Toruka: Pulling Back [COMPLET...

By Zet_12096

3.3K 468 134

Tur dunia One Ok Rock harus terganggu ketika seorang penguntit menguntit Taka. Hal itu semakin lama semakin p... More

Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9

Chapter 10 [END]

307 48 22
By Zet_12096

"DIE TAKAHIRO/TAKA-SAN/MY DEAR!"

Pengelihatan Takahiro menjadi hitam sepenuhnya. Dengan mati rasa di sekujur tubuh, ia yakin inilah akhirnya. Ia akan terlepas dari semua penderitaan yang ia alami dua-tiga hari ke belakang. Ia tidak perlu terbebani dengan titel artis lelaki yang dikuntit sesama lelaki; cyberbullying pasti akan membuat kepalanya pening bukan main. Ia juga tidak perlu lelah memberi keterangan pada polisi dan tidak perlu mengingat kejadian ini.

Semuanya akan berakhir sekarang...

BANG!

Tetapi, takdir berpihak pada netizen yang haus gosip.

Sebuah suara melengking tiba-tiba terdengar. Baik Taka maupun si penguntit itu tersentak kaget.

"Hands above your head or else I will shoot."

Dari sudut mata Taka, seorang polisi berseragam lengkap baru saja mendobrak masuk dengan mulut pistol ditodong ke depan. Bukan hanya satu, empat polisi lain berderap masuk dengan bunyi langkah yang tegas. Keempatnya pun menodongkan pistol yang mengilat di bawah cahaya lampu. Kehadiran kelima polisi itu membuat ruangan menjadi pengap. Ketegangan bisa terasa di setiap sudutnya.

Merasa tidak punya pilihan lain, tangan yang mencengkram leher Taka melonggar dan terangkat ke atas dengan gemetar karena menahan emosi.

Taka langsung terbatuk begitu udara menyerbu masuk ke paru-parunya karena adanya perbedaan tekanan parsial. Rasanya begitu menyakitkan hingga air matanya meleleh.

Sementara itu, pasukan polisi mulai memberi perintah kedua pada Albert--Taka tahu itu Albert menimbang ekspresi yang ditunjukkan lelaki tiga keprobadian itu. "Get off of Taka and face the wall."

Albert menggigit bibirnya keras. Kesal. Ia kesal karena terganggu ketika seninya hampir saja selesai.

Sedikit lagi, jika saja Takahiro berada di 'kanvas'-nya barang sebentar lagi...

Mata Albert mulai dipenuhi ambisi dan keserakahan. Kepopuleran yang selama ini didamba mulai menjauh. Tetapi, seusai tabiatnya, ia tidak akan membiarkan hal itu terjadi.

Takahiro harus menjadi miliknya.

Dengan gerakan cepat, ia menarik tangan Takahiro yang masih terengah dan, dengan beberapa gerakan tambahan lain, membawa tubuh penyanyi yang jauh lebih kecil darinya itu ke depannya, menjadikan Taka perisai antara dirinya dan pasukan bersenjata. Tangan kirinya mengapit leher Taka, memaksa vokalis itu untuk mendongak, sedangkan tangan kanannya, entah sejak kapan memegang sebilah pisau belatu yang ujung mata pisaunya sudah menempel di leher Taka, tepat di arteri karotid.

Sayangnya, pasukan polisi itu terlalu terbiasa dengan pelaku Jepang yang langsung menyerah, dan Albert bukanlah orang Jepang. Para polisi itu tidak sempat berkutik dengan perlawanan yang terlalu tiba-tiba.

"Let me free and I will keep this person alive. I will release him in no time."

Taka tidak bergerak sama sekali. Napasnya masih sedikit terengah sementara kakinya diborgol. Ia sama sekali tidak bisa melawan. Jangankan melawan, berharap pun sudah terlampau lelah.

"Now, back off," desis Albert berbahaya. Pisaunya menekan sedikit kulit Taka, cairan kental dan hangat pun mengalir menuruni lehernya.

