DELUSIONS

By tanindamey

5.4K 1.5K 1.5K

Bagaimana rasanya memiliki suatu cela dalam hidup? Diasingkan, diacuhkan, ditindas, serbuan kalimat pedas. Ta... More

Prolog
Chapter 1- Pembendung
Chapter 2- Lilin lebah mencekam
Chapter 3 - Diluar terkaan
Chapter 4 - Menikam dipenghujung
Chapter 5 - Bunga tidur
Chapter 6 - Teror malam
Chapter 7- Goresan Luka
Chapter 8 - Kepelikan seseorang
Chapter 9-Tuturan Menyayat Hati
Chapter 10-Tumpahan Air Mata
Chapter 11 - Terjebak dalam Gulita
Chapter 12 - Ancaman
Chapter 13 - Gamang
Chapter 14 - Dekapan
Chapter 16 - Tak Kuasa
Chapter 17 - Terungkap
Chapter 18 - Cela
Chapter 19 - Kelam
Chapter 20 - Sukar
Chapter 21 - Langka
Chapter 22 - Terjaga
Chapter 23 - Berbeda
Chapter 24 - Cendala
Chapter 25 - Berdebar
Chapter 26 - Jengah
Chapter 27 - Terlambat
Chapter 28 - Mulai Meragu
Chapter 29 - Terbelenggu
Chapter 30 - Bertekad
Chapter 31 - Pasrah
Chapter 32 - Kegetiran
Chapter 33 - Pengakuan
Chapter 34 - Jawaban
Chapter 35 - Telah Padu
Chapter 36 - Meradang
Chapter 37 - Kembali Melukai
Chapter 38 - Memerangi
Chapter 39 - Terdesak
Chapter 40 - Suatu Cela
Chapter 41 - Telah Renggang
Chapter 42 - Delusi
Chapter 43 - Kilah
Chapter 44 - Kalut
Chapter 45 - Berlaga [Ending]
Epilog

Chapter 15 - Sebuah Amaran

104 39 33
By tanindamey

Sebuah Amaran

"Jangan pernah kehilangan harapan." Bu Naya

"Gue nggak akan minta lo pergi dari gue," kata Stevlanka dengan tersenyum. "Gue mau mengizinkan lo untuk terus di samping gue."

Ardanu ikut tersenyum mendengarkan kalimat itu, tangannya perlahan membalas pelukan Stevlanka. Tidak tahu kenapa Ardanu merasa jantungnya berdegup dengan sangat kencang. Dan bagaimana mungkin Stevlanka bisa setenang itu? Mereka berdua memejamkan matanya cukup lama merasakan kehangatan yang Ada. Tanpa kata, tanpa suara.

Ardanu melebarkan matanya setelah melihat tepat di ambang pintu. Mulutnya menganga. Darahnya berdesir hingga ke kepalanya.

"Vla," ujar Ardanu yang terdengar oleh Stevlanka. Karena mendengar ucapan itu, Stevlanka membuka matanya yang semula terpejam.

"Apa?" Stevlanka menguraikan pelukannya. Stevlanka mengerutkan dahinya, ia mengikuti arah pandangan Ardanu. Setelah Stevlanka mengalihkan pandangannya ke arah sana, wajahnya memerah seketika. Matanya terbelalak sama seperti Ardanu. Bu Naya, Cantika, dan Bara terdiam di ambang pintu. Bara membekap mulutnya dengan mata yang melebar. Cantika tidak jauh sama seperti Bara. Bedanya Cantika memeluk pintu karena ia yang berada di depan. Sementara Bu Naya berada di belakang sendiri memasang wajah masam.

Bara melesat masuk. "Kalian—" ujar Bara menggantungkan kalimatnya.

Stevlanka menjauhkan dirinya dari Ardanu. Berdeham kecil menutupi kegugupannya. Karena terlalu salang tingkah tangannya terulur membenarkan tutup gelas yang berisi air putih. Cantika dan Bu Naya tertawa melihatnya.

"Seharusnya kita ketuk pintu dulu tadi, Can, Bar," kata Bu Naya tersenyum.

Wajah Stevlanka semakin memerah. Ardanu masih bisa mengendalikan dirinya. "Bu Naya apa kabar?" Pertanyaan itulah yang keluar dari bibirnya.

