me after you [TERBIT]

بواسطة cosmicandteddy

512K 42.8K 14.5K

[TERBIT DI LAVELLE PUBLISHER] ACT 2 - CHEMISTRY OF LOVE ❝Karena kita belum sepenuhnya berakhir.❞ Masih tenta... المزيد

Menempuh Bersamaku
12. Halo Lio
15. Bye Bye Lio
18. Satu Semester
19. Liptint
21. Alkohol
24. Pulang Kampung
26. Toronto Kembali
29. Wisuda
31. Lembaran Baru
34. Cerita Malam
36. Selamat Datang Anakku
37. Leo
38. Buna
39. Lia Dilamar
Kamu Berada di Sini: Baca Aja
1. Halo Pak Dosen
2. Lamaran
3. Calon
4. Dari Mama Untuk Radhea
5. Ikatan Suci
6. Kanada & Peraturan
PO NOVEL

17. Mengingatkan

11K 2.1K 1.2K
بواسطة cosmicandteddy

"Halo?"

"HEYAAA!"

"Ya ampun Lia! Jangan teriak-teriak!"

"Hehehe.. sowrii!"

Pukul sepuluh pagi, setelah pekerjaan rumah yang Heya lakukan selesai dikerjakan, ia tiba-tiba mendapatkan telepon masuk dari Lia di ponselnya. Mereka sudah jarang berkomunikasi akhir-akhir ini, mengingat satu sama lain sudah saling sibuk. Dan hari ini Heya bersyukur, ia masih bisa menghubungi teman kuliahnya itu lagi.

"Gimana kabar lo?

"Baik. Lo gimana?"

"Baik banget!"

"Syukur deh."

"Eh, lo harus tahu yang satu ini."

"Apa?

"Gue buka olshop, Heya!"

Heya mendengus mendengarkan kalimat barusan yang diucapkan oleh Lia itu.

"Jualan makeup lo?"

"Yo'i. Eh gue juga jualan masker organik, brand gue sendiri loh."

"Iih mantep! Pengen nyobain!"

"Nah! Gue punya ide!"

"Apa?"

"Suami lo 'kan Kak Mark nih ya."

"Terus hubungannya sama suami gue apaan?"

"Nah, IG suami lo itu 'kan followersnya banyak nih ya. Nah gue nanti mau ngeendorse lo berdua sama masker organik gue!"

"Anjir! Lia!"

"Ck! Serius gue!"

"Kak Mark mana mau ngeendorse gituan Lia. Bisa berabe gue kalo ngajakin dia maskeran."

"Ah, masa sih galakan mulu! Sekali-sekali lo juga yang galak di rumah tangga lo."

"Ck! Lia, gue nggak yakin bisa apa nggak. Lo cari selebgram kek yang mau diendorse."

"Ngapain harus nyari selebgram, kalo gue sendiri bisa jadi selebgram."

Untuk kedua kalinya Heya mendengus mendengarkan pembicaraan terakhir temannya itu.

"Ya udah, intinya gini aja. Lo sebagai sahabat zaman gue masih zigot di kuliahan, gue mau lo juga nyicipin masker gue."

"Bayar nggak nih?"

"Gratis dah iya."

"Serius!?"

"Ye."

"Liaa! Makasih banyak! Eh ongkirnya mahal tapi ke Kanada."

"Gak papa, gue nanggungnya. Kirim alamat lo nanti."

"Oh my God, Lia! Tumben banget sih lo baik gini!"

"Iye."

"Eh entar gue usahaian ngajakin Kak Mark mau diendorse sama masker organik lo."

"Kalo bisa harus. Bilangin, lo bakal marah kalo nggak mau ngeendorse masker gue."

Keduanya lantas tertawa di sambungan telepon tersebut.

"Eh lo udah tahu belum kabar terbaru."

"Apa?"

"Kak Nana. Lo masih inget, 'kan?"

Dan sesuatu saat itu juga langsung menghentikan gerak mulut Heya untuk membalas panggilan Lia barusan. Sesuatu baru saja menerjang memorinya dan membuatnya mengingat akan sesuatu tentang nama yang baru saja disebutkan itu.

"Heya!"

"Oi."

"Lo udah tahu belum?"

"Nggak. Apaan emangnya?"

"Kak Nana barusan aja wisuda S2 di Bandung."

