Jam istirahat sekolah, aku meminta Ryujin menemuiku di perpustakaan. Ada yang ingin aku bicarakan dengannya.
Apalagi kalau bukan masalah Irene nuna? Aku ingin meminta pendapat Ryujin atas apa yang akan aku lakukan selanjutnya.
Oh iya, hari ini aku tidak melihat y/n di sekolah. Gadis itu tidak masuk sekolah tanpa keterangan lebih lanjut.
Entah kenapa, aku jadi khawatir sesuatu terjadi pada y/n. Apalagi saat tahu hubungan y/n dan Jinsung
-saudara tirinya- sangat tidak baik. Aku takut terjadi apa-apa pada y/n
Setelah menyadari aku memiliki perasaan lebih padanya, aku jadi ingin menghindari y/n untuk mengubur dalam-dalam perasaan itu. Selain tidak ingin mengecewakan Mark, aku juga merasa tidak pantas menyukai anak orang kaya seperti y/n. Y/n terlalu baik bagiku, sungguh.
Hah, sudahlah Renjun. Jangan terus memikirkan y/n seperti ini jika kamu ingin melupakan perasaan suka itu.
Kamu harus bisa mengendalikan diri sendiri agar tidak melangkah lebih jauh. Ingat Renjun, y/n itu tunangan Mark. Mark meminta bantuanmu untuk menemukan kebahagiaan buat y/n, bukan menggantikan tempat Mark.
Aku tersenyum miris. Terkadang perasaan suka terhadap orang lain bisa sangat menyiksa. Apalagi saat kita sendiri sadar, kalau kita tidak akan pernah bisa mengambil hatinya.
Dan aku cukup tahu diri. Y/n bukanlah gadis sembarangan. Dia juga sangat mencintai Mark yang tampan, kaya, pintar. Mark memiliki segalanya selagi hidup, sedangkan aku, aku hanya anak dari seorang Ayah pengangguran yang hobi mabuk. Aku miskin, tidak tampan dan pintar.
Ah, memikirkan semua itu membuatku semakin merasa terpuruk saja.
Baiklah, aku tidak akan memikirkan y/n dulu saat ini. Yang lebih penting sekarang adalah bagaimana membuat Irene nuna mempercayai ucapanku nantinya.
"Renjun, maaf lama."
Aku melihat Ryujin datang dan duduk di hadapanku. Mataku terus memperhatikan wajah Ryujin. Ada beberapa bulir keringat di pelipisnya.
Kurogoh saku celana, mengeluarkan sebuah sapu tangan. "Ini." Aku mengulurkan sapu tangan ke Ryujin.
Ryujin menatapku tak mengerti. "Kenapa?"
Aku menunjuk keringat di pelipisnya. "Lap dulu."
Ryujin memegang pelipisnya yang berkeringat, ia mengetahui maksudku. "Aah, makasih Ren." Ryujin mengambil sapu tangan dariku, mengelap pelipisnya.
"Kamu lari ke sini? Sampe keringetan gitu."
Ryujin tertawa, menaruh sapu tangan di atas meja. "Aku takut kamu menunggu lama, tadi soalnya aku ke kantin dulu buat beli susu kotak."
"Udah diminum susunya?"
Ryujin mengangguk. "Habis di jalan."
"Kamu minum sambil jalan?"
"Sambil lari sih lebih tepatnya."
Aku mengulurkan tangan, menyentil dahi Ryujin. "Yak!Minum sambil jalan aja nggak baik, apalagi sambil lari."
Ryujin meringis merasakan sentilan di dahinya. Dia mengusap dahi, memanyunkan bibir. "Sakit ih."
"Biarin. Bandel lagian."
Ryujin semakin memanyunkan bibir.
"Udah, jangan ngambek. Aku nyuruh kamu ke sini mau minta pendapat sekaligus bantuan."
Ryujin mengernyit. "Pendapat sekaligus bantuan? Memang kamu mau melakukan apa?"
Aku terdiam. Mencari kata-kata yang pas untuk disampaikan ke Ryujin.
"Kamu mau menyatakan cinta ke y/n? Menjadikan dia pacarmu?"
Aku menjatuhkan rahang saat mendengar pertanyaan Ryujin. Sungguh luar biasa Ryujin ini. Darimana dia tahu kalau aku menyukai y/n? Padahal aku sendiri masih berusaha menyangkal perasaan itu.
"Yak! Bukan itu! Haish. Kenapa kamu berpikir seperti itu hah?"
Ryujin mengangkat bahu. "Aku melihat kamu dan y/n di ruang seni."
Kali ini aku benar-benar terkejut.
Aku menelan ludah, berusaha mengendalikan diri.
"Kamu suka y/n kan Ren? Soalnya kamu perhatian banget ke y/n. Sampe nguncirin rambut dia segala. Aku benar kan?"
Astaga! Kenapa Ryujin sefrontal itu sih? Kalau ada yang dengar bagaimana? Bisa repot urusannya. Dan lagi, bagaimana dia bisa menyimpulkan kalau menguncir rambut adalah salah satu tanda perhatian ke seseorang?
Apa menguncir rambut perempuan merupakan sesuatu yang istimewa? Bisakah hal sekecil itu dianggap sebagai bentuk perhatian?
Ahh, tidak tahu. Aku pusing.
"Ren, jawab dong." Ryujin mengedipkan matanya berkali-kali. Mencoba meminta jawabanku dengan cara imut.
"Tidak."
Tentu saja aku menyangkal. Mana mungkin aku mengakui perasaanku ke y/n. Tidak sopan sekali menyukai tunanga orang lain.
