ANDROMEDA

By ssebeuntinn

223K 36.8K 15.7K

β€’ T E L A H T E R B I T β€’ Andromeda? Andromeda... nama galaksi? Atau nama seorang putri dalam mitologi... More

Intro
[Jovi] Antara Singgah atau Pergi - 01
[Jovi] Antara Singgah atau Pergi - 02
[Jovi] Antara Singgah atau Pergi - 03
[Aksa] Pameran Motor - 01
[Aksa] Pameran Motor - 02
[Aksa] Pameran Motor - 03
[Mario] Polaroid - 01
[Mario] Polaroid - 02
[Mario] Polaroid - 03
[Ardika] Seirios - 01
[Ardika] Seirios - 02
[Ardika] Seirios - 03
[Zidan] Dua Puluh November - 01
[Zidan] Dua Puluh November - 02
[Juna] Kaca Potret - 01
[Juna] Kaca Potret - 02
[Juna] Kaca Potret - 03
[Chandra] Rumah Tanpa Tuan - 01
[Chandra] Rumah Tanpa Tuan - 02
[Chandra] Rumah Tanpa Tuan - 03
[Bastian] Sebuah Batas - 01
[Bastian] Sebuah Batas - 02
[Bastian] Sebuah Batas - 03
EDISI ROOM TOUR
[Bayu] Distraksi - 01
[Bayu] Distraksi - 02
[Bayu] Distraksi - 03
[Delvin] Garis Akhir - 01
[Delvin] Garis Akhir - 02
[Delvin] Garis Akhir - 03
[Ardanu] Bait Aksara - 01
[Ardanu] Bait Aksara - 02
[Ardanu] Bait Aksara - 03
[Haikal] Satu Sisi - 01
[Haikal] Satu Sisi - 02
[Haikal] Satu Sisi - 03
[Joshua] Enigma - 01
[Joshua] Enigma - 02
[Joshua] Enigma - 03
[+] Lintas Jejak; Retak
[+] Lintas Jejak; Kontradiksi
[+] Lintas Jejak; Memori
Epilog; Jovi
Epilog; Aksa
Epilog; Mario
Epilog; Ardika
Epilog; Zidan
Epilog; Juna
Epilog; Chandra
Epilog; Bastian
PEMBERITAHUAN
VOTING COVER
PRA-PESAN NOVEL ANDROMEDA

[Zidan] Dua Puluh November - 03

3.4K 739 304
By ssebeuntinn




"Ninu-ninu! Penting nih gan, kabar baru. Hari ini pas gue jogging gue lihat Zidan pergi ke stasiun sendirian, tapi gak bawa apa-apa selain tubuh sama niat buat jalan ke sana."

Pukul sembilan pagi itu, Juna sudah berisik di dapur kontrakan sambil menenteng beberapa kotak nasi yang dibawanya dari warung langganan. Keadaan di sana sedang tidak kondusif mengingat dua hari terakhir lagi panik-paniknya semua penghuni dihadapkan dengan masalah beruntun. Mulai dari kejadian sensitif yang gak diduga, hujan disertai petir dan mati lampu karena kabelnya ada yang putus terkena tindihan pohon yang tumbang, sampai Pak Bima yang uring-uringan nyari anaknya yang belum pulang sampai sore tanpa pamitan. Mereka sampai seringkali lupa waktu makan dan tiap malamnya stok mi instan langsung dibabat habis-habisan, tentunya dengan berebutan pula.

Hanya ada Jovi di dapur kala itu, duduk tercenung mengaduk bubuk kopi yang gak terseduh. Gasnya lagi habis jadi kompor juga gak bisa nyala. Kepalanya pusing meskipun kalender sudah mau menuju tanggal gajian, kemarin juga sudah bertemu dengan Fara si apoteker pujaan, ditambah lagi hari ini hari liburan. Hanya saja memang badannya sedikit pegal lantaran begadang bersama Aksa dan Joshua di ruang utama. Berjaga-jaga kalau Zidan yang kondisinya lagi gak baik-baik aja tetap dalam pikiran yang waras dan gak melakukan hal gila tiba-tiba.