Heya tersenyum tipis mendengarkan kabar tersebut.

"Congrats buat dia."

"Rencananya dia mau kerja jadi dosen di kampus! Waw! Hebat gak sih?"

Senyum Heya semakin mengembang perlahan, tapi ada sesuatu yang membuat senyumannya itu kembali meluntur secara perlahan.

"Iya. Semoga Kak Nana sukses jadi dosen."

"Sumpah! Kocak banget! Asisten buaya kita jadi dosen! Tapi gak papa sih, Kak Nana dulu 'kan pernah menang ikut lomba penelitian sampai dikirim ke Jepang."

Mengenai ucapan terakhir Lia, Heya masih mengingat hal tersebut. Dulu ia pernah memberikan sebuket bunga sebagai bentuk ucapan atas keberhasilan penelitiannya bersama temannya juga, Reanu. Dia mengingat segalanya mengenai hari lama itu.

Obrolan mereka berakhir setelah percakapan singkat mereka yang lainnya berakhir juga. Heya menutup segera teleponnya dan matanya memandang kosong ke arah ponselnya itu. Dari percakapannya barusan, ia dibuat kembali mengenang masa lalunya. Mengenang tentang Nana dan segala usahanya dulu.

Heya juga masih ingat mengenai pertemuan terakhir mereka di salah satu swalayan di Jakarta, kira-kira udah satu bulan sejak semua itu berlalu.

Dan tiba-tiba saja sesuatu menggerakkan tangannya, memaksanya untuk membuka kembali ponselnya dan beralih menuju aplikasi sosial media, Instagram. Heya bergerak menuju ke laman pencarian dan mulai mengetik sesuatu di sana.

augustnightmare

Nama dari pengguna akun yang sedang ia cari saat ini. Itu adalah nama akun Instagram milik Nana. Dulu mereka sempat saling mengikuti bersama sebelum akhirnya salah satu pihak memilih untuk berhenti mengikuti dan itu adalah Nana. Heya juga jarang bermain Instagram dan ini adalah pertama kalinya ia membukanya di minggu baru ini.

Mengenai nama akun Instagram Nana, Heya tahu bahwa itu memiliki arti nama yang buruk. Nama yang cukup asing dan ia tak mengerti tentang sama sekali kenapa Nana memilih nama akunnya seperti itu. Apa hanya untuk terlihat indah atau memang benar itu ada konsepnya tersendiri?

Tak butuh waktu lama untuk Heya terarahkan ke akun tersebut. Dengan pengikut berjumlah tujuh ratus orang, Nana cukup memiliki banyak pengikut, walaupun ia tak mengkategorikan dirinya sebagai orang terkenal. Akunnya tak terkunci dan terdapat sepuluh foto di sana. Satu foto terbaru langsung Heya pencet untuk ia lihat dengan lebih jelas.

Terima kasih untuk satu setengah tahun perjuangan. Untuk yang telah pergi di sana, untuk yang telah menemani juga di sini. Makasih banyak. Pak Tahta, Sean, Mama, dan Bude dan kamu juga. Terima kasih banyak semuanya ❤

Seperti itulah kalimat untuk foto terbaru Nana di sana dengan fotonya yang tengah bersama orang tua angkatnya dan adik laki-lakinya, Nana terlihat tersenyum senang di sana.

Tapi Heya menyadari satu hal, bahwa Nana tampak terlihat kurus di foto tersebut. Belum lagi kantung mata yang sebenarnya tidak terlihat begitu jelas, tapi Heya menyadari dengan munculnya perubahan tersebut di wajah Nana.

Nana berubah. Ia tampak terlihat berbeda dari terakhir kali mereka berjumpa dulu.

Setelah tak ada lagi yang ingin dia lihati, Heya langsung menutup aplikasi tersebut dan mematikan ponselnya segera. Perubahan susana hatinya tampak terasa begitu jelas saat ini. Ia seperti dibuat kembali mengingat dengan masa kuliahnya dulu dan mengenai seniornya itu, Nana, Heya dapat mengingat segala yang terjadi pada mereka.

Tapi lebih dari itu, Heya bersyukur bahwa Nana tampak terlihat baik-baik saja saat ini. Nana masih sehat dan ia tampak terlihat bahagia dengan kelulusan S2nya. Syukurlah.

