kursornya di koordinasi yang itu."

Meski masih tak mengerti, Wawan tetap mengikuti kemauan Herman. Wawan memberhentikan video, dan menaruh kursornya di koordinat yang ditunjukkan Herman. Kemudian, sebuah tanda plus besar dan ramping muncul di video. Herman menyuruh Wawan untuk menggeser kursornya ke berbagai koordinat lain. Wawan mulai mengerti maksud herman, ketika tanda plus besar di video berganti tempat.

"Nah," Herman menepuk pundak Wawan; "Lu liat, kan? Koordinatnya di tembok semua. Pixel yang ini suhunya sekian, pixel yang lain suhunya lebih tinggi. Berarti kameranya ngedeteksi reaksi eksotermik. Intinya sih, datanya ngonfirmasi kalo dindingnya jamuran."

Wawan menggelengkan kepalanya. Semua ini demi mengonfirmasi keberadaan jamur yang bisa dilihat dengan mata telanjang? Pikirnya. Kalau Herman menghabiskan hari-harinya demi aplikasi tersebut, Herman punya waktu luang yang terlalu banyak, pikir Wawan.

"Sekarang, kita fast forward aja semua videonya. Kita udah tau dindingnya jamuran. Tapi bisa aja ada yang lain-lain yang kedeteksi," ujar Herman.

Wawan dan Herman menghabiskan belasan menit menonton video kamera yang mereka pasang di rumah angker. Kebanyakan hal yang mereka tonton hanyalah layar biru, dan sekali-kali cahaya merah-kuning, yang merepresentasikan dua manusia aneh sedang mengelilingi sebuah rumah angker. Wawan merasa bahwa ia membuang waktu yang bisa digunakan untuk melayani pelanggan kafe, namun ia menurut demi lima ratus ribu Rupiah.

Tiba-tiba, Herman menyuruh Wawan memberhentikan video. Kemudian, Herman meminta Wawan lagi untuk memundurkan videonya selama beberapa frame. "Liat?" ujar Herman menunjuk cahaya merah kecil di ujung video. Wawan bergeming.

Sebelum Wawan sempat berkomentar, Herman tersenyum, "Ternyata kita nggak sendiri tadi di rumah angker."

Ketika Wawan mendengar Herman, Wawan menjadi khawatir. Wawan mengira bahwa cahaya merah yang dimaksud Herman adalah hantu atau semacamnya, mengingat bahwa di rumah angker itu, hanya ada Wawan dan Herman.

Herman menepuk pundak Wawan sekali lagi, "Kalo segede ini, berarti dia bukan tikus. Musang, mungkin."

Dalam sekejap, Wawan menghilangkan kekhawatirannya. Ia kembali mengingatkan dirinya bahwa Herman tidak percaya hantu, dan dia punya ribuan alasan untuk menolak keberadaan hantu di dunia ini.

"Si musang tinggal di langit-langit, ternyata," ujar Herman ketika ia menunjuk cahaya merah kecil itu di ujung video; "Setidaknya kalo ada warga yang ngedengerin suara kuntilanak, kita tau kalo suaranya bisa aja suara si musang lagi nangis."

Wawan bingung, "Musang bisa nangis?"

"Orang sih bilangnya gitu. Musang nangis. Padahal cuman kedengeren kayak nangis. Nggak nangis beneren. Ya kali, musang bisa nangis kayak manusia," Herman memutar matanya.

Herman melanjutkan, "Nah, ini kan semuanya video yang kita ambil tadi. Sekarang kita buka video kamera yang masih kita pasang di sana."

Wawan protes, "Hah? Emang udah ada videonya?"

Herman tersenyum, "Kamera yang gede nggak cuman gede karena dia bisa ngerekam suara doang, coy. Kamera yang itu bisa live streaming juga."

"Wah, canggih bener, Bang," Wawan terpana.

Herman menggeleng kepalanya lemah, "Pelajaran buat gua juga. Kadang ada orang yang sadar kalo ada kamera. Terus kameranya ditutupin ato ditilep. Kalo bisa live streaming, seenggaknya gua bisa tau kenapa kamera gua ilang."

"Sayang banget, Bang, kalo gitu," komentar Wawan.

"Nggak apa-apa. Gua benernya punya banyak. Bisa buat baru juga kalo gua mau."

Wawan terpesona dengan Herman yang ternyata memikirkan banyak kemungkinan. Ia ternyata berhadapan dengan orang yang memang benar-benar cerdas. Namun, ia kembali terheran kenapa orang secerdas Herman menyia-nyiakan kecerdasannya demi membuka kafe dan menjadi pemburu hantu. Dengan kecerdasan itu, Herman bisa saja menjadi teknisi mesin sungguhan.

Setengah jam berikutnya diisi dengan Herman dan Wawan mengamati video live stream dari kamera yang masih berada di rumah angker. Demi menghemat waktu, video yang mereka tonton dipercepat beberapa kali.