"Haduh, makin pening kepala gue denger kabar begitu." Ada umpatan tertahan sebelum Jovi memijat keningnya kasar. "Ditambah lo juga kenapa malah berdiri di sini?"

"Karena gue beli nasi tiga belas bungkus macem takjilan, njir. Berat lah bego."

"Zidan?"

Juna menempatkan nasi di meja dan bergegas membuka hoodie penuh keringat yang dia kenakan. "Gue rasa akan lebih baik kalau gue biarin dia sendiri. Selain perilakunya yang mencerminkan kalau dia lagi galau, he's okay," tukasnya lalu duduk di kursi seberang. Juna butuh waktu untuk memproses apa tindakan Jovi selanjutnya karena pemuda itu tiba-tiba berdiri dan hendak berlalu. Bahkan cuci muka di tempat cucian piring tanpa sabun pembersih muka terlebih dahulu. "Lo mau ke mana, Bang? Bangunin anak-anak?"

"Mau pastiin sesuatu."

"Sesuatu?"

"Yakin lo kalau Zidan gak ngapa-ngapain?"

Juna terkesiap. "Sorry to say, tapi ini Zidan, bukan Dika yang memang punya kepekaan lebih sama hal-hal yang sensitif. Jadiㅡ"

"Big no, Juna. Lo salah kalau bedain antara Zidan dan Dika dengan cara kayak gitu."

"Gue anggap Zidan orang yang realis, Bang. Jadi gue berasumsi kalau dia bakalan baik-baik aja, bahkan tahun lalu dia ikut kampanye besar-besaran di kampus soal suicide thoughts dan menentang keras upaya percobaan bunuh diri yang belakangan marak terjadi di pinggiran kota."

"Hanya karena itu lo yakin Zidan gak bakalan bertindak apa-apa?"

"Pikir dulu, Bang, mana ada orang mau bundir di keramaian? Ini masih pagi, ada ratusan orang keluar masuk area stasiun dan kereta jam segini juga lagi padat-padatnya."

Jovi menyela, bagaimanapun rasa khawatir tetap bersarang di otaknya. "Yang pergi Nadira, Juna, bukan orang asing. Lo gak tahu beneran apa pura-pura bego Nadira itu gimana buat Zidan?"

"Of course, I know. She's his girlfriend."

"Lebih dari itu, duh." Jovi jadi kesal sendiri. "Lo bangunin anak-anak, gue mau susul dia."

"Gue ikut."

"Lah nanti Zidan pulang bonceng di mana kalau lo ikut?"

"Bonceng bertiga."

"Manusia ganteng tapi gak ada faedahnya ya lo doang emang," Jovi berujar kemudian melangkahkan kakinya menuju kulkas, mencari kunci motornya di antara tumpukan kunci lain di dalam kaleng bekas jajan yang memang digunakan untuk tempat segala kunci kontrakan dan kendaraan. "Lagi, kalau lo nemuin Zidan di jalan besok-besok harus lo temenin. Seenggaknya intip dia mau ke mana atau mau ngapain untuk beberapa pekan ke depan."

"Apa emang bakalan separah itu?"

Jovi bergumam sebentar, mengendikkan bahu lalu segera mengambil jaket entah punya siapa di kapstok dekat dinding pembatas ruang utama. Yang penting pinjam dulu, izin bisa belakangan. "Who knows, kan? Anggap aja posisi Zidan tuh kayak gini... ketika gravitasi bumi hilang, lalu makhluk hidup yang berpijak di situ bakalan gimana?"

"Melayang. Kayak lagi di luar angkasa."

Kan... jadi menyesal Jovi bertanya. "Hahaha. Bodoh amat lah, ya."

"Ih, padahal bener. Itu jawaban fakta dan paling rasional yang gue pikirin."

"Mainnya lo kurang jauh, sana berguru sama Aksa biar pinter bikin diksi-diksi buat perumpaan bagus."