Sukses ya buat kamu.

Kakak juga. Sukses selalu ya.

Jangan lupa sama kakak. Kita harus ketemuan lagi.

Iya-iya.

Janji dulu dong.

Nggak yakin, Kak.

Ayolah.

....

...

Hari itu kedua kelingking mereka berkaitan bersama. Satu janji telah tercipta di bawah beringin yang tampak sejuk di siang hari panas itu. Hari itu juga, jadi hari terakhirnya Nana berada di tempat ini setelah kelulusan S1nya baru saja berakhir.

□□□□□

Aula di gedung fakultas teknik dan sains terapan malam ini tampak terlihat ramai setelah diadakannya seminar barusan. Suasana riuh menjadi penyambut pertama setelah seminar yang diadakan dosen besar baru saja selesai. Di pojok kursi ruangan tersebut terdapat Faza dan Mark yang baru saja beranjak dari tempat duduk mereka.

"Kak, ada power bank nggak?"

Faza menoleh ke sampingnya dan mendapati pertanyaan barusan diberikan dari Mark untuknya.

"Nggak. Hapemu lowbat?"

"Iya."

"Nggak bawa casan?"

"Lupa."

Mark terlihat gelisah di tempatnya. Seminar tadi baru saja berakhir di pukul delapan malam lewat dua puluh menit, ia lupa memberi tahu Heya tentang kabar keberadaannya saat ini. Pesan terakhir mereka berlangsung di pukul sebelas siang tadi.

"Kamu gelisah kenapa Mark?"

"Aku lupa ngabarin Radhea."

"Pinjem hape aku aja dulu."

Faza mempersilahkan ponselnya dipinjam oleh Mark. Tak butuh waktu lama untuk Mark meraih benda pipih itu segera. Ia sempat terdiam beberapa detik untuk mengingat nomor telepon Heya. Setelah menekan semua nomornya dengan benar, sambungan telepon mereka segera dimulai.

Mark menunggu selama satu menit dan tak ada nada balasan apapun selain satu nada yang berbunyi sama. Ia mengulang lagi panggilan tersebut dan jawabannya masih sama selain suara operator yang mengatakan bahwa jaringan sedang buruk saat ini. Mark segera mengakhiri panggilan tersebut dan memberikan ponsel tadi ke arah Faza.

"Udah?" tanya Faza.

Mark mengangguk.

"Kamu nggak nelpon?" tanya Faza lagi.

"Sinyalnya jelek. Di luar lagi hujan," jawab Mark.

Faza terdiam, sedangkan Mark langsung memutuskan untuk pamit dari hadapannya setelah sebagian ruangan ini mengosong. Mark bergegas menuju luar ruangan dan sampainya di luar gedung fakultas, ia mendapati segerombolan mahasiswa tengah menunggu di sana. Mereka sedang menunggu hujan deras malam ini untuk segera reda.

Langkah Mark pun lantas terhentikan. Ia terjebak dalam keramain orang-orang di sekitarnya. Hingga tiba-tiba, seseorang langsung menghampirinya.

"Kak Mark?"

Mark menoleh ke samping dan mendapati sosok perempuan yang bertubuh lebih pendek darinya tengah menghampirinya bersama seorang pria.

"Lagi nunggu juga ya?"

Mark mengangguk pelan membalasnya. Di sampingnya, ia mendapati sosok Kania bersama Arial yang mengikuti dari belakang.

"Kalian nggak pulang?" Mark bertanya ke arah mereka.

"Mau pulang, cuman lagi nungguin hujan reda dulu." Arial yang menjawabnya.

Ketiga orang itu kembali terdiam. Kania tampak melihat dengan jelas raut wajah Mark yang terlihat berbeda.

"Kakak kenapa? Kayak cemas banget." tanya Kania.

"Aku mau pulang," jawab Mark.

"Hujan deras banget. Kayaknya bakalan lama deh redanya," balas Kania.

Mark kembali menunggu. Kali ini dia dengan sabar sekaligus bercampur cemas berdiri di antara keramaian dengan tak tenang. Hingga akhirnya ia sudah tak kuat lagi menahan cemasnya.

"Aku duluan ya." Mark berucap ke arah dua orang di sampingnya itu.

"Mark, masih deras hujannya." Arial mencoba menahannya untuk menunggu sampai hujan reda.

