A Home Without Walls

By pratiwikim

6.4K 788 1.3K

[ON GOING] Menurut pemikiran dangkal Jinan, ia dapat menyimpulkan bahwasannya Kim Taehyung itu serupa dengan... More

prologue : swallowed in the sea
a. through the dusk
b. fall for anything
c. no sound without silent
d. for the first time
e. broken arrow
f. equlibrium, exit wounds
h. up in flame
i. splintered

g. warning sign

518 57 122
By pratiwikim

[sensitive content]

•••

Gemerisik daun yang tertimpa sinar mentari terdengar menggema dalam telinga, berputar-putar sebentar sebelum jatuh menghampiri permukaan tanah yang lembap akibat guyuran hujan yang singgah beberapa saat lalu. Sejemang di sana, Yoongi menyemburkan napas, mengetatkan cengkraman pada setir kemudi yang sesekali diketuk menggunakan ujung jemari. Aroma petrikor sayup-sayup sambangi penghidu, bersama resin dan juga buket mawar merah yang tergeletak di jok belakang.

Hari ini Seulhee mengundangnya untuk datang ke acara jamuan makan siang, terkesan mendadak sebab Yoongi baru saja dikabari sesaat setelah dirinya mengikuti agenda rapat yang membahas tentang rancangan investasi dari para penanam saham di perusahaan. Memastikan tak ada satu pun barang yang tertinggal di atas meja kerja serta lembaran dokumen yang telah tersisip rapi di dalam tas hitam miliknya, Yoongi pun bergegas meminta izin kepada kepala pimpinan untuk pulang lebih awal-sekitar lima belas menit sebelum jam makan siang dimulai.

Setelan kemeja bergaris rapat yang dimasukkan ke dalam celana bahan hitam tampak mengecap tubuhnya begitu apik, terlebih ketika dipadupadankan dengan sabuk kulit senada dan juga jam tangan yang melingkar di salah satu lengan. Yoongi memelankan laju kendaraan tatkala melihat seorang bocah lelaki melangkah tergesa di sisi jalan, menarik rantai besi berkarat yang terhubung langsung dengan anjing kecil berjenis pomeranian. Ia sempat tergerak hatinya untuk menepi, sekadar memberi nasihat agar tidak memerlakukan binatang secara serampangan. Akan tetapi, sedetik setelah Yoongi berhasil menginjak pedal rem, ia bisa melihat bagaimana bocah itu mendelik ke arahnya, menggeram tertahan lantas berlari tunggang-langgang.

Yoongi memijat pangkal hidungnya menggunakan dua ruas jari, merasakan pening yang sekonyong-konyong menghantam belakang kepala. Meneguk air yang terkemas di dalam botol hingga seperempat dari isinya tandas menuju lambung, ia segera melanjutkan perjalanan yang sempat tertunda, membunuh sergapan geming dengan lantunan lagu-lagu lawas yang masih menjadi favoritnya.

Manakala mobil yang dikendarai menemui pertigaan, pria tersebut lekas memutar kemudi ke arah kiri, menyisir satu per satu rumah sembari matanya yang bergerak menelisik. Yoongi memiliki memori jangka pendek yang sering kali membuatnya lupa, mulai dari hal kecil seperti di mana ia meletakkan dasi dan kaos kaki, hingga hal besar mengenai serangkaian kejadian yang terjadi. Untuk sekarang, Yoongi tidak bisa menjabarkannya secara detail, terlalu rumit dan mengakar dalam.

Lonceng angin yang menggantung di langit teras menjadi penanda bagi Yoongi untuk segera menghentikan laju sedan miliknya, seulas senyum semringah hadir berikut perasaan hangat yang mendebarkan kalbu. Namun, hal tersebut tidak bertahan lama, sudut bibirnya kembali tertarik turun bersamaan dengan embus napas pendek yang lolos dari rongga mulut.

Ada seorang tamu yang tidak diharapkan kehadirannya.

"Segera pulang jika kau tidak ingin dipermalukan." Yoongi turun tanpa menunda-nunda, mengetatkan cengkraman pada buket mawar yang terselip dalam genggaman tangan. Sesuatu yang bersarang di dada Yoongi secara spontan bergemuruh hebat, bukan dalam artian terpesona apalagi jatuh cinta. Ia telah menyimpan begitu banyak dendam pada sosok angkuh di seberang sana yang kini malah menuai senyum tipis dan kekehan geli. Berusaha untuk tidak memancing keributan, Yoongi melanjutkan dengan satu tarikan napas, "Kau tidak pantas berada di sini, tempat ini terlalu suci untuk orang munafik dan penuh dosa sepertimu."

