168' hours, with Jaehyun | Ja...

By shnaxxya

62.2K 5.7K 6.4K

[PART LENGKAP] "Biarkan aku menghabiskan 168 jam terakhirku, denganmu. Sebelum aku benar-benar pergi." ©shnax... More

168' with Jaehyun

56.3K 5.7K 6.4K
By shnaxxya

[ p le a s e t u r n o n t h e b g m ]

Prolog

Aku sama seperti kalian.

Seorang manusia, memakan nasi, minum air, tidur, dan aku juga melakukan hal-hal yang biasa kalian lakukan.

Tapi tidak, untuk yang satu ini, mungkin aku tidak sama seperti kalian.

Aku berbeda.

"Pernahkah kalian mendengar tentang seseorang yang meramal kematian?"

Sentuhlah aku, benturkan tekstur kulit kalian dengan milikku, jabat tanganku, atau apa pun itu.

Dan aku, akan melihat gambaran abstrak, bagaimana kalian akan mati.

"Doyoung-ssi," aku memegang tangannya, sekelebat ingatan dalam bayangan ketika mataku terpejam muncul. "Kau.."

Hari itu hujan.

Di perempatan.

Dia berjalan, saat lampu menunjukkan warna merah.

BRAK!

Mobil menghantamnya.

Aku membuka mata, "... kau akan mati, saat kau pulang kerja, 239 jam lagi, waktumu tersisa. Gunakan baik-baik."

Selamat datang, di dongeng kecil namun nyata, yang dialami olehku, Lee Taeyong-seseorang yang bisa mengetahui kematian seseorang.

Kau ingin mencoba?


***

01 : aku, dan takdir pedihmu. Mereka larut, hambur jadi satu.

Taeyong berjalan, menyusuri trotoar dengan langkah kecilnya. Rintikan salju menghiasi langit malam kota Anyang saat itu.

"Taeyong, kau tidak ingin menginap saja di apartemen ku?"

Dia baru saja pulang dari kerja kelompok. Iya, Taeyong adalah seorang pelajar menengah atas.

Taeyong pulang bersama Winwin, teman sebangkunya, yang kebetulan juga satu kelompok dengannya, bersama dengan dua teman lainnya, Yuta dan Lucas.

"Tidak usah, nanti aku merepotkan. Lagipula aku harus memastikan kalau Jeno makan dengan benar." Ucap si lelaki itu, pemilik paras tampan dan cantik di saat yang bersamaan .

"Hm, aku iri deh dengan Jeno, dia punya hyung yang baik macam dirimu. Sedangkan aku? Aku hanya punya hyung yang tak sengaja di dapati ibuku dari pasar loak." Winwin merengut sebal.

Taeyong terkekeh, manisnya. "Ada-ada saja."

Keduanya hening, hanya ada deru nafas menguap keluar bertarung dengan udara dingin.

Sudah biasa Taeyong pulang jalan kaki bersama Winwin, karena rumahnya satu arah.

"Tae," Winwin terlihat ragu, tercetak jelas dari bagaimana ia memandang, "uhm... soal itu."

Alis tertaut, "soal apa?"

Winwin menggigit bibir bawahnya, ia ingin mengatakan sesuatu yang mungkin akan sangat sulit untuk mengungkapkan.

"Itu..."

Lama Taeyong berfikir, hingga kemudian ia paham apa maksud pembicaraan Winwin.

"Oh, soal itu. Jika kau belum siap tidak apa-apa, aku tidak memaksamu."

"T-tapi..."

"Winwin, kau tau kan jika kau mengambil keputusan, maka kau juga harus menerima kenyataan sewaktu-waktu," Taeyong menghela nafas, "bahwa aku bisa mengetahui kapan kematianmu datang."

Winwin refleks menelan saliva lambat, "b-b-baiklah."

"Jangan sampai kelepasan memegangku atau aku akan melihat bagaimana kau meninggalkan dunia ini nanti."

"Ih, baiklah-baiklah, dasar cerewet!" Winwin menggembungkan pipi, sorot mata kemudian teralih pada sebuah restoran makanan cepat saji, "Taeyong.."

"Apa?"

"Aku lapar," Winwin meringis, memegang perutnya.

"Hm, cepat beli makanan sana."

"Kau tidak ikut?"

"Tidak, aku menunggu di sini saja. Kau mau ke restoran itu kan?"

"Iya, kalau begitu tunggu di sini ya. 10 menit!"

Winwin segera berlari, menembus rintik-rintik guyuran salju yang begitu dingin, meninggalkan Taeyong yang berdiri di bawah pohon sakura, tepatnya di pinggir jalan.

Lelaki Lee itu menghela nafas, sesekali melihat lalu lalang kendaraan.

Cuaca begitu dingin, hingga membuat Taeyong harus memakai jaket tebal dan syal bulat yang melilit kepalanya. Si mungil sesekali menginjak salju di kakinya, menendangnya kemudian dengan bosan.

Ah, ngomong-ngomong kalian pasti bertanya-tanya sekarang, apa menjadi seorang Lee Taeyong itu menyenangkan?

Jawabannya adalah, tidak.

Mempunyai kekuatan aneh sejak ia lahir, dapat melihat gambaran abstrak bagaimana orang itu mati hanya dengan menyentuhnya?

Terdengar tak masuk akal, tapi itulah faktanya.

Lee Taeyong lahir ditengah-tengah jutaan manusia normal, eksistensi satu banding seribu. Dia berbeda, tak sama dengan orang lain.

Kedua orang tuanya meninggal, sejak Taeyong masih berusia sepuluh tahun, saat itu Lee Jeno-adiknya, masih berusia tujuh tahun.

Awalnya ia tak tau tentang kekuatannya. Bersikap tak acuh setiap kali ia tak sengaja menyentuh seseorang, lantas muncul sekelebat ingatan abstrak. Taeyong berpikir bahwa itu hanya halusinasinya saja, namun ternyata bukan.

Ia benar-benar bisa meramal kematian seseorang hanya dengan bersentuhan secara fisik dengan orang itu, secara akurat, dan satu lagi, ramalannya tak pernah melenceng.

Hanya sedikit yang mengetahui kemampuan Taeyong, karena ia sendiri menganggap kemampuannya terlihat mengerikan jika orang lain sampai tahu.

Hal ini yang membuat Taeyong seolah terhalang oleh tembok besar dalam hidupnya.

Orang-orang yang tau akan kekuatannya, tak berani bersentuhan dengan Taeyong, karena mereka tak ingin mengetahui bagaimana mereka mati. Itu akan sangat mengerikan.

Dan juga, mereka yang tidak tahu akan kekuatannya, Taeyong tak berani menyentuhnya.

Taeyong hanya tak ingin membuat relasinya semakin renggang dan canggung dengan orang-orang.

Mungkin jika dilahirkan kembali, ia ingin dilahirkan menjadi manusia normal yang tidak tau rahasia Tuhan bernama-kematian.

Kembali pada Taeyong, yang saat ini berjongkok. Kaki terasa pegal, sudah sepuluh menit ia berdiri, Taeyong dapat memaklumi, mungkin Winwin masih antri di restoran itu.

Si pemilik mata bulat bermain iseng, meraih tangkai pohon, menggambar sesuatu di atas tumpukan salju di pinggir jalan.

"Aku ingin mempunyai kekasih," ucapnya sendiri, menggambar bentuk manusia di atas salju itu.

"Tipe ideal?" Taeyong mengerucutkan bibir, "aku ingin seseorang yang melindungiku."

"Yang mempunyai mata teduh saat ia menatapku."

"Jika dia kedinginan, dia memelukku, menganggapku sebagai sweater terhangatnya."

"Dan aku ingin..."

Taeyong membuang tangkai, membalik kedua tangan dan menatap telapaknya yang memerah.

"... aku ingin, digenggam olehnya."

Tatapan itu kosong, menyiratkan kesepian yang begitu mendalam.

Keinginan Taeyong sejak dulu,

Digenggam oleh orang yang disukainya.

Apakah mungkin?

Si mungil kemudian berdiri, menyudahi halusinasinya, dan kembali ke kenyataan.

Bahwa ia, tak akan bisa mendapatkan keinginan itu.

Mustahil.

Ngomong-ngomong, jalanan kota Anyang malam-malam begini kenapa masih ramai? Taeyong mendapati banyak pejalan kaki yang masih berkeliaran di pinggir jalan, tak peduli jika cuaca dingin.

Manik jelaga itu mengedar, "ah.. orang-orang pergi kemana ya di cuaca sedingin ini?"

Kriekkk! Kratakk!

Satu detik, dua detik, tiga detik.

Pandangan Lee Taeyong teralih, mengunci pada seseorang. Kelopaknya menyentak kemudian.

"HEI AWAS!"

Kaki si mungil berlari, jalanan licin membuat langkahnya terkadang meleset.

Taeyong berteriak, menghampiri lelaki bertubuh bongsor dengan jaket hitamnya, berdiri tepat di bawah pohon dengan ranting besar yang terlihat rantas, akan jatuh.

Lelaki itu sepertinya tak mendengar teriakan Taeyong, "Hei! Ahjussi! Awas!" Masih tetap sama, tak didengarnya.

Hingga...

Brak!!!!

... ranting itu jatuh.

Jantung Taeyong berdegup kencang.

Nafas tersengal.

Di sebuah taman di musim semi

Bunga Sakura bermekaran

Dia duduk berdua

"Aku mencintaimu, Lee."

"Biarkan aku tidur, jangan membangunkanku."

"TIDAK! TIDAK MUNGKIN!"

Taeyong bangkit.

Ia menyadari kebodohannya, menyelamatkan nyawa orang dan teledor pada dirinya sendiri.

Lelaki itu mengernyit. Ia terlihat terkejut, tatkala Taeyong menarik lengannya sampai ia jatuh tersungkur, dengan Taeyong yang berada di atasnya. Kedua pipi mereka bersentuhan.

Taeyong menyelamatkannya. Tepat waktu, karena setelah ia menariknya, ranting itu langsung jatuh.

"K-k-kau..." Taeyong berdiri, menatap si pemilik kulit pucat itu tak percaya, "bagaimana bisa..."

"A-a-apa maksudmu?" Ia berdiri, membersihkan badan dari lumuran salju. "Terima kasih telah menyelamatkanku."

"K-kau!" Taeyong takut.

Kematian orang ini..

..mengapa?

"Mengapa aku ada di saat-saat kematianmu?! Mengapa bisa ada aku di sana?! Mengapa?!"

Si surai cokelat mengernyitkan dahi, "apa?"

"T-tidak mungkin."

***

02 : Menyangkal pun tak berguna. Tuhan perancang skenarionya.

Taeyong menghabiskan waktu istirahatnya hanya untuk berdiam diri di kelas, melamun seperti orang bodoh, memandang dari jendela murid kelas lain yang berolahraga di lapangan.

Ia masih memikirkan kejadian dua hari yang lalu, yang membuat tidurnya akhir-akhir ini terganggu.