"Aku harus nemuin istriku. Aku nggak ngasih kabar seharian ini ke dia, takutnya dia cemas." Mark menjelaskan tentang rencana kepulangannya.

"Oh iya, hati-hati. Hujan lagi deras banget. Di beberapa daerah ada pohon tumbang sampai aliran listrik perumahan pada mati semua." Arial berpesan sebelum Mark pulang.

"Entar ada gledek, Kak," sahut Kania.

"It's okay. Semoga aku bisa ngelewatinnya," balas Mark.

Markpun menerobos segera kerumunan orang di sekitarnya. Ia mulai berjalan keluar dari koridor tersebut dan hendak menghampiri parkiran di depan gedung kampus.

Sebelum Mark pergi, kedua orang tadi sempat melihat kepergiannya juga.

"Hati-hati, Kak!" Kania bersahut keras di antara keramaian di sekitar mereka.

Arial yang di sampingnya lantas menoleh ke arahnya.

"Lo ngapain ikutan cemas?"

"Biarin."

□□□□□

Dua puluh panggilan tak terjawab. Heya menggigit kukunya selagi menghilangkan cemas yang ia rasakan saat ini. Matanya terus melihat ke arah ponselnya, berharap ada panggilan masuk saat ini. Di sekitarnya, ia mendapati ada kegelapan yang baru saja melanda menghampiri rumahnya. Tak hanya kegelapan saja ia juga dikejutkan dengan suara seperti benda besar yang terjatuh dan gemuruh langit yang sesekali keluar bersama hujan deras di luarnya.

"Mas.."

Heya mengucapkan sekali lagi nama tersebut. Ia sedang terduduk di pinggiran kasurnya. Menunggui suaminya untuk pulang dengan perasaan cemas setelah tak ada kabar sejak sore tadi. Barusan saja ia melihat pohon tumbang yang tak jauh dari rumahnya hingga mengakibatkan saluran listrik di perumahan ini terputus semua.

Awalnya Heya masih berusaha untuk tenang, hingga saat ia melihat waktu di ponselnya dan menyadari bahwa suaminya belum pulang sampai sekarang. Ia mendadak cemas dan ia juga tak bisa menelpon Mark.

Setelah terdiam cukup lama, Heya berusaha untuk mencari pencahayaan lain selain senter di ponselnya, entah itu lilin atau apa saja yang bisa mengeluarkan cahaya di dalam kegelapan. Ia mulai bergegas keluar dari kamarnya, menuruni satu persatu anak tangga untuk menuju lantai bawah. Ia hendak mencari keberadaan senter yang mungkin saja ditaruh di laci meja dapur.

Heya mencarinya dengan tak sabaran, ia berpacu dengan kecemasan yang dirasakannya. Jantungnya terus berdegup dengan kencang. Sesekali suara gemuruh di luar menakutinya dan menghentikan gerakan tangannya untuk menutupi telinganya dari suara tersebut.

"Mas, aku takut. Cepetan balik."

Heya berusaha mencari hingga hasilnya berbuah nihil. Ia beralih mencari di lemari yang berada di dekat televisi. Dengan gerakan tergesah ia mencari dan lagi-lagi hasilnya nihil. Hingga saking tak sabarnya, tangannya tak sengaja melepaskan ponselnya.

BRUKK

Ponselnya terjatuh dan pencahyaan senternya langsung mati seketika. Rasa panik melandanya dengan cepat dan suara gemuruh langsung menyambar dengan keras di luar sana.

JDDAR!

Heya memejamkan matanya serapat mungkin dan langsung saja tangannya menutupi kedua telinganya dengan ketakutan. Setelah suaranya mereda, ia membuka matanya yang disambut gelap di sekitar. Ia sadar akan sesuatu membasahi kelopak matanya. Heya ketakutan dan ia menangis melawan semua rasa cemasnya.

Tangannya meraba di sekitar lantainya. Mencari ponselnya, hingga ia mendapatinya. Ia membuka ponselnya lagi dan menyadari bahwa sebagian layarnya retak akibat jatuh barusan. Diam-diam ia mulai terisak, ia benar-benar lemah di keadaan seperti ini. Sekarang sudah pukul sembilan malam dan tak ada kabar sedikit pun dari Mark sampai sekarang.