Sayangnya, ultimatum tersebut hanyalah sebatas angin belaka di telinga Taehyung, ia justru semakin gencar mengudarakan tawa yang terkesan dibuat-buat, sedikit memiringkan tubuh agar bisa berhadapan langsung dengan lawan bicara. "Benar-benar sandiwara yang indah." Taehyung menjeda usai mendapati Yoongi menegang dalam diamnya yang congkak. "Kau menyebutku munafik tanpa sadar bahwa kau jauh lebih munafik dariku. Insiden itu ... kau menikmatinya 'kan, Kak?"

"Jaga mulutmu, Kim Taehyung!"

"Ups, maaf." Ia mengendikkan bahu tak acuh, melipat tangan di atas dada sembari menyandarkan punggung pada relapnya Maybach Exelero. "Tapi, pada kenyataannya memang begitu, 'kan?"

Yoongi menatap sengit, menggertakkan rahang hingga kedua sisi giginya bertubrukan. Berusaha menahan diri agar tidak tersulut emosi, ia lekas mengatup rapat kelopak matanya, mulai menghitung angka satu hingga sepuluh secara berulang yang semerta-merta diiringi oleh entakkan ujung pantofel di permukaan tanah. Sementara itu, Taehyung menggaruk pelipis, merasa tergelitik oleh kegiatan monoton yang kerap dilakukan Yoongi ketika dirinya kambuh.

"Mestinya kau tidak menolak uang pemberianku, Kak. Kau bisa menggunakannya untuk berfoya-foya dan juga mengobati penyakit tololmu itu."

Sepersekian sekon setelahnya, katup elastis Yoongi tersingkap, menampilkan sepasang iris hazel yang mengilat terbakar kucuran amarah. Ia tidak bisa menahannya lagi, keparat itu sedang berlaku tidak sopan padanya, menginjak-injak harga diri yang lekat bersama setumpuk kotoran beraroma busuk. Bersiap melangkah dan layangkan tamparan telak di pipi Taehyung, sosok tersebut nyatanya lebih dulu mengaduh sembari mengusap pucuk kepala yang terkena lemparan kacang kenari. Yoongi menoleh ke segala arah, fokusnya kemudian terpaku pada seorang pemuda dengan balutan kemeja kasual yang baru saja bangkit dari ayunan lapuk, berjalan gontai dengan permen karet yang terus dikunyah kendati sari manisnya telah habis dan sisakan tawar.

"Maaf mengganggu pertengkaran kalian berdua. Itu cukup menyenangkan. Hanya saja, waktu yang tersisa tidaklah banyak." Struktur wajahnya nyaris sempurna; hidung tinggi dan labium merah menggoda. "Cepat masuk ke dalam jika tidak ingin Bibi Kim mengorek bola mata kalian menggunakan garpu rumput."

Beberapa detik terlewati dengan keheningan, baik Taehyung pun Yoongi, mereka sama-sama memandang heran pada sosok remaja yang datang menginterupsi tanpa kata permisi. Ia tampak menelengkan kepala sesaat setelah tak menemukan respon atas kalimatnya. Untuk itu, ia berinisiatif mengulurkan satu tangan ke depan; bermaksud berkenalan. "Jay, pria paling tampan di dunia-bahkan melebihi kalian berdua."

Namun sialnya, keheningan tersebut masih berlanjut.

Jay bisa merasakan pipinya menghangat, menahan luapan perasaan malu yang membabat habis kadar kepercayaan di dalam tubuh. Taehyung tertawa kecil alih-alih menyambut uluran tangannya, merotasikan bola mata yang entah mengapa terkesan amat sangat menyebalkan. Nyaris menurunkan tangan, berlari terbirit dan mengambil selembar karung goni yang kerap digunakan sang bibi menampung puluhan kilo sampah plastik lantas menyembunyikan wajah yang telah merah padam ini, Jay malah dibuat termangu usai pria beriris sabit itu merekatkan telapak tangan pada miliknya, mengucap sebuah nama yang terus menggema di dalam kepala.