Juna ternyata masih enggan membiarkan Jovi berlalu. "Yang bergaul sangat dekat dengan Bang Aksa itu cuman para bucin dan para galau-ers yang sukanya nikmatin sore karena kenangan yang membekas, bukan karena pemandangannya yang emang keren."

Dih? Kok gitu?

"Gue berangkat. Salamin ke Aksa moge-nya gue pinjem."

"Motor lo gak ada bensin? Kere tanggal tua?"

"Kuncinya keknya ada di atas, mager ambil. Lagian posisinya juga di bagian depan garasi, inget gue tuh punya Aksa ada di belakang soalnya pagi tadi sempet jalan sehat bareng koleganya."

Juna ikut berdiri, tapi bukan untuk mengantar Jovi keluar melainkan mengambil air dingin di kulkas. "Hati-hati, tapi itu tolong lah kondisikan celananya. Ganti celana training kek, lo mau jual paha di jalan? Iya?" Sekilas tatapannya mengintimidasi, menuntun Jovi untuk segera mengganti pakaiannya.

"Sekalian jual diri."

"Heh, gue aduin Mbak Fara mampus lo. Putih kagak, belang iya."

"Body shaming itu termasuk perbuatan tercela."

"Yang bilang itu bikin nambah pahala siapa emang?"

Ya udah, sih. Anjir. Daripada meladeni Juna, Jovi akhirnya kini sungguhan bergegas tanpa ganti celana. Mencibir dengan ocehan samar yang dibalas dengan tawa dari si Juna. Namun, Jovi gak pernah pilih kasih dalam memerhatikan semua adik-adiknya di kontrakan walaupun emang lebih dermawan sama para Bocils saja. Dia melirik Juna sekilas yang kini tengah meneguk air dingin dengan lahap layaknya seorang musafir yang dehidrasi setelah melakukan perjalanan melintasi gurun. Sembari melangkah melewati ruangan utama, Jovi berteriak nyaring.

"Habis olahraga jangan minum es, gak sehat. Jadwal lo besok padat. Jangan nambah masalah kontrakan dengan sakit segala."

Alih-alih tersinggung karena mungkin ucapan Jovi terdengar kasar, Juna justru diam mematung. Setidaknya itu menjadi ucapan dengan makna hangat yang dia dengar pagi ini sebelum sarapan dan membangunkan yang lain.

Di sisi lain, Jovi melesat kencang melewati jalanan yang cukup ramai di hari Minggu. Ada acara rutin Car Free Day di alun-alun, membuatnya harus memutar arah untuk sampai ke stasiun terdekat dan menjemput kawannya di sana. Sebenarnya sedikit menyesal juga lantaran apa yang dikatakan Juna ada benarnya. Jok motor Aksa tinggi, berbeda dari motornya dan itu membuat celana pendek yang dia pakai terlihat semakin pendek ketika menyetir. Walaupun begitu, Jovi lebih mengutamakan keselamatan Zidan yang entah kini tengah melakukan apa. Gak ada firasat apa-apa dan memang sepertinya Zidan ke sana hanya untuk menenangkan diri saja.

Kehilangan pijakan hidup bisa membuat seseorang melakukan hal yang sebelumnya gak pernah terbesit di pikirannya sama sekali.

Kalau ditanya mengapa Jovi gak memastikan keadaan Zidan lewat telepon terlebih dahulu, jawabannya mudah. Zidan tipikal orang yang suka mengaktifkan mode diam ketika dirundung masalah, jadi dia gak akan tahu kalau ada panggilan meskipun ponsel ada di sakunya.

Dalam diam, Zidan sungguhan hanya duduk di bangku dekat pintu masuk stasiun. Jovi gak perlu repot mencari tempat parkir motor karena posisi Zidan sudah kelihatan bahkan hanya dari satu kali pengamatan ketika lewat. Pemuda itu berhenti tepat di depan bangku yang Zidan duduki, yang dipisahkan pula dengan undakan berlapis keramik. Setelah melepas helm, Jovi gak segera beranjak dari motor. Dia justru menghela napas panjang sementara tubuhnya disinari cahaya matahari. Pahanya yang terbuka terasa terbakar, pun dengan wajahnya yang dari tadi pagi hanya sempat dibasuh dua kali.