"Cih. Pembohong!" Ryujin melipat kedua tangan di depan dada, menyandarkan punggung ke kursi.
"Aish. Aku tidak memanggilmu ke sini untuk membicarakan itu, Ryu," kataku. Akhirnya aku mulai meluruskan kesalahpahaman Ryujin. Ah bukan, bukan kesalahpahaman, tapi meluruskan apa yang harus dibahas saat ini.
"Terus apa? Kamu kan mau minta pendapat dan bantuan. Sudah pasti ini soal perempuan."
Aku menggeleng. "Ya memang soal perempuan, tapi bukan tentang perasaanku ke y/n."
Ryujin memajukan tubuh ke arahku. "Jadi kamu benar-benar menyukai y/n?"
Aku melambaikan tangan. "Tidak, Ryu. Astaga! Bisa gila aku." Aku memijat pelipis. "Bisa dengarkan aku dulu?"
Ryujin berdecak. "Baiklah. Aku dengarkan." Tubuh Ryujin mundur, kembali bersandar di kursi.
Aku melipat kedua tangan di atas meja, menatap serius ke Ryujin. "Jadi begini Ryu, aku minta pendapatmu tentang apa yang harus aku lakukan untuk memberitahu nunaku kalau pria yang akan dinikahinya adalah orang jahat."
"Huh? Kamu punya nuna? Aku pikir kamu anak tunggal."
Aku menggaruk tengkuk. "Ya memang anak tunggal. Nunaku itu bukan nuna kandung. Dia adalah orang yang memberiku pekerjaan. Seorang wanita pemilik toko bunga."
Ryujin mengangguk mengerti. "Oke, ceritakan dulu padaku kenapa kamu bisa bilang kalau pria yang ingin dinikahi nunamu adalah pria jahat."
Huft, untunglah Ryujin tidak memperpanjang masalah perasaanku ke y/n.
Akhirnya aku mulai bercerita pada Ryujin tentang sosok wanita yang aku temui di toko bunga. Wanita yang menceritakan padaku tentang bagaimana dia mati.
Aku juga bilang ke Ryujin kalau wanita itu meminta tolong padaku agar bisa berbicara langsung dengan Irene nuna. Sepertinya ada yang ingin wanita itu sampaikan ke Irene nuna.
"Kamu tahu aku tidak bisa melakukan itu sendiri. Membatalkan pernikahan seseorang dengan alasan ada hantu yang memberitahu kejahatan si mempelai pria bukanlah sesuatu yang bagus."
Ryujin hampir menyemburkan tawa saat mendengar kalimatku. Dia pikir kalimat itu lucu apa?
Aku menatapnya galak, menyuruh Ryujin untuk tidak tertawa. "Maaf, maaf. Abisnya idemu itu lucu. Ya kamu pikir orang normal seperti nunamu itu bakal percaya ucapan kita? Yakali, Ren."
"Maka dari itu, aku meminta bantuanmu, Shin Ryujin. Astaga! Susah sekali sih berbicara denganmu."
Ryujin tersenyum lebar. "Maaf, Ren. Aku khilaf."
"Ck. Yaudah, jadi bagaimana nih? Apa rencanamu? Pokoknya kita harus batalin pernikahan itu. Aku nggak mau nunaku menikah dengan pria jahat. Hidupnya nggak bakal bisa tenang nanti."
Ryujin mulai berpikir. Dahinya mengerut, tangannya mengetuk dagu.
Aku sendiri memutuskan menunggu Ryujin saja, tidak mau ikut berpikir karena pikiranku sudah buntu.
"Ah, aku tidak bisa berpikir Ren, bisa kasih waktu?"
Aku mendengus. Kenapa Ryujin butuh waktu segala sih? Kalau begini jadinya aku tambah tidak tenang memikirkan nasib Irene nuna. "Yaudah aku kasih waktu sampe besok."
Ryujin mengangkat ibu jari. "Nah, bagus. Aku bakal pikirin. Sekalian minta pendapat nenekku."
"Nenekmu?"
Ryujin mengangguk. "Kamu pikir bakat melihat hantu ini muncul dengan sendirinya?"
"Maksudnya?" Aku tidak mengerti apa yang Ryujin katakan. Bakat melihat hantu muncul dengan sendirinya? Memang iya kok, aku kan seperti itu.
"Keistimewaan kita itu pasti turun temurun, Ren. Bisa aja dari orang tua, kakek nenek, atau buyut. Ya, intinya keturunan." Ryujin terdiam sebentar. "Eh, tapi bisa juga sih keajaiban kalau emang cuma kita yang punya bakat ini di antara keluarga lain."
Pikiranku mulai berkelana setelah mendengar pernyataan Ryujin. Aku jadi memikirkan banyak hal.
Apa benar bakatku ini keturunan? Kalau iya, siapa di keluargaku yang bisa melihat hantu? Ayah? Ah, mana mungkin. Ayah saja selalu mengataiku gila setiap aku kemasukan atau melihat hantu.
Ibu? Entahlah, aku tidak bisa menanyai Ibu karena Ibu memang sudah tidak ada lagi di dunia ini.
Nenek? Kakek? Aku bahkan tidak tahu aku memiliki mereka atau tidak.
"Huhh." Helaan napas kasar keluar dari mulutku
"Kenapa Ren?"
Aku menggelengkan kepala sebagai jawaban untuk Ryujin. Isi kepalaku saat ini hanyalah tentang darimana aku mendapat keistimewaan melihat hantu seperti yang Ryujin katakan.
Tbc.
Jangan lupa dukungannya^^