Mengabaikan Taehyung yang tengah menatap lekat dari ujung kepala hingga ujung kaki, Jay menggerakan tautan tangannya beberapa kali. "Jadi, Kak Yoongi-"

Belum sempat pemuda itu menyelesaikan kalimatnya, tahu-tahu saja Seulhee telah berdiri di ambang pintu, berkacak pinggang dengan seraut ekspresi sebal. Namun tatkala retinanya menangkap sang tamu kesayangan telah hadir di pekarangan rumah, ia buru-buru menggantinya dengan lengkungan lebar di kedua sudut bibir, "Jay, Yoongi, cepat masuk." Bagai kerbau yang dicucuk lubang hidungnya, kedua insan tersebut berjalan melewati Seulhee, meninggalkan Taehyung yang masih bergeming di sisi mobil mahalnya. Wanita paruh baya itu menghela napas panjang, menjungkitkan satu alis ke atas sembari menilai sosok asing di hadapan sana. Seulhee mendekat perlahan, menoreh senyum lebar hingga kedua matanya tenggelam dalam kerutan usia yang tampil di sekitaran dahi dan tulang pipi. "Kim Taehyung, bukan? Mari masuk, Bibi telah menyiapkan hidangan spesial untukmu."

Taehyung tersenyum kikuk tatkala merasakan lengan Seulhee melingkar di perpotongan pinggangnya. Ia tahu bahwa perlakuan semacam ini sangatlah wajar-sebatas sambutan hangat dari seseorang yang lebih tua kepada yang lebih muda. Namun, tetap saja perasaan itu mengusik dada dan kepala.

Melangkah lebih jauh ke dalam rumah yang sempat disinggahinya beberapa pekan silam, Taehyung dapat menjumpai berbagai furnitur yang didominasi oleh kayu; baik berbahan dasar jati maupun mahoni. Semuanya benar-benar memanjakan mata, terlebih ketika aroma khas yang dihasilkan berdifusi dengan harum pinus, menari-nari di rongga hidung yang sebabkan Taehyung terus-menerus mengambil napas.

Sosok Jinan tertangkap penglihatan tengah sibuk menata lima buah piring keramik di atas meja, menempatkan gelas berjumlah sama yang kemudian diisi oleh limun menyegarkan. Ia baru tersadar setelah Seulhee menepuk pundaknya sebanyak dua kali-nyaris menjatuhkan teko apabila tidak memegangnya erat di bagian tangkai. Balutan dress ketat berlengan pendek serta lipstik merah bata tampak membuat gadis itu semakin menawan, Taehyung bahkan harus mengerjapkan matanya berulang kali untuk menarik segenap kesadaran yang terbang ke awang-gemawang.

"Hai, Tae. Terima kasih telah datang memenuhi undangan yang Mama berikan." Sepasang kaki jenjang yang terlihat proposional itu mengentak ringan, sempat menolehkan kepala pada Yoongi yang sedang layangkan tatapan penuh selidik sebelum mengabaikannya dan memilih berjalan menjauh dari ruang makan. Taehyung mengekor beberapa langkah di belakang, menyisipkan jemari pada saku celana sebelum tiba di balik pilar kembar yang menyangga langit-langit plafon. Jemari Jinan bertaut gelisah, coba memikirkan kalimat macam apa yang kiranya patut dimuntahkan. Sejenak membasahi bibir, ia berujar apa adanya, "Sebenarnya, ada sesuatu yang ingin kukembalikan. Kau meninggalkan benda ini di dalam kantong belanjaanku. Aku sempat menyimpannya di bawah bantal, tetapi Mama menemukannya ketika dia hendak menyuci seprai milikku."

Kening Taehyung mengernyit, ingin ajukan sebuah pertanyaan tetapi Jinan lebih dulu menyambar-peduli setan dengan rasa malu, satu tangannya telah bergerak menarik laci nakas dan sodorkan sekotak alat kontrasepsi di hadapan si lelaki. "Mama bahkan hampir memukulku dengan peralatan dapur jika aku tidak mengatakan yang sebenarnya." Iris Taehyung melebar, sedikit terperangah namun tetap menjejalkan benda itu ke dalam saku celana. Jinan berdeham, melancarkan kerongkongannya yang tiba-tiba saja tercekat. "Beruntung Mama percaya padaku, tapi sebagai gantinya, aku harus mengundangmu kemari untuk jamuan makan siang. Dan, ya, seperti yang kau lihat sekarang."

