Finale

By nadomeda

2.2K 336 43

The journey to get through things that once broke them down, to love and to be loved properly. More

meet the characters
01 - Bitter
02 - Hi Hello
03 - Struggling
04 - A Ride Home
05 - Addicted
06 - Your One Call Away Man
07 - Rejection
08 - Green-eyed
09 - A Glimpse of Her Past
10 - Rumour
11 - New Step
12 - Serendipity
13 - Bad Bad Dream
14 - Weird Tension
15 - Soto Pagi
16 - Sunrise
18 - Take It Easy
19 - Midnight Lullaby
20 - Unfortunate Fortune
21 - She Came Back
22 - The Things You Do
23 - Safe Haven
24 - Story Unlocked

17 - Blooming

66 12 2
By nadomeda

Bianca

"Kemarin kamu pergi sama Brian, tah?" tanya Juan sambil membuka dua kancing teratas kemeja yang ia kenakan untuk ibadah minggu hari ini.

"Kok tau?"

"Story Instagram-mu, itu tempat rahasiane Brian, kan?"

Aku hanya mengangguk sebagai jawaban, setelahnya sunyi. Juan mengetuk-ngetukkan jarinya di atas setir mobil, sedangkan aku duduk manis di kursi depan sambil bertanya-tanya kenapa mobil yang kami tumpangi ini belum juga keluar dari area parkir gereja.

Well, Om Ryan sakit dan Tante Rhea memutuskan untuk menjaga suaminya itu sendirian. Maka di sinilah kami sekarang, pukul sembilang pagi, baru saja selesai mengikuti ibadah jam tujuh di gereja yang lokasinya berseberangan dengan gedung utama kampus kami.

Juan memutar kunci, membuat mesin mobil itu menyala dalam satu getaran singkat. Tak lama setelahnya, kami sudah turun ke jalan raya yang padat kendaraan.

"Bi," panggilnya saat kami berhenti di depan lampu merah, "kamu ndak pingin cerita apa-apa ke Koko?"

"Soal apa?"

"Apa aja," jeda, "kamu sama Brian misale."

"Aku sama Brian ndak ada apa-apa, kok. Makane aku ndak cerita."

"Aneh, Bi. Nek gak ada apa-apa Brian ndak mungkin mau ngejak kamu ke tempat rahasiane. Bahkan Koko, Wage, sama Sandri yang kenal dah lama aja ndak pernah dikasih tau lokasine."

Air muka Juan mengeras sedangkan aku mulai merasa risih dengan obrolan kami. Aku nggak tau kemana pembicaraan ini mengarah, tapi aku nggak merasa nyaman. "Nek itu tanyake Kak Brian, to, aku ndak tau apa-apa, cuman diajak," jawabku sekenanya.

"Sorry," bisiknya lirih, mobil kembali melaju dengan kecepatan yang lebih lambat, "kalau boleh jujur, Koko rada risih."

"Risih kenapa e?"

"Kamu ndak sadar, tah, dulu kamu nek ada apa-apa sedikit aja meski ndak penting pasti laporan ke Koko, tapi sekarang kamu ndak pernah cerita apa-apa e ke Koko."

Kukulum bibirku, nggak tau harus menjawab apa. Kalau boleh jujur, ada banyak yang ingin kuceritakan pada Juan. Banyak banget, sampai aku nggak tau harus mulai dari mana.

Dan juga aku belum siap.

"Yah, itu urusanmu mbek Brian, sih. Koko jane ndak mau ngurusi, cuma khawatir aja, kamu kok tiba-tiba jadi tertutup gini."

Aku masih nggak menjawab. Malahan, aku membuang muka untuk menatap sisi kiri jalan yang nggak spesial sama sekali. Mataku seperti nggak mampu untuk menatap wajah Juan, karena aku sadar aku memang menutupi sesuatu.

"Bianca," panggilnya lagi, kali ini suaranya terdengar lebih lembut namun juga terbesit nada khawatir di sana. "What happened after I moved out?"

Enggan menjawab, aku tetap diam, masih dengan mata terfokus pada pemandangan pinggir jalan. Namun apa yang selanjutnya diucapkan Juan sukses membuatku menoleh.

"I saw the scar on your hip."

Tanpa disadari, tangan kiriku sudah bersemayam di situ, di tempat luka itu berada. Wajahku memanas, rasanya nggak enak. I can't tell if I'm scared, or embarrassed, I can barely tell what I feel right now. Perasaanku bercampur aduk sementara Juan masih dengan tenang menyetir mobil yang membawa kami ke rumahnya.

"Koko gak maksa, kalau belum siap, Koko masih bisa nunggu. Tapi saat kamu siap nanti, kalau bisa, Koko mau tau semuanya. Dari awal."

Permintaannya itu terdengar seperti sebuah tuntutan, tapi aku nggak menolak. Malahan, sekarang aku bingung sendiri. Dari awal, katanya.

Aku bahkan nggak tau yang mana awal dari semua ini.

