A Home Without Walls

By pratiwikim

6.4K 788 1.3K

[ON GOING] Menurut pemikiran dangkal Jinan, ia dapat menyimpulkan bahwasannya Kim Taehyung itu serupa dengan... More

prologue : swallowed in the sea
a. through the dusk
b. fall for anything
c. no sound without silent
d. for the first time
f. equlibrium, exit wounds
g. warning sign
h. up in flame
i. splintered

e. broken arrow

423 71 126
By pratiwikim

Sejauh Elijah bisa mengingat, ada sebuah pendulum yang tersimpan di lemari kaca ruang bawah tanah, terkunci dengan rantai besi yang melilit seluruh tubuhnya, semata-mata ditujukan agar bandul berbahan dasar tembaga tersebut berhenti bergerak. Setelah melewati banyak fase kehidupan yang mana salah satu di antaranya adalah kehilangan Heejin, Elijah hanya bisa mengubur semua kenangannya dalam-dalam, mengunci bilik memori agar tak satu pun dari mereka mencuat keluar lantas menghancurkan apa yang telah ia tata sedemikian rupa.

Kepergian Heejin masih menghantui Elijah kemana pun ia pergi. Bagaimana isi kepalanya yang berserak di jalanan aspal dan surai sepinggangnya yang tercerabut paksa. Semesta berduka, mengirim tangisan pilu bersama dengung sirine ambulan. Kedua tangannya terbentang, menyambut jiwa manusia agar masuk ke dalam rengkuhan. Elijah tertawa nanar, menatap kepergian sang putri sembari memeluk kepala Yoongi. Dia berkata, "Tidak apa-apa. Ibumu hanya butuh tempat untuk mengistirahatkan tubuh dari beratnya beban kehidupan."

"Apa Ibu akan kembali, Nek?"

Pertanyaan itu terlontar secara tak terduga, mengetuk rungu Elijah untuk sadarkan dia bahwa cucu laki-lakinya sama sekali tidak menitikkan air mata. Barangkali Yoongi masih belum paham, atau mungkin memang hatinya yang sudah padam. Elijah membawa bocah tersebut menjauh dari keramaian, mendudukkannya di tepi trotoar lalu balas berkata, "Tidak, Yoong. Ibumu akan menetap di sana dalam jangka waktu yang cukup lama. Tetapi, kalau kau rajin berdoa kepada Tuhan, dia akan mampir ke dalam mimpimu."

Bocah itu mengangguk samar, menolehkan kepala untuk yang terakhir kali pada sosok ibunya yang dimasukkan ke dalam kantong mayat. Sekelebat ingatan mengenai perdebatan kaos kaki yang hilang mendadak terasa menguliti isi kepala secara perlahan, Yoongi menyesal karena telah membentak Heejin, berbicara penuh penekanan dengan vokal yang dinaikkan. Ia tidak tahu apa yang terjadi, sebab beberapa jam setelah ia menghentikan aksi merajuknya, Nenek tiba-tiba mendapat kabar bahwa Heejin kecelakaan.

Sembari menggenggam sepasang kaos kaki berwarna biru tua dengan aroma khas pabrik yang menggelitik rongga hidung, Yoongi berlalu dari sana, membawa segenap hati yang pecah untuk disatukan kembali ke dalam bangunan yang ia sebut rumah.

Elijah menghela satu napas panjang tatkala berhasil menempatkan pot berisi bunga tepat di bawah jendela kamar miliknya, ia menepuk pelan sarung tangan yang melekat guna meluruhkan tanah bercampur pupuk kompos. Bersamaan dengan pinggangnya yang seperti akan patah menjadi dua bagian, Elijah memandang takjub. Kilauan cahaya sang fajar telah menyingsing di langit timur, menempa kulit penuh kerutan di wajah yang tak lagi muda itu. Sembari berjalan agak terbungkuk, wanita tersebut memasukkan semua peralatan yang dipakainya ke dalam keranjang, berniat mencucinya terlebih dahulu sebelum disimpan kembali di peti kayu.

Dia tidak ingin mengingat banyak hal, tapi terkadang, peristiwa itu masuk tanpa mengucap salam; tahu-tahu saja berkeliaran dan menarik-narik kewarasannya.