Terlepas dari kecerobohannya yang meninggalkan sekotak kondom di kantong belanjaan seorang gadis perawan, Taehyung tetap tidak memungkiri bahwa ibu Jinan menyambutnya dengan kehangatan yang luar biasa. "Tapi sepertinya, beliau tidak terlihat marah saat bertemu denganku."

Obsidian Jinan bergulir gusar, tak tentu arah dan tak menetap, ia terlalu takut untuk mematri atensi pada Taehyung yang kini mulai menghapus jarak. Ia benar-benar mengutuk ketampanan tersebut yang sukses buat dirinya terpesona untuk yang kesekian kali. Menahan napas di pangkal tenggorokan, Jinan berkata, "Jangan besar kepala, Mama memang seperti itu pada orang-orang yang baru ditemuinya. Bersikap baiklah di meja makan nanti jika tidak ingin mendapatkan cap buruk."

Taehyung mengangguk-angguk ringan, tak sepenuhnya menyetujui sebab ia akan bersikap tergantung dengan suasana hati. Jemari panjangnya mengusap lembut belah pipi si gadis, melontar tawa pelan ketika mendapati semburat merah jambu timbul dengan sendirinya. Jinan ingin menolak-apalagi ketika mengingat Yoongi, Seulhee, dan sepupu badungnya ada di rumah ini. Namun, apa daya kala hatinya berontak, menikmati sentuhan itu sembari kelopak matanya yang memejam; terbuai, terlena serta larut bersama suasana syahdu yang tercipta. Baik Jinan pun Taehyung, mereka sama-sama hanyut dalam kegiatan tersebut hingga tak menyadari ada entitas seorang manusia yang mengintip dengan hati tercubit.

Olahan daging domba tersaji di atas piring, dibakar setengah matang lalu disiram oleh saus kental yang kaya akan rempah. Seulhee menarik kursi untuknya, duduk di samping Taehyung sementara tiga lainnya berada di bagian seberang. Ia tersenyum kecil, menatap bergantian sebelum menyatukan kedua tangan di atas meja. "Sebelum memulai acara ini, ada baiknya kita berdoa terlebih dahulu." Nadanya benar-benar terkesan mengayomi—keibuan dengan sorot mata tenang yang terpancar acap kali ia berbicara.

Manakala usai dengan rapalan doa singkat tersebut, Seulhee lekas mengambil pisau dan garpu di sisi kiri piring. "Ji, tolong bantu iriskan steak milik Yoongi. Dan untukmu, biar Bibi yang melakukannya." Ia menoleh ke arah Taehyung, memaksa sudut bibirnya membentuk segaris senyuman. "Tamu di rumah ini harus diperlakukan spesial."

Agaknya, satu orang yang duduk tersisih dari lingkar kehangatan tersebut merasa jengkel, bola matanya terus berkelana, sedang labium tipisnya mencebik sebal. Bukankah Jay juga tamu di sini? Tapi, kenapa dia tidak diperlakukan spesial? Dia bahkan harus memotong daging dombanya seorang diri, sedikit kesulitan yang mana berakhir pada dentingan pisau yang jatuh menemui permukaan piring. Ia meringis setelahnya, bersiap menjemput serangkaian omelan dari sang bibi. Akan tetapi, alih-alih mendengar lengkingan yang terbetik seperti induk kambing melahirkan, Jay justru mendapati Yoongi mengambil alih peralatan makannya, bantu mengiris dengan penuh ketelatenan.

"Nah, sudah. Makan yang banyak, ya." Si Min itu tersenyum, menepuk pelan bahu Jay beberapa kali guna menyadarkannya dari lamunan yang nyaris bercampur dengan tetesan liur.

Tak ada satu pun bait konversasi yang menyeruak usai irisan pertama daging legit tersebut masuk ke dalam mulut, tercabik oleh gigi seri dan terkunyah oleh geraham. Jinan meletakkan pisaunya sepelan mungkin, berusaha tidak menimbulkan suara yang sebabkan runtuhnya atap khusyuk yang menaungi mereka. Namun, lirikan Taehyung di seberang sana cukup membuat gadis itu kehilangan fokus, buru-buru menempatkan tepian gelas di pucuk ranumnya lantas menenggak limun sebanyak tiga tegukan sebelum mengakhiri dengan hela napas pendek.