Gak ada niat Zidan membuka pembicaraan terlebih dahulu, lagipula apa yang harus dibahas? Ucapan bela sungkawa terlalu muak untuk didengar, apalagi ungkapan tentang kekuatan yang harus Zidan miliki karena ini semua sudah takdir dari Tuhan. Mata Zidan memandang nanar satu kotak berwarna putih yang dipangkunya. Lagi, dia ingin terisak untuk meluapkan segalanya, tapi air matanya gak kunjung jatuh. Entah karena dia malu dilihat oleh abang kontrakannya yang sekarang masih diam atau karena suasana di sini terlalu ramai sehingga akan mencolok apabila dia melakukan hal tersebut.

Jovi menyerah, akhirnya dia angkat bicara setelah merasakan pahanya semakin panas terbakar oleh sinar yang semakin terik. "Selamat ulang tahun, Zidan," tukasnya tanpa permisi yang juga langsung duduk di sisi yang lebih muda sambil merangkul bahunya. "Pasti berat, ya? Sini deh, bales rangkulan gue. Taruh bingkisan yang lo pegang di situ sebentar, gak akan hilang."

Gak akan hilang? Emang iya?

"Buktinya malam itu gue masih pegang tangan dia, tapi dia tetap hilang, tuh."

Zidan membuat atmosfer di antara dirinya dan Jovi menjadi gak nyaman seketika. "Zidanㅡ"

"Kalau lo ke sini mau ngajak pulang, gue gak mau. Gue tahu kok, lo bakalan datang dan jemput gue di sini setelah Juna yang ngikutin gue sambil sembunyi-sembunyi."

Ternyata Juna tadi ngikutin Zidan, tapi dia gak bilang? Jovi membatin, mulai mencari topik lain yang bisa dibahas supaya Zidan gak begitu keras padanya. "Zi, ke toko kue, yuk? Ayo beli sesuatu buat dibawa pulang."

"Lo pikir isi bingkisan ini apaan?" Secara refleks, Zidan membuka tutup kotak tersebut dan baru Jovi lihat isinya berupa tart dengan hiasan animasi Black Panther. Pemuda itu mendongak, menatap Jovi yang kehabisan kata-kata. "Gue gak mau pulang, bisa anterin gue ke dermaga aja sekarang?"

"Bisa. Gue temenin lo hari ini, oke? Gak pulang ke kontrakanㅡ"

"Gue lagi gak pengen pulang ke mana-mana. Baik ke kontrakan, ke... makam..." Ada jeda dalam ucapan Zidan yang mengisyaratkan sumber kesedihannya berasal. "Apalagi pulang ke rumah mama. Gue pikir pergi ke stasiun buat ketemu mama adalah jalan yang benar, tapi ternyata gue gak bisa."

"Apa rasanya sesakit itu, Zi?"

"Gak tahu. Udah mati rasa."

Jovi gak bisa mendeskripsikan bagaimana rasanya menjadi seorang Zidan. Pemuda itu kini tengah melapisi bingkisannya dengan kantong plastik berwarna hitam dengan pelan, seolah takut ujung kotaknya bisa saja tertekuk karena kurang hati-hati. Jovi jadi ingin menebak dalam benak, sekiranya akan Zidan apakan tart itu kalau nafsu makannya saja sudah berkurang beberapa hari terakhir. Walaupun tart itu dibawa ke kontrakan, siapa sekiranya yang berani untuk mencicip? Sekalipun penghuni lapar dan gak ada makanan yang tersisa, Jovi yakin akan terasa salah apabila kue milik Zidan dikorbankan untuk hidangan mengingat Zidan yang masih seperti ini.

"Mau berangkat sekarang?"

"Iya."

