Seharusnya pagi ini aku tengah tersenyum sumringah sembari membaca surat yang diberikan oleh Mas Arif. Namun, sejak beberapa hari yang lalu, Mas Arif tak lagi mengirimkan aku surat. Huft, sebenarnya ada apa sih dengan Mas Arif? Kenapa dia berubah secepat itu?
"Nak Lana, jangan bengong. Ayo ikut Ibu ke pasar," ucap Bu Surnani yang sudah siap untuk pergi berbelanja.
"Iya, Bu." Aku bangkit dari tempatku duduk, kemudian mengikuti langkah Bu Surnani menuju pasar.
Pagi ini Bu Surnani mengajakku pergi ke pasar. Ini adalah pertama kalinya aku pergi ke pasar setelah beberapa bulan tinggal di sini. Aku jadi penasaran, apakah pasar di tahun 1928 sama seperti pasar di tahun 2020? Kami berjalan melewati jalanan yang biasa kami lalui untuk pergi ke sungai, tetapi di pertigaan kedua, kami berbelok ke arah kanan. Sudah dua puluh menit kami berjalan dan sekarang aku mulai merasa haus. Ketika aku menoleh ke arah Bu Surnani, beliau masih bersemangat, bahkan aku tidak melihat raut wajah kelelahan atau kehausan dari beliau.
"Nak Lana haus, ya?" Beliau berkata kepadaku yang aku balas dengan senyum samar-samar.
"Kalau kamu haus, bilang saja ya, Nak," sambung beliau, aku kembali membalasnya dengan senyuman.
Setelah menghabiskan waktu sekitar tiga puluh menit untuk berjalan, kami pun sampai di sebuah pasar yang cukup ramai. Menurutku, pasar ini tidak jauh berbeda dengan pasar tradisional di masa depan. Aku menjumpai banyak penjual kue dan sayur-sayuran. Tak lupa, ikan dan aneka ragam seafood pun ikut meramaikan. Aku melangkah di belakang Bu Surnani, mengikuti langkah beliau menyusuri pasar ini. Ada beberapa petugas yang berjaga di sekitar pasar, mungkin semacam Satpol PP.
Di tanganku kini ada banyak sayur, aku menawarkan diri untuk membantu membawakan barang belanjaannya. Saat kami hendak pulang dari pasar, sebuah toko menarik perhatianku. Toko itu menjual pakaian dengan berbagai model, tapi yang menarik perhatianku adalah meskipun model pakaiannya bermacam-macam, motif yang ada pada pakaian-pakaian tersebut sama, yaitu garis dan kotak-kotak. Aku tak tahu kenapa semua motif pakaiannya sama, mungkin sang pemilik toko terobsesi dengan motif garis dan kotak-kotak.
"Bu? Lana? Habis dari pasar?" kata Mas Arif, kami tak sengaja bertemu di jalan saat hendak pulang.
Bu Surnani tersenyum melihat putra sulungnya. "Iya, Rif. Kamu mau ke mana toh?"
"Pulang, Bu. Urusan Arif sudah selesai," jawab sang anak. Mas Arif melirik ke arah barang belanjaan yang ada di tanganku, ia lalu berkata, "Butuh bantuan, Lan?"
Aku reflek menggelengkan kepalaku. "Gak, Mas. Aku bisa bawa sendiri. Terima kasih untuk tawarannya."
"Oh, ya sudah."
Kami bertiga akhirnya berjalan bersama menuju rumah. Aku berada di tengah-tengah Bu Surnani dan Mas Arif. Rasanya canggung berada di samping Mas Arif, padahal sebelumnya aku kan sering berada di sampingnya. Mungkin karena belakangan ini kami tidak saling bertegur sapa satu sama lain. Tangan kananku yang semula membawa sayur-sayuran yang diikat kini terasa ringan, Mas Arif tanpa aba-aba langsung meraihnya. Ia mengambil barang belanjaan yang ada di tangan kananku dan membawanya.
"Mas?" ucapku yang kaget dengan tindakannya. Bukannya merespon ucapanku, Mas Arif justru mengalihkan wajahnya. Ia membuang napasnya kasar.
Sial! Aku benci ada di situasi ini! Mas Arif masih mendiamiku, meskipun tadi ia sempat mengambil alih barang belanjaan yang aku bawa. Bu Surnani sepertinya sadar dengan atmosfer yang penuh kecanggungan ini, beliau mengajakku berbincang selama kami berjalan menuju rumah. Ya setidaknya perbincangan kami cukup menyelamatkan aku dari kecanggungan ini ....