Bagaimana bisa tatapan sekecil itu mengalihkan dunianya?

Jinan tak lekas berkutat kembali dengan makanan miliknya yang mulai dingin terbawa embusan angin di bingkai jendela, ia diam sejenak guna menetralkan jantungnya yang tiba-tiba bertalu hebat, tentu rasanya akan sangat aneh jika Seulhee ataupun Yoongi mendapati Jinan dalam keadaan seperti ini. Nyala api perselingkuhan yang ia kobarkan dua hari silam bisa saja terendus mudah, dan eksistensi Taehyung hanya akan membuat keadaan semakin rumit pun sukar diselesaikan. Setelah menggigit pipi dalamnya kuat-kuat hingga rasa besi tercecap oleh lidah, Jinan memberanikan diri untuk menatap sekilas pada Taehyung yang balik menatapnya intens, mengetuk rahang bagian bawah seolah ingin memberitahu sesuatu.

Paham dengan gestur tersebut, Jinan lekas mengambil serbet yang dibentuk layaknya pita, membuka lipatan secara perlahan sebelum sentakan dari arah samping membuatnya memekik lirih. Yoongi memegang pundaknya, memajukan wajah sebelum melabuhkan ujung bibirnya di batas dagu si gadis, menyesap saus yang menempel tanpa peduli tiga pasang mata yang sekonyong-konyong membeliak lebar. Well, Seulhee jelas terkejut, sebab baginya, sentuhan semacam itu tidaklah wajar jika ditampilkan di hadapan orang-orang, terlebih di meja makan ini ada bocah kecil yang belum menginjak usia legalnya-siapa lagi kalau bukan Jay.

Seulhee berdeham, menghabiskan steak miliknya yang tak tersisa banyak. Ia sesekali curi-curi tatap pada Jinan yang stagnan di antara nyala lilin beraroma, menunduk dalam guna menyembunyikan kroma merah yang menyebar hingga ke telinga dan leher.

Merapalkan beberapa kalimat penenang di dalam hati, Jinan kembali meraih pisau yang tercampak di atas piring, mulai mengiris potongan baru dengan bantuan garpu. Namun sebelum ia sempat menjejalkan daging itu ke dalam mulut, sesuatu terasa menggelitik betis kanannya, merambat naik secara perlahan sebelum bermuara di paha bagian dalam.

Jinan tertunduk, lagi. Secara tak sadar mengeratkan genggaman pada gagang pisau yang terasa dingin menyentuh telapak tangan, sudut bibirnya digigit pelan yang semerta-merta dikatup rapat sebelum sebuah desah penuh kenikmatan menggelora mencuat keluar tanpa aba-aba. Kewarasan Jinan patut dipertanyakan setelah dengan lancangnya pria bernama Kim Taehyung itu memberi godaan berupa jemari kakinya yang menyentuh pangkal paha si gadis, sejenak menetap guna membentuk pola beraturan yang beberapa detik kemudian turun menjumpai belakang lutut.

Demi Tuhan, Malaikat, pun Iblis dari kerak neraka! Taehyung secara terang-terangan mengajak Jinan bermain api, menyiram seliter gasolin agar suarnya kian membumbung tinggi.

"Jadi, Nak Taehyung ini tinggal di mana?"

Seulhee menjadi orang pertama yang buka suara, memecah atap kecanggungan yang memerangkap mereka berlima. Taehyung mengulum senyum manis layaknya gula-gula, melirik ke arah Jinan yang tertelan gelisah sebelum balas berkata penuh wibawa, "Sixth Avenue-dua puluh menit jika ditempuh tanpa kemacetan. Omong-omong, jika Bibi beserta keluarga hendak berkunjung ke rumah, aku pasti akan sangat senang."

Nadanya begitu tenang bak aliran air dari telaga yang tak pernah tersentuh tangan jahil manusia, Taehyung berlakon sangat baik seolah-olah jemari kaki yang beraksi nakal di bawah sana bukanlah sesuatu yang besar. Ia terus menggoda, melancarkan gerakan tersebut sembari menekan sesuatu yang menonjol di balik balutan celana dalam, mengirim rangsangan hebat tatkala jempolnya mengait pinggiran kain dan berakhir mencampakkannya ke atas keramik.