Taka bisa melihat pemimpin pasukan itu mendecih pelan. Lalu, melalui walkie-talkie, ia berbicara, "Pelaku memiliki pisau."

Sementara itu, Albert mengambil sebuah kunci dari sakunya dengan tangan kirinya. Kunci itu diberikan pada Taka. "Unlock the cuff on your feet. Don't do unnecessary thing."

Taka melempar pandang pada polisi terdepan. Polisi itu mengangguk samar, menyuruhnya mengikuti perintah Albert.

Dengan mata pisau menekan lehernya, ia membuka borgol di kakinya. Suara borgol yang terbuka itu terdengar begitu kencang dalam ruangan dengan udara lengang yang berat. Albert langsung menyeret Takahiro turun dari kasur.

"Let us go."

Polisi terdepan menelan ludah paksa. Ia kembali berbicara dalam bahasa Jepang. "Buka jalan. Pelaku membawa korban ke luar. Jangan gegabah."

Albert setengah menyeret Taka sambil menjaga jarak sejauh mungkin dari polisi yang berkumpul di sudut.

Saat itu, Taka merasa waktu berjalan amat pelan. Satu langkahnya seolah berjalan lebih dari satu detik penuh dan polisi di hadapannya seperti terkena efek slow motion. Langkah mereka menggema menyakitkan di telinga. Dentum jantungnya semakin keras seiring berjalannya waktu. Selama itu, Taka tidak berani bernapas.

Sambil tetap menghadap polisi dan mempertahankan posisi pisaunya, Albert membawanya ke luar ruangan menuju ruangan penuh rekaman CCTV. Polisi mengikuti mereka dengan langkah yang super hati-hati. Langkah-langkah itu berhenti ketika punggung Albert menabrak pintu ber-password yang tertutup meski polisi telah mendobraknya; mungkin dengan membajak.

"You know the password," bisik Albert pada Takahiro. Ia membalik tubuh Takahiro agar bisa menggapai kotak LED, sementara dirinya tetap mengawasi pasukan polisi.

Dada Taka bergemuruh. Beberapa waktu yang lalu, ia sangat ingin membuka pintu ini, tetapi sekarang menekan tombol pun ia enggan.

Tangannya menekan tombol pertama itu dengan gugup. Begitu ia membuka pintu sialan ini, Albert akan membawanya entah ke mana, lalu teror-teror kemarin-kemarin akan kembali terulang.

Ia menekan tombol kedua.

Ia bisa merasakan semua mata polisi mengarah pada punggungnya.

Giginya menancap bibir bawahnya hingga memerah.

Ia takut.

Ia amat takut.

"Quickly!"

Ia menekan tombol ketiga. Setiap tombol yang ia tekan seolah jarum yang menusuk jarinya. Ia membasahi bibirnya yang kering. Jarinya sudah sangat dekat dengan tombol terakhir.

Ia ingin pulang...

Pip!

Semua organ di dalam perut Taka bergejolak, bereaksi terhadap suara itu. Bunyi alat yang menandakan kodenya benar terdengar, disusul dengan bunyi yang lebih kasar dengan terbukanya kunci pintu.

Inilah waktunya. Dengan kepergiannya, semua yang telah ia perjuangkan berakhir. Ia akan berhenti dari kehidupan sebagai Taka dari One Ok Rock.

"Toru-san..."

Taka menghembuskan napas dengan tekad penuh.

Ia mendorong pintu itu sedikit--

--dan matanya membulat melihat apa yang ada di balik pintu itu.

Taka tidak sempat memproses apa yang sedang terjadi. Tahu-tahu, pintu itu sudah terbuka penuh, bukan oleh dirinya, dan sekelebat bayangan menyerbu masuk. Lebih jauh lagi, bayangan itu menerjang Albert hingga terjengkang jatuh.