Melalui pintu belakang yang terhubung langsung dengan dapur, Elijah melepas boots setinggi lutut yang membekap kakinya sejak dini hari. Well, berkebun adalah favoritnya. Ia memiliki beberapa petak tanah hanya untuk ditanami berbagai macam tumbuhan, mulai dari tanaman hias hingga pohon-pohon penghasil buah. Sayangnya, sejak Elijah kehilangan Heejin dari genggamannya, ia tak lagi bisa fokus menekuni lahan tersebut, ada seseorang yang harus dirawatnya sepenuh hati.

Min Yoongi; anak lelaki dari Heejin yang kini berusia dua puluh delapan tahun.

Sosok tersebut keluar dari bilik kamar, memakai setelan kerja dengan surai hitam yang disisir rapi. Di tangannya ada sebuah tas laptop, terselip di antara ruas jemari yang tampilkan sulur urat hijau kebiru-biruan. Sementara Yoongi membuka lemari guna mengeluarkan gelas bening dan menempatkannya di bawah guyuran air dispenser, Elijah mencuci kedua tangan di wastafel, tetap mematri fokus pada pemuda yang tengah menenggak cairan tersebut hingga habis tak bersisa.

"Bukankah jam kantormu dimulai pukul delapan nanti?" Sepasang netranya memandang lurus, menyelami kepribadian Yoongi yang dirasa-rasa terlalu kelabu dan sukar untuk dipahami. "Duduklah sebentar, temani Nenek sarapan."

Ada selang waktu cukup lama bagi Yoongi mencerna keadaan, ia mengerjap cepat agar mampu menarik kembali realita yang tersaji. Menjatuhkan tubuh tepat di seberang Elijah, Yoongi menyambut mangkuk bundar beisi nasi pulen berikut kuah dari sup rumput laut. Seakan lupa bagaimana cara berbicara dan memuntahkan serangkaian kalimat, pria itu hanya diam sembari menikmati makanan.

Derik mesin pemanas terdengar bising, begitu pula mesin pemangkas rumput dari tetangga sebelah yang meretakkan ketenangan pagi ini. Elijah menahan napas, mendapati sosok di hadapannya tampak tak berselera menyuap sendok demi sendok nasi ke dalam mulut. Kunyahannya terlihat lambat, terpaksa, dan tertekan.

Setelah memastikan gumpalan nasi meluncur menuju lambung secara sempurna, Elijah menautkan kesepuluh jemari di atas meja. "Jadi, bagaimana?"

Yoongi mendongak, belah pipi kemerahannya seperti ditampar kuat, "Maksud Nenek?"

Sontak Elijah memukul keningnya—pelan saja, kalau keras-keras ia bisa kesakitan. "Bukankah tadi malam kita telah membicarakannya di ruang tengah?" Sang lawan bicara menatap penuh ketidakmengertian; setengah linglung bak orang yang berpuluh-puluh tahun mendekam dalam rumah sakit jiwa. "Astaga, Yoongi. Sepertinya kadar kepikunanmu itu telah melebihiku. Tentu saja tentang perjodohan dengan putri semata wayang keluarga Kim. Bagaimana? Sekarang sudah ingat, bukan?"

Ah, perjodohan itu, ya?

Yoongi tak membalas, hanya menunduk dan merenungi sebuah keputusan yang pada kenyataannya masih mengambang di lautan lepas. Jujur saja, jatah tidurnya selama lima jam harus terkuras habis untuk memikirkan hal tersebut, ia menimbang penuh kehati-hatian, mencari tahu risiko macam apa yang menghadang jika ia menerima pun menolak. Tetapi sial, hingga kini Yoongi masih belum mendapatkan jawaban pasti.

Seakan paham oleh seraut ekspresi yang terpancar, Elijah mengangguk pelan. Ia tidak bisa memaksa Yoongi untuk menerima, tapi ia juga tidak bisa menutupi aroma busuk dari keluarganya terlalu lama. Cepat atau lambat, akan ada seseorang yang menyadari bahwa masing-masing dari mereka memiliki titik tumpu permasalahan yang begitu krusial.

