A Song For You

By Lyssandrite

239 43 4

Gilbert masih tidak mengerti apa poin dari datang ke pernikahan sepupunya satu bulan sebelum acaranya dimulai... More

I Old Fritz
2 Madeline
3 Nurnberg
II Ludwig-Teil Eins
III Ludwig-Teils Zwei

1 Auf Wiedersehen Berlin

69 11 0
By Lyssandrite

Sebuah konsep yang terlintas
------------------

Hari yang sibuk di Berlin hari ini. Pekerja lalu lalang dengan kereta kuda, mobil, atau kaki mereka sendiri. Para pria sibuk bekerja dibalik dinding pabrik, para wanita sibuk dengan urusan rumah tangga mereka, dan para anak-anak yang menimba ilmu dengan semangatnya. Tidak ada yang spesial dari hari ini di Kekaisaran Jerman. Termasuk cuaca hari ini yang cerah berawan. Cocok untuk bepergian jauh seperti yang akan dilakukan oleh Gilbert.

Stasiun kereta Berlin yang ramai oleh penumpang dan petugas yang lalu-lalang membuat Gilbert lebih terpaku pada pemandangan ramai daripada ayahnya sendiri. Bagaimana tidak? Omongan ayahnya hanya penuh dengan kata-kata nasihat atas apa yang ayahnya khawatirkan terhadap putra sulungnya lakukan di Vienna kelak.

"Gilbert!"

"J-ja?" Seru Gilbert terkejut. Ayahnya menghela napas, merasa resah putranya tidak menghiraukannya sejak awal.

"Gilbert....jangan melamun. Bersiaplah, keretamu akan berangkat sebentar lagi," ujar ayahnya.

"A-Aku tidak melamun!" Bohong. Dia jelas melamun. Terutama pada seorang gadis yang hanya sekilas dia lihat. Gilbert berharap dia bisa melihatnya lagi kelak.

"Tidak usah bohong padaku. Sekarang ini tiketmu. Ketika kau sampai disana, Ludwig akan menjemputmu," pria pirang itu menyerahkan sebuah amplop kepada Gilbert. "Jangan berbuat macam-macam. Jangan mempermalukan dirimu dan keluarga kita,"

"Ja, ja, Vati," jawab Gilbert semena-mena. Telinganya sudah kebal mendengar ucapan itu, 'Jangan mempermalukan dirimu dan keluarga kita', Gilbert tidak pernah suka Kalimat andalan ayahnya itu.

Suara geraman kesal bisa didengar dari mulut ayahnya dan Gilbert hanya menyengir. Mata pria kepala lima itu melihat koper kecil namun panjang yang tergantung di tangan putra sulungnya. "Kau membawa itu?"

"Tentu saja! Aku tidak akan memainkan seruling manapun kalau bukan yang ini!" Ujar Gilbert sambil memegang bawaannya dengan gestur defensif, seolah takut bahwa ia akan dirampok.

"Benda itu sudah tua, kau harus menggantinya nanti," kata ayahnya dengan datar.

Gilbert geram. Seruling miliknya adalah seruling peninggalan gurunya dan jelas itu berharga baginya meskipun sudah mulai usang. Dia hendak membalas perkataan ayahnya akan tetapi pria yang lebih tua itu menatapnya dengan keras.

"Nein, jangan naikkan suaramu pada ayahmu sendiri. Belajarlah untuk mengontrol emosimu, Gilbert," Orang yang dimaksud melihat ayahnya memperbaiki penampilannya sedikit,"Dan mungkin sedikit kerapihan berpakaian,"

Gilbert menyingkirkan kedua lengan ayahnya dan menaiki kereta,"Baiklah aku mengerti, Herr Vater,"

"Gilbert, satu lagi," Gilbert berbalik. "Ingat apa yang kukatakan padamu sebelumnya. Jangan kembali sebelum kau berubah,"

Gilbert melihat ayahnya pergi memunggunginya. Rambut pirang panjang milik ayahnya mulai membaur dengan milik orang lain. Sempat terpikir olehnya bagaimana bisa seorang jendral seperti ayahnya bisa memanjangkan rambutnya tanpa dimarahi oleh pimpinan. Dia tahu apa yang ayahnya maksud-namun dia masih memiliki keraguan akan hal itu- dan sebenarnya dia sendiri tidak tahu apa dirinya bisa berubah atau tidak. Jika dia bisa meruntuhkan harga dirinya yang sangat tinggi itu, mungkin dia akan bisa merubah sesuatu.

"Merubah sesuatu dalam hidup itu tidak mudah, kau tahu itu Vater?" Bisiknya dengan pelan. Pada akhirnya Gilbert memutuskan untuk menaiki kereta setelah masinis hendak mengumumkan panggilan terakhir keberangkatan.