Bayangan lelaki dengan kulit pucat itu terus berada di dalam kepalanya. Dan juga, bayangan abstrak kematiannya..

...kenapa ada Taeyong di sana?

"Taeyong."

Si mungil tersentak, mendapati teman sekelasnya memegang pundaknya.

"Jangan menyentuhku." Refleks Taeyong, tersadar dari lamunan.

Lucas menautkan alis, "hei Lee, aku sudah memanggilmu dari tadi tapi kau terus melamun. Apa ada yang mengganggumu? Kulihat kau sejak kemarin murung terus."

Aku jadi tidak enak.

Teman-temanku menjadi sasaran mood-ku yang sedang turun.

"Tidak, maaf Lucas kalau aku membuatmu tersinggung." Taeyong merasa bersalah. "Ada apa?"

"Uhm, begini... ada sesuatu yang harus ku bicarakan padamu."

"Apa itu?"

Lucas mengambil duduk di depan Taeyong, "apa kau bisa membantuku? Aku butuh bantuanmu Lee."

"Aku?" Sedikit info, Taeyong itu canggung jika berbicara dengan Lucas, walaupun mereka satu kelas. Kalian pasti ada yang seperti Taeyong 'kan?

Lucas mengangguk, "ya. Uhm.. bisakah aku meminta bantuanmu untuk mengajari salah satu kakak kelas untuk belajar piano?"

"Ha? Kenapa aku?"

Ah ya, Lucas dan Taeyong itu satu ekstrakulikuler. Mereka sama-sama mengikuti kelas musik setiap hari senin sepulang sekolah.

Lucas juga menggunakan kemampuannya untuk keuntungannya juga. Ia membuka kelas piano untuk teman-temannya yang ingin belajar.

Sebenarnya Taeyong juga sama pandainya seperti Lucas dalam urusan bermain piano, namun Taeyong benar-benar pure ingin mengasah hobinya, tidak dengan lain-lain.

"Salah satu kakak kelas, memintaku untuk mengajarinya bermain piano. Tapi aku tidak bisa, karena jadwalku bertabrakan dengan jadwal mengajar Jungwoo."

Taeyong mendengus malas lantas menopang dagu dengan satu tangannya, "tampang-tampangmu ini, aku yakin kau sedang mendekati Jungwoo. Benar kan?"

Si lelaki bongsor itu meringis, "kau tau kan Lee, kalau aku sudah menyukai Jungwoo sejak awal mos dulu."

"Tapi heol, aku mengajari kakak kelas? Apa itu tak apa?"

"Itu bisa menjadi kesempatan untukmu." Lucas tersenyum bodoh.

"Aku? Kenapa begitu?"

"Aku kemarin mengajari piano kakak kelas bernama Oh Sehun si brandal itu kau tau? Dia memintaku untuk mengajarinya, karena dia ingin menyatakan cinta pada gadis pujaan hatinya dengan iringan lagu piano, iyuh!" Lucas merasa jijik.

"Lalu, apa keuntungannya untukku?"

"Hei Lee, Sehun itu brandal, dia pernah membully-ku! Dan saat dia belajar piano padaku kemarin, dia berubah menjadi anak kucing jinak yang patuh pada perintahku."

Mata Taeyong memicing, "kau benar-benar brengsek, Lucas."

"Siapa tau kakak kelas yang akan kau ajari ini adalah orang yang ingin kau lenyapkan kehadirannya. Kau bisa meluapkan segala kekesalanmu dengan memarahinya jika dia salah menekan not."

"Tapi aku-"

"Ck, 50 ribu won, bagaimana?"

Tawaran yang menggiurkan tapi,

Bagaimana nanti jika aku tak sengaja menyentuhnya?

Melihat bagaimana dia mati nanti.

Bagaimana jika kakak kelas itu mati karena tertabrak gerobak?

Pasti aku akan tertawa.

Bodoh kau Lee.

"Apa kau tau kan aturan jika berbicara denganku?"

"Jangan terlalu dekat denganmu dan tidak ada kontak fisik, iya iya aku tau. Jadi bagaimana? Apa kau setuju?"

Taeyong terdiam, ia nampak menelan saliva dengan tempo lambat. Ia berharap keputusan yang ia ambil sudah benar, karena Taeyong tidak pernah berurusan dengan kakak kelas.

"B-baiklah."

"Yes! Baiklah, pilihan yang tepat manis. Kalau begitu, pulang sekolah nanti, kau tunggu di taman sekolah."

"A-apa? Nanti? K-kenapa-"

"Bye Lee!"

Lucas berlari keluar, padahal Taeyong belum menyelesaikan kata-katanya.

Sialan.

Taeyong harap kakak kelas itu tak akan macam-macam nantinya.

***

|Luke|

|Lee kau sudah disana?

|Lee oit!

Sudah bawel|

Apa dia masih lama?|

Aku sudah setengah jam disini!|

|Sabar.

|Dia masih buang air besar.

Sialan|

|Taeyong dia sudah otw

OK|

Taeyong berada di ruangan musik, tempat favoritnya untuk menemukan inspirasi. Di sana ia merasa tenang, tak ada siapa-siapa selain dirinya dan alunan piano yang ia mainkan.

Ia sudah menunggu kakak kelas yang akan ia ajari, mungkin karena bosan, Taeyong bermain di sana.

Alunan syahdu, menggebu, menggema di ruangan musik. Mungkin jika ada orang selain Taeyong, maka ia akan senang karena alunan musik yang dimainkannya.

Prok prok prok.

Kelopak dengan bulunya yang lentik segera membuka, mendengar suara tepuk tangan berasal dari belakangnya.

Taeyong selesai memainkan piano. Ia kemudian menoleh, mendapati lelaki lain menatapnya kagum.

Dia...

Tatapan Taeyong tak lepas dari bagaimana lelaki itu memandangnya dengan senyuman tipis, imbuhan sinar matahari menerpa manik cokelatnya.

... dia lelaki yang waktu itu.

Sadarkan dirimu, Lee.

"Permainanmu bagus, aku menyukainya." Ia tersenyum.

Taeyong menelan saliva, antara terkejut dan bingung, mengapa lelaki yang ia selamatkan tempo hari itu bisa berada di sini.

Seragamnya sama denganku.

Apa dia kakak kelas yang dimaksud Lucas tadi?

Kenapa aku baru tau dia bersekolah di sini?

"K-kau..."

Lelaki itu mengenakan jaket levis, namun Taeyong tau jelas kalau seragam yang dipakai sama dengan miliknya. Ia tersenyum, "aku ingin kau ajari untuk bermain piano."

Taeyong membuang muka, enggan menatap wajah itu.

Karena, itu hanya akan mengingatkan Taeyong tentang bayangan abstrak kematiannya-kematian lelaki itu.

Cepat-cepat ia mengambil tas yang Taeyong letakkan di atas badan piano, "aku tidak bisa."

Aku tidak bisa terus berada di dekatnya.

Atau sesuatu akan terjadi.

Aku tidak ingin.

"Hei, kata Lucas, kau yang akan menggantikannya?" Ucapnya bingung.

Taeyong menggeleng, "tidak, kau salah orang. Permisi." Ia kemudian berjalan melewati Jaehyun namun...

"Hei tunggu."

"Jangan menyentuh-"

Nafasku tercekat lagi.

"Lee, aku di sini hanya akan menjadi teman sementara untukmu."

Dia bersandar di pahaku.

Wajahnya pucat pasi.

Mengapa aku melihat diriku sendiri?

Aku menangis disana.

"Setelah itu, carilah seseorang lagi, untuk mendampingi hidupmu, selamanya."

Taeyong kembali ke kesadaran. Ia menampis kasar tangan Jaehyun yang menahan pergelangannya, tak membiarkannya pergi.

Bayangan asbtrak itu, kian mengerikan.

Mengapa ada Lee Taeyong di sana?

"Hei.. kau kenapa?" Lelaki itu melambaikan tangan pada Taeyong, melihatnya melamun.

"Kau.." Taeyong memberanikan diri, "waktumu tersisa, 168 jam lagi."

Ucapan itu, terlontar begitu saja dari bibir mungilnya.

"Apa? Hei, kau bicara apa?" Ia terkekeh masam.

Taeyong menatapnya kosong, netra beralih pada name tag di seragam lelaki itu, Jung Jaehyun.

"Apa kau sakit?"

Jaehyun, ia memandang Taeyong sedikit terkejut. Ekspresi yang dapat dibaca, bagaimana ia tau?

"Bagaimana-"

"Tidak usah bertanya bagaimana aku tau. Kau sendiri yang dengan lancang menyentuhku di sini. Kau tau? Semenjak pertemuan kita tempo hari, aku selalu dihantui mimpi buruk, karena mu."

"Aku? Kenapa aku?"

Mata Taeyong menahan laju liquid bening yang berniat keluar. Sungguh, orang di hadapannya membuat Taeyong takut.

"Kau... aku, aku ada di dalam detik-detik kematianmu. Itu membuatku terganggu. Terlebih, aku menangisi kepergianmu, kau ini siapa?"

Jaehyun menggeleng tak paham. Lelaki mungil di hadapannya seolah sangat risih berdekatan dengannya.

"Baiklah, maaf jika mungkin aku menyentuhmu tanpa izin. Tapi, bisa kau jelaskan apa maksudmu tentang kematian tadi?"

Taeyong terdiam, merapatkan rahang.

"Aku tak pernah membeberkan rahasiaku pada orang lain, tapi mungkin kau..."

Jaehyun menaikkan alis.

"...kau harus tau semuanya tentangku." Ucap Lee Taeyong.

***

"Kau bisa meramal kematian seseorang?"

Sudah Taeyong tebak, pasti tanggapan Jaehyun akan seperti itu, sama seperti ketika ia memberi tau kekuatannya pada Winwin dulu.

Mereka tak akan mudah percaya begitu saja.

"Kau tidak berbohong kan?" Jaehyun menatap intens Taeyong.

Keduanya kini duduk di bangku taman sekolah, dengan jarak duduk yang begitu jauh, ujung dengan ujung.

Taeyong menoleh, "apa aku terlihat seperti pembohong?"

Jaehyun menelan saliva, menyadari ucapannya yang keliru. "T-t-tapi... kemampuan seperti itu, sangat mustahil ditemukan."

"Bukan mustahil, langka lebih tepatnya. Dan aku, adalah salah satu dari kelangkaan tersebut, karena aku mempunyai kemampuan untuk melihat bayangan kematian seseorang hanya dengan menyentuhnya."

"Itu bagus." Tanggap Jaehyun.

"Apa?" Taeyong tak mengerti.

"Ya, itu bagus. Kau tak berbohong, dan kau bisa meramal kematianku, itu hal yang bagus."

Taeyong meringis meremehkan, "kau gila."

"Kau berharap aku bagaimana?"

"Kau tak takut?"

Jaehyun menyeringai manis, "untuk apa?"

"Kematianmu, 168 jam lagi. Kau tak takut?"