"Sayangnya, tidak ada jalan untuk kembali, Nak. Kesempatan terakhirmu hanya ada di tangan mereka." Satu tarikan napas beserta embus kecilnya keluar, Elijah merasa selera makannya menguap seiring dengan tangan yang menangkup milik Yoongi di atas meja; bermaksud menenangkan. "Jangan hanya mementingkan dirimu sendiri. Kau hidup di dunia semata-mata agar bisa bahu-membahu antarsesama. Jangan biarkan Nenek dan mendiang ibumu menanggung derita karena keegoisanmu sendiri."

Kepalanya kembali tertunduk, tak berani untuk sekadar balas menatap pada sepasang manik yang terbakar api kehidupan. Yoongi merasakan genggaman Elijah mengetat, bekas luka akibat tangan yang tersabit celurit pun menjadi saksi bisu bahwa sang nenek telah bekerja keras selama ini.

Nenek benar. Dunia tidak hanya berpusat pada kebahagiaannya saja. Ada banyak orang di luar sana yang menderita akibat ketamakan dari orang semacam Yoongi, dan barangkali Elijah adalah satu dari sekian di antaranya.

Menurunkan ego, mengisi kendi-kendi kepercayaannya dengan secuil ingatan tentang senyum manis Heejin yang terekam di bilik memori, Yoongi memutuskan untuk menarik sebuah kesimpulan bahwa ia menerima perjodohan tersebut. Tetapi tetap, ada satu keraguan yang bercokol di ruang kalbu.

"Apa Nenek yakin kalau mereka bisa menerima kekuranganku?"

Kini Elijah mengulas senyum, mengusap punggung tangan Yoongi dengan begitu banyak curahan afeksi. Sampai kapan pun, ia tidak akan menyerah. Demi Heejin dan juga buah hatinya, apa pun akan Elijah lakukan, semuanya akan ia pertaruhkan. "Jangan cemas, Nenek akan mengurus semuanya. Sekarang, yang perlu kau lakukan hanyalah menyiapkan diri."

Di sisi lain, Seulhee baru saja turun dari taksi yang mengantarkannya langsung ke kediaman dari keluarga Min. Ia tidak bisa berkendara seorang diri sebab mobil miliknya berada di bengkel guna melakukan perawatan bulanan. Ia berjalan di jalur setapak yang terbuat dari semen, sempat menyapu pandangan pada lingkungan rumah yang cukup asri dengan bibit pohon mangga pula rumpun bunga-bunga mencolok.

Nyaris mendaratkan ketukan di punggung pintu yang rekat di dinding sewarna susunan tulang, Seulhee mendadak mengurungkan niat tatkala benda berbahan dasar kayu tersebut seolah mendapat tarikan magis dari dalam. Tetapi, tentu saja itu tidak benar—pemuda bermata sabit itulah yang menarik tuas pintu.

Sebuah ketidaksengajaan yang tak dapat diprediksikan.

Seulhee tersenyum canggung, meneliti sosok di hadapannya yang bersiap dengan tas hitam dalam cengkraman. Ah, pemuda ini pasti Min Yoongi, seseorang yang akan menjadi menantunya kelak suatu hari nanti. Ingin sekali rasanya Seulhee mengajak pemuda tersebut berbincang singkat, tetapi kala menelisik dalam dan temukan fakta bahwa Yoongi terburu-buru oleh kejaran waktu, lagi-lagi ia mengurungkan niat.

Yoongi mengangguk, mengucap permisi dengan vokal lirih, kemudian berlari kecil menghampiri mobil yang bernaung di bawah kanopi sebelum akhirnya melesat bersama deru mesin dan knalpot bising.

"Eh, sudah datang?" Dari dalam, Elijah berseru. Ia yang semula hendak menutup pintu pun terkejut tatkala menemukan sang tamu hadir lebih cepat dari jam seharusnya. Alih-alih keberatan, Elijah malah menghambur memeluk Seulhee lantas menggandeng lengannya guna menuntun ke salah satu kursi di ruang tamu. "Aku senang kau datang memenuhi undanganku kala itu. Duduklah, aku akan ke dapur untuk mengambil kudapan yang kubuatkan tadi malam."

Seulas senyum tipis melengkung di ceruk bibir Seulhee. "Terima kasih, Elly."