"Heh, seharusnya kita yang tanya gitu, pinter!" sahut Bara.

"Astaga, lo nggak telat, kan, tadi?" Ardanu bertanya dengan suara seraknya.

"Gue hampir aja mau bunuh lo, Dan! Taunya lo lagi tiduran di sini." Wajahnya berubah iba.

"Gimana keadaan kamu?" tanya Bu Naya pada Ardanu. Cantika mendekati Stevlanka, meraih lengan Stevlanka, lalu mereka sama-sama tersenyum.

"Aman, Bu," jawab Ardanu.

"Syukurlah, kamu, Stevlanka?" Bu Naya mengalihkan pandangannya pada Stevlanka.

"Saya baik, Bu Naya." Ia lega karena kecanggungannya telah mereda.

"Dan, gue kaget banget waktu Stevlanka bilang ke gue tadi. Gimana ceritanya, sih?"

"Lo berantem, Dan?" Bara ikut menyahut.

Sebelum menjawab, Ardanu melirik Stevlanka sekilas. Gadis itu menggelengkan kepalanya. "Gue dibegal."

"Hah?" Bera dan Cantika serempak.

"Begal?" beo Cantika. "Pagi-pagi ada begal, ya?"

"Ini buktinya ada." Ardanu memegangi luka di perutnya.

"Terus Stevlanka kenapa bisa ada di sana?"

"Gue yang hubungi dia supaya nolong gue."

"Lo nggak angkat panggilan gue, tapi lo malah minta tolongnya ke Stevlanka, ya? Lo megap-megap aja masih sempetnya modus."

"Bara," sela Bu Naya.

"Sorry, Bar. Lo bukan prioritas gue," jawab Ardanu dengan wajah tengilnya. Hal itu membuat Bara meninju lengan Ardanu. Hingga laki-laki itu meringis.

Seelah kurang lebih ada tiga puluh menit, mereka semua masih berada di kamar inap Ardanu. Tetapi, karena Bu Naya harus kembali ke sekolah untuk kembali mengajar ia menuju ke sekolah terlebih dahulu. Sebenarnya tidak ada bedanya dengan Bara dan Cantika. Mereka juga harus kembali ke sekolah, tetapi dengan caranya menolak ajakan Bu Naya, Stevlanka tahu jika mereka akan memillih bolos. Dengan Alibi jika nanti akan menyusul.

Saat ini Stevlanka mengantarkan Bu Naya ke luar. Di sepanjang koridor rumah sakit, Stevlanka mencari kata-kata yang tepat untuk mencari informasi tentang Caya. Jika tanya langsung tentang alasan Caya ingin mengakhiri hidupnya akan terkesan lancang. Stevlanka terus mengigit bibirnya.

"Ada apa, Stevlanka?"

Stevlanka menoleh. Ia merasa tertangkap basah memikirkan sesuatu. Entah ini perasaan Stevlanka sendiri atau bagaimana, Stevlanka bisa merasakan tatapan Bu Naya berbeda di awal mereka bertemu. Beberpa kali Bu Naya bisa tahu apa yang Stevlanka pikirkan. Dan juga tatapan matanya yang menunjukkan kepedulian. Tetapi pemikiran itu terkadang lenyap begitu saja karena mungkin saja Stevlanka banyak berharap akan diberikan kepedulian orang lain.

"Tidak, Bu." Stevlanka tersenyum. "Oh, iya, seperti yang Bu Naya katakan waktu itu kalau Satya memang berbahaya. Dia kembali menganggu saya kemarin."

"Benarkah? Menganggumu seperti apa?" Wali kelasnya itu melebarkan mata.

"Tidak, dia tidak melakukan apa pun. Dia hanya sedikit mengganggu, setelah itu pergi karena Caya membantu saya," jawab Stevlanka.

"Caya? Ah, Caya memang sedikit keras anaknya," bibir wanita itu tersenyum.

"Dia baik, seperti Bu Naya."

"Kamu tahu dia putri saya?"

"Iya, saya tahu."

Meraka berdiri di depan lift, pintu itu terbuka setelah Stevlanka menombol lantai bawah. Mereka sama-sama diam setelah berada di dalam. Hingga Bu Naya kembali berkata, "Saya hampir kehilangan satu-satunya putri saya, Vla. Di kelas sepuluh dia hampir saja mengakhiri hidupnya."