Tiba-tiba, Wawan dapat mendengar sesuatu. Tanpa perlu disuruh, Wawan memberhentikan video tersebut dan memundurkan videonya beberapa detik.

"Anjir. Suara apa tuh, Bang?" Wawan merinding; "Serem banget."

Ketika suara itu diulang tiga kali, Herman tersenyum, "Nah, Wan. Selamet."

"Napa selamet, Bang?"

"Lu sekarang tau musang kalo nangis suaranya kayak gimana."

Wawan termenung. Suara yang ia dengar merupakan suara yang bisa disalahdengarkan sebagai suara jeritan wanita. Meski merinding, setidaknya pengetahuan Herman mengenai suara tangisan musang membuatnya semakin mengerti mengenai tangisan kuntilanak.

Suara tangisan musang itu berlanjut untuk beberapa saat. Wawan dan Herman kembali mengamati video. Hingga akhirnya, ada wujud manusia yang dideteksi kamera. Dengan cepat, Herman menyuruh Wawan untuk mengganti videonya dengan video dari kamera lain yang dipasang di dalam rumah.

"Coba, Wan, kerasin suaranya," titah Herman.

Wawan mengeraskan suara. Wujud manusia itu hanya berdiri beberapa saat. Wujud itu terlihat seperti sedang menyalakan rokok, dan berdiri mondar-mandir seperti sedang menunggu. Benar saja, wujud manusia kedua kemudian dideteksi oleh kamera.

Herman dan Wawan dengan cermat mendengarkan pembicaraan kedua manusia tersebut. Suara mereka tidak terlalu jelas, namun tertangkap oleh kamera. Setelah beberapa saat, Herman terbelalak.

"Itu suara Pak Rahmat?" tanya Wawan. Herman melihat Wawan, dan termenung karena Wawan juga mengenali suara tersebut.

"Ngapain Pak Rahmat di sana?" tanya Herman. Wawan tak menjawab karena merasa bahwa pertanyaan Herman adalah pertanyaan retorik.

Herman dan Wawan kembali mencoba mendengarkan percakapan Pak Rahmat dengan sosok manusia lain yang tidak dikenal. Meskipun tidak sejelas yang diharapkan, Herman menyadari percakapan apa yang tengah berlangsung.

"Wan," Herman memegang pundak Wawan; "Gua nggak salah denger, kan?"

"Pak Rahmat lagi transaksi barang?"

"Kayaknya."

"Wah, skandal nih, Bang."

Herman berpikir lama. Ia mengernyit, dan menutup mulut dengan jemarinya. Ia berkeliling ruang kerjanya sesaat, lalu mengajak Wawan berdiskusi.

"Gua nggak ngerti. Kalo bener kata Sharla, itu berarti Pak Rahmat lagi transaksi narkoba. Sharla sempet bilang kalo itu kampung ada preman jualan narkoba, kan?"

"Inget, Bang."

"Anjir. Kalo gitu, harusnya Pak Rahmat nggak bakal berani manggil kita-kita ke sana buat ngusir hantu. Ngapain, coy?! Biar ketauan dia transaksi narkoba? Nggak mungkin!"

Wawan berpikir. Kali ini ia merasa bisa membantu Herman, karena ini bukan masalah ilmiah. Ia mencoba menjawab kebingungan Herman, "Yang bayar kita Pak Rahmat, Bang?"

"Iya, bener. Dia yang bayar kita. Cuman Sharla sempet bilang kalo itu duit kas RT. Jadi—"

"Itu duit warga sekitar berarti ya, Bang? Bukan duit dia?"

"Bisa jadi."

"Gua juga ngerasa Pak Rahmat tenang banget kemaren, Bang, waktu ngejelasin perkara rumah angkernya."

"Maksudlu?"

"Bisa aja sebenernya Pak Rahmat ngundang kita ke sana gara-gara warga pada resah."

Herman memikirkan kata-kata Wawan lebih dalam. Kemudian, mata dia terbelalak.

"Berarti, Wan, bisa aja—"

"Kita dipanggil ke sana biar warganya diem."

"Anjir. Berarti kita disuap, Wan. Biar Pak Rahmat bisa bilang kita udah ngusir hantu rumah angkernya."

"Nah, bisa aja, Bang."

Herman tersenyum dan menggelengkan kepala, "Pinter juga lu, Wan."

Wawan terkekeh, "Masih lebih pinter Bang Herman. Gua masih puyeng dengerin penjelasan Abang."

Herman menepuk Pundak Wawan, "Tapi tetep aja, Wan. Lu pinter. Sharla nggak bakal berani asumsi sampe ke sana. Dia murni masalah psikologis doang. Yang lu bilang tadi udah bukan masalah psikologis, tapi udah soal pinter-pinteran nipu demi duit."

Wawan tersenyum lebar, "Bisa kita peras tuh, Bang."

Herman berhenti tersenyum, "Ngapain?"

"Kan kalo transaksi narkoba udah masuk ranah hukum, Bang. Daripada kita laporin ke polisi, mending kita tagihin duit aja."