Peluit kereta api telah dibunyikan dan kereta mulai berjalan perlahan. Gilbert memutuskan untuk mencari tempat duduknya. Untung baginya ayahnya membelikan tiket kelas satu. Dia tidak perlu repot-repot berdesakan tempat duduk dengan orang lain. Memang enak kalau ayahmu punya banyak uang.

"Nomor delapan belas, nomor delapan belas ada di gerbong mana?" Gumamnya. Gilbert bisa saja menanyakan salah satu petugas tapi dia memutuskan untuk mencari sendiri saja. Dirinya terlalu percaya diri bahwa dia bisa menemukannya sendiri. Lagipula apa gunanya punya kaki dan tangan sendiri kalau tidak digunakan?

Akhirnya setelah melewati beberapa gerbong dia sampai juga. Tempatnya memang sempit, tapi lebih luas daripada gerbong kelas biasa. Terutama untuk seorang yang pergi sendirian.

"Akhirnya aku bisa duduk!" Gilbert melihat keluar jendela. Kereta sudah mulai meninggalkan pinggiran kota Berlin.

"Sepertinya tidak ada jalan kembali," Pikirnya, jika dia nekat dia bisa saja melompat keluar dari jendela kereta. Tapi Gilbert tidak menemukan alasan berarti untuk kembali ke Berlin. Jika dia kembali mungkin ayahnya hanya akan memarahinya sampai ia tidak bisa melihat hari esok. Terlebih lagi jika dia melompat keluar dia bisa mati ditempat mengingat kereta ini berjalan dengan kecepatan yang lumayan cepat.

Sepuluh menit pertama, Gilbert hanya melihat pemandangan dan memikirkan kehidupan orang-orang yang tinggal di desa setempat. Tapi sekarang dirinya sudah tidak tahan akan keheningan di tempatnya. Cuma hanya ada suara kereta dan dia tidak memiliki seorangpun untuk diajak bicara. Seandainya Ludwig ada disini, tapi dia berada di Vienna menimba ilmu di salah satu universitas disana. Betapa dia berharap adiknya ada disampingnya, meski Ludwig mungkin akan risih dengan dirinya.

Di saat seperti inilah dia berharap dia mendapatkan tiket kelas biasa, memang Gilbert benci berdesakan, tapi setidaknya dia bisa mengajak bicara satu atau dua orang. Mungkin saja dia bisa mendapatkan teman baru atau mungkin pacar?

Gilbert memainkan kalungnya. Kalung itu adalah penghargaan militer yang dia dapatkan dari militer. Penghargaan tertinggi saat dia membantu negaranya dalam suatu misi. Dia selalu memakai kalung itu seperti sebuah jimat kemanapun dia pergi, saat bertugas maupun tidak.

"Aku penasaran apa yang dilakukan prajurit-prajurit bawahanku saat ini. Aku yakin sekali mereka sedang menyiapkan pesta minum saat berjaga," dia melihat kesampingnya dan menyadari koper bawaannya masih tergeletak begitu saja dilantai. Dia teringat kembali apa yang ayahnya tadi katakan. "Mungkin..aku bisa menyelesaikannya kali ini,"

Dia membuka koper hitam itu dan sebuah seruling panjang tersimpan rapi di dalamnya. Seruling miliknya adalah peninggalan gurunya, Frederick. Semenjak Gilbert mendapatkan alat musik itu, dia selalu merawatnya. Warnanya hitam dengan aksen silver dari perak. Di dalam koper itu juga ada beberapa catatan musik. Beberapa adalah lagu yang bisa dimainkan oleh Gilbert, sisanya kosong atau hanya ada beberapa not lagu.

Setiap orang selalu memuji permainan seruling Gilbert. Bahkan ayahnya yang selalu menganggap Gilbert tidak becus setuju dengan hal itu. Hanya bakat itulah yang setiap orang sukai dari Gilbert, mereka tidak begitu menyukai dirinya sepenuhnya.

Gilbert mengambil catatan lagu yang hanya sebagian terisi dan tidak berjudul. Catatan lagu itu adalah lagu yang dia tulis sendiri selama sepuluh tahun belakangan. Dan selama itu pula dia tidak pernah menyelesaikannya. Dia terhenti oleh sesuatu dan dia tidak tahu apa itu.

"Semoga kali ini aku bisa menyelesaikan lagu ini," Gilbert mulai memikirkan rangkaian nada yang terinspirasi dari apa yang pemandangan diluar jendela berikan. "Ketenangan....luas, kebebasan..."