Stevlanka memandang Bu Naya dari samping. Hanya ada mereka berdua di dalam lift itu. Stevlanka tidak menyangka Ia berhasil membuka topik pembicaraan masa lalu Caya. Ia tidak membalas ucapan Bu Naya. Sepertinya Bu Naya akan kembali mengatakan sesuatu sehingga Stevlanka memilih untuk mendengarkan saja.

"Saya tidak pernah tahu apa yang menyebabkan keinginan itu muncul. Saya ibunya sendiri tidak mengerti dengan pemikirannya. Saya selalu gagal mencari tahu apa yang ia rasakan." Tatapan Bu Naya kosong. "Yang saya tahu, saat kelas sepuluh ia hanya mengunci dirinya setelah pulang sekolah. Dan keesokan paginya ada beberapa luka kecil ditangannya. Ia selalu menghindar dari saya. Ada kurang lebih empat bulan dia seperti itu. Setelah menginjak akhir semester satu, dia berniat mengakhiri hidupnya."

Tidak salah lagi. Alasan Caya ingin mengakhiri hidupnya karena kisah cintanya yang tidak sehat. Stevlanka tidak percaya ini. Ia bisa melihat masa lalu seseorang. Bagaimana bisa Stevlanka memiliki penglihatan masa lalu itu?

"Saya tahu ketakutan di matanya begitu besar. Seperti luka yang ia pendam dan meledak saat tidak kuat lagi untuk menahan. Hati saya benar-benar hancur setelah melihat dia di turunkan dari jeratan tali. Ketika dia menjerit karena gagal mengakhiri hidupnya."

Mata Stevlanka berair. Tangannya mengepal, keinginannya untuk mencari berengsek itu semakin besar. Laki-laki itu menghancurkan mental Caya. Bersembunyi dengan rapi. Entah seperti apa wujud luar psikopat gila itu. Stevlanka memutar tubuhnya hingga sepenuhnya menghadap Bu Naya. Tangannya ia ulurkan di pundak Bu Naya.

"Saya sangat berterima kasih sama Alkar. Saya sangat berhutang budi dengannya," kata Bu Naya tersenyum tipis.

"Bu Naya sampai saat ini tidak tahu apa yang menjadi ketakutan Caya?" Stevlanka tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya.

"Tidak," jawab Bu Naya sambil menggeleng. "Setelah kejadian itu, ia kembali seperti semula. Ia memiliki harapan lagi untuk hidup. Meskipun terkadang saya menangkap basah air matanya yang turun tiba-tiba. Tetapi semuanya perlahan membaik. Kejadian itu yang membuat dia menjadi keras."

"Saya kembali bertanya apa yang terjadi dengan dirinya, dia hanya mengatakan ingin melupakan kejadian buruk itu. Sampai sekarang dia tidak ingin ditanya apa pun tentang masa lalunya."

Itu sebabnya dia marah sama gue, batin Stevlanka. Dari apa yang diceritakan Bu Naya, Stevlanka mendapatkan satu hal; Caya sudah tidak berbuhungan lagi dengan psikopat itu. Pintu lift terbuka menyadarkan lamuman Stevlanka. Mereka berdua melangkah keluar.

"Maaf, Vla. Saya jadi banyak bercerita." Bu Naya terkekeh.

"Tidak masalah, Bu Naya. Saya ikut senang jika Caya sudah memiliki harapan itu lagi. Harapan yang membuatnya hidup. Semoga ia tidak lagi kehilangan harapan itu."

Bu Naya tersenyum. Menyentuh pundak Stevlanka. "Terima kasih. Bagus jika kamu mengerti apa yang saya ceritakan. Kamu menyerapnya dengan baik, Stevlanka."

Stevlanka mengerjapkan matanya. "Maksudnya?"

"Jangan pernah kehilangan harapan." Bu Naya tersenyum sekali lagi, lalu melangkah pergi. Stevlanka kehilangan kata-kata. Melihat Bu Naya yang perlahan lenyap dari pandangannya.