Hanya sebatas satu kata. Tanpa ada anggukan berarti atau basa-basi lain yang bisa dilontarkan Zidan sebelum beranjak dengan langkah gontai. Semangat hidupnya lenyap. Zidan gak lebih hanya sebatas pemuda tanpa arah jalan.

Selama di perjalanan, kepala Zidan menunduk. Dia mengabaikan angin yang terus-menerus menyibak rambut di kepalanya yang gak terbalut helm. Sejujurnya dia merasa bersalah, karenanya semua penghuni jadi gak pulang ke rumah di saat liburan akhir pekan. Masalah Dika kemarin yang sempat melewati batas baru usai dan kini dialah penyebab tidur teman-temannya menjadi gak teratur. Zidan sudah berusaha terlihat biasa saja dan mencoba tegar, tapi ketika mengingat hal kecil yang mengingatkannya pada Nadira, kembali dia mengingat pula bahwa kekosongan pasti akan hadir di sela-sela harinya ke depan.

Tebak siapa kini yang mulai membuat Zidan semakin merasa putus asa.

Jovi.

"Pilih yang lo mau, yang bagus sekalian," katanya dengan tenang seolah tanpa beban. Motor yang dipinjam Jovi dari Aksa berhenti tepat di depan toko bunga. "Jangan ragu. Lo gak bisa lari dari ini."

"Apa maksud lo? Gue minta ke dermaga. Kalau gak bisa anterㅡ"

"Ucapan lo sama sekali gak sinkron sama perasaan yang lo hadapi sekarang," tukas Jovi. Dia gak perlu susah membuka helm karena gak ada niatan untuk masuk ke dalam toko. "Sana cepetan. Gue gak mau ya lo menyesal di hari belakangan."

Zidan akhirnya turun dari motor, bingkisan yang tadi langsung direbut oleh Jovi supaya si empunya bisa leluasa di dalam sana. "Bangㅡ"

"Kalau udah panggil gue, entar gue yang bayar."

Sejujurnya Zidan memikirkan dua hal secara bersamaan. Maksud awal dari Jovi mengajaknya kemari pastilah ada suatu sebab. Bunga juga identik dengan dua hal yang berlawanan; duka dan bahagia. Entah ini tanda duka untuk perginya seseorang atau justru bahagia karena hari ini hari yang spesial. Akan tetapi mungkin opsi pertama memang dirasa lebih tepat mengingat Jovi juga menyinggung tentang kejadian mengenai Nadira berkali-kali.

"Bang, gue pilih bunga yang depan itu aja."

Sekilas Jovi melirik ke arah telunjuk Zidan. "Itu cuman bunga matahari biasa," ujarnya diselingi tatapan heran. Pasalnya Jovi pikir Zidan akan memilih bunga berjenis lily, krisan, anyelir atau bahkan gladiol yang pada dasarnya memiliki makna tentang duka cita.

"Gak apa-apa. Warnanya bagus." Untuk pertama kalinya Jovi bisa melihat segurat senyum sejak dua hari yang lalu. "Nadira suka warna kuning. Dia pernah bilang warna kuning melambangkan kehangatan, keceriaan dan semangat, bisa bikin setiap jiwa yang kosong merasa terisi."

Jovi beranjak setelah menempatkan bingkisan berisi tart di atas jok motor mendekat ke arah kasir, meninggalkan Zidan yang terpaku di trotoar sambil menatap nyalang jajaran bunga di depannya. Zidan terlalu banyak memakan waktu untuk menyerah pada rasa ragunya dan itu membuat Jovi harus turun tangan sendiri untuk menyelesaikan pesanan. Mulai dari membayar hingga menunggu pelayan toko mengemas dalam satu buket.

