DELUSIONS

By tanindamey

5.4K 1.5K 1.5K

Bagaimana rasanya memiliki suatu cela dalam hidup? Diasingkan, diacuhkan, ditindas, serbuan kalimat pedas. Ta... More

Prolog
Chapter 1- Pembendung
Chapter 2- Lilin lebah mencekam
Chapter 3 - Diluar terkaan
Chapter 4 - Menikam dipenghujung
Chapter 5 - Bunga tidur
Chapter 6 - Teror malam
Chapter 7- Goresan Luka
Chapter 8 - Kepelikan seseorang
Chapter 9-Tuturan Menyayat Hati
Chapter 10-Tumpahan Air Mata
Chapter 11 - Terjebak dalam Gulita
Chapter 13 - Gamang
Chapter 14 - Dekapan
Chapter 15 - Sebuah Amaran
Chapter 16 - Tak Kuasa
Chapter 17 - Terungkap
Chapter 18 - Cela
Chapter 19 - Kelam
Chapter 20 - Sukar
Chapter 21 - Langka
Chapter 22 - Terjaga
Chapter 23 - Berbeda
Chapter 24 - Cendala
Chapter 25 - Berdebar
Chapter 26 - Jengah
Chapter 27 - Terlambat
Chapter 28 - Mulai Meragu
Chapter 29 - Terbelenggu
Chapter 30 - Bertekad
Chapter 31 - Pasrah
Chapter 32 - Kegetiran
Chapter 33 - Pengakuan
Chapter 34 - Jawaban
Chapter 35 - Telah Padu
Chapter 36 - Meradang
Chapter 37 - Kembali Melukai
Chapter 38 - Memerangi
Chapter 39 - Terdesak
Chapter 40 - Suatu Cela
Chapter 41 - Telah Renggang
Chapter 42 - Delusi
Chapter 43 - Kilah
Chapter 44 - Kalut
Chapter 45 - Berlaga [Ending]
Epilog

Chapter 12 - Ancaman

97 42 45
By tanindamey

Ancaman

"Ada sesuatu yang seharusnya nggak lo campuri. Lo melangkah lebih jauh, itu artinya lo siap bermain. Berhenti atau melanjutkan akan tetap ada kejutan selanjutnya."

Perasaan gelisah menyelubungi hati Ardanu. Sejak awal ia memulai turnamen tidak dengan kesungguh. Pikirannya tertuju pada satu nama yaitu, Stevlanka. Pertandingan selesai pukul lima lebih tiga puluh menit sore. Ardanu ingin menghubungi nomor Stevlanka, tetapi ia tidak memiliki nomornya. Melihat keadaan yang semakin gelap membuatnya gelisah jauh lebih parah.

Pada akhirnya, Ardanu memutuskan datang ke rumah Stevlanka. Ia tidak peduli dengan Ayah gadis itu. Ia hanya ingin memastikan Stevlanka baik-baik saja. Setelah tiba di rumah Stevlanka, ternyata mobil Ayahnya terparkir di halaman rumah.

"Permisi." Ardanu mengetuk pintu. Tak lama Ayah Stevlanka mucul dari balik pintu.

"Sore, Om. Stevlankanya ada?" tanya Ardanu langsung.

"Stevlanka belum pulang," kata Satriya membuat Ardanu membulatkan matanya. "Kamu cowok yang waktu itu, bukan?" Satriya melihat Ardanu mulai atas hingga bawah.

"Iya, Om. Saya Ardanu." Ardanu mengangguk. "Kalau begitu saya permisi dulu, Om."

Ardanu tidak berbicara lebih banyak. Setelah berpamitan dengan Ayah Stevlanka, secepat mungkin menuju ke suatu tempat. Menambah kecepatan mobilnya, ia melihat jam tangan yang menunjukkan pukul enam sore. Sementara gelap sudah meremang. Ardanu mencengkram kuat setir mobilnya. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana keadan Stevlanka.

"Udah gue bilang, jangan ke sana!" gumam Ardanu denagn menggertakkan giginya.

Ardanu memarkirkan mobilnya di depan sekolah. Ia turun dari mobilnya, dan berlari ke arah belakang sekolah. Rumput-rumput liar menabrak kakinya ketika berlari sekuat tenaga. Ketika ia tiba, gudang itu ternyata terkunci dari luar.

"Vla, lo ada di dalam, Vla?" Ardanu berteriak seraya menggebrak pintu itu. Ardanu melihat sekelilinya, ada batu di sana. Ia mengambil batu yang cukup besar dan memukulkannya beberapa kali hingga gembok berkarat itu terbuka.