"Jadi, maksudlu, Wan?"

"Kita kan ada bukti video, Bang."

"Kita biarin aja tuh transaksi narkoba?"

"Kita kan pemburu hantu, Bang. Bukan superhero."

Herman sebenarnya mengerti maksud Wawan. Namun kompas moralnya menyala. Meskipun demikian, Herman merasa tidak punya hak untuk melaporkan transaksi narkoba jika ia sendiri tidak melaporkan penggunaan narkoba di kalangan rekan-rekannya. Hanya saja, Herman tetap mencoba membela kompas moralnya.

"Tapi kalo kita laporin ke polisi, itu bisa jadi PR move yang bagus buat kita, Wan. Orang bisa kenal kita nggak sebagai pemburu hantu doang, tapi pemberantas kejahatan juga."

Wawan menggeleng, "Tetep aja, Bang. Kalo kejadian yang kayak Pak Rahmat ini bakalan ada lagi, kita bisa dapet lebih banyak duit dari uang diem. Kalo Bang Herman ngelaporin ke polisi, kita nggak bakalan dapet klien yang kayak Pak Rahmat lagi. Terus ya, Bang, kita bisa dimusuhin sama orang-orang kayak Pak Rahmat. Entar kita yang repot kalo udah ada anceman pembunuhan."

Herman berpikir lama, "Iya sih. Gimana ya, Wan? Susah kalo udah masalah legal gini. Kalo kita ketauan nerima uang suap, berabeh juga."

Wawan menyenderkan punggungnya ke kursi kerja Herman, "Ya itu terserah Bang Herman deh. Kita bisa bilang uang suapnya Pak Rahmat sebage uang tips aja, kan?"

"Bisa sih," Herman tersenyum; "Gua kayaknya cuman overthinking aja."

"Kembali lagi ke Bang Herman aja deh. Gua ngikut."

Herman menghembuskan napas panjang, "Iya, entar gua liat sendiri."

Herman merenung. Ia sudah melakukan pemburuan hantu bertahun-tahun, dan kasus pemburuan hantu Pak Rahmat ini merupakan kasus pertama yang bisa memunculkan masalah legalitas. Ia punya kompas moral, dan memang tidak mau ikut campur soal narkoba meskipun ia berteman dengan banyak orang yang berkecimpung di dalam dunia gelap itu. Ia hanya tidak menyangka dunia gelap temannya kini harus ia hadapi di dalam dunia perburuan hantunya sendiri. Sekali lagi, Herman menghembuskan napas panjang, dan memikirkan keputusan yang akan ia buat.

"Ya udah, Wan. Lu balik lagi aja ke kafe," ujar Herman lemah.

*****

Wawan kembali ke lantai satu hanya untuk mendengar Sharla dengan lantang mengatakan "Akhirnya!", menepuk pundaknya, dan segera meninggalkan bar kopi untuk duduk di kursi sebelah Fajri. Seakan-akan seperti sedang lomba lari estafet. Wawan hanya memasang wajah masam, yang menjadi lebih masam ketika ia menyadari panjangnya antrian pelanggan malam ini. Tidak seperti biasanya, kafe penuh sesak.

"Udah mulai rame nih, kafe kalian," komentar Fajri sambil menggeser kotak rokok ke hadapan Sharla.

Sharla mengambil rokok Fajri dari kotak tersebut, dan menyalakannya dengan korek yang disuguhkan Fajri. Ia kemudian membalas komentar Fajri, "Bukan gara-gara ada libur nasional, kan?"

"Ya jelas bukan, sis. Mulai makin rame semenjak kalian bedua muncul di tipi. Email gua banjir request jasa kalian dari kemaren. Udah tiga puluh request lebih," Fajri membuang abu rokoknya.

Sharla menghembuskan asap, "Udah lu bilangin kan, harganya naik?"

"Udah, sis. Kalo nggak, request-nya ratusan, mbok! Ada lah, sepuluan orang, berani bayar full dua puluh juta. Laku kalian, tau!"

"Wah. Money management harus pinter. Nggak bisa narok duit lagi ke Herman."

"Nah, bener. Lu kan lebih, yah, waras lah, dari Herman. Bagian kalian ditabung aja, ato buat renovasi kafe. Kan ada adek gua. Bisa lah, dia sama Wawan kerja sama buat ngepermak kafe. Sama-sama anak DKV kan?"

"Gua sih, mikirnya nambahin barista baru, Jri. Si Wawan bakal sering ikut gua ama Herman. Adek lu mahal."

"Itu boleh juga lah. Kafe kalian udah rame, orang-orang berebut minta basmi hantu, pemasukan bakal jauh lebih banyak ke depannya. Pamor lu sebage psikolog juga bakal naik."

"Nah, omong-omong soal psikolog. Gua mau rujuk klien gua ke lu," ujar Sharla sambil menghembuskan asap.

"Napa? Skizo?"

"Nggak."