Di penghujung puncak kenikmatan yang nyaris datang menghampiri dan sebar kabut putih di dalam kepala, Taehyung menarik kembali kakinya, membiarkan Jinan tenggelam dalam lautan penuh frustrasi. Ia bisa melihat bagaimana gadis itu mengerang pendek, melirihkan sebuah sumpah serapah di bawah embus napas yang tersengal. Beberapa detik setelahnya, Jinan bangkit dari kursi, berpamitan sebentar kepada sang ibunda lalu berlari tergesa menuju toilet belakang. Taehyung berani bertaruh ratusan juta won bahwa apa yang akan dilakukan Jinan tak lain dan tak bukan adalah segera menuntaskan hasrat yang sempat tertunda.

Dan benar saja, setelah Jinan berhasil mencapai pintu toilet, menutup kasar hingga debuman nyaring menyerap ke liang telinga, gadis itu lekas duduk mengangkang di atas kloset. Kedua kakinya terbuka lebar, menampilkan tetes cairan bening yang luruh dari organ intim, basahi sebagian besar paha dalam. Jinan tidak tahu bagaimana cara yang benar dalam memuaskan diri sendiri, tetapi Moira pernah mengajarkannya untuk memasukkan sebilah jari ke dalam liang kemerahan tersebut-teman yang tidak waras, memang.

"Oh, ayolah. Perempuan macam apa yang masih menjaga keperawanannya di zaman modern seperti ini? Seks itu nikmat, Ji. Kau harus mencobanya sekali sebelum terlambat." Moira mendesah berat, memandang tak habis pikir pada Jinan yang meringkuk ketakutan saat melihat adegan panas tayang di televisi. Ia benar-benar menyayangkan sahabatnya itu, hidup dalam kekangan sang ibunda bersama doktrin-doktrin yang berhubungan kuat dengan agama. Menyesap kaleng soda miliknya, Moira pun memberi sebuah solusi yang kalau boleh jujur juga tetap terdengar menyesatkan. "Baiklah, begini saja. Setelah aku pulang nanti, coba untuk menyentuh dirimu sendiri. Kenali titik-titik di mana kau merasa terangsang dan mendapatkan kenikmatan yang berlebih."

Saat itu, Jinan sama sekali tidak melakukannya. Ia merasa berdosa dan selalu terbayangi oleh raut wajah Mama selepas pulang bekerja. Bahkan ketika Moira memaksanya untuk menceritakan pengalaman tersebut, ia hanya menggeleng lemah, pasrah mendapati gerutuan yang menyakiti telinga hingga dua hari lamanya. Akan tetapi sekarang, di ambang batas kesadaran yang terbang meninggalkan raga, Jinan mulai menggerakan jari telunjuk dan tengahnya menyapu permukaan kulit paha.

Uh-oh, kenapa ini benar-benar terasa nikmat?

Jinan meringis pelan usai berhasil meloloskan satu ruas jari ke dalam miliknya, katup matanya memejam rapat sedang mulutnya tak bisa menahan lenguhan ketika ujung kukunya bersinggungan langsung dengan dinding kewanitaannya, menyalurkan jutaan friksi yang sebabkan Jinan terus-menerus melakukan hal tersebut, menggapai puncak kenikmatan seorang diri hingga beberapa menit kemudian ia merasakan sebuah serangan mendera perut, begitu asing hingga sebabkan tungkai miliknya gemetar hebat. Cairan yang sama seperti sebelumnya kembali keluar-kali ini lebih banyak, membalut jari tengah yang semerta-merta dijilat penuh kuriositas.

Astaga, ternyata Moira benar. Ini ... menyenangkan.

Jinan tidak tahu sudah berapa lama dirinya berada di dalam toilet, melakukan sesuatu yang tidak benar tanpa memedulikan konsekuensi yang menghadang di lain waktu. Meski guncangan di kakinya belum hilang secara penuh, Jinan tetap memaksakan diri untuk mencuci tangan menggunakan air keran, menyaksikan pantulan wajah yang bermandikan tetes keringat pun gelungan rambut yang sedikit teracak.

"Serius, Ji?" Secara tiba-tiba, Yoongi muncul dari arah belakang, menyingkap pintu toilet dengan wajah merah padam menahan gelegak amarah. Satu tangannya tersimpan di dalam saku celana, terlihat mengepal seolah siap melayangkan puluhan tinju tepat di wajah Jinan. Akan tetapi, tidak. Alih-alih demikian, Yoongi justru meloloskan kekehan sumbang, menarik keluar benda yang sedari tadi mengisi jemari lantas mengangkat dan menggantungnya tinggi-tinggi. "Hal nista macam apa yang kalian lakukan di meja makan hingga celana dalammu lepas dan teronggok di atas lantai?"