Stevlanka kembali ke kamar inap Ardanu. Banyak orang yang menunggu di depan kamar inap pada koridor yang Stevlanka lalui. Wajah letih dengan kilatan keputusasaan, cemas dan ketakutan begitu jelas terlihat di wajah mereka. Stevlanka memperhatikan mereka semua. Baru beberapa jam yang lalu dirinya berada di posisi itu. Stevlanka sangat berterima kasih karena Tuhan menyelamatkan Ardanu. Stevlanka kembali merasakan hal yang mengerikan itu kembali setelah sepuluh tahun lamanya.

Stevlanka sesekali memiringkan tubuhnya karena berpapasan dengan orang yang berlalu-lalang. Tiba-tiba pikirannya kembali teringat pesan Bu Naya yang belum lama diucapkan. Stevlanka tidak tahu kenapa Bu Naya mengatakan itu.

Apa gue terlihat seperti kehilangan harapan? Apa yang membuat Bu Naya bilang itu?

Stevlanka semakin yakin jika Bu Naya memang berbeda. Ia membasahi bibirnya, menghembuskan napas panjang. Ketika sudah dekat dengan kamar inap Ardanu, ia melihat Stevlanka dan Bara yang keluar dari ruangan Ardanu.

"Kalian udah mau balik?" tanya Stevlanka setelah di hadapan Bara dan Cantika.

"Iya, Vla. Masih ada satu mapel lagi. Ntar kalau balik pas pulang Bu Naya bisa ngamuk." Cantik menjawab. "Lo masih mau di sini, kan?"

"Iya." Stevlanka mengangguk.

"Eh, Vla. Hati-hati dimodusin Ardanu. Tadi aja lo udah dipeluk-peluk gitu," bisik Bara sambil cengar-cengir. Bara tidak tahu bukan Ardanu yang memeluk pertama kali, tetapi Stevlanka. Stevlanka kembali mengingat kejadian tadi.

Cantika meninju lengan Bara. "Lo mending ambil mobil gue, deh. Ntar gue nyusul. Gue mau ngomong bentar sama Vla." Ia menarik tangan Bara, memberikan kunci mobil. Laki-laki itu menatapnya sinis. Lalu, pergi meninggalkan Stevlanka dan Cantika.

"Vla, gue tahu itu bukan begal, kan? Ada apa sebenernya?" tanya Cantika. "Gue merhatiin Ardanu yang melirik lo sebelum jawab pertanyaan Bara tadi."

Cantika ternyata cukup memperhatikan, dan Stevlanka tidak mengetahui itu. Tidak mungkin ia menceritakan keadaan yang sesungguhnya. Stevlanka tidak bermaksud tidak mempercayai Cantika, tetapi ini tentang masa lalu seseorang.

"Lo nggak bisa cerita?"

"Can .... " Stevlanka menggantungkan kalimatnya.

"Lo nggak percaya sama gue?"

"Bukan gitu, tapi gue belum bisa cerita sekarang."

Cantika menghela napas kecewa. Tetapi ia berhasil menyamarkan dengan senyumannya. "Okelah, nggak papa. Kalau lo udah siap aja."

Stevlanka mengangguk.

"Gue balik, ya?"

"Can, sebentar. Gue mau nanya."

"Apa?"

"Orang tua Ardanu masih ada, kan?"

"Orang tua Ardanu udah meninggal karena kecelakaan. Sepuluh tahun yang lalu nyokapnya, terus beberapa tahun kemudian Bokapnya juga kecelakaan. Makanya dia tinggal di apartemen. Hidupnya ditanggung sama temen bokapnya. Tapi semua biaya hidupnya ya pakai warisan dari bokapnya itu."

Stevlanka mengangguk saja. "Lo udah lama temenan sama Ardanu, ya?"

"Temen SMP, Vla. Makanya gue tahu." Cantika menyipitkan matanya. "Lo makin kepo sama Ardanu, ih. Lo beneran udah mulai suka, ya?"

"Jangan mulai, gue cuma tanya aja."

Cantika tertawa. Poselnya yang bergetar menghentikan tawanya. Nama Bara yang muncul di layar. Ia mengangkat beda itu ditunjukkan pada Stevlanka. "Ini bocah udah nunggu kayaknya. Gue balik, ya? Lo jangan lupa istirahat. Ntar gara-gara bucin Ardanu sampai-sampai lupa sama diri sendiri." Stelah mengatakannya Cantik belari sambil tertawa. Stevlanka belum sempat mengatakan apa pun, dan ia hanya bisa tertawa pelan.