Hingga sebuah suara dengan pelan mendekatinya dan bersamaan dengan itu, bunyi gemuruh kembali muncul dengan lebih keras lagi. Kilatannya terlihat dari celah-celah jendela di dekatnya.

JDDAAR!

Heya menutup rapat matanya segera dan ia tak sempat menutup kedua kalinya membuat ia teriak untuk meredam bunyi keras tersebut, walaupun usahanya gagal.

"Radhea!"

"Haaah! Mas!"

Sesuatu menyentuh kedua tangannya dan Heya disambut dengan suara familiar itu. Sontak tubuhnya melemah saat itu juga, tangisannya semakin menjadi setelah ia merasakan bahwa yang sedang ia tunggu saat ini telah berpulang ke rumah.

"Mas!" Heya terisak di dekatnya. Ia memeluk tubuh Mark yang sebagian telah terkena basah akibat hujan di luar.

"Ssht! Aku udah pulang ya." Mark dapat mendengar dengan jelas isakan tangis di dekatnya.

"Kemana aja sih?" Heya mendekapnya semakin erat, ia masih berusaha menghilangkan rasa cemasnya.

"Ceritanya panjang. Nanti aku jelasin. Maaf, aku bikin kamu cemas." Mark mengusap dengan pelan tubuh kecil yang bergetar di dekapannya itu.

Heya masih tak bisa menghilangkan rasa cemas itu. Mark mengambil alih ponselnya dan senter di ponselnya itu menjadi penerang mereka saat ini. Sebelum menuju ke lantai atas, Mark menyempatkan untuk mengambil satu senter yang ia simpan di nakas dekat televisi. Barulah keduanya berjalan menuju kamar selagi Mark menenangkan Heya di dekatnya.

□□□□□

"Radhea."

"..."

"Udah ya. Udahan nangisnya."

"..."

Kira-kira butuh lima belas menit untuk Mark menenangkan Heya yang masih bersembunyi di balik selimutnya. Istrinya itu masih menangis di dalam sana setelah kejadian barusan yang cukup membuatnya ketakutan.

Mark juga baru tahu Heya akan sangat takut jika dihadapkan situasi seperti ini. Ketika mati lampu yang dipadu dengan hujan deras di luar sana.

"Radhea."

Selimut itu akhirnya terbuka juga. Setengah kepala muncul dari balik sana dan samar-samar Mark dapat melihat bentukan wajah istrinya yang baru saja selesai menangis. Mark masih berusaha menenangkannya selagi ia terduduk di pinggiran kasur dekatnya.

"Mas kemana aja sih?" Suara Heya bergetar menanyakannya.

"Maaf. Maaf aku nggak ngabarin. Hapeku habis baterai. Aku udah berusaha nelpon kamu pake hape Kak Faza dan sinyalnya jelek juga," balas Mark.

"Mas kenapa sampai pulang semalem ini?" tanya Heya.

"Sore tadi aku ikut rombongan profesor ke labor, sudahnya aku ikut seminar sampai malem. Tadi di fakultasku juga lagi hujan, Radhea. Aku juga cemasin kamu karena nggak ngabarin seharian inu," jelas Mark.

"Maaf." Satu kata terakhir Mark ucapkan ke arah Heya.

Heya mengusap perlahan pipinya yang basah itu. Ia membangunkan tubuhnya dengan perlahan dan menoleh ke arah sekitarnya. Terdapat banyak lilin yang menerangi ruangan kamar ini, lalu pandangannya beralih ke arah Mark.

Heya tak berbicara, ia hanya mengangguk membalasnya.

"Jangan nangis lagi ya."

"Mas ngapain sih nggak pake baju."

Sekilas Heya sempat melihat Mark yang sempat bertelanjang dada, membuatnya mengalihkan pandangannya segera.

"Bajuku basah gara-gara hujan tadi."

"Buruan mandi. Ngapain masih di sini."

"Kamu nangis terus. Entar aku mandi nggak tenang."

"Iya-iya. Aku udah nggak nangis nih."

Heya segera mengusap lagi dan memastikan wajahnya telah kering dari tetesan air mata yang sempat membasahinya.

"Mukanya jangan cemberut lagi."

"Apaan."

"Senyum dulu."

"Mas!"

