Sepulang sekolah, seperti biasanya. Aku pergi ke toko buku untuk melakukan pekerjaan di sana.
Bagiku, menghabiskan hari dengan bekerja dan sekolah adalah hal biasa. Mengingat ayah tak lagi bekerja mencari uang dan selalu mabuk-mabukan juga bermain judi, membuatku menjadi sosok yang mandiri.
Walau terkadang aku selalu menertawakan nasibku yang terlihat sangat mengenaskan, tapi aku tetap harus bertahan. Setidaknya untuk tugas sekolah yang menanti esok hari, atau untuk pekerjaan yang kulakukan setiap hari.
Karena pada kenyataannya, manusia selalu bisa memiliki alasan untuk tetap hidup. Meski alasan itu sesederhana melihat senja setiap hari, atau untuk memakan makanan favorit yang belum kesampaian.
Jika saja orang-orang mulai menerapkan prinsip seperti itu dalam hidup. Aku yakin, akan ada banyak orang bertahan di dunia ini. Sebanyak apapun masalah mereka. Sehancur apapun hati mereka. Sesulit apapun hidup mereka.
"Renjun, kamu tahu? Melihatmu bekerja keras begitu. Aku jadi ingin hidup kembali."
Suara tak asing menyapa pendengaranku. Aku sudah hafal dengan suara ini. Jadi begitu aku tolehkan kepala ke samping, aku sudah tidak terkejut ketika mendapati sosok putih pucat dengan kacamata menggantung di hidung.
Sosok itu membawa sebuah novel di tangan, berdiri mengambang di sampingku. Sesekali dia membalik lembaran novel, lalu membenarkan letak kacamata.
"Kalau begitu, kenapa kamu tidak kembali ke tubuhmu saja? Bukankah seharusnya kamu sudah puas membaca semua buku di sini?"
Sosok di sampingku mengangkat bahu, terlihat tak tertarik dengan pembahasan yang kuungkit.
"Kenapa tidak ingin kembali? Bukankah kamu masih hidup? Kamu hanya koma, kan? Kesempatan hidupmu masih ada." Aku mencoba berbicara dengannya. Mengungkit kembali pembahasan yang sudah kerap kali aku coba bicarakan dengan dia.
"Entahlah, Renjun. Jika aku bisa, mungkin aku akan kembali. Tapi ...."
Kupusatkan perhatian pada sosok di sampingku. "Tapi kenapa?"
Sejak pertama kali aku bekerja di toko buku ini, keberadaan sosok yang suka membaca itu membuatku penasaran. Apa sekiranya kisah yang dia punya sehingga bisa berada dalam keadaan seperti ini.
Dia tidak hidup, tapi juga tidak mati. Dia seperti berada di pertengahan antara hidup dan mati. Sayangnya, aku tidak tahu apa yang membuat dia bisa seperti itu.
Dia juga tidak mau bercerita padaku, bahkan setelah enam bulan aku dan dia saling berbicara satu sama lain.
Jadi, ketika dia mulai ingin sedikit membuka diri padaku, aku langsung saja meresponnya. Seperti saat ini, kulihat dia mulai ingin bercerita padaku.
Apapun dan bagaimana pun kisah yang akan dia ceritakan nanti, aku akan selalu siap mendengarkan. Karena yeah, aku sudah terbiasa menjadi tempat curhat bagi para hantu.
"Kondisiku tidak memungkinkan untuk bangun." Kalimat pertama yang dia ucapkan sebagai pembuka dari ceritanya membuatku terdiam.
"Kenapa begitu?"
Sosok itu diam, menaruh novel yang dia pegang ke rak buku, lalu melayang terbang meninggalkanku.
"Seungmin, tunggu!" Aku berseru sedikit kencang. Beberapa pengunjung melihat ke arahku dengan tatapan aneh.
Aku tahu arti tatapan itu, mereka mungkin bingung aku berbicara dengan siapa. Sedangkan tidak ada siapa pun di dekatku sebelumnya.
Kupasang senyum tipis untuk mereka, sedikit membungkuk aku bergegas pergi untuk mengerjakan hal lain.
Namun sebelum aku sampai ke tempat yang kutuju, seseorang berhenti tepat di depanku. Langkahku terhalangi oleh orang itu sehingga tak bisa pergi.
"Ada yang bisa saya bantu?" tanyaku padanya. Aku masih ingat di sini aku adalah karyawan, dan sepertinya orang di depanku adalah pelanggan. Jadi, sebisa mungkin aku harus sopan dan bertanya apa sekiranya kepentingan dia sampai memghalangi jalanku.