Terperanjat kaget, Jinan buru-buru membalikkan badan dan menarik turun dress ketat miliknya yang naik beberapa senti. Sekujur tubuhnya tidak bisa digerakkan, stagnan di tempat dengan sepasang iris yang mengerjap lambat. Ia jelas kehilangan kesempatan untuk sekadar mengelak dan utarakan alibi dungu, sebab lebih dari apa pun, barang bukti telah ditemukan. Mengharapkan Taehyung hadir dan bantu meluruskan keadaan, pun jelas adalah sesuatu yang mustahil. Jinan masih ingat bagaimana kesan pertemuan pertama mereka-dengan sirat yang tertoreh di masing-masing guliran bola mata serta tuturan kalimat yang terlontar, gadis tersebut dapat mengasumsikan bahwa keduanya memiliki sebuah permasalahan yang belum juga usai.

Bibir Jinan tersingkap, tapi tak ada satu patah kata pun yang berani menampakkan diri. Semua seakan tertelan ke dasar perut, bertumpuk dengan gelenyar aneh yang berkamuflase menjadi vibrasi di kedua tangan.

"Baiklah, kau tidak perlu menjawab pertanyaanku. Sekarang, aku hanya ingin kau mengenakan celana dalam ini kembali." Tubuhnya maju selangkah lebih dekat, menempatkan potongan kain tersebut dalam genggaman tangan Jinan yang dingin layaknya rum bercampur bongkahan es. Bagaimanapun, Jinan telah melakukan kesalahan fatal, Yoongi tidak bisa menoleransinya lagi, sekali pun untuk membalikkan tubuh dan beri gadis itu sedikit privasi. Mendapati Jinan yang hanya bungkam, ia mendecih. "Apa kau tidak bisa melakukannya seorang diri hingga harus menungguku memasangkannya untukmu?"

Jinan menggeleng sebanyak dua kali, menunduk dalam sembari menahan buncahan malu yang meletup-letup di dada. Ia tidak memiliki pilihan selain melucuti harga diri yang tersisa. Perlahan, jemarinya bergerak merenggangkan pinggiran karet celana, meloloskan satu per satu kaki yang gemetar lalu menarik kain tersebut bersama segelintir keterpaksaan.

Rasanya Jinan ingin menangis, meraung-raung tanpa peduli Seulhee yang akan lari tergopoh dari ruang makan dan mencecarnya dengan segudang pertanyaan, tetapi lagi-lagi, ia bahkan tak punya tenaga untuk sekadar menitikkan air mata. Daksanya teramat lemah, lunglai hingga punggung ringkihnya jatuh bertumpu pada dinding berlapis keramik. Jinan mengembuskan napas panjang, berusaha menahan diri dengan kepala yang sepenuhnya tertunduk, menatap lamat sepasang alas kaki yang basah akibat cipratan air keran.

Lambat laun, Yoongi bergerak menghampiri, meraih tangan gadis di hadapannya lantas menyelusupkan kelima jemari guna membagi sedikit kehangatan. Ia tahu benar bahwa kondisi Jinan masih belum stabil; terguncang hebat dengan akal sehat yang terkelupas bersama rasa keterkejutan. Sejenak memejam, akhirnya Yoongi mampu menetralkan tensi emosinya yang sempat menanjak naik. "Aku akan menarik kembali kalimatku, kau bebas melihat atau bahkan jatuh hati pada laki-laki lain. Tapi, jangan dia. Kau tidak tahu bagaimana seluk-beluk kehidupan Taehyung yang sebenarnya."

Aroma mint segar menguar tatkala satu embus napas lolos dari celah bibir Yoongi. "Tidakkah kau sadar bahwa selama ini dia melecehkanmu?"

Ia berusaha mengatur nada dari kalimat yang dikeluarkan, tak ingin menyulut lebih banyak amarah yang barangkali akan berujung pada penyesalan Jinan menerima perjodohan ini. Akan tetapi di sana, secara cepat Yoongi mendapatkan konklusi yang semerta-merta putarbalikkan keadaan dalam hitungan sekon.