Nyaris tersandung oleh kakinya sendiri, Elijah buru-buru menegapkan tubuh. Ia menolak tawaran dari Seulhee yang hendak membantunya membawakan camilan ke ruang depan. Bukan karena diselubungi alasan macam-macam, hanya saja Elijah tidak ingin tamu kesayangannya merepotkan diri dengan setumpuk piring kotor yang belum dicuci bersih.

Seulhee memang selalu seperti itu, tidak berubah banyak sejak terakhir kali bertemu. Hanya terlihat beberapa kerutan samar dengan tulang pipi yang tak lagi sekencang dulu, kendati demikian, sosok tersebut sama saja menawannya—jelita, sama seperti Heejin.

"Bagaimana kabarmu, Seul? Juga, Daeshim—apa dia masih sama seperti dahulu?"

Dua gelas teh melati dan setoples kue kayu manis tersaji di atas nampan, Seulhee yang tadinya hendak menyelipkan jemari di sela tangkai pun tersenyum getir. "Cukup baik. Hanya saja, akhir-akhir ini aku sering mengantuk akibat pekerjaan yang mengharuskanku lembur hingga larut malam." Sesaat ia menarik napas, membuangnya pelan bersamaan dengan kalimat yang terus bersambung, "Aku sudah tidak bersamanya lagi. Kami bercerai, dan kupikir itu memang jalan yang tepat. Setidaknya hidupku menjadi sedikit lebih tenang."

"Sedikit?" ulang Elijah.

Seulhee membiarkan kerongkongannya basah terlebih dahulu. Mengulas kembali sesuatu yang ingin dikubur dalam-dalam tentu bukanlah hal mudah. Seulhee harus memastikan bahwa suaranya tidak cukup gemetar saat membalas, "Dia meninggalkan banyak utang, dan aku harus melunasi semuanya jika tidak ingin rumah yang kami tempati disita oleh pihak bersangkutan."

"Astaga." Wanita yang telah hidup selama tujuh puluh tahun lebih itu membekap mulutnya; mendesis tak percaya, sementara Seulhee tersenyum miris meratapi takdir yang tertulis untuknya. "Dasar lelaki tidak tahu diri," sambung Elijah sengit.

"Tidak, El. Kupikir, ini semua memang kesalahanku. Jika saja aku mengetahui kehidupannya sedikit lebih cepat, mungkin aku bisa menyelamatkan semuanya sebelum terlambat."

Banyak hal yang tidak Elijah ketahui semenjak ia memutuskan pergi dari tanah kelahirannya menuju jantung kota, termasuk mengenai Daeshim dan segala tindakan gilanya. Ia tersenyum lembut, menatap teduh pada sepasang obsidian yang berkaca menahan lesakan air mata. "Sudahlah, bukankah semuanya telah berlalu? Kini kau terbebas dari jeratnya."

"Untuk sekarang, ya. Tetapi jika Daeshim memang benar masih hidup, bukan hal yang mustahil jika dia kembali dan merenggut Jinan dariku. Lelaki itu sinting, otaknya telah lama berada di dalam tempat sampah." Seulhee kembali membayangkan hari itu—hari di mana semuanya diselimuti amarah yang meradang. "Bisa-bisanya dia menyerahkan darah dagingnya sendiri sebagai tumbal dari sekte sesat yang ia ikuti.

Children of God; sekte yang mengharuskan pengikutnya berhubungan badan dengan anak-anak.

"Kim Daeshim—" Rahang Seulhee mengeras, tampak berang hanya dengan menyebut namanya. "Dialah manifestasi dari sosok iblis yang sebenarnya."

Butuh bermenit-menit lamanya bagi mereka untuk kembali membentuk atmosfer hangat yang mengukung, membabat habis kecanggungan yang sempat singgah akibat nama seorang pria yang Seulhee anggap tabu untuk sekadar diucap. Mendekatkan bibir cangkir lantas menyeruput isinya dalam dua tegukan, Seulhee memusatkan pikiran pada tujuan utamanya datang kemari.

Punggungnya ditegakkan, memertemukan pandangan pada satu titik di mana semuanya sekonyong-konyong melambat. "Mengenai perjodohan itu ... kupikir, Jinan berniat untuk menolaknya. Tapi kau tenang saja, aku akan tetap berusaha membujuknya sampai dia mau. Aku hanya butuh beberapa lembar foto Min Yoongi sebagai penguat pondasi."