Perjalanan mereka berlanjut ke sebuah pemakaman. Gak sulit untuk menemukan tempat tersebut mengingat Zidan seringkali meminta antar pada penghuni lain ke rumah Nadira untuk berkunjung. Selama di atas jok, kembali Zidan mendesah panjang hingga rasanya dia ingin tidur saja untuk waktu yang lama supaya lupa rasanya sesak. Dua benda dalam genggamannya hadir di hari ulang tahunnya saat ini, tapi itu sama sekali gak berarti apa-apa. Apa artinya kue yang dia beli kalau gak tersentuh? Apa artinya bunga berwarna cerah kalau semakin membuatnya kembali dirundung pilu? Toh, pada akhirnya ada masanya bunga akan layu dan berubah menjadi seonggok sampah di atas tanah. Jadi sebenarnya bunga matahari itu gak banyak membantu menyembukan luka hati Zidan.

Sebut Zidan pengecut kalau dia berpura-pura tegar. Bagaimana mungkin dia akan tetap diam dan menganggap semuanya biasa saja ketika kakinya berpijak di dekat nisan? Gadisnya ada di sana, sudah berpulang pada yang Maha Kuasa. Sudah kembali ke tempat sejatinya manusia berasal. Raga mereka berdua kini berdekatan, tapi jiwa mereka terpisah dengan jarak yang gak bisa lagi dideskripsikan.

"Ra, hari ini aku ulang tahun, loh."

Hening.

"Aku bawa kue Black Panther. Marah nih aku karena kamu janji mau beliin, tapi gak ada beli."

Lagi-lagi itu hanya ucapan gak berbalas. Memangnya siapa yang akan menjawab? Jovi menunggu di luar makam, gak ada seorang pun yang ada di situ kecuali Zidan.

Zidan lantas duduk bersila di sebelah nisan, mulai sadar kalau sekarang gak ada yang perlu disembunyikan. Buliran bening itu jatuh menuruni pipinya, gak peduli lagi bagaimana teriknya matahari di pagi menjelang siang itu kini mulai menyiksa kulitnya.

"Kamu ingat? Tahun lalu di tanggal yang sama kita berdua pergi ke kota seberang, ke museum musik. Pulangnya karaoke sampai suara kamu habis. Kamu sempat bilang bakalan nabung buat konser Coldplay bareng sama aku sambil liburan ke Jakarta. Kamu mau ketemu dan lihat Chris Martin main piano sambil nyanyi Paradise. Kamu mau dengerin lagu A Sky Full of Stars secara langsung. Kamu pingin... nyanyi Yellow bareng aku sambil liat cahaya panggung."

Apabila bunga ada masa layunya, maka bahagia juga ada masa berakhirnya. Bunga matahari yang tadi dibeli kini Zidan tempatkan di dekat nisan dengan tanah masih setengah basah. Warnanya yang mencolok kembali mengingatkannya pada kenangan lama.

"Aku masih ingat kedekatan kamu sama Bang Aksa di kontrakan, kalian punya selera musik yang sama. Sering lupa kalau kamu tuh pasangannya aku kalau lagi ketemu dia. Bahasannya lagu-lagu Coldplay terus, sedangkan aku sukanya Simple Plan sama The Script. Kamu suka marah juga kalau aku pasang earphone sampai suaranya kedengeran keluar."

Those old times turn out to be something painful.

"Aku... jadi inget satu lagu yang sering kamu putar pas lagi ngerjain tugas," tukas Zidan pelan sembari menutup kotak kuenya. "Aku udah bersihin kamar aku loh, Ra, tapi kamu gak sempat lihat perubahan kecil yang aku lakukan. Yang lebih bikin gak habis pikir itu aku udah pesan sepatu kembar dua pasang, buat aku sama kamu. Kayaknya besok kurirnya nganter, tapi lagi-lagi kamu gak sempat pakai. Kaki kamu kan kecil, pacarnya anak-anak beda ukuran jadi pasti sepatu itu bakalan tetap nganggur di kamar aku."

Zidan bodoh, ya?

Lo ngomong sama siapa?

Nadira gak mungkin balas tiap cerita yang lo ungkapkan.