Mark beranjak dengan cepat setelah teriakan dari Heya barusan. Ia bergegas menuju kamar mandi setelah mengambil bathrobe di dalam lemari.

Sekitar tiga puluh menit telah berlalu, Mark telah selesai dengan kegiatan membersihkan badannya. Ia telah rapi dengan piyamanya. Sekarang ia tengah terduduk di kasurnya sambil bersandar di headboard belakangnya. Matanya terfokus melihati layar laptopnya. Sampai lima belas menit berlalu, ia mengeluh merasakan matanya yang sakit akibat terlalu lama melihat cahaya layar laptopnya.

"Mas."

Di tengah remang-remang cahaya kamarnya, ia masih melihat keberadaan Heya tengah terduduk di pinggiran kasurnya sambil menyodorkan sesuatu.

"Apa?"

"Mas makan dulu."

Mark mendapati bungkusan biskuit yang tengah Heya berikan ke arahnya.

"Aku nggak bisa ke dapur. Dan kebetulan aku nyimpen biskuit di lemari, kali aja Mas belum makan."

Mark tersenyum mengambil biskuit tersebut. Kebetulan ia belum makan sejak sore tadi. Lalu laptopnya segera ia tutup dan ditaruh ke meja belajarnya. Mark kembali bersandar pada headboardnya sambil memakan biskuit itu dan mendapati ada Heya yang tengah bersandar di headboard sampingnya juga.

Mark menyodorkan bungkusan biskuit yang ia makan tadi ke arah Heya. Membuat Heya ikut langsung menoleh ke arahnya.

"Kamu juga makan. Nangis juga ngehabisin tenaga loh."

Akhirnya Heya mengambil sekeping biskuit dari bungkusan yang diberikan Mark itu.

"Maaf ya."

"Mas nggak tahu aku cemas kayak apa."

"Tahu kok. Makanya aku minta maaf."

"Mas ngelanggar peraturan."

Mark terdiam saat itu dan ia menoleh ke arah Heya segera.

"Peraturan?"

"Nomor dua. Komunikasi harus tetap berjalan dan harus mengabari satu sama lain."

"Kamu hapal!?"

"Ck! Peraturan sendiri malah gak hapal."

Mark sebenarnya terkejut ketika Heya masih mengingat masalah peraturannya. Sebenarnya ia juga tak melupakan tentang peraturan tersebut, hanya saja ketika
Heya mengucapkan isi salah satunya, ia cukup dibuat terkejut. Ia kira Heya tak hapal dengan isinya.

Setelah kegiatan makan kecil mereka selesai. Mark dan Heya baru saja selesai juga mencuci kaki dan tak lupa gosok gigi malam. Keduanya langsung bergegas untuk segera tidur.

Setelah terbaring di kasurnya, Heya mengamati dengan jelas lilin yang menyinar di nakas sampingnya.

"Mas nggak ada senter apa?" tanya Heya di sela-sela hening mereka di atas kasur.

"Ada," balas Mark.

"Kenapa nggak pakai senter aja?" tanya Heya lagi.

"Senter cuman satu, gunain buat yang penting aja. Lagian 'kan lilin.."

"Lilin apa?"

"Kesannya kayak romantis."

Heya berdecih mendengar ucapan terakhir Mark barusan. Ia yang semula tengah memunggungi Mark, langsung berbalik menghadapnya.

"Romantis?" tanya Heya yang penasaran dengan kata yang diucapkan Mark tersebut.

"Iya." Mark mengangguk.

"Tumben banget," ucap Heya.

"Emang nggak boleh pakai lilin?" tanya Mark.

"Nggak sih. Gak papa. Jadi kayak candle light dinner gitu. Mas naruh lilin banyak banget," balas Heya.

"Oh, candle light dinner ya," ucap Mark.

Mark mengangguk-ngangguk dan ia melirik ke arah Heya selagi tersenyum.

"Daripada candle light dinner enakan candle light sambil nulis esai. Romantis juga."

Tak butuh waktu lama untuk Heya membalas Mark dengan ucapannya barusan. Ia mencubit segera perutnya itu.

"Aaw! Apa sih cubit-cubit?!"

"Nggak boleh ada esai lagi ya! Aku aduin mama nanti. Mana ada romantisan sambil ngerjain esai."