"Elah. Jangan bilang depresi doang. Capek gua ngadepin orang yang ke gua cuman buat minta obat."

"Yah, gimana ya, Jri."

"Ya udah. Jadi napa, sis?"

"NPD."

"Hadeh, sister. Lebih parah ternyata. Mending gua dapet yang skizo daripada yang narsis gitu. Napa nggak psikoterapi aja, sih? Nambah-nambahin beban mental gua aja."

Sharla memutar mata, "Gua kesel juga, Jri. Sumpah. Dia ke gua karena dirujuk, kan. Dateng-dateng langsung buat perkara. Nggak mau ke psikolog. Dia cuman percaya psikiater."

Fajri mengernyit, "Ih, parah banget. Kebiasaan emang ya, orang Indo."

"Dah biasa, gua, digituin. Lagian juga NPD. Mau expect apa lagi dari orang-orang yang jadi narsis buat coping insecurity mereka?"

"Parah, nggak, narsisnya?" Fajri mendekatkan wajahnya ke hadapan Sharla.

Sharla menyenderkan badan, "Dari yang lu denger aja, deh. Menurut lu?"

"Kayaknya parah, sih. Dirujuk ke lu, masih nggak mau. Ya udah, sis. Kasih ke gua aja. Dia maunya obat, kan?"

"Ya ngapain lagi gua rujuk ke lu, kalo bukan gara-gara obat?"

"Ya udah. Gua bantuin," Fajri menarik napas panjang.

"Mau lu kasih apa? Benzo?"

"Nggak lah. Ngapain orang yang punya personality disorder dikasih obat? Harusnya yang kayak begitu dikasihnya ke lu, bukan gua. Paling gua kasih placebo sama B12."

"Anjir! Placebo! Hahaha!" Sharla tertawa sarkas.

"Kalo dia ngerasa baikan gara-gara placebo, kita ketawain bareng aja, sis."

"Yakin lu? Ngasih placebo?"

Fajri membenarkan duduknya, "Lu kata gua nggak pernah ngasih placebo? Mau BPD, NPD, HPD, kluster A, kluster C, sampe psikopat sekalian, bakal gua kasih placebo. Kalo mereka dateng ke gua duluan, tapi. Gua cuman bakal ngasih orang-orang yang kayak gini obat, kalo mereka dirujuk ama psikolog. Lu kata kalo kepribadianlu cacat, bisa disembuhin pake antidepresan? Bego, emang, orang-orang Indo. Yang begituan harusnya psikoterapi dulu."

Sharla memandang Fajri, tapi tak membalas senyumannya. Ia memadamkan rokoknya yang sudah habis, kemudian mengambil rokok Fajri satu lagi. Setelah menyalakan rokok dan menghembuskan asap, barulah Sharla menyatakan keberatannya.

"Tetep aja sih, Jri. Kalo pasien lu emang nggak butuh obat, mending nggak usah dikasih placebo. Mending lu rujuk ke gua ato psikolog lain, terus diyakinin aja kalo doi butuh psikoterapi—bukan obat. Minimal jadi psikiater yang ngebantu ngelurusin salah paham orang soal psikolog, lah. Kalo lu ngelayanin ketololan mereka, nggak bakal ada orang yang bisa sehat mental."

Fajri membuang abu rokoknya, "Gua ngerti lah ya, sis, lu belajar enam taun buat jadi psikolog. Gua cuman dua taun lebih dikit. Tapi tetep aja, sis, lu jangan naif-naif amet lah jadi psikolog. Orang yang ngerti psikologi kayak lu pasti selalu bisa point out the good in people. Tapi mayoritas orang mana ngerti, sis. Orang mah cuma mau cara cepet buat nyelesein masalah. Obat kanker kayak racik-racikan teh ato air yang didoain bisa laku bukan karena mereka manjur. Mereka ngasih jalan keluar buat orang-orang yang nggak mau usaha. Lu mau suruh orang-orang yang kayak gitu kemoterapi? Mana mau! Mahal! Lama! Belum tentu sembuh! Mending beli teh benalu ato apaan, kek. Lebih murah. Cepet. Toh sama-sama belum tentu sembuh juga, kan?"

"Coping mechanism. Iye, gua ngerti, Jri."

"Jadi, gitu, sis. Gua ngasih placebo tuh ibarat kayak lu nyuruh orang buat sering-sering ibadah. It works for them, babe. Bakal nyembuhin mereka beneren nggak? Bisa aja, kan?"

"Bisa aja."

"Nah, ya, kan? Gua tau lu pinter kok. Lu nggak naif-naif banget, sis. Nggak kayak suami lu. Lu ngerti jalan pikir orang. Ya iyalah! Lu belajar bertaun-taun buat ngerti. Jadi, ya, biarin aja lah pasien-pasien gua sembuh pake placebo."

Sharla tersenyum untuk mengejek, "Lu nggak ngebantu psikolog buat actually dianggep orang, Jri. Psikolog bisa ngelurusin orang-orang kayak gitu. Cuman yah, psikolog kalah pamor ama psikiater kayak lu."