"Tunggu sebentar."

Elijah beranjak dari kursi, berjalan tertatih menuju lemari kecil di dekat televisi tabung. Setelahnya dia kembali dengan album foto berlapis debu yang kini tergeletak di atas meja. Elijah mengendikkan dagu, memberi gestur bahwa Seulhee bisa memilihnya sendiri.

Membuka album foto tentu memiliki arti yang sama dengan mengulas kembali apa yang sudah terjadi. Pada lembar pertama, hanya ada secarik kertas bertuliskan tanggal dibelinya album tersebut. Seulhee kembali melanjutkan aksinya membalik satu per satu halaman yang ada, mengintip berbagai kebahagiaan yang terperangkap dalam potret lampau kekuningan. Senyum tipis tertoreh di sudut bibir kala Seulhee melihat bagaimana sosok sahabat karibnya itu memangku sang buah hati di teras rumah; tampak bahagia kendati ia tahu bahwa Heejin hanya berpura-pura.

Kemudian, pilihan Seulhee jatuh pada satu lembar foto hitam putih milik Min Yoongi. Lelaki itu tampak menawan dalam balutan baju kelulusan.

Sebelum Seulhee benar-benar pergi dari sana usai membicarakan perjodohan yang terkesan tiba-tiba ini, untuk yang terakhir kali Elijah merengkuh sosok tersebut ke dalam pelukan, mencium puncak kepalanya ringan lalu menepuk punggungnya secara berulang. "Kumohon, Seul. Bantu aku menutupi aib yang mengerikan ini."

Dibayangi pertanyaan klise milik Mama, Jinan lekas memesan taksi agar dirinya dapat tiba di alamat yang Taehyung kirimkan sebelum malam kian menukik tinggi. Ia menilik ponselnya kembali, membaca perlahan dan coba mencocokkan data yang didapatnya pada plakat yang tertempel di pagar besi. Dengan saliva yang ditelan susah payah, Jinan menyimpulkan satu hal kalau Taehyung adalah anak konglomerat yang hartanya tak akan habis sebanyak tujuh turunan.

Kepalanya seperti digetok menggunakan palu raksasa hingga buat pening singgah sesaat. Jinan hanya tidak menyangka, sosok urakan semacam Kim Taehyung merupakan makhluk beruang dengan rumah bak istana mewah garapan Disney. Akan tetapi, mengingat bahwa dirinya tidak—atau mungkin memang belum—bertanya lebih lanjut mengenai seluk beluk dari lelaki itu, tentu kiranya ini menjadi sesuatu yang wajar; lumrah bagi kebanyakan orang.

Jinan melirik sepasang flatshoes miliknya yang lusuh dan berlumpur (ia sempat terperosok ke dalam genangan air saat mengejar taksi yang tadi ditumpangi) dan mendadak merasa bahwa dirinya adalah seorang pengemis yang menadahkan tangan guna meminta keping uang logam untuk tambahan membeli makanan penyambung hidup.

Tidak, Ji. Kau hanya terlalu merendahkan dirimu sendiri.

Memastikan daksanya tak tumbang dalam satu kedipan mata, Jinan memberanikan diri untuk menyelinap melalui pagar setinggi tiga kali lipat dari tubuhnya, menyebar pandangan pada pekarangan rumah Taehyung yang diisi patung-patung Yunani, tujuh buah gnome, juga air mancur sejernih telaga. Mama sempat berpesan untuk tidak pulang larut malam, selain tidak baik dilihat para tetangga yang terkadang memiliki mulut seperti ember bocor, pun dikarenakan status dirinya yang terikat dengan Min Yoongi.

Oh tentu saja, lelaki itu merupakan alasan terkuat Mama untuk melarang Jinan melakukan sesuatu yang disukainya.

Dilanda gugup yang begitu dahsyat, gadis tersebut sampai tak sadar telah menekan bel sebanyak lima—ah, tunggu, mungkin saja puluhan kali. Hingga satu suara asing menyahut melalui interkom yang terpasang di sisi jendela, "Siapa?"

"Ini aku—" Ia menjeda, mendadak kehilangan daya ingat mengenai namanya sendiri. "Jinan."