Seketika, semua suara yang ada seolah lenyap seketika. Ia merasa ada sesuatu yang amat kedap suara menyumpal telinganya atau dirinya terperosok ke dalam ruangan vakum yang tanpa udara, tanpa medium untuk suara merambat.

BUAGH!

Dan suara itu muncul; hanya suara itu. Suara keras yang menyadarkannya dari lamunannya. Ia masih belum bisa memproses apa yang terjadi, namun ia baru sadar dirinya sudah terduduk lemas.

BUAGH!

bunyi itu kembali terdengar. Ia yakin, itu bukan bunyi Albert yang jatuh; itu bunyi daging yang dihancurkan, disertai dengan bunyintulang yang ikut ditumbuk.

Bunyi menyakitkan itu terus terdengar. Semakin menyakitkan dari sebelumnya dan semakin cepat.

Taka melempar pandang ke arah Albert. Albert sedang terlentang; pisaunya bergulir ke lantai dan tak bergerak, sementara kedua tangannya berusaha untuk melawan. Di atas Albert, bayangan yang menyerbu masuk itu, Yamashita Toru tengah menghujami Albert dengan kepalan tangannya.

Taka membatu di tempatnya. Tangannya yang diborgol mengepal erat hingga buku-bukunya memutih. Toru di hadapannya begitu berbeda.

Mata Toru mengeluarkan aura yang mengerikan. Kepalan gitaris itu sudah memerah karena dibenturkan berulang kali ke tulang wajah Albert yang kini penuh lebam. Wajah Toru memerah karena marah dan... terlihat menderita.

Ia yang mengalami teror-teror itu. Tapi, kenapa Toru yang terlihat begitu menderita?

"Toru-san..." Mulutnya terbuka, tetapi suaranya tidak keluar.

Toru tidak berhenti. Dan Taka menunduk; membiarkan Toru meluapkan emosi.

Tinju kanan.

Tinju kiri.

Tangan Toru kini memerah; merah menyala yang terlihat menyakitkan.

"Hentikan dia!"

Polisi mulai bergerak. Salah satu dari mereka menangkap tubuh Toru dari belakang, sedikit menyeretnya untuk bangkit dari tubuh Albert.

"Lepas!" Toru meraung dan memberontak. Ia marah. Dan ia akan tunjukkan itu pada si bedebah ini.

Dari tempatnya, Taka meringis. Dadanya sesak melihat Toru yang seperti itu. Namun, pada saat yang bersamaan, ia sangat mengerti mengapa Toru sampai seperti itu. Mungkin, jika ia yang ada di posisi Toru, ia sudah melakukan hal yang lebih parah lagi.

"Amankan pelaku ke mobil!"

"LEPAS!!"

Suasana menjadi ricuh. Toru semakin brutal menghabisi Albert yang terkapar tanpa ada polisi yang bisa menghentikannya.

Hal itu terus berlanjut, setidaknya sampai Taka yang menunduk kembali membuka mulut.

"Hentikan, Toru-san."

Suara yang akhirnya keluar itu lemah dan pelan, cenderung teredam dengan suara kericuhan yang ada. Tetapi, Toru bereaksi. Tinjunya berhenti di udara dan pandangannya bergulir pada Taka.

"Pulang... aku ingin pulang."

Napas Toru yang masih memburu memenuhi ruangan. Polisi tidak segan-segan mengambil kesempatan itu dan segera menarik Albert.

Mata Toru menilik Takahiro. Taka di hadapannya terlihat buruk dan begitu lelah. Ia memejamkan matanya dan menelan kembali amarah yang meluap. Perlahan, ia mengangguk. Taka adalah prioritasnya sekarang.

"Kita pulang."

***

Meski ia berkata seperti itu, mereka tisak bisa langsung pulang. Kepolisian menyarankan Taka agar pergi dengan ambulans ke rumah sakit agar mendapat penanganan pertama untuk luka-lukanya sekaligus memeriksa kondisi gizi dan mental. Tetapi, lelaki itu menolak dengan sopan dan berkata ia baik-baik saja. Komandan polisi itu kalah dalam adu keras kepala. Sementata itu, Toru diberi peringatan karena telah merusak operasi dan bertindak gegabah, dan tangannya yang terluka karena menyerang Albert diobati.