Fajri terkekeh, "Ya udah. Lu psikolog juga butuh duit. Ngerti. Yah, kapan-kapan lah, sis, kalo gua ketemu pasien yang butuh psikoterapi tapi masih ngotot pengen ngobat."

Sharla kali ini tersenyum sungguhan, "Gitu, dong, Jri. Gunain pamor lu buat bantuin gua. Hahaha!"

"Iya, iya. Dasar. Masih tukang ngemis aja lu ya, sis," senyum Fajri sambil menyudahi batang rokok kesekiannya; "Si Herman lama banget di atas. Panggilin gih. Nongki-nongki kita, lah."

Tanpa perlu dipanggil, Herman muncul dari lantai dua. Fajri menertawakan kebetulan tersebut, dan Sharla hanya tersenyum sambil memutar mata.

"Rame, gila," komentar Herman ketika melihat kafenya sendiri.

"Dah terkenal, kalian berdua," senyum Fajri; "Pakabar, lu?"

Herman tidak langsung menjawab Fajri. Ia duduk di sebelah istrinya dan Fajri, kemudian mengambil rokok Fajri. Setelah menghembuskan asap pertamanya, barulah Herman menjawab Fajri.

"Bingung, gua."

"Napa, sis?"

Herman tidak menjawab Fajri. Ia bertanya kepada istrinya, "Masih inget Pak Rahmat, kan?"

"Napa, Pak Rahmat?" tanya Sharla tak acuh.

"Ternyata dia yang jualan narkoba."

Kini Sharla langsung acuh, "Serius?"

"Ada apa nih, narkoba-narkobaan?" Fajri ingin ikut ke dalam percakapan Herman dan Sharla.

Herman menghembuskan asap, "Gini, Jri. Ada klien gua yang ternyata jualan narkoba."

"Gimana?" Fajri membenarkan posisi duduknya.

"Dia minta rumah kosong di RT-nya diperiksa. Terus dari kamera, gua ama Wawan ngeliat dia lagi transaksi narkoba malem-malem," selesai Herman dengan tergesah-gesah.

Fajri mengernyitkan dahinya. Ia berpikir sebentar, kemudian memanggil Wawan yang kebetulan sedang lengang.

"Napa, Bang?" tanya Wawan.

"Katanya lu ngeliat kliennya Herman transaksi narkoba, ya?" tanya Fajri. Wawan tiba-tiba takut akan diinterogasi atau disalah-salahkan. Wajahnya mematung.

Fajri tertawa, "Muka lu, Wan! Biasa aja kale!"

Herman kelilipan asap rokok, "Si Wawans bilang kalo kita blackmail aja si Pak Rahmatnya."

Wawan merasa dikhianati, dan kini ia merasa dirinya dalam bahaya. Namun, ia pun hanya dapat mematung dan menunggu komentar Sharla serta Fajri.

"Ayo aja, sih," Fajri mengangguk.

"Boleh," Sharla mengangguk.

Melihat Fajri dan Sharla mengangguk, Wawan jadi kesusahan menahan tawanya. Ternyata yang masih punya kompas moral pada tiga orang aneh itu hanya Herman. Wawan mulai mempertanyakan psikolog dan psikiater macam apa yang ia hadapi saat itu.

Herman bingung bukan main, "Lah, gampang banget kalian ngiyain! Nggak takut ada kejadian apa-apa, gitu?"

Fajri dan Sharla melihat satu sama lain. Mereka sudah satu pandangan, namun keduanya sama-sama malas menyampaikan pandangan mereka. Tanpa mengatakan apa-apa, Fajri dan Sharla menyetujui satu sama lain, kembali menghadap kepada Herman, dan menatapnya dengan pandangan mata yang mencerminkan kalimat "Goblok banget sih lu jadi orang."

Sharla mengalah kepada Fajri dengan memaksa dirinya untuk melawan malasnya menjelaskan pandangannya dan Fajri, "Kita pemburu hantu. Bukan polisi."

Herman tak percaya Sharla akan punya pemikiran yang sama dengan Wawan—setidaknya mirip. Ia menggaruk rambutnya sambil memasang wajah kalah.

Fajri mengalah kepada Sharla dan membantunya menjelaskan kepada suaminya yang kecerdasannya patut dipertanyakan, "Lagian, sis, kalo lu nyari masalah sama orang kayak gitu, yang ada lu bakal diapa-apain. Iya kalo dia sendiri yang jualan narkoba. Kalo dia banyak koneksi? Kalo dia masuk penjara, temen-temennya nggak bakal balas dendam, gitu?"

Herman membela diri, "Iya sih, tapi—"

"Kamu jangan tolol, Beb. Kamu tau sendiri kan klien-klien aku yang terjun ke dunia narkoba kayak gimana? Sebringas apa? Mau kamu, dimusuhin orang-orang kayak gitu?" potong Sharla.