Setelahnya pintu terbuka, memberi celah lebar agar Jinan dapat masuk dan melihat seluruh isi bangunan yang tampak luar biasa. Namun, ketimbang menemukan Kim Taehyung dengan senyum yang kini menjadi candu baginya, gadis itu malah menangkap entitas asing lewat kelopak mata yang terkatup sejemang. Dia tersenyum—atau lebih tepatnya menyeringai hingga tampilkan gigi seri yang agak sedikit bengkok, memberi tatap memindai dari ujung kepala hingga ujung kaki Jinan lantas berkata nyaris seperti bisikan, "Tangkapan yang bagus, Tae."

Manakala Jinan bersiap mengajukan satu pertanyaan, sosok tersebut lebih dulu berkata, "Kim Jinan, bukan? Mari masuk, sedari tadi teman berengsekku itu terus membicarakanmu." Jimin menarik paksa lengan Jinan, setengah menyeretnya menuju ruangan yang didominasi perabot berlapis perunggu dan emas. "Taehyung bilang kau punya bokong yang bagus. Well, setelah kulihat secara langsung, dia memang benar. Apalagi ditambah wajahmu yang cantik. Ah, jika saja bajingan itu tidak menargetkanmu, sudah kupastikan kau akan menjadi mi—Aww, aww! Sakit!"

Taehyung datang bak superhero gadungan yang hanya memakai celana pendek selutut, tanpa atasan apa-apa sebab kaos miliknya tersampir di lengan. Aroma keringat dan harum tubuhnya berdifusi, membentuk kolaborasi yang begitu memikat dan penuh adiksi. Jinan bahkan sampai ingin jatuh pingsan dibuatnya.

"Jangan mengganggu tamuku, Jim."

Sungguh, rasanya bibir Jimin perih sekali usai dijewer dengan kekuatan yang setara lima ekor capit kepiting. Padahal ia belum mengenalkan diri secara formal, tapi Taehyung sudah keburu menendang bokongnya keluar dari rumah. Mendesis tak percaya dengan bola mata yang berotasi sebal, Jimin berteriak, "Teman keparat! Awas saja kalau bertemu di lain waktu, kupastikan isi dompet dan ATM-mu raib kubawa pergi."

Kendati mendengar ancaman yang meluncur dari bibir Park Jimin, Taehyung tetap tak mengindahkannya. Ia tidak peduli, sekali pun sahabatnya itu serius beratus kali lipat.

Tahu sosok gadis di hadapannya tersipu malu dengan warna kemerahan yang menjalari belah pipi, Taehyung lekas memasang kaos, menutupi separuh ketelanjangannya beserta abdomen lelaki yang tidak sepantasnya diumbar secara percuma. Lagipula ia juga tidak ingin mengambil risiko terlalu jauh, membuat gadis perawan seperti Jinan kejang-kejang dan berakhir tewas di tempat jelas sesuatu yang teramat mengerikan. Taehyung bisa dipenjara selama bertahun-tahun dengan tindak pidana konyol yang akan menjadi bahan lelucon hingga sang kematian menyentuh jiwanya.

"Sudah siap?" tanya Taehyung memastikan.

Agenda mereka petang ini adalah membuat panekuk lezat sesuai dengan resep yang Seulhee berikan, menyantapnya di ruang tengah sembari bercakap-cakap. Jinan ingin mengenal Taehyung lebih dalam, menyelami pribadi yang di matanya cukup misterius pun menyenangkan dalam satu waktu.

Ada banyak jerat rahasia di balik bola mata sehitam jelaga itu.

Jinan mengangguk, mengekori Taehyung yang berjalan menuju dapur bergaya vintage, cukup kontras dengan nuansa ruang depan yang dominan kuning keemasan. Mereka tiba di meja pantry, berhadapan langsung dengan bahan-bahan yang tertuang di mangkuk khusus. Rupanya lelaki itu telah menyiapkan sedemikian rupa, membereskan perkakas kotor yang menumpuk dan menguarkan aroma busuk.