Stevlanka memutar tubuhnya memasuki ruangan Ardanu. Laki-laki itu sudah terbaring kembali dengan mata yang terpejam. Ia mendekati Ardanu, lalu duduk di kursi samping ranjang Ardanu. Wajahnya tidak sepucat tadi pagi. Stevlanka tersenyum lega.

Stevlanka melihat beberapa buah pemberian Cantika, Bara dan Bu Naya ada di atas nakas. Stevlanka berdiri mengupas buah apel, ia berniat memberikannya pada Ardanu setelah laki-laki itu terbangun nanti. Tanpa sepengetahuan Stevlanka, Ardanu mengerjapkan matanya, pandangannya tertuju pada seseorang yang sedang sibuk mengupas buah apel. Ia tersenyum memandangnya.

Gue merasa begitu dekat sama lo, Vla.

Stevlanka mengupas dua buah apel. Ia meletakkan potongannya di piring kecil. Ia menoleh pada Ardanu, seketika matanya melebar. "Kok bangun? Jadi, lo nggak tidur?"

Ardanu menggeleng sambil tersenyum. Stevlanka hanya berdecak. Ardanu bergerak ingin bangun, dengan cepat Stevlanka membantunya. "Tidur aja seharusnya, Dan."

"Gue mau makan buah apel yang lo kupas."

Stevlanka memandang potongan bu apel di atas nakas. Meraihnya, lalu diberikan pada Ardanu. Stevlanka kembali duduk di kursinya.

"Kenapa?" tanya Stevlanka ketika melihat Ardanu hanya menunduk melihat buah di tangannya itu.

"Lo nyuruh gue makan sendiri?"

"Ya ... gimana?"

"Suapinlah."

Stevlanka terdiam sejenak. "Tangan lo, kan, nggak sakit."

"Gue masih lemes nih, suapin, ya?" rengek Ardanu manja. Stevlanka menatap dingin Ardanu.

"Lo tadi bilang baik-baik aja waktu ditanya sama Bu Naya. Lo juga maksa buat duduk, kenapa makan aja nggak bisa?"

Ardanu menipiskan bibirnya. Ia memperlihatkan wajah kesalnya. Mengambil potongan buah dengan tatapan yang masih ke arah Stevlanka. Gerakan mengunyahnya penuh dengan penekanan. Stevlanka ingin tertawa, tetapi ia tahan.

Ardanu berpaling. "Gue tadi minta peluk aja lo kasih, masa gini aja enggak?"

Kenapa harus dibahas lagi, sih? Stevlanka melipat bibirnya ke dalam. Kejadian tadi kembali membuat suhu tubuhnya memanas.

"Vla?" Stevlanka menoleh. "Lo sadar, nggak, sih, kalau lo seneng banget meluk gue, tapi lo nggak mau mengakui?"

Sungguh, Stevlanka ingin membungkap mulut Ardanu.

"Gue jadi pengin pulang," ujar Stevlanka.

Ardanu melebarkan matanya, dengan cepat ia berseru, "Wah, apelnya enak banget, sumpah!" Ia memasukkan beberapa potong ke mulutnya. "Lo mau, Vla?"

Stevlanka memandang tangan Ardanu yang mengulurkan potongan buah. "Lo belum makan dari tadi, lo harus makan."

Stevlanka terdiam sejenak, lalu ia mengambil buah di tangan Ardanu. Namun, laki-laki itu menjauhkannya. Hingga kedua kali Ardanu melakukan itu sehingga memunculkan tatapan dingin Stevlanka.

"Gue bisa makan sendiri."

Ardanu tetap tidak menurunkan tangannya. Sehingga terpaksa Stevlanka memajukan tubuhnya menerima suapan Ardanu. Laki-laki itu tersenyum lebar.

Stevlanka mengurungkan niatnya untuk membahas tentang orang yang melukai Ardanu. Laki-laki itu tersenyum lebar sambil terus menyuapkan buah apel pada Stevlanka. Ia sedang terluka, namun masih saja memikirkan Stevlanka. Gadis itu semakin merasa bersalah.

