Pulang sekolah, aku sudah berada di area tempat pemakaman umum bersama Mark. Bisa kulihat wajah Mark gelisah, kesedihan terpancar jelas diwajahnya begitu kami tiba beberapa meter dari keluarganya yang kini tengah menangis seraya menaburkan bunga di atas makam Mark.
Hatiku ikut sakit melihat pemandangan itu, aku tahu rasanya kehilangan. Namun perasaan yang Mark rasakan mungkin jauh lebih sakit karena di sini ia yang kehilangan seluruh keluarganya, termasuk menyaksikan sendiri nisan bertuliskan namanya.
Aku tak tahu bagaimana rasanya ketika suatu hari nanti aku juga sama seperti Mark, menyaksikan namaku sendiri di atas nisan dengan keluargaku menangis seraya menaburkan bunga. Membayangkannya saja menyedihkan. Eh tapi, keluarga siapa yang aku maksud? Apa aku masih punya keluarga setelah kematian Ibu?
"Mark oppa, kenapa kamu meninggalkanku."
Suara yang aku dengar baru saja begitu menyedihkan, terdengar seperti menyayat hati. Kulihat Mark semakin bersedih, air mata terus keluar dari kedua matanya.
"Maaf, y/n. Maafkan aku." Mark berjalan pelan, ia menghampiri makamnya sendiri, berdiri tepat di samping nisan bertuliskan namanya.
Keluarga Mark satu per satu pergi meninggalkan pemakaman, sampai hanya tersisa tunangan Mark dan Ayahnya, kalau aku tidak salah.
"Ayo kita pulang y/n, sebentar lagi hujan."
Kutadahkan kepala ke langit, memang benar, awan mendung menghiasi langit. Kegelapan perlahan muncul begitu sang mentari tertutupi sinarnya.
"Tidak, Appa. Aku tidak akan pulang."
"Jangan begitu. Biarkan Mark tenang."
Aku melihat tunangan menggeleng,ia tetap pada pendiriannya.
"Appa pulang duluan saja, aku masih ingin di sini."
"Kamu yakin?"
Tunangan Mark mengangguk, lalu Ayahnya mengusap kepala tunangan Mark lembut, lantas berlalu pergi meninggalkan pemakaman.
Setelah semua orang pergi, aku gantian melangkahkan kaki ke makam Mark. Kulihat Mark tengah mengusap kepala tunangannya, walaupun itu sama sekali tidak bisa dirasakan oleh orang yang masih hidup.
Aku mengusap sedikit airmata yang menggenang di pelupuk mataku, berkali-kali aku menolong arwah yang belum menyelesaikan masalah di dunia, tapi baru kali ini aku merasa kesedihan yang luar biasa.
"Permisi." Kini aku berdiri tepat di sebelah tunangan Mark, kedua tanganku saling mengait satu sama lain di depan tubuh. Kubungkukan kepala sebagai tanda hormat kepada makam Mark.
Tunangan Mark melihatku, tatapannya tidak bisa kujelaskan secara rinci. Ada begitu banyak kesedihan, kesakitan, kekecewaan, serta kehilangan.
"Siapa?" tanyanya disela tangis.
Aku tersenyum, mengulurkan tangan ke arahnya. "Renjun. Huang Renjun."
Tunangan Mark melihat tanganku di udara, ia berpikir beberapa saat sebelum akhirnya menerima uluran tanganku. "Aku y/n."
Aku mengangguk. Anggukan ini entah untuk apa, karena sebelum aku bertemu perempuan di depanku ini, aku sudah tahu lebih dulu tentangnya, bahkan namanya.
Kepalaku menoleh ke atas sebentar, tepatnya melihat arwah Mark yang kini tengah tersenyum pedih. "Terima kasih, Huang."
Bibirku tergerak, menjawab 'ya' pada Mark tanpa suara. Setelah melihat Mark, kini aku memperhatikan y/n yang kembali menangis sambil mengelus nisan bertuliskan nama Mark.
"Kamu jangan sedih, kalau Mark hyung lihat kamu sedih, nanti dia tidak akan bisa istirahat dengan tenang," ucapku pada y/n.
Y/n menoleh ke arahku, mata sembabnya terlihat jelas. "Kenapa Mark oppa tidak bisa beristirahat dengan tenang kalau melihatku menangis? Bukankah selama enam bulan ini dia beristirahat dengan baik sampai pada akhirnya memutuskan pergi?"
Aku bisa mendengar suara tangis lain di makam itu selain dari y/n, ya, siapa lagi kalau bukan dari Mark.
"Mark hyung juga tidak pernah menginginkan hal ini. Namun takdir terkadang terlalu kejam mempermainkan seseorang, bersikap semaunya memisahkan orang yang saling menyayangi, mengandaskan suatu hubungan, menghancurkan sebuah perasaan."