Ardanu memasuki gudang itu yang sangat gelap. Pandangannya tertuju di samping pintu. Stevanka yang tak sadarkan diri bersandar pada dinding.

"Stevlanka." Ardanu menepuk pipi Stevlanka. Ia mengangkat tubuh Stevlanka, lalu meraih ransel gadis itu. Ardanu berjalan cepat menuju ke mobilnya. Perlahan Stevlanka mengerjapkan matanya. Setengah sadar dengan kondisi mata yang masih memburam, ia bisa melihat Ardanu.

"Dan, itu lo?" bisik Stevlanka. Ardanu menundukkan kepalanya.

"Iya ini gue," kata Ardanu.

Ardanu menurunkan kaki Stevlanka, menahan tubuh gadis itu dengan satu tangannya. Tangannya yang lain membuka pintu mobil. Ardanu memasukkan tubuh Stevlanka ke dalam. Ia memasangkan seat bealt. Ketika Ardanu ingin menuju ke tempat duduk pengemudi, tangannya ditahan oleh Stevlanka.

"Kenapa?"

"Jangan pulang dulu," bisik Stevlanka dengan mata yang terpejam.

"Ma-maksud lo?" Ardanu menundukkan tubuhnya. "Okay, kalo gitu ke rumah sakit."

Stevlanka menggeleng lemah.

Ardanu sudah panik. "Terus gue bawa ke mana? Apartemen gue?" Ardanu melihat Stevlanka yang tidak sadarkan lagi. Laki-laki itu menepuk pelan pipi Stevlanka sambil memanggil namanya. Tidak ada jawaban. Ardanu menegakkan tubuhnya. Mengusap rambutnya ke belakang. Lalu, memandang sekelilingnya. Ia benar-benar kalut. Tidak tahu harus berbuat apa.

"Okay, jangan salahin gue kalau lo bangun lo udah di apartemen gue, Vla." Ardanu memasuki mobilnya. Menyalakan mesin mobil dan melaju meningalkan area sekolah. Ardanu menoleh memandang Stevlanka memejamkan matanya, wajahnya tampak pucat. Tangan yang ia genggam saat ini begitu dingin.

*****

Ardanu duduk di samping Stevlanka. Gadis itu terbaring di sofa panjang dan Ardanu duduk di sofa yang sama. Menggenggam erat tangan Stevlanka yang sangat dingin. Memandang wajah Stevlanka dengan rasa bersalah. Tidak seharusnya ia meninggalkan Stevlanka begitu saja. Ia tahu jika mimpinya tidak pernah salah.

Tangan Ardanu mengusap puncak kepala Stevlanka, merapikan rambut yan sedikit basah karena keringat. Hampir setengah jam berlalu, dengan posisi yang sama. Tidak ada yang dilakukan Ardanu selain diam memandangi wajah yang sedang tertidur itu.

Stevlanka mengerjapkan matanya.

"Stevlanka?" Ardanu terlonjak mendekatkan tubuhnya. Stevlanka menatap lekat Ardanu, kemudian ia melihat sekelilingnya.

"Lo ada di apartemen gue," kata Ardanu membalas pertanyaan di benak Stevlanka. Gadis itu berusaha untuk duduk, dengan sigap Ardanu membantunya. Mereka duduk saling berhadapan.

Ardanu beranjak, namun Stevlanka menarik tangan Ardanu seraya menggelengkan kepalanya.

"Gue cuma mau ambilin lo minum." Stevlanka melepaskan tangan Ardanu. Stevlanka melihat ruang tamu itu. Semuanya terlihat begitu rapi. Stevlanka tahu Ardanu tinggal sendirian di apartemen ini. Melihat Ardanu yang kembali dengan membawa segelas air di tangannya membuat Stevlanka membenarkan posisi duduknya.

"Makasih," kata Stevlanka setelah meneguk air itu. Beberapa tegukan membasahi tenggorokannya yang kering. Ketika ia ingin meletakkan gelas di meja, Ardanu mengambilnya dari tangan Stevlanka. Kemudian, ia letakkan di meja.

"Lo batu banget, ya!" tegas Ardanu. "Udah gue bilang, jangan ke sana sendiri. Masih aja keras kepala."

"Lo ngapain ke sana coba?" tanya Ardanu melembutkan suaranya.

"Gue ... tadi gue lihat Caya jalan ke arah gudang. Gue pikir akan ada sesuatu yang terjadi. Tapi, gue malah terkunci. Menurut lo siapa?"