"Sakit?" Toru meringis melihat Taka yang mendesis ketika inflamasi di pergelangannya diberi obat antiinflamasi di ambulans yang menunggu; ia setuju diberi penanganan pertama di ambulans.

Taka hanya menggeleng. Ia mengusap lehernya yang juga kemerahan dan telah diberi obat. Selanjutnya, ia hanya diam ketika diobati.

Toru mendesah pelan. Taka sama sekali tidak berbicara sejak keluar dari ruangan penuh monitor tadi. Hal itu tidak bisa dihindari; Taka baru mengalami hal yang sangat buruk.

"Taka..."

Tetapi ia takut. Ia takut diamnya Taka berarti Taka marah dan menganggap dirinya menjijikan karena meletakkan pelacak di ponsel Taka. Ia takut, jika Taka menganggap dirinya sama dengan Albert.

Taka tidak menjawab panggilannya. Ia tahu, Taka mempersilakannya dan menunggunya berbicara.

Melihat tingkah Taka, Toru menggeleng.

Setelah semua luka diobati, seorang polisi muda menghampiri ambulans. Ia memberi tahu kedua musisi itu untuk menaiki mobil patroli yang akan mengantar mereka pulang. Kedua lelaki itu hanya mengangguk serentak dan dipimpin menuju mobil yang terparkir. Sayangnya, mereka berpapasan Albert yang berwajah penuh lebam dan tengah dikawal menuju mobil tahanan.

Albert berhenti ketika Taka dan Toru tepat berada di sebelahnya. Wajahnya mengulas senyum licik yang mengejek.

"You hate us because we're stalker, but isn't your friend the same? You feel disgusted but hide it, no?"

Langkah Taka terhenti dengan provokasi itu. Toru di belakangnya mengepalkan tangannya erat-erat. Jika boleh jujur, ia lebih memilih untuk tidak mengetahui jawaban Taka.

"Let's see if he will be still with you by tomorrow morning and not be arrested." Senyum Albert melebar. Toru ikut terprovokasi dan kini melempar pandangan penuh amarah. "Be mad. I know what you feel, Toru. We're the same after all."

Kesabaran Toru mulai habis. Ia sudah mulai melangkah untuk menerjang Albert kembali sebelum suara Takahiro menghentikannya.

"No, Toru-san is different," katanya tegas.

Ekspresi Albert mengeras dengan jawaban Taka. "How can it be different? He stalked you, put a tracker in your phone. If it's not, how did they find us?"

Tujuan Albert adalah membuat dua orang itu terpecah; itu sudah jelas. Taka yang biasanya pasti akan terprovokasi. Namun, tanpa disangka, Taka justru membalasnya dengan kepala terangkat tinggi dan angkuh.

"He gets my permission, I allow him to be my one and only stalker."

Ada dua wajah terkejut di sana. Albert dan Toru.

"You--"

"Keep walking."

Albert tidak bisa memprovokasi lebih jauh lagi. Polisi sudah mendorongnya setengah paksa.

Toru yang terkejut dengan pernyataan Taka melempar pandangan penuh tanya. "Kau tidak marah?"

"Kenapa aku harus marah?" Taka justru balik bertanya.

Toru menggeleng kikuk dan keduanya kembali berjalan. Polisi muda itu mempersilakan mereka memasuki mobil patroli dan akhirnya mereka meninggalkan TKP.

***

Mobil patroli tanpa sirene itu membelah angin malam di jalanan Tokyo yang lengang. Dalam mobil itu, tiga orang yang ada di dalamnya tidak ada yang berbicara. Si supir, si polisi muda berkonsentrasi pada jalanan. Namun, Taka yang hanya penumpang juga tampaknya ikut berkonsentrasi pada jalanan--atau hanya memandang jalanan dari jendela mobil dan tenggelam dalam pikirannya.