Y/n menatapku, isakan terus terdengar darinya. "Maaf sebelumnya, kamu siapanya Mark oppa?"
Ahh, aku lupa memberitahu hal itu. Padahal aku sudah berbicara panjang lebar tadi.
"Temannya," jawabku.
Y/n mengernyit. "Mark oppa tidak pernah punya teman. Seluruh temannya selalu pergi menjauh darinya."
Aku menggeleng. "Aku memang benar temannya."
"Tapi sampai Mark oppa meninggal pun, tidak ada temannya yang aku tahu. Mark oppa tidak pernah punya teman seumur hidupnya."
"Sekarang punya kok. Buktinya aku temannya." Aku terdiam sebentar, pandanganku tertuju pada nama Mark di atas nisan. "Teman yang ia temui setelah meninggal."
"Apa?" Y/n terdengar kaget setelah penuturanku.
Aku tahu, memilih jujur pada seseorang bukanlah hal mudah, terlebih lagi orang itu belum pernah kita kenal sebelumnya.
"Y/n, apa kamu percaya padaku kalau aku bilang Mark hyung ada di sini dan tengah memperhatikan kita?"
Tubuh y/n menegang, tangisannya berhenti sesaat. Aku pikir y/n tidak akan percaya pada ucapanku, atau yang lebih parahnya lagi ia mencapku gila, kehilangan kewarasan, lalu kabur meninggalkanku sendiri. Namun nyatanya tidak, y/n malah menatapku dengan mata berbinar. Mata bulat berwarna hitam legam miliknya terlihat sangat cantik.
"Dimana Mark oppa? Benar dia ada di sini? Apa kamu indigo? Kamu bisa melihat hantu?" Pertanyaan beruntun dari y/n membuatku menganga tak percaya.
Apa y/n sudah familiar dengan orang yang memiliki kemampuan spesial sepertiku? "Y..ya, aku seorang indigo. T..tapi kenapa kamu bisa langsung percaya?"
Y/n tersenyum, ia menunjuk seluruh tubuhku, menggambar acak di udara. "Aku melihat warna auramu. Ultraviolet bercampur ungu, pasti hidupmu rumit."
Aku menganga tak percaya, seumur hidup, aku belum pernah bertemu seseorang yang bisa membaca warna aura semudah y/n.
"Jadi kamu Renjun, seorang indigo yang berteman dengan Mark oppa, benar?"
"Iya, y/n."
"Aku sekarang percaya kalau kamu bilang ada Mark oppa di sini. Bisa aku bertemu dengannya?" Y/n mengusap air matanya di pipi. "Aku mohon Renjun, aku ingin berbicara dengannya."
Aku menghela nafas, melihat ke arah belakang y/n, tempat dimana Mark berdiri.
"Jangan di sini, Huang."
Aku mengangguk mengerti pada Mark. "Kita cari tempat lain mau? Mark hyung tidak ingin ada di sini."
Y/n mengangguk, segera ia berdiri, lalu mengajakku pergi ke suatu tempat.
.
.
.
Aku mengedarkan pandangan ke ruangan tempatku berada sekarang. Ruangan ini terlihat rapi dan bersih, seperti selalu dibersihkan setiap harinya.
"Ini apartemen Mark oppa. Belakangan ini aku tinggal di sini karena terlalu merindukannya."
Aku mengangguk, mendudukan diri di atas sofa ruang tengah. Kulihat Mark ada di depanku, bersiap memasuki tubuhku agar bisa berkomunikasi dengan y/n.
Kututup mataku, menarik dan menghembuskan nafas perlahan, merasakan energi yang mengalir di dalam tubuhku. Begitu aku siap, aku langsung melepas tubuhku sendiri, bertukar posisi dengan arwah Mark yang kini memasuki tubuhku.
Meskipun belum terbiasa melihat tubuh sendiri bergerak tanpaku, aku mencoba tetap berada di samping tubuhku, jaga-jaga kalau arwah Mark keluar maka aku akan langsung masuk ke dalam tubuhku lagi sebelum ada arwah lain yang memasukinya.
Aku bisa melihat mataku terbuka, tatapan sarat akan kesedihan.
"Y/n, maafkan aku."
Kalimat pertama Mark mampu membuat y/n menangis keras, perempuan itu lantas memeluk tubuhku erat, seolah tak ingin kehilangan lagi.
Aku meringis, padahal bukan aku yang memeluk y/n, tapi kenapa rasanya aku seperti bahagia?
Tbc.
Tambah gak jelas ya? Wkwk:v
Vote dan komennya dong, jangan jadi siders..
Semoga kalian nggak menghilang karena cerita ini pindah lapak🤧🤧