"Nggak terlihat di mimpi gue. Tapi yang pasti itu adalah orang yang ada hubungannya dengan Caya. Bisa aja cowoknya Caya sendiri." Ardanu menerka. "Gue rasa ... lo nggak usah masuk jauh lebih dalam ke masa lalu Caya, Vla."

Ardanu diam sejenak. Menatap tepat di mata Stevlanka. Stevlanka membalas tatapan itu. Ia bisa melihat kekhawatiran pada kilatan mata Ardanu. Mereka sama-sama enggan mengalihkan pandangan.

"Gue tahu gimana keadan lo di dalam gudang tadi." Ardanu menarik napas. "Gue udah janji untuk mengubah hal buruk di hidup lo, tapi gue gagal."

"Lo nggak gagal."

"Gue gagal."

Stevlanka terdiam sejenak. "Dan ...."

"Izinkan gue membantu menyembuhkan phobia lo, ya?" Ardanu menyela.

Stevlanka terperanjat. "Nggak akan bisa, Dan." Ia menggeleng. "Gue pernah coba dan tetep aja ... itu semua nggak membantu."

"Bisa." Ardanu mengatakan dengan yakin.

Stevlanka menatap Ardanu lama, melihat mata itu yang begitu tulus. Mata penuh ketulusan seperti itu Stevlanka lama tidak melihatnya. Terakhir kali adalah Bundanya. Bahkan Ayahnya sendiri tidak memiliki tatapan itu. Ardanu adalah orang yang menganggap dirinya berharga.

"Vla ...."

"Iya?"

"Gue pengen peluk lo."

Stevlanka tersadar. Tangannya tanpa sadar menampar pipi Ardanu. Ardanu malah tertawa, lalu berkata, "Nggak dapat pelukan tapi dapat tamparan, oke nggak papa. Mungkin besok."

Stevlanka hanya menatapnya tajam. Ardanu tengah duduk di samping Stevalnka. Gadis itu menurunkan kakinya, lalu menarik ranselnya. Ardanu senang karena keadaan Stevlanka baik-baik saja. Tamparan yang diberikannya cukup membuat Ardanu yakin. Tidak sakit, tetapi lumayan bertenaga.

"Udah malam, anterin gue pulang."

Ardanu tidak membalas. Ia menyilangkan tangannya di depan dada, bersandar pada sandaran sofa.

"Kok diam?"

"Emang ada yang mau nganterin lo?" Ia tertawa. "Lo nginep sini aja."

Stevlanka mlebarkan mulutnya. Raut wajahnya menjadi tajam. "Anterin gue!"

"Balik sendiri."

Stevlanka terdiam. Tatapannya masih tajam. Ia menunggu Ardanu bereaksi. Tetapi laki-laki itu masih diam. Dengan raut wajah geram Stevlanka melangkah pergi. Berjalan menuju pintu. Baru beberapa langkah, tangannya di tarik dari belakang. Tepat sekali Stevlanka berada tak jauh dari rak buku. Saat Ardanu menariknya dari belakang dan membuat tubuh Stevlanka menempel pada rak buku itu.

Air muka tenang dapat Stevlanka tunjukkan. Namun, tidak dengan hati dan perasaannya. Ia gugup. Bahkan hingga menahan napasnya sendiri. Kepalanya mendongak menatap Ardanu. Laki-laki itu cukup tinggi dari Stevlanka.

"Gue laki-laki baik dan gue laki-laki yang berjanji buat menjaga lo, kan? Jadi, gue nggak bakal aneh-aneh." Ardanu memundurkan langkahnya. Melepas jaketnya, lalu melingkarkan tangannya di tubuh Stevlanka untuk meletakkan jakat itu di pundaknya. "Tapi seneng aja bikin lo kepedean."

Ardanu tertawa. "Pasti lo teriak-teriak di dalam hati lo, iya, kan?"

Stevlanka mengalihkan pandangannya. Ia berdeham pelan.

"Biasanya, kan, kalau cewe di deket-deketin, di pepetin kaya gitu pada pengen teriak."

Stevlanka menoleh. "Gue bisa bunuh lo di sini."

Tangan Ardanu terangkat membekap mulutnya. Ia menjauh dari Stevlanka. Raut wajahnya itu dibuat-buat. "Mengerikan."

"Kalau lo masih ngomong nggak jelas, gue bisa melakukannya sekarang."