"Itu berarti satu minggu lagi? Woah, aku tak sabar." Jaehyun menyandarkan kepala di sandaran bangku.

"Kau gila."

Jaehyun menoleh, mendapati Taeyong yang menatapnya aneh. "Apa kau takut karena di saat-saat kematianku, kau berada di sana?"

Taeyong diam, dan diamnya adalah jawaban ya bagi Jaehyun.

"Siapa namamu?"

"Lee Taeyong."

"Baiklah Lee, dengarkan aku. Kau tau? Takdir kita seperti sebuah paradoks."

"Paradoks?"

Jaehyun terlampau santai. Bahasan kematian baginya seperti sebuah hal remeh, seolah ia menantikan kematian itu tiba.

"Ya, paradoks. Jika kau tak menyelamatkanku tempo hari, kau tidak akan melihat bayangan kematianku, dan mungkin kau tidak akan melihat dirimu sendiri di detik-detik kematianku, jika kau tak menolongku waktu itu..."

"Apa maksudmu?"

"... dan mungkin, jika kau tak bertemu denganku tadi, kau tidak akan pernah melihat dirimu sendiri di dalam kematianku."

"Kau gila, Jung."

"Ini takdir, sudah terencana. Kau ada disini, dam mungkin... kau akan ada disampingku, sampai aku mati nanti."

Taeyong memandang enggan Jaehyun. Ia ingin mengumpat, namun sepertinya bibir Taeyong sudah kehabisan kata-kata.

"Terserahmu. Akan kupastikan, bahwa aku bisa mengubah takdir itu."

Jaehyun terkekeh, agak mencondongkan badan pada Taeyong membuat lelaki manis itu sedikit risih, "Benarkah? Coba saja kalau begitu."

"Kau menjijikkan." Taeyong melirik sinis.

"Hei, kenapa kau ketus? Walaupun begini, aku adalah kakak kelasmu."

"Aku tak peduli."

Jaehyun menatap pemandangan Taeyong dari samping. Dalam hati ia memuji, Taeyong begitu cantik.

Bagaimana surai jelaga milik Lee terterpa angin sore, bagaimana manik serupa boneka itu mengerdip lucu, dan lagi, bibir mungil seperi simbol hati yang begitu kontras dipadu dengan wajah cantiknya.

Tanpa sadar senyumnya mengembang. Taeyong benar-benar merebut atensi seorang Jung Jaehyun.

Aku, tertarik padanya.

"Apa kau tau aku sakit apa?" Jaehyun memecah keheningan.

"Tidak. Dan aku tidak mau tau."

"Benarkah? Sepertinya... dari wajahmu, kau terlihat ingin tau."

Taeyong berdecak, "terserah!"

Kelakuan juteknya sukses membuat Jaehyun terkekeh gemas.

"Aku menjalani perawatan, ini sudah masuk bulan ketigaku." Jaehyun membuka ceritanya.

"Lihatlah, lucu bukan?" Ia menaikkan celana kainnya.

Taeyong melirik, sedetik kemudian ia terkejut.

Kaki buatan.

"Ini adalah akibat dari penyakitku, maka dari itu dokter memotongnya, sialan." Jaehyun terkekeh.

"J-jaehyun maaf..." Mata Taeyong berbinar. Tersirat sebuah penyesalan karena sudah terlalu kasar pada lelaki Jung.

"Tak apa Lee," Jaehyun tersenyum manis, menurunkan kain celananya lagi kemudian. "Kau tau? Aku seperti merasa aneh saja. Setelah kaki kiriku di amputasi, aku jadi merasa berat sebelah."

Taeyong mencondongkan badan ke arah Jaehyun, menatapnya dalam, "k-kau... sakit apa?"

"Kanker, osteosarkoma. Sudah dua tahun, dan aku merasa bosan, menjalani pengobatan, meminum selusin pil, berbaring di ranjang rumah sakit. Jadi aku tidak kaget waktu kau bilang waktuku kurang 168 jam lagi. Itu berarti hidupku tinggal sebentar lagi,"

"Jae..."

"Ya Lee?"

"Kau ingin mengakhiri penderitaan ini?"

Jaehyun mengangguk ringan, "ya.. tentu saja. Aku ingin menyudahi segala penderitaanku. Mungkin setelah ini, aku akan putus sekolah karena harus fokus untuk menjalani pengobatan. Ah, itu membosankan."

Jaehyun menghela nafas, "hari-hariku setiap hari terasa panjang, karena aku tak pernah mempunyai teman."

"Mengapa?"

"Karena aku tidak suka berteman."

"Ah, begitu."

Taeyong tak tahu harus menanggapi bagaimana. Maksudnya, ia merasa bersalah karena sudah terlalu kasar pada Jaehyun.

"Lee."

Taeyong menoleh, "hm?"

"Mau kah kau berteman denganku?"

Tatapan Jaehyun, begitu dalam. Seolah ia benar-benar mendambakan sebuah teman untuk mendampingi hari-harinya yang begitu panjang.

"Y-ya.. tentu saja." Taeyong gusar, jauh di dalam lubuk hatinya-ia ingin, mendampingi hari-hari Jaehyun.

Benar kan?

Sekuat apa pun kau berusaha menyangkal takdir, kau tidak akan pernah lepas darinya. Kau menyangkal pun percuma, Tuhan yang punya skenarionya. Kita hanya pemeran.

***

03 : Dua adam bertekuk lutut pada takdir, walau mereka tau bagaimana semua nanti akan berakhir.


"Bagaimana? Apa kau tidak merasa pusing atau mual?"

Jaehyun menggeleng, "tidak."

Perawat itu menghela lega. "Baiklah, kau akan kuberi beberapa pil tambahan untuk mengurangi nyeri di dadamu jika sewaktu-waktu kau mengalaminya. Tunggu di sini ya.."

Jumlah pil-ku bertambah lagi.

Si lelaki Jung hanya mengangguk mengiyakan, duduk di pinggir ranjang rumah sakit sendirian begitu perawat perempuan itu keluar dari ruangan.

Ia mengayunkan kakinya yang terjuntai tak menyentuh lantai, melihat kaki bagian kirinya yang terbuat dari cyborg kaki buatan yang terpasang dari pangkal betisnya.

"Jung? Kau tidak tidur saja? Pasti obatnya akan lama datangnya." Sapaan pria bersuara serak, Jung Yunho-ayah Jaehyun.

"Aku tidak bisa tidur ayah."

"Hm.. benarkah? Baiklah." Yunho duduk di samping sang putra kemudian. "Bagaimana?"

"Yah... seperti biasanya... ingin cepat menyudahi ini semua."

Yunho tau, bagaimana penderitaan sang anak selama dua tahun terakhir ini. Terlebih, ia adalah seorang duda. Ya, ibu Jaehyun meninggal saat bocah itu masih berusia lima tahun.

Yunho berusaha membesarkan Jaehyun seorang diri, sampai dimana anak satu-satunya yang paling ia sayangi, mengalami penyakit yang membuat hatinya teriris.

Kanker osteosarkoma, yang menyerang kaki kiri Jaehyun, menyebabkan ia harus kehilangan salah satu aset berharganya, dan digantikan dengan sebuah kaki buatan.

Berat memang, tapi Yunho berusaha menguatkan sang putera agar melawan penyakitnya, walau kenyataannya-Jaehyun ingin sekali menyerah.

"Bertahanlah Jae," Yunho mengusap punggung tangan Jaehyun, "hanya kau yang ayah miliki saat ini."

"Ayah ingin mengatakan apa tadi?" Jaehyung mengalihkan topik.

"Ah ya.. tadi ayah sudah berbicara dengan pihak sekolahan, kau... akan berhenti sekolah mulai besok, dan kau bisa fokus menjalani pengobatanmu Jaehyun."

Jaehyun menghembus nafas kasar, "okey."

"Jae... maaf, tapi semua ini ayah lakukan-"

"Tidak usah meminta maaf, ayah tidak salah. Ini hanya permainan takdir, right?"

Yunho memandang nanar putranya yang tersenyum tipis. "Ayah menyayangimu, Nak."

"Me.. too." Ucap lirih Jaehyun. "Ayah.."

"Hm?" Yunho menahan gerakannya yang berniat untuk berdiri.

"Apa.. aku boleh keluar nanti sore?"

"Sure.. kau mau kemana?"

"I have a new friend, jadi... boleh aku keluar dengannya?"

Diam-diam Yunho tersenyum, anaknya mulai membuka diri untuk beradaptasi dan berteman.

"Boleh. Uhm... memangnya tipe temanmu itu seperti apa Jung? Ayah baru kali ini mendengar kau mempunyai teman."

"Tidak ada, hanya... ingin berteman."

Karena dia cantik.
Dan menarik.
Dan lagi, aku tertarik.

"Okay. Dont be late, nanti makan malam bersama teman ayah, ok?"

"Ok."

***

Taeyong mengemasi barangnya, begitu bel sekolah berbunyi, menandakan seluruh murid diharuskan untuk pulang.

Cuaca dingin, seperti biasanya. Mungkin ini hari-hari penghujung musim dingin, dan setelahnya-Taeyong akan bebas bermain di taman bunga bersama Jeno saat musim semi nanti.

"Tae.. yakin ingin pulang sekarang?" Tanya Winwin, dirinya merasa ragu menatap ke luaran melalui jendela.

"Hm, mengapa memang?"

"Diluar dingin, hujan salju masih lebat. Aku lupa tidak membawa jaket." Winwin mempoutkan bibirnya malang.

"Bagaimana bisa kau lupa membawa jaket, tapi kau tidak lupa membawa pensil milik Yuta?"

Winwin meringis, menggaruk tengkuk bagian belakang, "orang-orang kan suka begitu, terlalu memikirkan orang yang dia cinta sampai lupa dirinya sendiri."

"Bodoh." Taeyong melirik malas.

Sedetik kemudian, ia tersentak, tatkala ponselnya bergetar. Tumben, Taeyong jarang menerima pesan dari siapapun di jam-jam seperti ini. Terkecuali Jeno yang meminta uang jajan padanya.

Jaehyun.

Itu Jaehyun.

|jaehyun jung|

|Lee..

|Apa kau sudah pulang sekolah?

Sudah|

Tapi aku masih disekolah|

|Benarkah?

|Apa kau ingin ku jemput?

Untuk apa? Aku bisa pulang sendiri|


|Uh, sebenarnya aku ingin..
|mengajakmu keluar hari ini

Ke?|

|Terserahmu

Ini musim dingin|

Kau mau kita kemana?|


|Uh.. musim dingin

|kamar?

Sinting|


|Hahaha

|Sebenarnya aku juga tidak tau

|Tapi, bagaimana kalau hanya sekadar jalan-jalan biasa?

Jika aku mati kedinginan, kau pelakunya|

Ku tunggu jangan terlambat|


Ayay captain!

Ku tunggu di gerbang sekolah ya

"Tae, kau mau pulang duluan?"