Dia mulai meniup dengan perlahan. Nada-nada yang ada dipikirannya tertuang kedalam suara musik yang keluar. Indah dan menenangkan. Beberapa penumpang dan petugas kereta mendengar permainan pria albino itu dan mencari sumber suara musik indah itu. Mereka semua berdiri di depan pintu tempat Gilbert ada. Dari jendela kaca di sisi pintu sosok Gilbert terlihat. Rambutnya yang seputih salju terhembus oleh sedikit angin yang datang dari jendela yang setengah terbuka. Dia berdiri dan matanya tertutup. Jemarinya menari diatas seruling. Dan tubuhnya rileks tidak mengetahui keadaan sekitarnya.

"Sebuah melodi yang penuh makna, perjalanan hidup seorang pria yang sedang mencari seseorang untuk bisa melengkapi kekurangan yang ada dihatinya, tapi siapa wanita itu?" Pikir Gilbert sembari dia meniup. Akhirnya dia sadar dia tidak memiliki ide apapun lagi dan tiba-tiba nada indah tadi terdengar buruk di telinganya. Dia berhenti.

Prok..prok..prok..!!!

Kaget dia melihat kearah pintu dan kedua mata Merah rubinya bertemu dengan sekumpulan orang yang bertepuk tangan padanya. Dia segera memakai topi dan berjalan menuju pintu itu.

"Permainan Anda bagus sekali, Tuan!" Puji seorang petugas.

"Benar! Apa Anda seorang musisi?" Tanya salah satu ibu-ibu.

"Eh, aku bukan seorang musisi dan tadi itu hanya kumpulan nada yang tidak ada bagus-bagusnya. Aber danke! Kesesese..." Jawab Gilbert dengan senyum yang lebar dan suara tawa nyaris mendesis.

"Saya menyukai seorang yang terampil memainkan alat musik," goda seorang wanita, jelas dia hanya ingin memanipulasi Gilbert.

Dan untungnya Gilbert tidak sebodoh senyum dan suara tawanya,"Maaf, tapi sebaiknya Anda semua tidak berdiri di jalan terlalu lama," dia menunjuk dua orang yang ingin lewat dengan jempolnya,"Ada orang yang ingin lewat,"

Dengan itu kerumunan orang menghilang dan Gilbert kembali duduk. Dia kemudian merapikan catatan lagu miliknya. Gilbert melihat catatan lagu buatannya dan jujur, dia tidak banyak menulis. Hanya beberapa baris dan itu saja perlu waktu beberapa tahun. Kertas itu bahkan sudah usang dan Gilbert jelas perlu mencatat ulang lagu ciptaannya.

"Vati benar. Aku harus merubah sesuatu, terutama pada lagu ini. Aku tidak pernah menyelesaikannya selama sepuluh tahun, tidak pernah. Tapi mengubah sesuatu yang sehebat diriku ini, itu bukan hal yang mudah!" Katanya pada dirinya sendiri.

Gilbert melihat keluar. "Mungkin alasan kenapa Vati ingin aku pergi adalah supaya aku bisa mendapatkan inspirasi, bukan hanya seorang calon istri,"

------------------

Auf Wiedersehen=Selamat tinggal
Ja=Ya
Vati=Panggilan untuk ayah
Nein=Tidak
Herr Vater=(Tuan) Ayah (menunjukan respek)
Aber danke=Tapi terima kasih

______________________________________

Hai, apa kabar? Baik? Baguslah. Ini cuma konsep dari ide yang muncul tiba-tiba. Latar waktunya tahun 1913-an, lebih tepatnya satu tahun sebelum perang dunia pertama di musim semi. Dan aku harap kalian suka. Ini kayaknya baru pertama kali bikin cerita dengan latar dunia asli. Jadi kalau agak ngak sesuai gitu tolong dimaafkan ⁄(⁄ ⁄•⁄-⁄•⁄ ⁄)⁄

Au revoir mes chers amis ! ( ˘ ³˘)♥

-----------------

1st revision: 15 November 2021

Continue Reading

You'll Also Like

483K 14.6K 98
Theresa Murphy, singer-songwriter and rising film star, best friends with Conan Gray and Olivia Rodrigo. Charles Leclerc, Formula 1 driver for Ferrar...
167K 5.8K 42
❝ if I knew that i'd end up with you then I would've been pretended we were together. ❞ She stares at me, all the air in my lungs stuck in my throat...
284K 18.1K 22
"you might not be my lover, but you still belong to me" "crazy, you don't even love me but you want to claim me as yours? have you lost your mind jeo...
222K 4.6K 47
"You brush past me in the hallway And you don't think I can see ya, do ya? I've been watchin' you for ages And I spend my time tryin' not to feel it"...