"Mama bilang, rahasia kelezatan panekuk itu tidak berada pada seberapa mahal bahan yang kita beli. Tepung terigu yang murah pun tidak apa, asal masih bagus dan bisa digunakan." Jinan memulai semuanya dengan memasang apron, menyimpulkan talinya di pinggang tetapi lekas ditarik Taehyung. Ketika ingin protes, lelaki itu hanya mengendikkan bahu lantas menyimpulkannya kembali. Tubuh mereka berhimpitan; bersinggungan dengan kulit yang saling menggesek, sedang Taehyung memiringkan kepala guna menanti lanjutan.

"Kalau bukan dari bahan, lalu dari mana?"

Jinan menggigit bibir bawahnya sekilas, "Si pembuatnya." Konyol? Entahlah. Ia hanya menyampaikan apa yang Seulhee katakan. "Dengan ketepatan takaran, cara pengolahan, hingga topping yang digunakan—maka kelezatan itu bisa terjadi."

"Menarik," Taehyung menggumam, memutus kontak fisik dengan tubuhnya yang bersandar di lemari pendingin. "Kau tampak seperti chef yang andal, Ji. Bagaimana kalau kita membuka kafe bersama-sama? Kau bisa menjadi kepala bagian dapur dan aku akan mengurus sisanya."

Seketika tawa Jinan pecah. Chef? Yang benar saja! Terakhir kali dia memasak, dia malah membakar seisi dapur. Namun untuk ukuran rasa, kiranya Jinan cukup pandai. Dia juga bisa membedakan mana yang bernama jahe, kunyit dan lengkuas tanpa harus bertanya terlebih dahulu kepada Mama. Namun kembali lagi, skill yang Jinan miliki tidaklah sehebat yang Taehyung kira.

Api kompor dinyalakan terlebih dahulu, Jinan menitah Taehyung untuk turut membantunya membuat adonan, sedikit membangun interlokusi sembari membalurkan tepung di wajah masing-masing. Jinan menanyakan kenapa rumah ini terlihat sepi, dan Taehyung menjawab bahwa kedua orang tuanya telah mati. Terdengar cukup kasar, juga mengejutkan. Maksudnya, lelaki itu jelas memiliki padanan kata yang lebih halus; alih-alih menyebut 'mati', Taehyung bisa menggunakan 'meninggal'. Tetapi, bukan itu poin terpentingnya. Taehyung juga mengatakan bahwa sedari kecil ia selalu dirundung banyak masalah. Barangkali itulah alasan kenapa di waktu-waktu tertentu ekspresinya bisa berubah dengan cepat bak membalikkan telapak tangan.

"Kita punya topping madu, meses dan es krim. Kau pilih yang mana?"

Taehyung menjungkitkan alis ke atas. "Kenapa harus memilih satu kalau aku bisa mendapat ketiganya sekaligus?" Uh-oh, apa ini termasuk ancaman? Tubuh jangkung itu mendekat, sementara satu tangannya menangkup pipi tirus Jinan. Gadis tersebut merasa ada sesuatu yang basah, lengket dan menekan kuat. Ketika ia nyaris memejam bersama napas yang memburu, lidah Taehyung semerta-merta menyapu rahang bawahnya, menyecap manis dari madu yang melekat. "Biar kuralat, bagaimana kalau aku bisa mendapatkan empat dalam satu waktu—tentu dengan dirimu di dalamnya."

Lutut Jinan lemas sekali, gemetar tak berdaya. Benda merah tak bertulang itu kembali melakukan aksi, membersihkan sisa noda yang kini malah ditambah lumuran es krim dan taburan meses. Sementara itu, si gadis hanya bisa pasrah; mengalungkan kedua lengannya di leher Taehyung sebab kakinya tak lagi bisa berdiri sempurna.

"Topping ini terasa jauh lebih manis ketika kucicip bersamamu," ujarnya seduktif, membelai wajah Jinan dengan jempolnya yang turun menemui pucuk bibir. "Aku ingin merasaimu sekali lagi di sini. Bolehkah?"

Jinan tak mampu berkata-kata, hanya bisa memejam guna menanti ciuman. Sebelum kelopaknya terkatup tanpa celah, ia bisa melihat sesuatu berkelindan di bola mata hitam Taehyung, membara terbakar hal yang tak kasat mata. Material lembut itu kembali mengunci miliknya, menyalurkan friksi sehalus pintalan benang sutra tatkala Taehyung melabuhkan jemari di pinggul lantas memberi remasan saat menyadari si gadis mulai beradaptasi dan mempelajari.