"Ya, kau tak apa kan pulang sendiri?" Tanya Taeyong sembari meneteng tas.

Winwin tersenyum, sedetik kemudian ia melirik Yuta yang duduk dibangku pojok. "Sepertinya hujan salju akan berangsur lama, Lee."

"Sinting. Aku pergi kalau begitu, bye!"

***

Jaehyun menyandar di kursi mobilnya, menunggu keluarnya Lee Taeyong dari gedung sekolah.

Senyumnya tidak bisa luntur, ia begitu senang.

"Apa teman Tuan membawa jaket? Udara hari ini cukup dingin." Ucap Pak Kim, supir pribadi keluarga Jung.

Jaehyun duduk di kursi belakang, menatap Pak Kim melalui spion dasbor, "aku tak tau. Jika dia tak membawa jaket, maka aku akan memeluknya."

"UHUK!"

Refleks Pak Kim tersedak saat tengah meminum kopinya.

Jaehyun terkekeh. Sedetik kemudian, ia memandang melalui kaca mobilnya yang tertutup. Mendapati lelaki mungil tengah berlari keluar dari gedung sekolah, berusaha menghindari guyuran hujan salju.

Seringai manis tercipta, "dia memakai syal bulat dikepalanya, menggemaskan."

Pintu mobil terbuka dari luar, Taeyong masuk membuat hawa dingin menyapa Jaehyun.

"Maaf, apa aku membuatmu menunggu lama?" Taeyong terengah, masih berusaha beradaptasi, jujur saja ia masih sedikit canggung dengan Jaheyun.

"Tidak apa-apa, itu sudah biasa dalam sebuah hubungan, menunggu."

"Maaf?" Taeyong mengernyit tak paham.

Sementara Pak Kim, ia melihat interaksi anak majikannya melalui spion dasbor. Diam-diam ia menahan tawa, begitu bahagia melihat Tuan kecilnya akhirnya mempunyai teman.

"Kau cantik, Nak." Puji Pak Kim.

Taeyong? Ia hanya tersenyum samar. Pak Kim tau kalau ia lelaki, tapi apakah harus memujinya cantik?

"Pak Kim, apa kau tidak keberatan membawaku ke taman?"

"Taman?" Pak Kim berpikir sejenak, "hm... sepertinya aku tau taman mana yang cocok untuk kencan kalian berdua."

Taeyong menggerakkan maniknya resah, "a-a-apa? P-pak kami tidak berken-"

"Bawa kami kesana, Pak. Aku ingin melewati kencan pertamaku dengan indah." Jaehyun tersenyum memandang Taeyong yang merengut sebal.

Taeyong ingin protes, namun ia tau diri karena dihadapannya ada Pak Kim. Akhirnya ia hanya bisa diam dan menatap keluar, enggan melihat wajah Jaehyun.

Mobil melaju, membawa dua adam itu menembus dinginnya udara sore yang beranjak petang.

Dan mungkin ini adalah kencanku yang terakhir.

***

Tujuan yang dimaksud Pak Kim-Garden of morning calm, sebuah taman di daerah Gapyeong. Mereka menempuh jarak kurang lebih satu kilometer, dan rasa-rasanya, perjalanan cukup panjang Jaehyun tidak sia-sia.

Jaehyun dan Taeyong memandang takjub taman yang dihiasi lampu-lampu indah, yang menghiasi taman itu. Pohon-pohon yang tertimbun salju daunnya, disulap menjadi indah tatkala lampu berwarna-warni melilit batang pohonnya.

Guyuran salju, entah kenapa tampak kontras ditempat itu.

"Jae.. ini...indah." Taeyong tak sengaja menyunggingkan senyum. Pandangannya begitu polos, menyiratkan bahwa ia benar-benar suka dengan apa yang ia lihat.

Jaehyun menatap bagaimana wajah Taeyong yang menengadah dengan kedua telapak tangan menghadap langit, menerima kepikan salju yang jatuh.

Cantik.

Jaehyun tak bosan menggumamkan kalimat itu pada Taeyong.

"Taeyong," panggil Jaehyun.

Si pemakai syal bulat dikepala itu menoleh, "hm?" Matanya membola lucu.

"Kau suka?"

Taeyong mengangguk dan tersenyum lebar, membuat matanya tenggelam, "ya. Aku menyukainya."

Si mungil kemudian berjalan menuruni tangga jalan, mengarahkan dirinya menuju gerombolan hiasan lampu di bawah sana.

"Jaehyun... bisa kau foto aku? Aku ingin menunjukkannya pada adikku." Taeyong berdiri dan menatap Jaehyun di atas.

Jaehyun mengangguk menyetujui, ia mengambil ponselnya, mengarahkan kamera belakang pada Taeyong yang sudah berdiri di bawah dan bersiap untuk pose.

"Satu.. dua.. tiga."

Hitungan selesai, Taeyong membuat pose tersenyum sambil membuat simbol peace dengan tangannya.

"Apa hasilnya bagus?"

"Apapun itu.. jika yang melakukannya kau, selalu bagus Lee."

"Kau bilang apa Jae?" teriak Taeyong dari bawah sana, ia tak mendengar ucapan Jaehyun yang terkesan lirih.

Jaehyun cepat-cepat menggeleng, ia menuruni anak tangga dan menghampiri Taeyong. "Bagaimana jika ke gazebo? View disana lebih bagus."

"Boleh, ayo!" Seperti anak kecil, Taeyong berjalan mendahului Jaehyun. Si mungil terlampau senang.

Jaehyun hanya terkekeh gemas, berjalan sambil menyakukan kedua tangan di celah jaket tebal miliknya, sesekali menghirup udara dalam-dalam, merasakan kalau sudah lama Jaehyun tak keluar di jam seperti ini.

Tentu saja. Keluar pun mau apa? Sebelum-sebelumnya ia tak punya teman untuk di ajak keluar.

Tak seperti sekarang. Ia punya Taeyong.

Keduanya kini sudah sampai di gazebo, letaknya berada ditengah danau dengan teratai buatan yang mengapung dan menyala akibat lampu didalamnya, sangat indah.

Mata Taeyong berbinar, ia kelewat kagum. Tak pernah ia pergi ke tempat seindah ini dalam hidupnya.

"Jaehyun ini sangat indah!" Taeyong melonjak girang.

"Sama-sama."

Buru-buru Taeyong melunturkan senyumannya, "ah... iya, terima kasih Jaehyun, kau sudah membawaku ke tempat seindah ini. Kau tau? Bahkan aku tak pernah pergi ke taman atau apapun itu. Ini pertama kalinya, dan aku merasa senang!" Taeyong meringis.

Lucunya.

"Apa kau aslinya begini?" Jaehyun mengamati bagaimana Taeyong bersenang-senang sejak tadi.

"Maksudnya?"

"Banyak bicara, seperti anak kecil, dan kau juga sangat ramah."

Taeyong mengulum bibir, "ya itu karena aku masih canggung padamu awalnya, tapi semakin kesini, aku tau kau orang yang baik."

"Hm, begitu?" Jaehyun menaikkan alisnya sebelah.

"A-aku juga berusaha agar terlihat seperti orang baik dihadapanmu." Taeyong mengalihkan pandang, menyandar pada pagar gazebo dan menatap danau.

"Kau sudah terlihat baik sejak awal kita bertemu."

"Itu menurutmu, menurutku... aku ingin terlihat lebih baik lagi padamu. Aku menyesal sudah terlalu dingin padamu tempo hari, aku minta maaf."

Jaehyun menghela nafas dalam, menatapi indahnya langit malam kota Gapyeong yang begitu indah, walaupun diburamkan karena salju.

"Apa kau berusaha lebih karena aku berbeda dari yang lain, begitu?"

Mengigit bibir bawah, Taeyong tau kalau mungkin ucapannya sedikit menyinggung Jaehyun. Tidak sedikit, mungkin banyak.

"Jae.. aku minta maaf."

Si pemilik lubang cacat di pipinya itu tersenyum, "mengapa kau meminta maaf? Aku lebih suka kau yang dingin padaku, itu sedikit lebih menantang."

Puk!

Lelaki Lee itu memukul lengan Jaehyun, "Jaehyun!" ucapnya kesal.

"Apa? Aku hanya mengatakan faktanya. Kau lebih cantik ketika bersikap jutek dan ketus padaku."

"Aku laki-laki, dan aku tampan!" Sahut Taeyong tak terima.

"Benarkah? Jika begitu, mungkin supirku tadi tidak akan bilang kau cantik, padahal ia baru pertama kali melihatmu. Dan dia tau kalau kau lelaki."

"Terserah! Pokoknya aku tampan!" Taeyong mengerucutkan bibirnya lucu, menatap ke arah lain.

Apa Jaehyun tidak semakin gemas, disuguhi pemandangan seperti ini?

"Lee."

Taeyong berangsur-asur merasakan sebuah debuman keras di jantungnya. Panggilan dari pemilik suara husky itu, entah kenapa sedikit menggoyahkan dirinya.

Kepalanya menoleh perlahan, mendapati Jaehyun yang sudah menatapnya dengan dalam, memberikan arti ambigu.

"Ya?" Mati-matian Taeyong menahan dadanya yang terasa sesak.

"Kau cantik." Tidak, ini bukan sebuah bualan. Kalimat ini, terlontar karena Jaehyun benar-benar mengagumi paras ayu Lee Taeyong.

"Terima.. kasih?" Seolah terhipnotis, si pemakai syal bulat itu menanggapi pujian Jaehyun begitu saja.

"Lee..." Jaehyun menunduk, mengambil kedua tangan mungil Taeyong yang terlapis oleh sarung tangan dengan hiasan bulu-bulu, menggenggamnya penuh arti kemudian.

Taeyong membeku, seperti es. Manik tak bisa ia alihkan ke arah lain. Ia terpaku pada sosok Jaehyun yang menatapnya dalam.

"Biarkan aku... menghabiskan 168 jam terakhirku, denganmu..."

Deg!

Kalimat itu, membuat liquid bening di mata Tayeong terkumpul. Tidak, ia tak mudah menangis-hanya saja, entahlah, apa ini manusiawi?

Tubuhnya terasa lemas, menatap mata teduh itu begitu dalam. Bibir terasa kelu untuk sekadar menggumamkan kata-kata.

"...sebelum aku benar-benar pergi."

Jaehyun menantikan bibir senada dengan warna peach itu membalas perkataannya. Ia tau ini terasa cepat tapi, ia tak bisa menahan semua yang bergejolak di hati.

Ungkapkan, sebelum terlambat.

"A-aku..." manik itu bergerak gelisah, sekedar menjeda kalimat untuk mengambil nafas dalam, "aku akan bersamamu. Sampai 168 jam terakhir, aku tidak pergi meninggalkanmu."

Senyum Jaehyun mengembang saat itu juga. Bersamaan di waktu yang sama, lampu-lampu di gazebo menyala seketika, menimbulkan keterkejutan Taeyong dan Jaehyun.