Herman tersudut. Ia berpikir keras. Lalu sekali lagi, ia membela kompas moralnya, "Emang kita nggak bakal dapet witness protection? Kita bisa—"

Fajri memotong Herman dengan gelak tawa mengejeknya, "Hah! Witness protection? Di Indo? Lu kata polisi sini FBI? Udah lah. Jangan bego, Man. Cukup kebegoan lu cuma nyia-nyiain sarjana buat buka kafe. Jangan ditambahin lagi."

Herman menghembuskan napas, "Ya udah. Wan, entar lu aja ya yang ngomong ke Pak Rahmatnya."

Wawan yang sedari tadi berdiri dan menertawakan Herman dalam hati tiba-tiba bangun dari lamunannya, "Hah? Gua? Nggak Mbak Sharla aja?"

Sharla menghembuskan asap, "Kalo gua yang ngomong, entar by law gua bisa dicabut gelar psikolognya kalo ketauan. Lagian ini ide lu juga, kan?"

Wawan tak dapat membela diri. Dia diam sambil tersenyum melas. Karena kasihan, Herman membela Wawan, "Tapi risiko Wawan kan gede, ya. Kalo dia sukses meras Pak Rahmat, kasih 50% aja hasil perasannya."

Tanpa mempertanyakan lebih lanjut kenapa hanya lima puluh persen, Wawan tersenyum girang. "Bener ya, Bang," ia coba mengonfirmasi.

"Iye, iye. Kalo lu berhasil meres lima juta, lu dapet dua setengah. Kalo gagal, jangan ngelibatin gua ama Sharla," Herman menggerutu.

"Siap, Bang. Tenang aja," Wawan tersenyum lebar.

"Jri," Herman pindah dari Wawan ke Fajri; "Lu mau bagian juga?"

Fajri mematikan rokoknya, "Gua skip kalo yang ini. Ini jadi mainan lu ama Wawan aja. Gua terima duit bersih aja."

Herman terkekeh. Ia tak mengira bahwa Fajri yang licik akan berkata demikian. Ia berkomentar, "Ya udah. Silakan. Entar kalo emang duitnya gede, gua traktir deh."

"Whatever, sis. Duit bersih aja udah gede kok. Lu kata gua kaya dari bantuin lu berburu hantu?" ejek Fajri mengenai pekerjaan teknisi mesin yang dilewatkan Herman demi berburu hantu. Herman hanya mendengus kesal, namun tetap tertawa meski miris.

*****

Herman, Sharla, dan Wawan kini kembali ke kediaman Pak Rahmat. Gelas-gelas teh manis sudah terminum setengah setelah asyik berbasa-basi. Kini, Sharla memulai debriefing seperti biasa.

"Jadi, Bapak Rahmat, setelah diproses, kami menemukan beberapa hal mengenai rumah yang Bapak khawatirkan. Dari segi kesehatan mental Bapak dan warga-warga di RT Bapak, saya berkesimpulan bahwa tidak ada hal yang mempunyai sangkut-paut dengan keberadaan 'penunggu' di rumah tersebut."

Pak Rahmat mengangguk, "Baik, Bu Sharla."

"Selanjutnya, Pak, berdasarkan data yang ditemukan oleh suami saya Herman, rumah tersebut mempunyai beberapa hal yang mungkin menimbulkan keresahan di benak warga-warga Bapak. Rumahnya sendiri harusnya tidak menjadi masalah ya, Pak. Kami tidak menemukan tanda-tanda bahwa rumah tersebut 'dihuni' oleh penunggu."

"Oh, begitu, Bu? Jadi untuk suara-suara yang meresahkan warga saya, itu penjelasannya apa ya?"

"Nah, untuk suara-suara yang didengarkan warga, kami menangkap beberapa aktivitas yang tidak bersumber dari hal-hal mistis maupun supernatural. Kami menemukan bahwa rumah tersebut menjadi sarang musang hutan, Pak. Mungkin karena memang RT Bapak dekat dengan lahan kosong yang sekarang menjadi hutan. Memang biasanya suara musang dapat dikira sebagai suara teriakan perempuan. Musang yang sedang kawin atau sedang memanggil musang lain bisa mengeluarkan suara seperti tangisan, Pak."

"Oh, begitu, Bu? Suara Musang?"

"Benar, Pak. Nanti Bapak sendiri mungkin bisa mengecek atap rumahnya. Untuk persoalan apakah musangnya harus diusir atau keberadaan musangnya diinformasikan kepada warga sekitar, saya rasa Bapak bisa menentukan sendiri ya, Pak."

Rahmat tersenyum sambil mengangguk dalam pana, "Baik, Bu. Baik. Nggak kekira sama saya, Bu, kalo itu suara musang. Hahaha!"

Sharla dengan formal membalas senyum dan tawa Rahmat, "Iya, Pak. Seringkali kami menemukan musang di wilayah-wilayah yang dianggap dihuni kuntilanak. Namanya juga makhluk hidup, ya, Pak. Hahaha!"

"Iya, Bu, iya. Hahaha!"