Satu tarikan napas kembali menyadarkan Zidan kalau semuanya akan sia-sia apabila dia tetap terkurung di lingkaran yang sama. Sebanyak apapun dia memohon atau bahkan sambil menangis keras, hal itu tetap gak akan mengembalikan raga Nadira seperti semula. Sama halnya seperti kisah kedua orang tuanya yang sudah berpisah, awalnya memang sulit namun pasti nanti akan terbiasa walaupun itu membutuhkan waktu yang gak singkat.

Zidan akan terbiasa tanpa Nadira.

Zidan akan terbiasa mengingat.

Zidan akan terbiasa menggenggam erat jari Nadira dalam bayangan yang gak nyata.

Zidan percaya bahwa memang benar semuanya akan kembali seperti normal meskipun akan ada sedikit cacat. Dia berharap hatinya lekas pulih dengan berdamai bersama kenyataan yang hadir. Alunan lagu terputar di dalam kepalanya, berdengung nyaring seperti menjadi penanda bahwa Nadira dan dirinya merupakan suatu cerita yang habis sebelum waktunya.

Come up to meet you
Tell you I'm sorry
You don't know how lovely you are
I had to find you
Tell you I need you
Tell you I set you apart

Tell me your secrets
And ask me your questions
Oh, let's go back to the start
Running in circles, coming up tails
Heads on a science apart

Nobody said it was easy
It's such a shame for us to part
Nobody said it was easy
No one ever said it would be this hard
Oh, take me back to the start

Zidan memejamkan mata, melantunkan doa dalam hati dengan bersungguh-sungguh. Jovi memang sudah sepatutnya membawa Zidan kemari tanpa pikir panjang, memaksanya menerima realita kalau sesuatu yang berkesan mendadak hilang maka rasa pedihnya gak akan mudah lenyap pula. Justru itulah Zidan harus melaluinya mulai detik ini juga.

I was just guessing at numbers and figures
Pulling your puzzles apart
Questions of science, science and progress
Do not speak as loud as my heart

Tell me you love me
Come back and haunt me
Oh, and I rush to the start
Running in circles, chasing our tails
Coming back as we are

Nobody said it was easy
Oh, it's such a shame for us to part
Nobody said it was easy
No one ever said it would be so hard
I'm going back to the start

Manusiawi kalau sekarang Zidan masih berharap semuanya dapat kembali seperti semula. Pada dasarnya setiap insan berekspektasi terhadap hal-hal yang menyenangkan terlalu jauh, tapi seringkali lupa kalau ada yang lebih berkuasa dan berkehendak. Untuk itulah alih-alih berangan-angan dan menyalahkan kenyataan, Zidan mulai belajar menerima pelan-pelan. Cukup masalah perpisahan kedua orang tuanya saja yang mampu membuat Zidan terpuruk lama, sekarang jangan lagi.

"Ra, pamit ya. Aku selalu sayang kamu dari dulu, sekarang dan nanti. Kita ketemu lagi nanti... di tempat yang lebih baik."

ㅡㅡㅡ








Chapter zidan kelar ehehe, next member pinginnya gak sedih-sedihan lagi eui kasian mereka :"

Continue Reading

You'll Also Like

186K 28.9K 53
Jennie Ruby Jane, dia memutuskan untuk mengadopsi seorang anak di usia nya yang baru genap berumur 24 tahun dan sang anak yang masih berumur 10 bulan...
17.9K 4.2K 36
--WΝ™EΝ™RΝ™EΝ™WΝ™OΝ™LΝ™FΝ™; AΝ™BΝ™OΝ™-- Biasanya alpha lah yang selalu tidak menerima takdir omeganya, tapi kali ini berbeda. Omega lah yang menolak alphnya, da...
19.8K 3.3K 17
Arsalan The Series #1 "Can you keep me close? Can you love me most?" a fanfiction sung hanbin - kim chaehyun ft. the others
982 312 52
Terlahir kembali, apakah hal itu memang ada? END! NO PLAGIAT⚠️ YANG PUNYA NIATAN NGE-PLAGIAT SONO MINGGAT JAUH JAUH.