Sedetik kemudian, mereka tertawa. Melepas penat, beban, masalah, dan yang terpenting-dua adam itu telah bertekuk lutut pada takdir, walau mereka tau bagaimana semua nanti akan berakhir.

***

04 : aku sudah terbiasa, diberikan suka lalu kemudian ditorehkan luka. Jae, apa jika kepadaku, tuhan selalu bercanda?

"Bagaimana jika dia benar-benar pergi?"

"Apa kau tak punya usaha untuk menahannya?"

"Kau tau kapan dia akan pergi, setidaknya buat perpisahan paling indah."

Taeyong menahan berat tubuh denngan kedua tangannya di wastafel kamar mandi. Bersamaan dengan itu, kepalanya menunduk lesu, mendengar untaian pertanyaan yang memenuhi kepalanya.

Pertanyaan itu, tak lepas dari sosok Jaehyun.

Tinggal 96 jam lagi tersisa.

Menghidupkan kran air, Taeyong membasuh wajahnya, mencoba menyegarkan pikirannya yang sedikit stress akhir-akhir ini.

"Hyung... kau di dalam?"

Lee Jeno, adik bungsu Taeyong yang berteriak dari luar kamar madni.

"Ya, kenapa?" Sahut Taeyong.

"Aku akan menginap di rumah Mark, kau tak apa?"

"Untuk apa?"

"Orang tuanya ke Kanada, aku hanya ingin menemaninya."

Taeyong kemudian menghela nafas, meraih handuk yang tersemat di tembok kamar mandi. Lelaki Lee itu lantas berjalan dengan hanya mengenakan kaus tanpa lengan dan celana pendek.

Pintu terbuka, menampilkan Jeno yang sudah berpenampilan rapi. Kemeja kuning dengan kaus dalaman putih, serta celana jeans.

"Kau benar-benar akan pergi ke sana?"

"Ya, memangnya kenapa? Biasanya kau juga membolehkan saja." Ucap si pemilik mata manis.

Taeyong mengusak kepalanya dengan handuk, "bisa kau beri aku sedikit saran?"

Jeno mengangguk samar, terlihat bingung dengan ucapan kakaknya. "Boleh, saran apa memang?"

"B-begini, apa yang akan kau lakukan pada Mark jika dia akan berulang tahun?"

Bodoh, pertanyaan apa itu.

"Mark? Uhm... aku memberinya ucapan selamat, hanya ucapan."

Sudah kuduga.

Bocah tak punya modal seperti dia mau memberi apa selain ucapan dan doa abal-abal.

"Ah, tapi saat Jaemin berulang tahun, aku mengajaknya untuk mengabulkan keinginan sederhananya yang paling ia idam-idamkan."

Sedikit info, Jaemin itu kekasih Jeno, teman satu kelasnya.

"Keinginan?" Terdengar menarik tapi, "bagaimana jika ia menginginkan mobil?"

Jeno menepuk jidat, "keinginan sederhana bodoh. Kita mengesampingkan keinginan yang bersifat materi, karena itulah definisi dari kata sederhana."

Taeyong mengangguk paham kemudian. Ah, ada gunanya juga mempunyai adik yang membudak dalam dunia percintaan.

Jeno menyadari kakaknya yang tampak aneh akhir-akhir ini, tak fokus. "Hyung.. apa kau mau memberikan sesuatu pada seseorang?"

Yang ditanya gelagapan, "t-tidak a-aku hanya sedang bertanya saja.

Mata Jeno menyipit penuh curiga. "Apa kau berkencan?"

"Tidak bodoh!" Taeyong melotot tak terima, "sudah kau pergi sana aku muak melihat wajah bodohmu itu." Usir si mungil.

Jeno terkekeh pelan, "baiklah aku pergi. Tapi apa kau tak mau menciumku dulu? Atau... memelukku?"

"Kau mau kutendang?"

Jeno buru-buru keluar dan meneteng sepatunya yang belum sempat ia pakai begitu Taeyong menatpnya tajam.

Jeno memang selalu mengejeknya mentang-mentang Taeyong adalah seseorang yang menghindari sentuhan, termasuk dengan adiknya sendiri. Sedikit aneh, tapi itulah faktanya.

Taeyong hanya belum siap, menyaksikan bagaimana Jeno-nya pergi dari dunia ini, nanti.

Tidak. Ia sangat menyayangi adiknya. Jadi, biarkan ia menikmati waktu bersama Jeno sampai saat berpisah tiba.

Kembali ke Taeyong yang saat ini duduk, mengambil ponselnya untuk mengirim pesan pada seseorang.

Siapa lagi kalau bukan Jaehyun.

|Jaehyun Jung|

Jae apa kau sibuk?|


|Tidak lee kenapa

Uh|

Apa boleh aku ke rumahmu?|


|Kenapa tidak aku saja yg ke rumahmu?

JANGAN! (m ̄)|

Kau harus istirahat! Atau aku yg akan| dimarahi paman Yunho|

Aku saja yg kesana|


|Lucunya

|Baiklah kesinilah

Taeyong menghela nafas lega. Ia benar-benar akan menuruti saran dari Jeno.

Keinginan sederhana? Tidak buruk. Setidaknya itu bisa membuat temannya bahagia, ya mungkin.

Menepis segala pikirannya yang terlalu berlebihan, Taeyong segera bangkit dan bersiap untuk pergi ke rumah Jaehyun.

***

Jaehyun menyandarkan diri di bahu ranjangnya. Seharian ini waktunya dihabiskan hanya untuk berbaring di kamar, ah tidak-itu kan sudah menjadi rutinitas Jaehyun semenjak ia putus sekolah untuk menjalani pengobatan.

Ya, setidaknya bosannya sedikit terobati karena kedatangan Taeyong.

Ngomong-ngomong soal Taeyong, ia jadi rindu lelaki manis itu. Walaupun Jaehyun bertemu terakhir dengan Taeyong tadi malam, namun tetap saja, ia tak bisa lepas darinya.

Aku tak siap untuk pergi jika seperti ini.

"Oh Lee, kau ke sini naik apa?"

"Aku naik taksi paman, apa Jaehyun ada di kamarnya?"

"Ya, kau hampiri saja dia."

"Baiklah, permisi."

Jaehyun tersenyum, mendengar suara ayahnya yang mengobrol dengan Taeyong di luar. Temannya sudah datang.

Pintu kamar terbuka dari luar, menampilkan Taeyong yang baru saja datang dengan syal bulat yang selalu ia pakai, beserta mantel tebal dan sarung tangan rajut, dia begitu menggemaskan.

Jaehyun tanpa sadar mengembangkan senyum, "kau menggemaskan Lee."

Taeyong memutar mata jengah, "kau mengatakan itu lebih dari seratus kali. Aku bosan." Si mungil melepas mantel dan syal, membiarkan tubuhnya hanya dibalut kemeja dan celana kain hitam.

Lelaki Lee itu kemudian duduk di pinggiran ranjang, menatap bagaimana tubuh Jaehyun yang terlihat lemah, tertutup oleh selimut tebal. Menatap ke atas, Taeyong mendapati wajah dan bibir Jaehyun yang begitu pucat.

"Kau merasa sakit?" Tanya Taeyong.

Jaehyun menggeleng seraya tersenyum, "tidak. Aku baik-baik saja."

"Kau yakin?"

"Ya. Waktuku kurang 96 jam lagi Lee, setelah itu aku tak akan lagi merasakan rasa sakit."

Taeyong mengernyitkan dahi dan mencebikan bibir, "bodoh."

"Aku?"

"Iya kau! Kau sangat bodoh. Bagaimana bisa ada orang yang ingin segera mati?"

"Apa kau sedih kalau aku nanti meninggal?"

Taeyong membolakan matanya, "untuk apa? Tidak penting!"

Ya, itu sedikit penting sebenarnya, Jung.

Fakta bahwa sebenarnya aku mulai nyaman denganmu, tak bisa kutepis jauh dari pikiranku.

"Untuk apa kau ke sini?"

Menelan saliva, si mungil kemudian membenarkan posisi duduk agar merasa lebih nyaman.Ia menatap ke dalam netra Jaehyun penuh pengharapan.

"A-aku.. uhm,"

"Ya? Kau kenapa?"

"Aku ke sini hanya ingin mengetahui keinginan sederhanamu, itu saja."

Jaehyun menyentak kelopak, namun sedetik kemudian ia terkekeh tanpa suara, manisnya.

"Kau.. jauh-jauh ke sini? Astaga," sekedar menjeda ucapan untuk menggeleng, merasa tak percaya, "kau memang penuh kejutan."

Bukan, Taeyong bukan bertanya tentang itu, tapi lebih spesifik, ia ingin membantu mengabulkan keinginan sederhana Jaehyun yang belum sempat ia lakukan.

"Jadi.. apa kau punya keinginan? Tapi.. jauhkan keinginan yang bersifat materi, karena modalku tidak cukup untuk membiayai keinginan bocah hedon sepertimu."

Lihatlah si mata bulat itu ketika bicara, selalu seenaknya saja.

Jaehyun memandang ke arah lain, tampak berfikir sesuatu yang sebenarnya sudah ia idam-idamkan sejak dulu, bahkan mungkin beberapa, karena Jaehyun punya banyak keinginan yang ia ingin lakukan.

"Lee..."

"Ya?" Mata bulat itu berbinar penuh harap.

"Kau pernah melihat film La La Land?"

Taeyong mengerjap berfikir sejenak, ah-Winwin pernah mengajaknya nonton itu dulu.

"Pernah, film manis, tragis dan ironis itu kah yang kau maksud?"

Jaehyun mengerling, "kau berlebihan, sebut saja film musikal. Kau masih ingat bukan?"

Si mungil mengangguk, "tentu aku masih ingat."

Jaehyun menegakkan badan kemudian, bangkit dari posisinya yang bersandar dan duduk. "Bisakah kau memainkan piano theme dari film itu?"

"Kau... mau aku bermain piano?"

"Ya... karena itulah alasanku mengambil les piano, aku ingin memainkan iringan itu, sangat indah."

Taeyong menatap sorot mata Jaehyun, kecewa, sedih, namun tak bisa apa-apa.

"Jung... apa kau mau aku memainkannya untukmu?"

Jaehyun mendongak, "aku tadi meminta, tentu saja aku mau."

Taeyong tersenyum, apapun itu jika hanya urusan bermain piano, maka ia akan mengabulkannya. Lagipula, melodi yang diminta Jaehyun dimainkannya juga salah satu melodi favorit Taeyong.

Melodi itu, menyimpan sejuta ironi dalam setiap dentingan piano berbunyi.

Taeyong menyukainya.

"Baiklah, ayo ke ruangan atas. Pianomu ada di sana bukan?"

Jaehyun mengangguk, menyingkap selimutnya yang langsung membuat Taeyong membelalak.

"Jae.. kau melepas kaki buatanmu?" Taeyong menatap kaki sebelah kiri Jaehyun.

Jaehyun sepertinya belum memberi tau mengenai hal ini pada Taeyong, ya karena itu terjadi begitu saja.