"Bu, Lana mau mandi dulu, ya," ucapku sesampainya kami di rumah. Aku ingin mandi untuk menyegarkan pikiran dan tubuhku.
"Ya. Mandi duluan saja, Nak," balas beliau. Tanpa basa-basi aku langsung pergi menuju bilik mandi.
Sebenarnya Mas Arif kenapa sih?
Lagi-lagi pertanyaan itu kembali terputar di kepalaku. Sebenarnya Mas Arif tidak benar-benar mendiamiku sih karena ia sesekali masih mengajakku berinteraksi dan berbincang-bincang. Namun, aku masih dapat merasakan bahwa Mas Arif tengah menjaga jarak denganku. Sekarang yang aku pikirkan adalah kesalahan apa yang telah aku perbuat hingga Mas Arif menjaga jarak denganku. Rasanya akhir-akhir ini aku sangat sensitif, aku jadi takut beberapa tindakanku kemarin membuat Mas Arif merasa tidak nyaman.
"Lana, kamu mandi lama banget." Suara Mas Arif dari luar bilik terdengar, memecahkan pikiranku yang tengah melayang dalam berbagai dugaan.
"Sabar kenapa sih, Mas. Sebentar lagi selesai," ucapku dengan nada yang terdengar tidak santai. Tak ada balasan dari Mas Arif, hal itu membuatku merutuki kelakuanku barusan.
Astaga, Lana .... Kamu baru saja memperumit keadaan.
Buru-buru aku membilas tubuhku dengan air bersih yang mengalir dari bambu, kemudian mengeringkan tubuh dan memakai kembali pakaianku. Namun, saat aku hendak memakai celanaku, aku menyadari sesuatu.
Shit! Jadwal bulanan datang ....
Aku sedikit kelabakan sekarang, selama aku tinggal di sini, ini adalah pertama kalinya aku datang bulan. Jadwal menstruasiku bisa dibilang tidak teratur, aku biasa datang bulan sekitar tiga bulan sekali. Aku menggigit bibir bawahku karena kebingungan. Tak mungkin aku keluar dari bilik mandi dengan keadaan seperti ini, bisa-bisa darahnya menyebar ke mana-mana!
Perasaan bimbang mulai menyelimutiku. Haruskah aku berteriak memanggil Mas Arif atau pun Bu Surnani? Belum sempat memutuskan hasil dari kebimbangan ini, suara Mas Arif sudah kembali memanggilku. "Lana? Masih belum selesai juga?"
Ingin sekali rasanya aku berteriak saat ini, tapi itu sangat tidak mungkin. Merasa tidak mendapat balasan dariku, Mas Arif pun memanggilku lagi, "Lana? Masih di dalam kan?"
"Iya ... masih kok," balasku dengan suara pelan.
"Eh? Kamu baik-baik aja di dalam, Lan?" Sepertinya Mas Arif sadar ada sesuatu yang tak beres denganku.
"Hmm ... itu ... gimana ya aku bilangnya ...." ucapku dengan kata yang terputus-putus, "aku butuh pembalut, Mas,"
Mas Arif sempat kebingungan mendengar perkataanku barusan. "Hah? Pembalut?"
Duh, aku lupa kalau di zaman ini belum ada pembalut. Hmm, bagaimana cara mengatakannya pada Mas Arif ya? Aku kembali terdiam, memikirkan cara untuk memberitahukannya, tapi beberapa detik kemudian Mas Arif berkata, "Oh, kamu lagi kedatangan tamu bulanan, ya? Tunggu sebentar, aku ambilkan kain,"
Dalam hati aku menjerit karena senang, Mas Arif cukup peka juga ternyata! Tak lama setelahnya, Mas Arif kembali. Ia memberikanku sebuah kain. "Lana, ini kainnya."
Aku menerima kain itu, lalu menggulung-gulungnya. Dulu, ibuku pernah memberitahuku kalau sebelum ada pembalut biasanya perempuan zaman dulu menggunakan kain atau handuk kecil yang digulung. Aku mempraktekkannya, rasanya sangat tidak nyaman! Seperti ada sesuatu yang mengganjal di bagian bawah.