Toru merasa aneh. Ada sesuatu dari tingkah Taka yang membuatnya tak nyaman. Taka... terlalu pendiam untuk seseorang yang baru mengalami kejadian yang amat buruk.

"Kau oke?" Tanya Toru dengan suara pelan.

Taka mengangguk tanpa mengalihkan perhatiannya dari jalanan.

Dalam hati, Toru memuji Taka. Vokalisnya itu terlihat begitu kuat, tidak gentar meski mendapat teror seperti itu...

Setidaknya itu yang ia pikirkan sampai matanya menangkap pantulan wajah Taka di jendela mobil. Wajah Taka terlihat lelah dan... kesepian.

Gitaris itu tidak mengerti. Taka memiliki dirinya. Juga dua anggota lain. Tapi, kenapa ia membuat ekspresi seperti itu?

Baru ketika ia mengamati pundak kaku dan tangan bergetar Taka-lah, ia mendapatkan jawabannya.

Takahiro menahan diri untuk tetap kuat.

Toru tidak tahu apa yang membuat Taka memaksakan dirinya. Terbayang olehnya Taka yang akan menangis di rumahnya seorang diri. Bayangan itu membuat napasnya menjadi berat dan sesuatu menusuk dadanya.

"Keisatsu-san, antar kami ke rumahku saja."

***

"Arigatou gozaimasu."

Setelah dua jam perjalanan, mereka akhirnya sampai di apartemen Toru. Keduanya membungkuk berterima kasih. Polisi yang mengantar mereka membalasnya seraya mengangkat topinya sopan. Mereka baru memasuki lobi ketika polisi itu sudah menginjak pedal gas mobil.

"Mau mandi dulu?" tanya Toru sambil menekan tombol lift.

Di sebelahnya, Taka mengangguk.

Toru tidak menjawab lebih lanjut. Ia hanya mengeluarkan ponselnya dan berkutik dengan ponselnya. Ketika lift sampai dan mereka masuk ke dalamnya, barulah Toru meletakkan ponselnya kembali ke saku.

Perjalanan mereka menuju unit Toru ditemani kesenyapan. Tidak ada yang membuka mulut, setidaknya sampai pintu unit Toru terlihat.

"Kau tahu..." ujar Toru membuka topik, "aku tahu kau memaksakan diri."

Dari sudut matanya, Toru bisa melihat tubuh Taka sedikit menegang mendengarnya.

"Lagipula, seperti itulah dirimu. Tapi, sejujurnya, itu mengesalkan."

Toru berhenti melangkah. Mereka sudah sampai di depan pintu Toru. Toru sudah mengeluarkan kuncinya, namun belum memasukkannya ke lubang kunci dan justru memandang Taka yang tetap diam.

"Jika kau menunjukkan bahwa kau takut, bahkan jika kau menangis, para polisi itu pasti mengerti. Kau baru saja mendapat pengalaman yang sangat tidak mengenakkan, siapa yang bisa menyalahkanmu karena menangis?"

Ekspresi Taka mulai berubah. Vokalis itu tampak kesal dan marah. "Toru-san, kau tidak mengerti."

"Aku mengerti."

"Tidak, kau tidak!" Suara Taka meninggi.

Toru tidak mengerti, itulah yang dipikirkan Taka. Lagu-lagu yang ia ciptakan, hampir semuanya memiliki pesan untuk menyemangati, untuk menjadi kuat. Apa yang akan dikatakan orang jika ia sendiri lemah? Pesan yang ingin ia sampaikan tidak akan sampai jika ia lemah. Karena itu, setidaknya, ia harus mencoba menjadi kuat...

"Aku tidak tahu apa yang menyebabkanmu seperti itu, tapi..."