"Kemarin aku check up ke rumah sakit, dan aku meminta dokter untuk melepasnya."

"Kau gila? Bagaimana bisa? Lantas, bagaimana jika kau- astaga..." Taeyong memijat kening pasrah.

Melihat temannya seperti itu, entah kenapa membuat Jaehyun merasa senang. Setidaknya ada orang yang khawatir padanya, selain ayah Jaehyun sendiri.

"Kau mengkhawatirkanku?"

"Tidak! Sebaliknya, aku ingin membuangmu ke sungai Han! Bisa-bisanya kau melakukan hal bodoh, ya Tuhan Jae.."

"Aku melihat anak kecil yang orang tuanya tidak bisa membayar administrasi kemarin. Dia lumpuh, sama sepertiku."

"L-lalu?"

"Dia menginginkan untuk bisa berjalan, tapi orang tuanya tidak mampu membelikan kaki buatan untuknya, jadi kuberikan kaki buatanku padanya."

Taeyong terdiam, bingung harus menjawab apa. Dilain sisi ia tidak ingin Jaehyun kesulitan berjalan dengan satu kaki, sementara itu, dia juga tidak bisa mengesampingkan sikap Jaehyun yang begitu baik pada anak kecil itu.

"Lalu, kau memberikannya begitu saja?"

"Tidak, ada syaratnya sebenarnya."

Mata Taeyong memicing, "dasar licik. Apa itu?"

"Dia kusuruh untuk datang ke makamku jika aku sudah tiada nanti. Setidaknya, ada seseorang yang bangga dan merasa berterima kasih karena ulahku."

Wajah Taeyong memanas, berusaha menahan agar air mata tidak berkumpul memenuhi pupilnya.

Jae kau..

... benar-benar membuat rasa sedikit tertarikku, menjadi bertambah.

Kau begitu sesuatu.

"Kau, baik." Puji Taeyong, jauh di lubuk hati, ia meraung penuh ironi.

"Apa kau jadi memainkan aku melodi dari film kesukaanku itu? Aku menunggu sejak tadi."

Taeyong hampir lupa, segera ia mengerjapkan mata beberapa kali agar tak terlalu kentara kalau ia sedang menahan tangis.

Oh tentu, siapa yang tidak menangis disuguhi adegan seperti ini?

"Berdirilah, biar kau ku tuntun." Taeyong meraih tangan kanan Jaehyun.

"Tidak perlu." Si lelaki menarik tangannya lagi, menoleh ke arah laci, mengambil dua tongkat penumpu yang ia sandarkan di sana.

Segera Jaehyun berdiri, dibantu dengan Taeyong tentunya.

"Kau bisa sendiri Jae?"

"Bisa, ayo."

***

Piano usang itu terbuka kainnya.

Diberi pencahayaan berupa sinar matahari yang merembak masuk melalui jendela, Lee Taeyong memejamkan mata seraya mengayunkan kedua telapak mulus itu, merasakan tekstur dari tut piano tersebut.

Di sisi lain, duduk seorang Jung Jaehyun-lelaki yang menatap bagaimana sempurnanya Taeyong jika disandingkan dengan benda peninggalan mendiang ibunya.

Taeyong dan piano milik ibu.

Sama-sama candu.

Perpaduan yang sempurna.

Pemuda Lee mulai menari-narikan jarinya, memainkan melodi indah, mengharapkan kegundahan hatinya pergi untuk sementara, dan membiarkan suka tanpa lara memenuhi suasana keduanya.

Jaehyun tersenyum, ia bahagia yang benar-benar bahagia. Melodi itu indah, sama persis seperti apa yang ia minta, Taeyong benar-benar luar biasa.

Mata memejam, dalam hati Taeyong membatin, melodi ini, menyakitkan, penuh ironi, sama seperti hubungan ambigu ku dengan Jaehyun.

Aku tidak tau bagaimana ke depannya nanti, siap atau tidak, tapi aku seolah dibutakan oleh takdir, tetap menjalani semua walaupun aku tau bagaimana akhirnya.

Ya, melodi ini senada dengan perasaan abu ku sekarang.

Klimaks, Taeyong semakin menghayati, geraham menggertak, merasakan paduan indah tuts yang saling bertabrakan. Ia tak ingin mengecewakan penontonnya, yang kini terdiam, memandang wajah Taeyong dan menyadari...

... bahwa mata cantik itu meneteskan buih bening.

Taeyong menangis, dalam permainannya.

Jaehyun segera bangkit, tak peduli melodi itu sebentar lagi akan berakhir. Memapah langkahnya dengan tongkat, lelaki itu kemudian berjalan menghampiri si Lee yang masih serius.

"Lee.."

Melodi masih berlanjut, Taeyong tak mendengar panggilan dari Jaehyun hingga akhirnya, si pemuda lesung pipi menekan sembarang tut itu, membuat Taeyong refleks membuka mata, menyadari bahwa ia terlalu menghayati.

Taeyong mendongak, melihat Jaehyun yang sudah berdiri di hadapannya. "Jaehyun? Kenapa?"

Jaehyun menghela nafas, "aku yang seharusnya bertanya padamu. Kau kenapa menangis?"

Taeyong terlambat menyadari, kalau matanya sudah dibanjiri liquid bening, beberapa menetes membasahi pipi. Cepat-cepat ia menyeka.

"Aku hanya.. menghayati." Ucapnya bohong.

Aku hanya...

... tidak tau, bagaimana ini akan berakhir nantinya.

Jaehyun berpegangan pada piano, menyandarkan kedua tongkatnya lantas duduk di ruang kosong di sebelah Taeyong.

Keduanya kini duduk berdampingan, saling berdiam diri, menerima terpaan mentari.

"Kau tau, alasanku menyukai film La La land?" Tanya Jaehyun, memecah keheningan.

Taeyong menggeleng, masih dengan wajahnya yang sedikit memerah karena menangis.

Jaehyun tersenyum tipis, menuntun telunjuknya untuk menekan satu tut piano di hadapannya.

"Somesay, happy ending is just for a fairy tale. But at least, I can just make my own dream, just for me."

Taeyong menelan saliva, menyadari bahwa Jaehyun begitu, naif.

"Betapa pun bodoh dan tidak mungkinnya mimpi kita terjadi, tetap saja... kita akan selalu mengusahakannya. Bukan begitu, Lee?"

"Aku belajar dari film itu, tentang semuanya. Cinta, ambisi, dan semua yang tak harus dimiliki. Aku benar-benar tau, bahwa hidup tak perlu terotasi untuk sekadar mewujudkan impian bodoh kita.."

"...setidaknya, impian itu tetap terwujud, walau hanya dalam angan semata. Aku merasa senang, sangat."

Jaehyun menunduk.

Terkadang, aku merasa lelah.

Sangat.

Sangat lelah.

Hingga rasanya, sandaran bahu untukku pun bisa menjadi obat untukku.

Sesederhana itu.

Taeyong meraih pipi kanan Jaehyun, menarik kepala si lelaki untuk bersandar di bahu kanannya.

"Somewhere, there's place where i find who im gonna be, aku masih mengingat dialog itu." Taeyong memandang wajah Jaehyun yang memandang kosong ke depan.

"Tidak ada mimpi bodoh, mimpi tolol, mimpi idiot, itu semua tidak ada Jae. Kau hanya belum menemukan tempat terbaikmu untuk mewujudkan mimpi itu."

Jaehyun menarik kepalanya, memandang wajah Taeyong lekat. "Heaven?"

Ku mohon, jangan membahas kematian atau apapun itu.

Aku merasa...

...sakit.

"Itu adalah destinasi semua orang untuk mewujudkan mimpi indahnya." Ucap Taeyong.

"Dan itu akan jadi destinasi ku setelah ini."

"Jae!" Taeyong sedikit menaikkan nada, memejam mata kesal. Menyadari kalau ia melenceng, ia segera menatap mata Jaehyun, "kumohon.... jangan membahas apa pun itu tentang kematian, aku tidak menyukainya."

Jantung Jaehyun berdegup, perasaannya tak karuan. "Kenapa?"

"Karena aku sudah tau, semuanya, semua ini akan berakhir nantinya. Jadi kumohon, berhentilah membahas, dan biarkan aku melupakannya."

Jaehyun hilang akal, ia biarkan telapaknya mengusap pipi Taeyong, ini pertama kalinya. Sesekali ia menyeka sisa air mata di sana, menatapi indahnya jelaga hitam yang memandang dalam padanuya.

"Kita bodoh, tetap saja melakukannya walau tau bagaimana nanti akan berakhir." Jaehyun tertawa, tanpa suara.

"Kau mengesalkan Jung." Taeyong berdiri, menyudahi sesi penuh ironi ini.

"Ayo, kembali ke kamar. Kau butuh istirahat."

***

Taeyong menutup kelambu kamar Jaehyun, merasa kalau sinar matahari yang sudah beranjak siang ini cukup untuk mengganti udara di kamar Jaehyun.

Si pemilik kamar sudah terbaring, memakai selimut kembali seperti awal Taeyong datang.

"Kau mau makan?" Taeyong berjalan menghampiri Jung dan duduk di sampingnya.

"Tidak, aku sudah kenyang."

"Karena?"

"Karena mu."

"Thats classic, Jung. Makanlah, biar aku yang memasak untukmu."

Taeyong berniat untuk bangkit, namun pergelangan segera ditahan oleh Jaehyun.

Ia menoleh, "kenapa?"

Jaehyun menepuk sisi kosong di sampingnya, menyuruh Taeyong untuk berbaring di sana.

"Berbaringlah di sini, aku ingin bersamamu sepanjang hari untuk sekarang."

Menghela nafas, Taeyong mengiyakan ucapan Jaehyun. Ia berjalan memutari kasur, melepas sepatunya lantas berbaring tepat di samping Jaehyun.

"Taruh disini." Jaehyun menyodorkan lengan kirinya. "Kepalamu, tidurkan di sini."

Menuruti segala permintaan sang lelaki, Taeyong kemudian menidurkan dirinya di lengan Jaehyun. Bukan tidur sih, hanya setengah bersandar saja.

Taeyong menyamankan posisi, mengakibatkan kepalanya sedikit menyenggol dada Jaehyun.

Merasa semua ini tanggung, Jaehyun menabrakkan saja kepala itu pada dadanya, membiarkan Taeyong menidurkan kepalanya di sana, sekaligus menjadi saksi bahwa jantungnya selalu tidak baik-baik saja setiap ia dekat dengan Taeyong.

"Pasti membosankan, menghabiskan waktu berhari-hari di dalam kamar." Ucap Taeyong, menatap ke luar jendela, sama seperti Jaehyun.

Jaehyun mengusap surai Taeyong, membiarkan si pemilik merasa nyaman. "Kau menyindirku?"

Puk!

Taeyong memukul perut Jaehyun. "Aku sedang tidak menyindirmu, bodoh. Aku berbicara tentang hari-harimu."