"Sudah selesai?" tanya Mas Arif setelah aku keluar dari bilik mandi.
"Sudah," jawabku dengan malu-malu.
"Besok-besok kalau datang bulan bilang aja, Lan."
Aku mengangguk pelan. "Iya, Mas. Tapi, memangnya Mas Arif gak merasa ... malu?"
"Kenapa harus malu? Tak ada yang salah dengan hal itu, bukankah itu adalah hal yang wajar? Perempuan yang tengah datang bulan bisa merasakan sakit yang luar biasa, aku pikir dengan memberikannya kain, hal itu dapat sedikit membantunya, Lan."
Jawaban Mas Arif barusan sungguh membuatku terkesima. Ia berhasil membuatku speechless karena ucapannya. "Terima kasih, Mas Arif," kataku setelahnya.
Mas Arif mengangguk, ia lalu masuk ke dalam bilik mandi, sedangkan aku pergi ke ruang tengah dan duduk bersantai. Baru sebentar aku duduk, tapi rasanya aku sudah mau berdiri lagi karena merasa tak nyaman. Ah, benar-benar menyebalkan!
"Nak Lana, duduknya di bangku yang itu saja, kalau di sini gak nyaman," ucap Bu Surnani sambil menunjuk bangku pribadi milik Mas Arif.
Aku merasa ragu, bagaimana kalau nanti darahnya mengenai bangku Mas Arif? "Gak, Bu. Di sini juga gak apa-apa kok."
"Duduk di situ aja, Nak. Daripada kamu gak nyaman?" kata beliau lagi. Aku kemudian mengangguk, lalu berdiri untuk pindah dan duduk di bangku Mas Arif.
Mungkin sekitar sepuluh menit kemudian Mas Arif keluar dari bilik mandi. Ia terlihat biasa saja saat menyadari bahwa aku tengah duduk di bangku pribadinya.
"Mas, aku numpang duduk di sini, ya?" tanyaku meminta izin padanya.
Mas Arif mengiyakan pertanyaanku, ia lalu berkata, "Lan, ada yang mau aku bicarakan denganmu,"
Atensiku terfokus pada Mas Arif sekarang. Apa Mas Arif mau membicarakan tentang sikapnya akhir-akhir ini? Atau ada hal lain yang ingin dibicarakannya? "Mau bicara tentang apa?"
"Minggu depan Kongres Kerapatan Pemuda akan dilaksanakan. Apa kamu mau ikut?" Mas Arif bertanya seraya menatapku. Ah, sepertinya ia sudah tidak menjaga jarak lagi denganku.
"Kongres Kerapatan Pemuda? Apa itu, Mas?" Aku yang tak tau tentang acara tersebut pun bertanya padanya.
"Acara perkumpulan para pemuda, Lan," jawabnya to the point.
Aku mengangguk-angguk, seketika ingatanku tentang sejarah Sumpah Pemuda mengisi pikiranku. Reflek, aku pun bertanya pada Mas Arif, "Ini tanggal berapa, Mas?"
"Hari ini tanggal 20 Oktober, Lana." Mas Arif menjawab ucapanku.
Mataku membulat mendengarnya. Jika hari ini adalah tanggal 20 Oktober, itu artinya seminggu kemudian adalah tanggal 27 Oktober! Tanggal dilaksanakannya Kongres Pemuda II di hari pertama!
Itu berarti ... Kongres Kerapatan Pemuda yang dimaksud Mas Arif adalah Kongres yang menghasilkan sebuah sumpah sakral dalam sejarah Indonesia?
"Aku ikut!" Aku setengah berteriak menjawab ajakannya, Mas Arif bahkan terlihat terkejut mendengar suaraku.
"Baik kalau begitu, Wati juga ikut dalam Kongres nanti," kata Mas Arif. Ah, Wati, salah satu teman Mas Arif yang juga terikat dalam Jong Java.
Jantungku berdebar-debar membayangkan hal apa yang akan terjadi minggu depan. Aku menarik nafasku dalam-dalam dan membuangnya perlahan-lahan.
Ya, aku tak mau kehilangan kesempatan untuk melihat peristiwa penting dalam sejarah perjuangan bangsa ini!
📃📃📃
author's note:
haii! selamat hari raya idul adha untuk yang merayakan! 🐄🐂🐐🐑🐏
see u on the next chapter! ><
-shanertaja