Ardanu tertawa. Tidak ada yang lucu dari kalimat Stevlanka, tetapi ia tetap tertawa. Mendorong pundak Stevlanka menuntunnya ke luar. "Iya, gue antar pulang. Ancaman lo mengerikan."

Diam-diam Stevlanka tersenyum tipis, dan tentunya Ardanu tidak tahu.

*****

Mobil Ardanu kini tiba di depan rumah Stevlanka. Setelah mereka saling diam di dalam mobil. Ardanu yang mencoba untuk membuat lelucon, Stevlanka hanya menanggapi dengan senyum yang terpaksa. Sifat mereka sangat bertolak belakang. Ardanu yang banyak bicara, sementara Stevlanka hanya berbicara jika ia menginginkan saja—misalnya sesuatu yang penting saja.

Ardanu menoleh ke arah Stevlanka, gadis itu banyak melamun sedari tadi. Ardanu sudah mulai terbiasa dengan sifat Stevlanka. Ia cukup memahami gadis itu.

"Lo masih mau diam di sini?"

Stevlanka menoleh. Menatap Laki-laki di sampingnya itu. Ardanu sudah ingin keluar tetapi Stevlanka masih tidak menunjukkan pergerakan. Ardanu kembali menyandarkan punggungnya. Menaikkan alisnya membalas tatapan Stevlanka.

"Gue mau tanya sesuatu."

Ardanu mencondongkan tubuhnya—ke arah Stevlanka—menunggu dengan wajahnya yang berbinar.

"Selama kita kenal gue belum pernah ngasih tahu alamat rumah gue. Malam itu lo bisa tahu gitu aja, bahkan sekarang juga," ucap Stevlanka dengan wajah tenangnya. Ardanu terdiam beberapa saat. Lalu, ia menahan senyumnya dan berkata,

"Radar."

"Serius," kata Stevlanka kesal.

"Lo itu udah incaran gue sejak lama." Ardanu mengulurkan tangannya, membuka seat belt Stevlanka. Meraih tas gadis itu yang ada di jok belakang, lalu diletakkan di pangkuan Stevlanka. "Jadi, nggak usah kaget kalau gue tahu banyak tentang lo. Udah, ayo."

Stevlanka menghela napasnya. Berbicara dengan Ardanu memang hanya sia-sia. Pintu mobil terbuka terlebih dahulu sebelum ia melakukannya. Ardanu melakukan hal-hal kecil yang mungkin akan membuat Gadis di luar sana meleleh. Stevlanka tahu itu, tetapi ia tidak memiliki waktu untuk terhanyut dalam sikap Ardanu yang manis. Apalagi semua ucapan yang ia lontarkan hanyalah lelucon. Stevlanka tidak suka seperti itu.

"Hp lo mana?" tanya Ardanu.

"Ada di tas," jawab Stevlanka. "Kenapa?"

"Sini gue pinjem," Ardanu menengadahkan telapak tangan.

Masih dengan wajah bingung, Stevlanka mengambil ponselnya di dalam tas. Ardanu menyambar ponsel itu yang masih berada di tangan Stevlanka.

"Buat apa?" tanya Stevlanka kesal. Stevlanka menyipitkan matanya, melihat Ardanu yang seperti memasukkan beberapa digit angka. Tak lama suara ponsel Ardanu berdering. Setelah Stevlanka sadar, gadis itu melebarkan mulutnya. Ia merebut ponselnya dari tangan Ardanu.

"Lancang!" tukas Stevlanka tidak suka.

"Vla, gini, ya, kita udah temen sekarang. Tadi sore gue pusing karena gue nggak bisa hubungin lo. Dan juga biar enak aja kalo gue mau deketein lo." Ardanu tersenyum menaik turunkan alisnya.

Stevlanka menatap tajam mendengar kalimat terakhir Ardanu

"Telepon atau kirim pesan kalau penting aja. Kalau sampai lo ganggu gue, gue bakal blokir nomor lo," perintah Stevlanka dengan wajah datar yang terkesan begitu dingin.

"Vla, ih, jangan serius-serius kenapa, sih?" Ardanu mengeluh. "Gue makin suka sama lo nanti, bagus kalau lo mau tanggung jawab. Kalau enggak?"

Stevlanka semakin tak suka arah pembicaraan Ardanu. ia masuk terlebih dahulu. Kemudian Ardanu mengikuti langkah Stevlanka dari belakang. Pintu terbuka tepat setelah Stevlanka berada di depan pintu. Ayahnya muncul dengan melipat tangannya di depan dada. Menatap Stevlanka dan Ardanu bergantian.