Hanya butuh sejengkal lagi, maka dia bisa mendapatkan segalanya.

Pagutan tersebut usai di menit ketiga, saling meraup oksigen guna disalurkan menuju rongga paru-paru yang menyempit. Jinan mengulum senyum, memberanikan diri membersihkan saliva miliknya—atau mungkin milik mereka berdua, di bibir tebal Taehyung. Ia menutup pagutan memabukkan tersebut dengan mengecup singkat secara bergantian. Jika menyukaimu adalah sesuatu yang dilarang, maka aku bersedia melanggar dan menanggung seluruh konsekuensinya.

Percayalah, Jinan tidak benar-benar mengucapnya. Kalimat itu hanya menggema di dalam kepala, memberi pantulan hingga buat si gadis ciptakan spasi di antara mereka. Tanpa sadar, Jinan menjilat bibirnya tipis—sama seperti kebiasaan Taehyung sebelumnya. "Kupikir kita harus menyantapnya sekarang. Sama seperti yang aku sampaikan di pesan, bahwa aku tidak bisa berlama-lama di sini."

Taehyung mengangguk, air wajahnya berubah, lagi. Dengan derap langkah pelan, ia membawa piring keramik menuju ruang duduk, menyalakan televisi dan memindai saluran yang menampilkan hiburan pantonim. Sosok tersebut mengenakan topi fedora, tongkat kayu, serta setelan jas yang dipadu celana bahan longgar. Dia tampil sempurna, menyajikan guyonan tanpa suara yang cukup menggelitik kotak tertawa Jinan. Wajahnya terasa kebas setelah melepas tawa tanpa henti dalam kurun waktu kurang dari satu jam. Panekuk di atas piring telah tandas, begitu pula gelas kristal berisi sampanye.

Jinan merasa kepalanya agak pusing; tipsy, tak terbiasa dengan cairan asing yang ditenggaknya rakus. Ia berjalan terhuyung mencapai pintu kamar mandi, berniat membasuh wajah dan segala kekacauan yang lekat di tubuh. Menggulirkan mata pada celah pintu, Jinan semerta-merta temukan Taehyung memandang intens dengan tangan yang terkepal di saku celana.

Mereka beradu pandang selama beberapa detik, sebelum akhirnya Jinan menutup rapat pintu dan duduk di atas kloset. Ia mengusap wajah gusar, merasa bersalah karena lagi-lagi menjadi anak yang nakal. Jam telah menunjukkan pukul setengah dua belas malam, nyanyian binatang kian ramai bersama atensi yang mendadak jatuh pada saluran pembuangan air. Di sana, Jinan dapat menemukan setidaknya lima buah puntung rokok yang berserak, berikut tisu basah yang ia sendiri tidak tahu apa kegunaannya.

Ada yang tidak beres. Ada yang janggal. Tetapi, apa? []

•••

walau lagi gak enak badan, aku usahain update, hehe. kebetulan chap ini udah kelar kutulis beberapa hari yang lalu, jadi tinggal revisi dikit. btw, aku agak kurang puas sama page satu sampai page empat. barangkali kalau memang diperlukan, aku bakal revisi bagian itu. hanya tatanan bahasa (sepertinya), untuk dialog dan scene bakal tetap aku pertahanin. sehat selalu buat kalian, jangan sampai sakit :)

Continue Reading

You'll Also Like

726K 58.4K 63
Kisah ia sang jiwa asing di tubuh kosong tanpa jiwa. Ernest Lancer namanya. Seorang pemuda kuliah yang tertabrak oleh sebuah truk pengangkut batu ba...
95.8K 12.1K 37
Jake, dia adalah seorang profesional player mendadak melemah ketika mengetahui jika dirinya adalah seorang omega. Demi membuatnya bangkit, Jake harus...
130K 13.5K 24
Lima tahun lalu, Wonwoo memutuskan sebuah keputusan paling penting sepanjang hidupnya. Dia ingin punya anak tanpa menikah. Lima tahun kemudian, Wonw...
86.5K 8.2K 33
Supaporn Faye Malisorn adalah CEO dan pendiri dari Malisorn Corporation yang memiliki Istri bernama Yoko Apasra Lertprasert seorang Aktris ternama di...