"Oh, tunggu sebentar. Apa selama ini kau diam-diam menyukai sentuhannya? Suka bagaimana dia menyentuhmu seperti ini?" Sejurus kemudian tangan Yoongi mendarat di dada Jinan, memberi sedikit remasan hingga buat si empu mengerang kesakitan. Lengkungan tipis nan bengis seketika terpatri di wajah. Sedetik setelahnya, pria tersebut memertemukan bibir secara paksa beriring satu tangan lainnya yang bermanuver di pusat kenikmatan Jinan.

"Lihat, kau bahkan tidak menolak ketika kusentuh. Semurah itukah harga dirimu sebagai seorang perempuan, Ji?"

Likuid bening meluncur; basahi pipi dan buat asin tercecap oleh labium yang saling bertaut. Jinan menggeleng lemah, berusaha menghentikan aksi mengerikan Yoongi dengan dorongan pelan yang hanya berujung pada kegagalan. Mulutnya terus dijejali oleh liur yang bercampur air mata, berceceran hingga jatuh menuruni ceruk leher.

Sementara di meja makan, Seulhee tampak khawatir usai sepasang muda-mudi tersebut tak kunjung kembali-bahkan setelah dua puluh menit berlalu. Takut ada suatu hal yang tidak diinginkan terjadi, wanita itu segera menitah Taehyung untuk menyusul ke belakang.

Selaras dengan jarum jam yang menunjukkan pukul dua siang, Taehyung sekonyong-konyong tiba di pintu toilet yang terbuka lebar. Untuk sesaat, ia terpekur, menyaksikan sebuah siaran langsung yang menampilkan adegan ciuman panas antara Jinan dan Yoongi-well, meski si gadis terlihat berulang kali berontak dan lakukan perlawanan payah. Dalam diam, Taehyung menajamkan sepasang manik legam yang terbenam dalam gairah, sebuah fantasi liar kemudian terbentuk di kepala; threesome, di dalam toilet dan hujaman damar yang remang-remang.

Menyadari Jinan yang mulai kehabisan napas dan barangkali akan kehilangan kesadaran jika dirinya terus memaksa, Yoongi pun segera melepas pagutan, membiarkan jalinan salivanya membentang sebelum putus menjumpai dagu. Kondisi Jinan terbilang cukup berantakan; wajahnya memerah, bibirnya bengkak. Dress miliknya tersingkap jauh lebih tinggi, mengekspos celana dalam hitam yang sempat tanggal di bawah meja makan.

Bersama kegelapan yang mendominasi penglihatan, Jinan menemukan sang penyelamat berdiri lima langkah di hadapan sana.

"T-tolong ...."

Yoongi memandang nyalang, mencengkram kuat pergelangan tangan si gadis hingga ujung kuku runcingnya menekan dan menembus epidermis. Setengah merasa dilecehkan oleh sang calon suami, Jinan berusaha menggapai presensi Taehyung lewat pekikan tertahan yang nyatanya cuma dibalas dengan senyum timpang kelewat aneh. Manakala distansi yang membentang kian menyempit-terkikis habis beriring rengsa yang sekonyong-konyong buat tubuh Jinan nyaris limbung tak berdaya, Yoongi berbisik lirih, "Tidak ada yang benar-benar waras di antara kami, Ji. Kau hanya tinggal memilih, ingin masuk ke dalam kubangan neraka bersama siapa, Kim Taehyung atau aku?" []

Continue Reading

You'll Also Like

56.5K 6.9K 33
"Saat kamu kembali, semua cerita kembali dimulai." Kisal Sal dan Ron kembali berlanjut. Setelah banyak yang terlalui. Mereka kembali bersama. Seperti...
1M 76.2K 57
[Brothership] [Not bl] Tentang Rafa, hidup bersama kedua orang tuanya yang memiliki hidup pas-pasan. Rafa tidak mengeluh akan hidupnya. Bahkan ia de...
27.6K 4.6K 16
Allura Christy Gadis remaja polos nan lugu yang kerap kali mendapat bullyan dari semua siswa siswi di sekolahnya. Bagaimana tidak, sekolahnya saja s...
Drie By VAnswan

Fanfiction

30.8K 3.8K 21
Mamanya bilang, Chandra harus mengalah pada adiknya, Nathan, karena Chandra adalah seorang kakak. Lalu papanya bilang, Chandra harus mengalah pada ka...