"Ini sebenernya yang sakit siapa? Kok jadi gue yang nyuapin lo, sih?"

Stevlanka tersenyum tanpa sadar. Ia mengambil sisa apel—hanya satu potong yang ada—Ia menyuapkan pada Ardanu. Laki-laki itu awalnya terdiam sejenak. Kemudian, senyuman muncul di bibirnya.

Ardanu sangat senang karena Stevlanka mau menyuapinya. Ketika melihat piringnya sudah kosong, kebahagiaan di wajahnya perlahan memudar. Ia menoleh Stevlanka, tersenyum kaku. "Udah habis."

"Iya, udah habis," balas Stevlanka dengan wajah datarnya. "Lo istirahat sekarang."

Stevlanka berdiri, mengambil piring yang dibawa Ardanu untuk diletakkan di atas nakas. Gadis itu membantu Ardanu kembali berbaring.

"Lo juga harus pulang, Vla. Istirahat. Gue nggak papa, kok, sendirian. Nanti ada yang jagain gue."

"Siapa? Nanti kalau dia datang ke sini gimana?"

"Ada Om gue. Lo tenang aja."

Stevlanka terdiam menatap Ardanu.

"Pulang, ya? Lo pasti capek."

Stevlanka kembali duduk, tersenyum pada Ardanu.

"Vla ...."

"Gue balik setelah lo tidur."

Ardanu ingin berteriak, ingin juga menahan senyum di bibirnya. Namun, laki-laki itu tidak mampu. Ia melipat bibirnya menahan senyumnya. Mengalihkan pandangan dari Stevlanka.

"Lo pinter banget bikin gue deg-degan," gumam Ardanu sambil memejaman matanya.

Diam-diam Stevlanka juga tersenyum.

*****

"Dari mana kamu, Vla?" todong Ayah Stevlanka ketika putrinya berjalan melewati ruang tamu. Stevlanka hanya melirik saja, ia terus melangkahkan kakinya tanpa membalas apa pun.

"Ardanu lagi?"

Stevlanka menghentikan langkahnya. Ia menghela napas sebelum memutar tubuhnya menghadap ke Ayahnya. Ayahnya mendekati Stevlanka, lalu berkata, "Ayah akan menyuruhmu menjauhi anak itu kalau kamu seperti ini."

"Bukannya Ayah bilang kalau Ayah membiarkan Vla melakukan apa yang Vla mau? Kenapa sekarang jadi ngasih Vla batasan?" tanyanya tanpa berekspresi. "Memangnya Ayah tahu batasan kalau bicara yang menyakitkan tentang Vla?"

Ayah Stevlanka kehilangan kata-kata. Ia terbungkam. Memandang putrinya yang menginjak anak tangga untuk menuju ke kamar. Ketika sudah berada di lantai atas, Stevlanka melihat Ayahnya dari balkon. Hubungan keduanya semakin jauh. Namun, Ayahnya justru menyalahkan orang lain. Stevlanka benar-benar tidak mengerti lagi.

Vla, nggak pengin benci Ayah. Tapi seakan-akan Ayah sendiri yang terus memaksa Vla untuk membenci Ayah.

*****

Thanks for reading guys!!

Jangan lupa vote, komen, dan juga share ke temen-temen kalian, oke?
I'll do my best.

Tanindamey
Sabtu, 1 Agustus 2020
Revisi:  Selasa, 24 agustus 2021

Continue Reading

You'll Also Like

100K 13.8K 22
Sang Tiran tampan dikhianati oleh Pujaan hatinya sendiri. Dia dibunuh oleh suami dari kekasihnya secara tak terduga. Sementara itu di sisi lain, dal...
1.1M 82.8K 35
Apa yang kamu lakukan jika mengulang waktu kembali? Tabitha Veronika Miller sosok gadis yang diberi kesempatan untuk mengulang waktu kembali, kematia...
136K 12.7K 36
Teman SMA nya yang memiliki wangi feromon buah persik, Arion bertemu dengan Harris dan terus menggangunya hingga ia lulus SMA. Bertahun tahun tak ter...
138K 329 13
21+++ Mengandung unsur kekerasan sexual dan pornografi. Ga suka? Skip. Plagiat menjauh! Tentang Cesa yang menikah dengan seorang pria kaya. Bukannya...