Kuperhatikan tampilan orang yang menghalangiku. Dia terlihat memakai seragam sekolah, rambut hitamnya sedikit acak-acakan. Sebelah tali tas disampirkan di bahu.
Aku mengernyitkan dahi. Aneh saja mendapati seseorang memakai seragam sekolah di hari minggu.
"Kamu ... tadi kamu manggil nama Seungmin, kan?"
"Eh?" Aku berkedip beberapa kali, sedikit terkejut ketika siswa di depanku membahas tentang Seungmin.
"Aku tadi mendengarnya, kamu manggil Seungmin."
Tunggu dulu! Aku sedikit tidak mengerti dengan siswa di depanku. Kenapa dia tiba-tiba membicarakan hal itu? Dan lagi, dia mengenal Seungmin. Seungmin yang sekarang menjadi jiwa tanpa raga.
Sejujurnya, aku tak mau mengambil kesimpulan begitu saja. Karena di Korea ini, bisa saja ada Seungmin lain, Seungmin yang dikenal oleh siswa di depanku. Bukan Seungmin si sosok jiwa tanpa raga.
"Itu ...." Aku ingin menjawab, tapi terlalu bingung mau memulai dari mana.
Tidak mungkin juga kan aku langsung berbicara kalau tadi aku memanggil Seungmin si arwah? Ah tidak, hal itu hanya akan membuatku terlihat bodoh di depan orang yang tidak kukenal ini.
"Seungmin, dia suka sekali pergi ke toko buku ini dulu. Sebelum dia kecelakaan."
Alisku terangkat, kaget mendengar kalimat yang baru saja keluar dari siswa di depanku. Kenapa dia tiba-tiba jadi curhat begitu coba? Tapi, dari cerita singkatnya itu, entah kenapa aku jadi tambah berpikir kalau Seungmin yang dia maksud adalah Seungmin yang aku kenal.
"Sebentar, kamu ... kenal Seungmin? Kim Seungmin?" tanyaku untuk memperjelas. Aku ingin tahu apa benar dia mengenal Seungmin, sosok yang aku temui di toko buku ini.
"Kim Seungmin? Jadi benar, kamu tadi memanggil namanya, kan?"
Aku menggelengkan kepala, dia bukannya menjawabku tapi malah balik bertanya, membuatku pusing saja.
"Kamu kenal dia? Kamu temannya?" Aku kembali bertanya.
Kulihat dia mengangguk pelan. "Tapi, bagaimana kamu kenal dia? Dan kenapa tadi memanggil namanya? Maksudku, Seungmin saat ini masih terbaring koma di rumah sakit. Dia tidak pernah membuka matanya sejak 11 bulan lalu. Yang aku tahu, dia tidak memiliki teman lain, selain aku. Jadi, kamu kenal dia di mana?"
Baru saja aku akan menjawab pertanyaannya, pekerja lain yang lebih senior dariku lebih dulu berseru meneriaki namaku. Dia memintaku membantu membereskan buku-buku di rak bagian barat.
Aku menganggukkan kepala sebagai jawaban untuk seniorku sebelum mengalihkan atensiku lagi ke siswa tadi.
"Aku tidak bisa menjawabnya di sini. Kalau mau, datang ke kafe tempatku bekerja saja. Kita bisa berbicara di sana." Aku mengeluarkan secarik kertas dan pulpen. Barang yang selalu kubawa ke manapun.
Tanganku mulai bergerak, menuliskan alamat kafe di sana. "Datang sekitar jam sembilan malam."
Setelah menyerahkan kertas berisi alamat, aku hendak berbalik pergi.
"Tunggu! Siapa namamu?"
Siswa tadi menghentikan gerakanku.
Kuputar balik tubuh menghadap ke belakang. "Aku Renjun, Huang Renjun. Kamu?" jawabku seraya bertanya balik.
"Jisung, Han Jisung."
"Mwo?" Sedikit terkejut, raut wajahku jelas sekali menampakkan kekagetan sampai siswa bernama Han Jisung itu bertanya kenapa aku kaget ketika mendengar namanya.
Aku hanya tersenyum kemudian, seraya menjawab, "Namamu sama seperti seseorang yang kukenal."
Han ber-oh ria seraya mengangguk mengerti, dia lalu mengangkat secarik kertas berisi alamat kafe. Sambil tersenyum, dia berkata, "Aku akan datang malam ini."
Sebagai respon, aku hanya mengangguk dan berlalu pergi untuk membantu seniorku membereskan buku di rak sebelah barat.
Seungmin, kuharap dari Han, aku bisa tahu apa yang menimpa anak itu.
___The 7th Sense___
.
.
.
To Be Continue
Masih ada yang baca kan??😌😌😌