Ucapan Toru menggantung. Entah sejak kapan, pintu di hadapan mereka sudah terbuka. Kini, ada bunyi derap langkah yang terburu-buru dari dalam.

Hanya butuh satu detik bagi Taka untuk mengetahui siapa yang berada di dalam rumah Toru meski pemiliknya ada di luar. Tomoya dan Ryota sudah ada di hadapannya. Keduanya memasang ekspresi yang mirip; khawatir dan lega.

"Takahiro!"

"Mori-chan!"

Keduanya segera menyerbu Taka. Taka yang terkesima hanya diam dan mebiarkan dua anggota itu berlaku seenaknya.

"Kau baik-baik saja? Ada yang luka? Lihat wajahmu..."

Tomoya berurusan dengan kepalanya. Ia menilik tiap sudutnya untuk mencari bekas luka atau apapun itu.

"Mori-chan..."

Ryota mengurusi kedua tangannya. Sama seperti Tomoya, ia juga mencari jejak-jejak luka.

"Lehermu merah, masuklah dan kuobati."

"Mori-chan! Tanganmu kenapa? Dan kakimu juga!?"

"Sialan orang itu."

"Ah, kalau saja Toru tidak mengurung kami di sini..."

Kedua orang itu masih ribut. Sama-sama memaki pelaku yang membuat Taka-mereka seperti itu.

Taka hanya diam diperlakukan seperti itu. Pikirannya ketika masih tersekap kembali terlintas, bahwa teman-temannya sudah menyerah. Dan melihat mereka seperti ini...

Ah, mereka tidak menyerah.

"Mori."

Suara Toru menyapanya. Tomoya dan Ryota pun langsung terdiam dan turut memandang ketua mereka.

"Kau bisa meluapkan semuanya sekarang. Kau punya kami bertiga."

Perkataan Toru seperti sebuah mantra bagi Taka. Mantra untuk menghilangkan semua kekhawatiran yang tidak perlu, juga mantra untuk menghilangkan semua penghalang yang menghalanginya untuk menangis dan meluapkan emosi layaknya anak kecil.

Dadanya kini menjadi berat, tetapi sekaligus lega dengan perasaan hangat yang menenangkan. Bibirnya bergetar. Matanya pun mulai memanas. Akhirnya, setetes air mata pun mulai mengalir dari pelupuknya. Tetesan itu perlahan menjadi aliran deras.

"Aku takut..."

Taka mulai terisak. Tidak ada kata-kata yang keluar setelah itu. Ia hanya menangis dan menangis. Lagipula, ketiga orang itu tidak butuh kata-kata. Mereka sudah terlampau mengerti dirinya, bahkan melebihi dirinya sendiri.

Isakkan itu semakin kencang dan napas Taka mulai tersengal. Tapi biarlah... ia melupakan sejenak umurnya yang sudah kepala tiga. Ia melupakan prinsip dirinya untuk selalu terlihat kuat.

Toru bergerak dari tempatnya dan membawa Taka ke dalam rengkuhannya. Taka segera menenggelamkan wajahnya ke bahu lebar Toru. Sedangkan, bahunya yang lebih kecil bergetar. Wajar, beban yang amat berat baru saja terlepas.

Tomoya dan Ryota ikut bergabung. Mereka melepas rindu dan kecemasan yang menghantui selama tiga hari ke belakang. Ryota pun ikut menangis di bahu Taka.

"Kau sudah di rumah, Takahiro..."

■■END■■

[EPILOG]

"Kau keterlaluan, Toru," protes Tomoya.

Keempatnya sudah sudah di dalam rumah Toru. Taka yang kelelahan setelah menangis tertidur dengan meringkuk, menggunakan paha Toru sebagai bantal.

"Mengunci kami di rumahmu lalu pergi sendiri... lalu tiba-tiba mengirimi pesan [Taka denganku. Sudah di lift, panaskan air mandi]," lanjut Tomoya lagi dengan wajah dongkol. Ia duduk di seberang kedua frontmen itu, tangannya bergerak mengusap kepala Taka. Isakkan kecil masih terdengar di sela-sela napas vokalis itu. "Untung saja kau dan Takahiro tidak apa-apa."