"Ada kok. Kita duduknya dekat-dekatan. Kamu nulis esai, nanti aku bantuin cari jurnalnya. Terus-"

"Mas! Udah malem! Jangan ngomong lagi."

Keduanya terdiam dan mencoba terlelap di keadaan heningnya kamar mereka saat itu. Suara hujan telah mereda sejak obrolan tadi, menyisahkan bunyi rintik yang menenangkan di malam ini. Heya masih mencoba untuk tetap tidur tapi keadaannya masih tak tenang. Ia terus berpindah posisi hingga tak sadar Mark menyadari ketidaktenangannya itu.

"Nggak bisa tidur?"

"Hmm."

Mark menarik Heya untuk mendekat ke arahnya. Ia menarik juga selimut untuk menutupi separuh tubuh Heya.

"Aku nyanyiin kamu tidur ya."

Sambil mengusap pelan puncak kepala Heya, Mark mulai bersenandung kecil.

"I thought that from this heartache, I could escape.."

"But I've fronted long enough to know. There ain't no way.."

"And today, I'm officially missin' you."

Mark mengakhiri lagu tersebut dengan sebuah senandung kecil untuk Heya. Setelah ia memastikan bahwa Heya terlelap di dekatnya, ia menyempatkan untuk memberikan sebuah kecupan di puncak kepalanya.

"Good night, honey."

□□□□□

Pada keesokan harinya, tepatnya jam sebelas pagi, Mark baru saja keluar dari ruangan kelasnya. Kelas keduanya baru saja berakhir, ia baru saja berjalan dari dalam sana dan tak sengaja berpapasan dengan Kania di depan ruangan itu.

"Habis selesai kelas ya, Kak?" Kania menyapanya duluan.

"Iya," balas Mark.

"Oh, oke," balas Kania.

"Oke, duluan kalo gitu," ucap Mark.

"Iya," balas Kania lagi.

Mark berlalu berlawanan arah darinya. Dan Kania sempat menatap kepergiannya sejenak sebelum pergi dari ruangan kelas di depannya. Langkah setelahnya adalah menuju taman terbuka di depan gedung fakultas. Selagi berjalan di atas rumput hijau itu, samar-samar ia tak sengaja melihat sesosok orang yang cukup ia kenali tengah duduk di kursi bawah pohon. Segera saja ia langsung menghampirinya.

"Mama ngapain di sini?"

Di depannya itu Kania mendapati sosok mamanya yang tengah menghampiri kampusnya juga.

"Mama ngapain juga ke Kanada dan tanpa sepengetahuan aku sama sekali?"

"Biar surprise gitu."

Mendengar jawaban mamanya lantas membuat Kania berdecih.

"Oh iya, tadi siapanya kamu?"

"Yang mana?"

"Itu yang sempet ngobrol sama kamu tadi,"

Kania sempat terdiam sejenak dan ia kembali mengingat tentang kejadian barusna dimana ia terakhir mengobrol bersama Mark di depan ruangan kelas.

"Temen."

"Kirain itu kamu."

"Itu kamu siapa?"

"Pacar kali."

Beliau lantas terkekeh dan Kania hanya tersenyum masam mendengarkannya.

"Bukan pacar, Ma."

Nyatanya ia tak boleh lupa dengan satu kenyataan lainnya mengenai pria itu, Mark telah menikah.

□□□□□

TBC

Salam dari mas mark dan mbak radhea jugaa 😊😆❤❤❤❤

واصل القراءة

ستعجبك أيضاً

Abditory بواسطة fan

قصص الهواة

20K 3.3K 23
[✔] "Gue bahkan ragu, ini sebenarnya surga atau neraka." "Ini bukan surga maupun neraka, karena tempat ini masih di bumi. Mungkin suasananya aja yang...
Lingua Franca بواسطة gee

قصص الهواة

210K 20.8K 39
(COMPLETED) Kepada Ale dan Ella, dari seluruh alam semesta.
25.1K 2.9K 38
Setelah 10 kali pertemuan, Jordan bersedia menemani Serenade tanpa paksaan orang tua yang sudah beberapa kali mengenalkannya dengan banyak perempuan...
67K 8.7K 30
It started with a hello. Samudera, atau lautan. Seperti namanya ada banyak hal yang tidak aku ketahui tentangnya. -- personal dump of my own attemp...