"Nah, berikutnya, Pak, kami juga menemukan bahwa ada beberapa warga RT Bapak yang ternyata mengunjungi rumah tersebut."

Senyum Rahmat berhenti. Kini ia menatap mata Sharla dengan tajam, dan siap mendengar apa pun yang keluar dari mulut Sharla.

"Apakah Pak Rahmat mengetahui hal tersebut?"

"Mungkin saja preman-preman di pasar sebelah. Memang kadang mereka nggak tau diri, Bu. Mereka juga meresahkan warga di sini."

"Ah, begitu ya, Pak. Setelah kami cek rumah tersebut, kami menemukan beberapa bukti bahwa rumah tersebut masih dikunjungi. Kami menemukan noda kopi, bekas makanan, dan, mohon maaf, Pak, cairan kelamin laki-laki. Mungkin selain suara musang, suara-suara yang didengar warga bisa saja adalah suara-suara warga lain yang mengunjungi tempat tersebut."

Setelah mendengarkan dengan saksama, Rahmat tersenyum. Lalu, Rahmat meledak dalam tawa.

"Anak-anak jaman sekarang. Memang ya! Nakal semua. Rumah hantu dijadikan rumah bordil sama mereka. Baik, Bu. Terima kasih atas informasinya. Nanti akan saya umumkan kepada warga. Saya mungkin sudah tahu siapa pemuda-pemudi RT saya yang mungkin jadi biang keroknya."

Sharla tertawa dengan formal, begitu juga Herman dan Wawan. Sharla kemudian menyapu roknya sebagai tindakan basa-basi, lalu melanjutkan.

"Nah, Pak, mungkin itu saja dari saya dan suami saya," Sharla merogoh tasnya dan mengeluarkan dokumen; "Kalau Bapak ingin bertanya-tanya lebih lanjut, berikut dokumen hasil observasi kami kemarin. Di dalamnya sudah ada surel untuk menghubungi kami secara online, ya, Pak. Oh iya, mohon juga ditandatangani cek ini, Pak, sebagai bukti pembayaran."

"Baik, Bu, terima kasih," ujar Rahmat sembari dengan cepat menandatangani cek dan menyerahkannya kepada Sharla.

Sharla melanjutkan, "Sekarang, Pak, karena urusan saya dan suami saya sudah selesai, kami akan meninggalkan Bapak bersama rekan kami, Wawan. Berdasarkan penelitiannya, Wawan hendak menginformasikan beberapa hal mengenai rumah tetrsebut. Mohon dimaklumi, ya, Pak."

"Iya, iya. Nggak apa-apa. Terima kasih ya, Pak, Bu," ujar Rahmat sembari berdiri. Herman dan Sharla ikut berdiri, dan kemudian bergantian menyalami Rahmat.

Ketika Herman dan Sharla sudah keluar dari ruang tamu, Rahmat melihat Wawan masih terduduk sambil menghabiskan teh manisnya. Rahmat kembali duduk menemani Wawan.

"Em, sekarang dengan Pak Wawan, ya?" basa-basi Rahmat.

"Betul, Pak," senyum Wawan.

"Pak Wawan ini sebagai siapa, ya?"

"Saya peneliti datanya, Pak. Jadi memang, Pak Herman sebagai pengumpul data dari lokasi, dan Bu Sharla sebagai pengumpul data dari warga sekitar."

"Oh, begitu, begitu."

"Iya, Pak. Memang Pak Herman sendiri biasanya mengandalkan Bu Sharla dalam perihal data lokasi dan warga. Tapi baik Pak Herman maupun Bu Sharla tidak boleh menyimpulkan data-datanya begitu saja, Pak. Biasanya harus dikonfirmasi terdahulu oleh saya, baru boleh dilaporkan," bohong Wawan. Kini ia yang merasa super-pintar.

"Oh? Jadi apa yang tadi dibicarakan oleh Bu Sharla?"

"Itu data-data yang boleh diungkapkan, Pak, karena data-datanya konkret. Tertangkap oleh kamera dan microphone. Untuk data-data yang ambigu, yang boleh menyimpulkan dan menyampaikan itu saya, Pak."

"Oh, begitu, Pak."

"Iya, benar, Pak. Biasa lah, Pak. Data yang ada bisa berhubungan dengan peraturan pemerintah. Nggak sekali dua kali kami berhasil merekam kejahatan atau hal-hal ilegal terjadi di lokasi klien-klien kami. Kalau urusannya sudah menyinggung masalah legalitas maupun kriminalitas, hal tersebut sudah di luar kuasa Pak Herman dan Bu Sharla."

Rahmat diam. Ia menatap tajam mata Wawan. Satu titik keringat dingin muncul di lehernya.

"Sangat disayangkan, Pak Rahmat, ternyata rumah yang sedari tadi kita bicarakan ternyata menyinggung unsur kriminalitas. Saya mendeteksi adanya warga yang melakukan transaksi barang-barang terlarang, yang mungkin Pak Rahmat sendiri tidak ketahui."