"Aku tidak apa-apa, tapi Taka tidak," koreksi Toru dengan ekspresi gelap.

"Tapi... apa kau benar-benar tidak apa? Bagaimana reaksi polisi dengan pelacakmu?"

"Prioritas mereka, untungnya, ada pada Taka," jelas Toru, "mereka memintaku untuk datang dua hari lagi untuk dimintai keterangan. Tapi..."

Toru tidak melanjutkan. Ucapan Takahiro kembali terdengar di telinganya.

I allow him to be my one and only stalker.

"Tapi apa?"

"Tapi, kepala polisi memaafkanku dan masalah sudah beres."

"Eh? Kau berbohong?" tanya Tomoya, yang merasa hal itu mustahil.

"Tidak."

Toru tidak berbohong. Komandan polisi kemarin sudah menghubunginya, mengatakan masalah sudah beres. Pernyataan Taka di TKP itulah penyebabnya. Karena pernyataan Taka itu secara tidak langsung mengatakan bahwa dirinya bersedia jika ponselnya dipasangi pelacak. Jika korban dan pelaku sama-sama bersedia, tidak ada yang bisa dituntut. Masalah itu benar-benar sudah selesai.

"Masalahnya sekarang... Taka tidak mau pulang ke rumahnya," celetuk Ryota sambil memandangi wajah tertidur Taka.

"Ya... tempat Taka disekap benar-benar menyerupai kamar Taka. Jika tidak tahu itu lokasi penculikan, aku tidak akan sadar itu bukan kamar Taka," desis Toru penuh dendam.

"Masalah itu juga sudah beres."

Tomoya mengeluarkan secarik kertas dari sakunya. Itu adalah selembaran dari lobi apartemen Toru.

■■END■■


Akhirnyaa! Wkwkwk 😆😆

I'm really grateful to you all for following this story until the end although its update isn't really well scheduled.

I have to say sorry for the delay in this last chapter. Bcz... I found myself regretting for publishing the 9th chp exactly the same day as Haruma Miura's death. I was feeling devastated finding about that bad news just minutes after publishing. Maybe it's not related, but since this story is dark and... it's strange but I felt like I added Taka's suffering by publishing this kind of story that day (I didn't know why but that's what I felt) 😂

And then, Toru being positive covid-19 made my mood worsen. I again felt I only added their suffering by creating this story in the wrong time. For destracting myself from those devastating things, I read a completed webnovel, contained 500+ chapters and went crazy about that, and cant stop reading. Fortunately it did distract me, but at the same time also distract me from finishing this ff 😂

So here it's, delayed almost 2 weeks. I'm very sorry 😔

Lastly, I'm again sorry to say this... but I still don't know whether I will keep writing oor fanfics or not. Possibly, I will just finish the stories I've made--or can't even finish some stories.

Thank you so much!!

Continue Reading

You'll Also Like

45.7K 6.7K 170
[END] [TERJEMAHAN INDONESIA] Fa Hua adalah seorang jenius di Domain Hukumnya. Dia tinggal dan hidup di Domain Hukum, orang yang taat aturan, hidup se...
1K 132 42
Sebagai seorang anak, Jian Qiao dikhianati oleh orang tuanya. Sebagai orang dewasa, dia ditikam tepat di jantungnya oleh seorang wanita yang hampir t...
861 145 9
Hei, jangan katakan apapun. Jangan takut, ini jam 4:48 pagi, waktu kematian dalam psikologi. Tapi kamu tidak akan mati sekarang. Waktu kematianmu ada...
1M 84.4K 29
Mark dan Jeno kakak beradik yang baru saja berusia 8 dan 7 tahun yang hidup di panti asuhan sejak kecil. Di usia yang masih kecil itu mereka berdua m...