Jaehyun tertawa, "baiklah baiklah."

"Aku mengantuk," Taeyong menyamankan kepalanya.

"Tidurlah. Nanti aku akan membangunkanmu."

"Jae.."

"Hm?"

Taeyong bermain dengan jemarinya sendiri, "kau melupakan sesuatu?"

Kening Jaehyun mengernyit. "Sesuatu? Apa itu?"

"Tentang bagaimana film La La Land mengajarkan orang-orang untuk memahami makna tentang, cinta tak harus memiliki?"

Jaehyun tau, tapi bukankah ia sudah membahasnya tadi? Atau mungkin Taeyong tak benar-benar mendengarkannya.

Si mungil kemudian menarik kepalanya, menatap netra cokelat Jaehyun. Sedikit canggung, tapi mungkin ini akan menjadi sesautu yang tak pernah disesali Taeyong nantinya.

"I'm always gonna love you," si mungil mendaratkan kecupan singkat di bibir tebal sang lelaki pucat. "walau aku tau, aku akan melepaskanmu nanti."

Jaehyun membeku. Terlambat menyadari tingkah seorang Lee Taeyong yang baru mengecup bibirnya.

Taeyong beralih mengambil pergelangan kiri Jaehyun, membawanya ke pipinya, refleks ia memejam, menerima tekstur telapak Jaehyun.

Jaehyun bingung, lebih tepatnya, resah.

"Lee.." Jaehyun menatap cemas wajah cantik itu.

Taeyong mengangguk yakin, mengigit sekilas jempol Jaehyun lantas menjauhkannya dari bibir. "Lakukan... agar aku tak akan menyesali semuanya."

"Lee aku," Jaehyun menahan nafas, hatinya terguncang. Ia tak bodoh untuk tau apa maksud dari perlakuan Taeyong.

Sekali lagi, ia diyakinkan oleh Taeyong. "Aku benar-benar..."

Taeyong menarik kepala Jaehyun, menyatukan kedua bibir itu untuk kemudian saling memagut.

Melepas pagutan, hingga benang saliva tercipta, Jaehyun menempelkan hidungnya pada hidung si lelaki Lee.

"....aku benar-benar mencintaimu."

Taeyong tersenyum, beralih duduk di paha Jaehyun dan mengalungkan kedua tangan di leher si lelaki Jung, lantas melanjutkan ciumannya yang sempat terhenti.

Ini adalah keinginan sederhanaku untukmu Jaehyun. Semoga kau senang.

Dan dua adam itu benar-benar menyatukan sesuatu semu yang disebut cinta, tak peduli bagaimana semua akan berakhir nantinya.

Cinta tak harus memiliki katanya..

... lantas, bagaimana jika,

Cinta tentang mengikhlaskan sesautu yang akan pergi?

Padahal ia belum sempat memiliki.

***

Hari berganti sore. Salju-salju yang menuruni kota Anyang sudah mulai menghilang, mungkin ini benar-benar hari penghujung dari musim dingin.

Taeyong, lelaki dengan tubuh polos tanpa busana namun berusaha menutupinya dengan selimut, membuka matanya pelan.

Ia terlihat menyesuaikan cahaya yang masuk, dan menyadari kalau matahari sudah berganti warna, jingga.

Sudah sore.

Taeyong mendudukkan diri, memakai satu-persatu kain yang tertanggal darinya. Matanya masih memicing, berusaha beradaptasi dengan situasi yang ada.

Merasa tubuh terbalut busana lengkap, Taeyong baru saja menyadari kalau Jaehyun tak berada di sampingnya.

Kemana Jaehyun?

Ia turun dari ranjang, "Jae.. kau di kamar mandi?" Taeyong mengetuk pintu kamar mandi yang berada satu ruangan dengan kamar Jaehyun.

Tak ada balasan, tapi pintunya terlihat terkunci dari dalam.

"Jaehyun, kau mandi?" Tanya Taeyong sekali lagi, dengan suara yang agak tinggi.

Nihil, tak ada jawaban.

"Jaehyun kau di dalam? Jawab aku." Taeyong mulai panik, "Jae kumohon."

Menaik turunkan gagang pintu berharap benda itu terbuka, namun tak ada hasil. Hingga akhirnya, Taeyong mendobrak pintu dengan kaki, berhasil membuatnya rubuh dalam sekali hentak.

Lelaki Lee segera masuk, mengedarkan pandang dan mendapati Jaehyun yang terduduk dengan tubuh basah kuyup di samping bathup.

"Jaehyun!" Taeyong berlari, menghampiri si lelaki, "Jaehyun ada apa denganmu?"

"A-aku tidak tau, aku tiba-tiba muntah banyak, dadaku terasa sakit." Dan setelah menjawab ucapan Taeyong, Jaehyun segera membuka tutup closet lagi, membuang segala apa yang ia tahan ke dalam.

"Jaehyun, ayo ke rumah sakit." Taeyong mengambil handuk dan menyelimutkannya pada tubuh Jaehyun.

Jaehyun merasa kehabisan nafas, dadanya terasa sakit yang amat sekali. "T-tae... kurasa aku tidak kuat. Aku benar-benar menyerah kali ini, dadaku sakit."

"T-tidak! Kau harus bertahan, ayo aku akan menuntunmu ke mobil, Jae ayo bertahanlah."

Jaehyun kemudian berdiri, membiarkan Taeyong menahan seluruh beban tubuhnya, membawanya ke rumah sakit kemudian.

"Waktumu masih tersisa 80 jam lagi, jangan coba-coba pergi sebelum waktumu benar-benar berakhir, kau mengerti?"

Si lelaki tak menggubris, ia sudah merasa sangat keakitan.

Taeyong mati-matian menahan panik, ia tak ingin sedih, tapi ia ingin menangis.

"Kau tau Jae...aku sudah terbiasa, diberikan suka lalu kemudian ditorehkan luka. Jae, apa jika kepadaku, tuhan selalu bercanda?"

Ucapan itu lirih, tak terdengar oleh Jaehyun.

Si lelaki sudah kehilangan kekuatan, dan terpejam erat dibahu Taeyong. "Bertahanlah untukku."

Taeyong menggenggam telapak dingin itu erat, "setidaknya ucapkan salam perpisahan sebelum kau pergi."

Dan kemudian, Taeyong menangis tanpa suara di perjalanan, menatapi jalanan di luar dengan kedua tangan yang tak berhenti bertautan.

***

05 : "Tidurlah, dan wujudkan impian bodohmu. aku tidak akan membangunkanmu, Heaven is yours." Lalu aku mengecupnya, Sebuah kecupan perpisahan.

Aku munafik.

Jauh dalam lubuk hati, aku tak menginginkan ia pergi.

Waktu terlalu singkat, aku tak menginginkan ia pergi.

Kita belum terlalu jauh memahami, aku tak menginginkan ia pergi.

Jaehyun, aku tak menginginkan kau pergi.

Tetaplah di sini.

Aku...

.... tak menginginkan kau pergi.

Taeyong membuka matanya, mendapati pemandangan yang masih terasa asing setelah ia tertidur beberapa jam.

Ia tidur, setelah tadi merasa kelelahan karena harus bolak-balik menebus resep obat di lantai bawah.

Ya, Jaehyun di opname.

Dokter sudah memutuskan untuk memberi kamar pada Jaehyun, merawatnya secara intensif, tatkala sel kanker yang merebak sampai membuat pinggul sang lelaki pucat nyeri, dengan bintil-bintil layaknya salju di bagian dalam dadanya

Jaehyun kini hanya bisa berbaring, benar-benar berbaring. Dengan selang infus yang berada di dua lubang hidungnya, membantu Jaehyun agar ia bisa bernafas tanpa merasa sesak.

Andai Taeyong tau, kalau sejak awal Jaehyun sudah sekarat.

Ya, andai ia tau.

Mungkin akan lebih banyak kenangan indah yang akan Taeyong lakukan, lebih dari ini.

Taeyong duduk di sofa, menatapi bagaimana tubuh itu terbaring, diterpa cahaya pagi, Jaehyun masih pulas, larut dalam mimpinya. Mimpi di mana ia setidaknya, tidak merasakan sakit. Sudah empat hari, Jaehyun terbaring di sana.

Diam-diam, kedua tangan mungil itu mengepal, pupilnya berurai air mata.

Taeyong menangis, terisak tanpa suara. Karena ya, setidaknya Jaehyun tak akan tau bagaimana leburnya ia sekarang.

Waktu tersisa, 20 menit lagi.

Si pemilik surai cokelat itu mengusap setengah wajahnya, tenggorokannya terasa sakit, menahan agar suara isakan tak keluar dari sana.

Jaehyun, apa kau benar-benar akan pergi?

Taeyong menunduk, menutup seluruh wajahnya. "apa tempat yang tepat untuk mewujudkan impianmu benar-benar di surga? Padahal ada aku di sini." Ucapnya, lirih, suaranya bergetar.

Untuk sekarang,

Ini kali pertamaku...

Frustasi,

Melihat detik kematian seseorang.

Karena aku, ada di sana.

Aku berada di sana, terikat oleh takdir penuh ironi.

"T-t-tae...."

Taeyong dengan mata bengkaknya, mendongak saat melihat gambaran Jaehyun di depannya. Lelaki itu menoleh ke arahnya, dengan wajah sayu, bibirnya yang pucat.

Cepat-cepat Taeyong berdiri, bangkit dan menghampiri Jaehyun.

"Jae.. apa kau merasa sakit? Apa bantalmu kurang nyaman? Katakan padaku, biar aku membantumu."

"T-tae... aku tidak apa-apa." Si lelaki berusaha tetap terlihat kuat, padahal jelas-jelas ia seperti sebuah kaca tipis yang sebentar lagi akan pecah, namun masih berusaha menahan.

"J-jae.. demi Tuhan aku takut." Taeyong memegang telapak dengan punggungnya yang tertempel jarum infus, ia mengecupi, dengan isakan parau.

Aku takut....

... harus bagaimana nanti ketika kau pergi?

Tangan kanan Jaehyun terangkat lemah, membaringkannya kemudian ke surai Taeyong dan mengusapnya, "a-aku akan mewujudkan impianku Tae, sebentar lagi."

Persetan dengan impian itu!

Aku... egois.

Aku, menginginkan kau di sini.

Taeyong mengangguk, "ya... kau akan mewujudkan impianmu setelah ini, apapun itu, walaupun aku tak tau apa impian yang kau inginkan, kau akan meraihnya setelah ini."

Munafik.

Aku tak ingin kau mewujudkan impian itu.

Tetaplah di sini.

Bersamaku.

Jaehyun kemudian menoleh ke arah lain, menatap jendela yang terbuka.

Angin musim semi.

Tak ada lagi dingin menyelimuti.

Bunga-bunga bebas bermekaran lagi.

Mengantar Jaehyun, yang akan pergi.

"T-t-tae... aku ingin keluar."

"K-keluar? Ke mana?"