Rahmat masih diam mendengarkan. Tetes keringat dingin kedua muncul di keningnya.

"Berdasarkan peraturan yang disetujui oleh kami dan pemerintah yang berlaku, kami berkewajiban untuk melaporkan hal tersebut kepada Bapak."

"Hm. Begitu, ya, Pak. Tidak saya kira."

"Betul, Pak. Kami juga tidak mengira bahwa ada aktivitas kriminal yang luput dari pengawasan Bapak."

"Baik, terima kasih, Pak Wawan. Nanti akan saya—"

"Sebelumnya, Pak, perlu juga saya menegaskan bahwa... karena kami memegang data aktivitas kriminal, kami berkewajiban untuk mengemukakan data tersebut kepada pemerintah dalam waktu 1×24 jam dimulai dari besok."

Rahmat terpatung. Tetes keringat dinginnya berhenti muncul, digantikan dengan nadi-nadi di lehernya. Wawan dapat merasakan panas kepala Rahmat mulai menggerogoti diri Wawan. Wawan tersenyum dalam hati.

"Tapi, Pak, kami juga perlu menegaskan bahwa kami merupakan 'orang luar' di sini. Pak Rahmat jelas mempunyai hak dan kewajiban untuk melaporkan aktivitas yang terjadi di wilayah Bapak secara mandiri."

"Begitu?"

"Betul, Pak. Tapi, yah, memang ada banyak peraturan yang sebelumnya harus Bapak ketahui dalam perihal pemindahan pertanggungjawaban data-data aktivitas kriminal yang kami pegang."

Rahmat mendeham, "Apa ada yang bisa saya bantu, Pak Wawan, dalam masalah ini?"

Wawan tersenyum lebar dalam hati. Ia melanjutkan, "Tenang, Pak. Bapak tidak perlu melakukan apa-apa. Hanya saja, dalam perihal pemindahan pertanggungjawaban ini, ada biaya-biaya tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah. Memang, biaya-biaya tersebut tidak menjadi tanggungan Bapak, tapi—"

Rahmat memotong, "Kalau sudah masalah kriminal seperti itu, saya juga merasa bertanggung jawab, Pak Wawan. Saya akan bantu Pak Wawan. Sekalian, sebagai tanda terima kasih atas jasa yang telah disediakan Anda-Anda sekalian."

Jikalah Wawan menjadikan tawa dalam hatinya menjadi tawa sungguhan, maka sandiwaranya akan rusak dan ia akan berada dalam bahaya. Untungnya, Wawan dapat mengendalikan dirinya.

Wawan melanjutkan, "Baik, Pak. Terima kasih. Saya akan urus perihal pemindahan pertanggungjawabannya. Bapak tak perlu mengkhawatirkan apa-apa. Berarti, Pak, dalam waktu 1×24 jam dari besok, urusan dengan pemerintah setempat akan dipindahtangankan kepada Bapak. Bapak juga tak perlu mengkhawatirkan data-data aktivitas kriminal yang terjadi di rumah tersebut. Kalau masalah persuratannya sudah selesai, data-data tersebut akan kami hapus. Kami juga akan melepas tangan kami dalam masalah aktivitas kriminal di kampung Bapak. Jelas, Pak, hal tersebut adalah tanggung jawab Bapak sebagai ketua RT di kampung ini."

Rahmat tersenyum, "Baik, Pak. Terima kasih. Boleh saya minta ceknya lagi?"

Wawan tersenyum dalam gelora kemenangan, "Silakan, Pak."

Rahmat dengan cepat menulis hal-hal yang perlu ia tulis pada cek tersebut, dan menandatanganinya. Lalu ia serahkan kepada Wawan, "Silakan, Pak Wawan."

"Terima kasih, Pak," ujar Wawan yang tak dapat menutupi rasa senangnya melihat uang sejumlah lima belas juta yang siap dicairkan. Ia kemudian mengakhiri permainannya, "Kalau begitu, saya permisi dulu ya, Pak."

"Silakan, silakan," ujar Rahmat dengan senyum lega.

[]

Continue Reading

You'll Also Like

307 128 4
BAGAS HARSA BRIWIJOYO Anak tunggal kaya raya, hidup adem ayem, baik hati, ganteng, rajin menabung, juga soleh... Amin
320 56 16
Kisah seorang pemuda, Mulai dari SMP, SMA, bahkan sampai ke jenjang kuliah, menceritakan kisah percintaannya, perjuangan nya, jatuh bangun nya, asam...
73.5K 14.4K 200
Author: I Fix Air-Conditioner [Chapter 401 - 600] Mobil jenazah dengan bau aneh melambat hingga berhenti di depan pintu masuk. Suara kerikil bisa ter...
14.8K 301 12
Yang lagi butuh Cover wattpad. Tapi bingung cara buat nya, bingung juga Order nya di mana? Yuk lah di sini aja Akun WP resmi Ai_graphic ig : Ai_g...