"Malam, Om," sapa Ardanu seraya menundukkan tubuhnya. "Maaf agak telat pulangin Vla."

Satriya mengabaikan Ardanu, pandangannya beralih ke putrinya. "Dari mana kamu?"

Stevlanka menahan ucapannya, melirik Ardanu sekilas. "Vla—"

"Maaf, Om, sebenarnya kita ada kerja kelompok. Karena saya ada turnamen jadi datang terlambat, ternyata kelompoknya udah selesai. Dan saya liat Hp Vla ketinggalan," kata Ardanu menoleh Stevlanka sebelum melanjutkan pembicarannya. "Saya tadi ke sini mau balikin Hp Vla, tapi ternyata dia belum pulang."

Stevlanka menatap Ardanu. "Stevlanka ketakutan di tengah jalan. Karena nggak bisa hubungin Om, pobianya kambuh. Jadi, saya ajak dia ke apartemen saya."

Satriya melebarkan matanya. "Di apartemen kamu? Cuma berdua aja?"

Stevlanka memejamkan matanya seraya menunduk. Sepertinya Ardanu salah bicara. Laki-laki itu terlihat tenang, tak gugup sedikit pun.

"Iya, Om, tapi saya cowok baik-baik, kok. Nggak ada niatan sedikit pun buat aneh-aneh. Tanya aja sama Vla," Jawab Ardanu. Stevlanka sontak menganggukkan kepalanya menatap Ayahnya. Mereka terdiam beberapa detik.

"Masih ada alasan yang membuat kamu tetap di sini?" tanya Ayah Stevlanka pada Ardanu. Nadanya seperti sebuah sarkasme.

"Saya permisi, Om." pamit Ardanu, kemudian memandang Stevlanka mengedipkan satu matanya. Stevlanka melebarkan matanya menatap Ardanu yang sudah berjalan meninggalkan rumahnya.

"Masuk, bersihin badan kamu dan langsung makan," perintah Ayahnya dingin. Stevlanka mengikuti perintah Ayahnya. Pria itu mendahului langkah Stevlanka untuk menuju ke ruang kerjanya.

"Ayah," seru Stevlanka membuat Ayahnya membalikkan tubuh. "Tangan Ayah gimana?" Stevlanka mengucapkan dengan hati-hati. Bukannya menjawab Satriya malah menyelonong masuk. Stevlanka menghela napas kecewa.

Ia memilih masuk ke kamar. Melepas sepatunya. Berjalan menuju tempat tidur. Ia membuang ranselnya tak bertenaga. Duduk di pinggiran tempat tidurnya. Hari ini sungguh melelahkan. Ia kehilangan banyak tenaga karena berjam-jam terkunci di dalam gudang. Itu sungguh mengerikan. Dan sosok menyeramkan itu kembali muncul.

"Kenapa dia muncul hanya di saat gue ketakutan karena gelap? Kalaupun gue bisa lihat mereka, harusnya gue bisa lihat di setiap tempat. Tapi kenapa ini enggak?" Stevlanka bingung dengan apa yang menimpanya.

Setelah Ia membersihkan tubuhnya, kemudian makan. Stevlanka meluangkan waktu untuk membaca buku. Karena kondisi matanya yang tidak bersahabat, ia memilih menyudahi kegiatan belajarnya. Ia hanya ingin istirahat saat ini.

Stevlanka selalu tidur dalam keadaan lampu menyala. Itulah yang akan dilakukan ketika seseorang menderita nyctopobhia. Ia tak akan membiarkan di sekitarnya gelap. Belum lama Stevlanka memejamkan matanya, ponselnya berdering. Terpaksa harus membuka matanya, meraih ponsel di sebelahnya.

Mengubah posisinya menjadi duduk. Melihat deretan nomor yang tidak dikenali.

"Hai cewek langka!" seru Ardanu dari ujung sana.

"Gue udah bilang, ya, kalau lo ganggu gue nomor lo bakal gue blokir."

"Sebentar aja. Gue pengen denger suara lo sebelum tidur. Siapa tahu gue bisa lihat masa depan kita waktu gue tidur nanti." Hembusan napas Ardanu yang dapat Stevlanka dengar, laki-laki itu sedang tersenyum. Air muka Stevlanka perlahan berubah. Ia menyandarkan tubuhnya. Stevlanka memikirkan bagaimana caranya bertanya, apakah Ardanu melihat sosok menyeramkan itu di mimpinya. Ia mengigit bibirnya. Tangannya memainkan selimut yang menutup sebagian tubuhnya.