"Aku ingin, duduk di bawah pohon sakura. Kau juga harus ikut, karena aku ingin meletakkan kepalaku di pahamu."

Diam-diam, tangan si mungil meremat kain celananya sendiri. Pikirannya kosong, hatinya berdenyut, meminta ketenangan lebih.

"Biar aku panggilkan Paman Yunho, ya?"

Jaehyun sudah bukan seperti Jaehyun lagi.

Ia, sudah berbeda.

"Aku ingin... keluar."

Kulit kuku Taeyong mengelupas, tatkala menjadi pelampiasan Taeyong karena ia tidak bisa menyalurkan segala kegundahan.

"Baiklah, biar aku bersiap-siap dulu."

***

Angin musim semi, menyambut mereka.

Jaehyun duduk di kursi roda, wajahnya sudah terlihat sangat lelah, sementara sang ayah mendorongnya pelan dari belakang.

Taeyong, si mungil itu berjalan di belakang keduanaya.

Aku tau apa yang akan terjadi.

Berjalan pelan, merasakan debaran luar biasa di hati.

Memejam mata perlahan, Taeyong kemudian menghela nafas.

Benar,

...cinta tak harus memiliki.

"Ayah, aku ingin duduk dibangku. Bisa kau gendong aku?" Jaehyun mendongak, menatap sang ayah yang terlihat berkaca-kaca.

Yunho cepat-cepat mengangguk, menundukkan badan dan mengangkat tubuh kurus itu, memindahkannya ke bangku kemudian.

Firasat ayah tak akan pernah salah.

Aku tau, Paman Yunho merasakannya.

Merasakan kalau...

... sebentar lagi Jaehyun akan pergi.

Taeyong datang kemudian, tersenyum pada Yunho, "Jaehyun biar ku jaga. Paman istirahat saja."

Yunho menghela, mengusap surai cokelat sang anak singkat, "ayah menyayangimu, lepaskan jika kau memang sudah lelah."

Dan kemudian, pria paruh baya itu berjalan menjauh dari sana, dengan kepala yang terlihat menunduk. Ia menangis, menangis dalam diam, tak ingin diketahui oleh siapapun.

Taeyong menatap nanar punggung Yunho dari kejauhan, sedetik kemudian ia melihat Jaehyun yang duduk dengan tatapan kosong mengarah ke pohon sakura di hadapannya.

"Aku mau tidur." Ucapnya.

Taeyong segera paham, menyamankan posisi kedua pahanya saat duduk, kemudian menuntun Jaehyun untuk tidur di sana dengan pelan.

Jaehyun meletakkan dengan nyaman kepalanya, kemudian menatap bunga sakura sambil tersenyum tipis. Warna kelopaknya begitu indah, Jaehyun merasa senang.

"Lee?"

Taeyong yang sedari terdiam, sontak tersentak tipis, ia kemudian mengarahkan tangannya untuk bermain di surai sang lelaki.

"Ya Jaehyun?"

Si pemilik aroma woody itu memejamkan mata, "apa aku harus bilang, aku mencintaimu lagi sebelum aku pergi?"

Taeyong memejamkan mata erat bersamaan dengan gerahamnya yang bergemeletuk, sedetik kemudian ia menghela nafas panjang. "Katakan sesukamu, selagi kau bahagia, aku tak masalah."

"Aku mencintaimu."

Taeyong tersenyum, lebih tepatnya senyuman nahas. Ia menatap wajah Jaehyun yang ada di pangkuannya. "Ya.. aku, juga."

"Cinta tidak harus memiliki, bukankah begitu Lee Taeyong?"

"Ya.."

"Aku hanya ingin bilang, kalau aku mencintaimu, aku tak akan pernah meminta untuk memilikimu karena aku tau..."

"...Lee, aku di sini hanya akan menjadi teman sementara untukmu."

Dan akhirnya...

... saat yang aku takutkan telah tiba.

Taeyong banjir air mata, wajah bak pahatan dewa itu memerah, menatap Jaehyun yang berada di pangkuannya.

Jaehyun, dia tersenyum dengan bibir pucatnya. Melihat wajah cantik lelaki yang sangat ia sayangi, sedang menangis.

"Setelah itu, carilah seseorang lagi, untuk mendampingi hidupmu selamanya."

Taeyong menggeleng ribut, wajahnya kusut, menangis sejadi-jadinya. Tak peduli orang yang ada di taman belakang rumah sakit itu akan melihat, ia menangis.

Jaehyun terkekeh, "mengapa kau menangis? Kau kan sudah tau gambarannya akan seperti ini pada akhirnya, kita terlalu bandel." Ia menyeka cairan asin itu pada pipi Taeyong.

Lidahku kelu.

Aku tidak bisa berkata apa-apa.

"Kau tau apa impianku?"

Taeyong menggeleng, "tidak."

"Lucunya," Jaehyun memandang gemas wajah Taeyong-nya. "Impianku adalah...."

"Menunggumu, di sana." Jaehyun menunjuk langit. "Jika kau lupa, tidak apa-apa. Aku akan menceritakan lagi tentang semuanya. Aku akan menunggu, saat itu tiba. Saat di mana kau, menemuiku lagi, untuk yang kedua kalinya."

"Aku akan menemuimu Jae, aku akan menemuimu, pasti. Aku tidak akan melupakanmu, sungguh." Taeyong meneteskan bulir bening lagi, mengusap surai sang lelaki dengan perasaan hancur.

Jaehyun kembali memosisikan kepalanya untuk menatap pohon sakura. Sayup-sayup kelopaknya terasa berat, "akhirnya, saat yang ku nantikan telah tiba, Tae."

Tidak Jaehyun, kumohon.

... lima menit lagi, waktu mu tersisa.

Demi Tuhan, aku hancur.

"Aku lelah, sangat."

"Jae.. kau bahkan belum mengeluhkan kalau kau kedinginan, kau bahkan belum menjadikanku sebagai sweater terhangatmu, Jae. Aku ingin kau memelukku." Taeyong menangis, sejadi-jadinya.

Takdir, kau ini benar-benar.

"Kau bahkan belum sempat melindungiku, Jae!" Taeyong mengguncang pelan kepala Jaehyun yang semakin terasa berat di kedua pahanya.

"Kau bahkan belum menggenggam tanganku..."

"... setidaknya,"

"ucapkan kalimat perpisahan terindah untukku, sebelum kau pergi."

Taeyong menunduk, menatapi wajah tampan itu dengan isakan parau.

"Lee... aku akan tidur, jangan bangunkan aku..."

Tidak Jae, kumohon.

Tinggal menghitung detik,

Tiga...

Dua...

Dan, satu....

".... aku benar-benar mencintaimu."

Kedua tangan Taeyong gemetaran,nafasnya tersendat menatap wajah damai Jaehyun yang, tertidur di pahanya.

"Jaehyun..." Taeyong membawa kepala Jaehyun ke pelukannya.

Dia benar-benar pergi.

"Jaehyun ..." Taeyong meraung, hancur dalam duka.

Tubuh kaku itu ia peluk erat, menyalurkan segala rasa kehilangan yang begitu mendalam.

Sakit...

... ini sakit.

"Tidurlah... dan wujudkan impian bodohmu. Aku tidak akan membangunkanmu."

Jaehyunnya...

".. heaven is yours."

Dan kalimat itu diakhiri dengan sebuah kecupan, sebuha kecupan perpisahan, yang mendarat di kening Jaehyun-nya.

"Aku mencintaimu."

Dan Taeyong, hanya bisa meratapi kepergiannya.

Tanpa bisa berbuat apa-apa.

Love may not always keep us together.

***

Epilog

Apa kalian bertanya padaku sekarang, apa aku masih sedih?

Maka jawabannya adalah tidak.

Justru aku beruntung, beruntung mempunyai kekuatan ini.

Setidaknya, aku masih bisa menghabiskan waktu ku bersama Jaehyun, walau hanya 168 jam terhitung.

Aku tidak marah, sama sekali tidak. Untuk apa pula?

Jaehyun sudah di sana, menunggu di taman keabadian, duduk di bangku dengan rindangnya pohon kesejukan, menungguku di sini...

menungguku, untuk segera ke sana, menemuinya.

Classic.

Hei, aku tak pernah mengatakan bahwa ceritaku adalah hal yang sangat fantastis. Tapi coba kau resapi dalam-dalam, maka kau akan benar-benar berperan jadi diriku di sini, menemukan makna lain, yang belum kau temukan sebelumnya.

Takdir itu kaku, tak bisa kau ubah jika bentukannya sudah seperti itu.

Tapi setidaknya,

kau bisa menyikapi, mengubah bagaimana dirimu, jika suatu saat nanti takdir itu akan datang.

Kau menangis, tertawa, terpuruk, itu tak apa-apa, sangat manusiawi. Kau berusaha tegar pun untuk apa? Menyembunyikan dari siapa ke siapa? Jika Tuhan di atas sana melihat kau yang hanya bersembunyi di balik tembok kaca.

Tak apa, menangislah jika itu perlu.

Aku pun begitu, pasti akan menangis.

Terpuruk tidak apa-apa, karena kau juga tak akan selamanya begitu. Sembuhkan luka, itu akan datang pada masanya.

Ini semua, hanya tentang bagaimana permainan takdir, menunggu, dan caramu menyikapi.

- dongeng nyata ini ditulis olehku, Lee Taeyong sendiri. Sepuluh menit, sebelum sang malaikat menjemputku, membawaku kembali dengan takdirku, mimpi bodohku, dan tempat terakhir untukku bisa mewujudkan impian kita yang sempat tertunda, heaven -


***

_ E N D _

~ Thank you ~



Jadi ini pertama kalinya lah ya aku bikin one shot, dan semoga Kak Lil membaca ini dan merasa puas ya, aku ga bisa bikin sesuatu yg deep.

Untuk kalian juga, coba baca cerita ini dan posisikan diri kalian sebagai Taeyong.

Bagaimana? Sudah?

Seperti apa rasanya?

Continue Reading

You'll Also Like

89.1K 10.8K 36
❝Who can stop me if i decide that you're my destiny?❞ ⚠ Warning! ⚠ *𖥨ํ∘̥⃟⸽⃟🏳️‍🌈Cerita homo! Contain mature, Harsh words *𖥨ํ∘̥⃟⸽⃟🦙Slight pair ; J...
Fantasia By neela

Fanfiction

1.4M 4.5K 9
⚠️ dirty and frontal words 🔞 Be wise please ALL ABOUT YOUR FANTASIES Every universe has their own story.
30.3K 3.8K 21
Renjo yang lagi enak enak motoran tiba tiba di pepet orang gak dikenal. Dia iseng bilang kalau itu orang asing jodoh dia, pasti besoknya ketemu lagi...
5.8K 826 13
[BUDAYAKAN FOLLOW SEBELUM MEMBACA] "Kalian ngapain nuduh gue!" "Ya terus? Kita harus nuduh siapa lagi!" "Jujur aja! Lo The Tiger kan?!" "Kalau emang...