"Baper, kan, lo?"

"Lama-lama gue muak sama ocehan lo. Jangan sampai kesabaran gue habis terus gue jahit bibir lo, ya, Ardanu."

"Waduh. Nanti judulnya 'My Psychopath Girl Firiend', dong." Ardanu tertawa lagi. "Sekarang aja lo bilangnya mau jahit bibir gue. Nanti lama-lama berubah ...."

Stevlanka mengerutkan kening.

"Berubah jadi pengen—"

"Gue matiin kalau lo masih ngomong ga penting."

"Dih, malu-malu." Tawa Ardanu semakin menjadi.

Stevlanka memutuskan sambungan telepon saat itu juga. Obrolan Ardanu tidak penting sama sekali. Stevlanka benar-benar tidak main-main dengan ucapannya. Padahal kemungkinan besar Stevlanka bisa melakukan hal gila itu. Ia menatap kedua tangannya. Banyak goresan bekas luka di sana. Setelah ada luka yang keirng, tak lama akan ada luka baru. Selalu saja begitu. Stevlanka bersusah payah menghilangkan bekas luka itu. Hanya tersamarkan sedikit.

Ponselnya kembali berdering. Stevlanka mengerjapkan matanya. Dengan cepat ia mengangkatnya. "Ardanu, gue blokir nomor lo sekarang juga."

Tidak ada jawaban. Stevlanka menautkan kedua alisnya. Menajuhkan ponselnya, melihat nomor yang berbeda. Private number?

Stevlanka terperanjat. Kembali mendekatkan ponsel pada telinganya.

"Selamat malam, Stevlanka Annesca." Suara dari seseorang di balik telepon itu. Suaranya diberi efek. Stevlanka tidak bisa mengenalinya. Matanya bergerak gelisah.

"Bagaimana malam ini?"

"Si-siapa?"

"Seseorang yang akan memberimu kejutan."

"Pengecut. Tunjukin suara asli lo, berengsek."

"Umpatan yang sangat indah."

Stevlanka meremas selimutnya.

"Ada sesuatu yang seharusnya nggak lo campuri. Lo melangkah lebih jauh, itu artinya lo siap bermain. Berhenti atau melanjutkan akan tetap ada kejutan selanjutnya."

Sambungan terputus saat itu juga. Tubuh Stevlanka melemas. Tidak salah lagi. Ancaman itu berasal dari seseorang yang melukai Caya. Rencana Stevlanka untuk mencari tahu tentang dirinya telah diketahui. Entah bagaimana bisa Stevlanka tidak mengerti. Ia menerka-nerka Caya masih berhunungan dengan laki-laki itu. Stevlanka merasa Caya dalam bahaya jika memang benar gadis itu masih berhubungan dengannya. Stevlanka semakin penasaran dan ingin menangkap laki-laki berbahaya itu.

*****

Thanks for reading!

Ardanu itu juga sama aja kayak anak remaja yang lainnya. Dia bisa nakal, bisa banget. Bisa ambil kesempatan dalam kesempitan juga bisa banget. Tapi, semua itu terlakalahkan sama janjinya untuk melindungi Stevlanka. Pengen peluk, tapi malah dapat gamparan it's okay buat dia. Vla kebangetan banget deh.

Seperti biasa jangan lupa tinggalin jejak kalian. Vote kalo suka, komen, dan share ke temen-temen kalian.
ll do my best!!

Tanindamey
Sabtu, 18 juli 2020
Revisi: Selasa, 24 Agustus 2021

Continue Reading

You'll Also Like

226K 11.5K 32
"eh masak mati sih cuman kesedak jajan belum ketemu ayang yoongi elah" batin Aileen. Bukannya ke alam baka menemui kedua orang tuanya Aileen memasu...
313K 18.3K 40
CERITA INI HANYA ADA DI PLATFORM WP LAPAK AVENLY SAJA TIDAK TERSEDIA DI APK LAIN~~~ Anggita Magnolia kini hidup di tubuh orang lain. Lebih tepatnya i...
237K 5K 77
~ Novel Terjemahan ~ Cara paling kejam untuk menjatuhkan musuh adalah dengan membuat mereka jatuh cinta. "Sally, kamu wangi sekali." Kapten Leon Wins...
225K 22.5K 31
Karel terjebak dalam sebuah novel remaja dan harus memerankan sosok penjahat berusia 18 tahun. Namun, ia merasa bersyukur karena karakter penjahat ya...