Apakah semuanya berawal dari malam dimana aku meng-install dating app di ponselku, atau siang yang terik di hari Senin saat aku mendapat notifikasi pesan dari Niko—salah satu match-ku dari aplikasi tersebut, atau malam Minggu ketika aku memutuskan untuk meet up dengannya di Starbucks.

Aku cuma tau satu hal: sejak awal hubunganku dengan Niko adalah kesalahan, tanpa pernah tau di mana awal itu berada.

Dua atau tiga tahun yang lalu, aku cuma seorang remaja polos yang penasaran dengan yang namanya pacaran, tanpa tau kalau beberapa lama setelah kedatangannya hidupku berputar seratus delapan puluh derajat.

<>

Sandri

Rumah Wage berisik dengan suara video game dari televisi, bungkus keripik kentang beserta kunyahannya, dan sumpah serapah dari Juan dan Dimas yang masing-masing fokus dengan konsol PS mereka.

Di sisi gue, Brian masih fokus mengulik lirik buatannya—yang kemungkinan akan jadi lagu orisinil pertama kami—sambil sesekali mengambil segenggam kacang goreng untuk mengisi lambung spacious-nya itu.

Hari ini Brian baru saja menunjukan lirik buatannya pada kami, atas beberapa saran dan masukan, ia merasa perlu memoles beberapa bagian sebelum kami benar-benar bisa mengubah lirik tersebut ke dalam sebuah lagu. Maka selagi cowok itu fokus melakukan finishing pada liriknya, kami berempat memilih untuk duduk manis dan menemaninya karena Brian sendiri nggak mau dibantu. Katanya, sih, liriknya terinspirasi dari pengalaman pribadi, jadi dia nggak mau ada orang lain yang mengusik penulisan lirik tersebut.

"AHAHAHAH!" tawa Dimas pecah saat skor akhir muncul di layar televisi, "I broke your mental!" pekiknya senang kala melihat skor Juan jauh di bawahnya.

"Lo anak sasing tapi Bahasa Inggrisnya berantakan banget, sih!" Juan mengalihkan topik, nggak terima kalau dirinya kalah. Gue cuma bisa ketawa liat kelakuan Juan, yang notabene paling tua di sini, malah berantem sama yang bungsu.

"Oh iya," gue beranjak dari sofa, meraih sebuah flyer dari dalam tas dan menaruhnya di tengah-tengah kami berempat. "Tadi gue dikasih ini sama mbak-mbak Cosmo."

"Cosmo? Yang steak house itu, Bang?"

Gue mengiyakan pertanyaan Dimas, "Katanya mereka baru pasang instalasi panggung mini, tiap weekend nanti bakal ada yang ngisi."

"Lo mau tampil disitu?" tanya Brian yang tiba-tiba sudah meninggalkan pekerjaannya itu.

"Kenapa nggak? Cosmo kalo weekend rame banget, lho, lumayan gak, sih? Apalagi job kampus lagi sepi, emang lo gak pengen nyoba tampil di luar?"

"Gue pengen, sih," celetuk Juan, "ini perlu bayar fee gak?"

"Tadi gue tanya-tanya mbaknya, katanya kalau lo diundang pihak Cosmo, lo dibayar, tapi kalau lo nyewa panggung, ada fee-nya. Nggak dikasih tau berapa, gue cuma dikasih CP-nya, tapi kalau nggak salah tadi doi bilang buat dua minggu pertama free enter."

"Gaslah!" ujar Brian dengan semangat, "Mending lo hubungin CP-nya sekarang, book minggu keberapa gitu, mumpung free enter."

"Serius gak, nih? Kalo iya besok langsung gue hubungin. Jangan sekarang, udah malem banget gak etis."

"Setuju gue," seru Juan mantap, disusul anggukan dari Brian. Di antara kami, Dimas melongok ragu.

"Ini gue diajak, Bang?" tanyanya ragu, sontak gue tertawa melihat kepolosan bocah itu. Kami memang masih menggantung status Dimas sebagai drummer tetap, tapi pertanyaannya barusan itu merupakan pertanyaan retoris.

"Iyalah, masa videoin doang," balas Brian, membuat Dimas nyengir malu.

"Bahas apa, sih?" sang tuan rumah muncul dari dalam kamar mandi, dengan rambut setengah kering dan baju seadanya, Wage duduk nyempil di antara gue dan Brian. "Apaan ini? Cosmo? Lagi ada promo steak?"

"Nggak, Cosmo abis pasang instalasi panggung mini terus open performance tiap weekend. Mau ikutan gak lo?"

"Ikutlah!" mata Wage membelalak, menandakan kalau cowok itu bersemangat, "Tapi emang instrumen dia lengkap?"

"Kurang tau, tapi palingan mentok-mentok synth yang perlu bawa sendiri, sih."

"Lo yakin panggungnya cukup? Akustikan ajalah biar aman, pake cajon biar nggak makan tempat," sugesti Brian. Wage dan Juan mengangguk-angguk mendengar opininya tadi.

"Besok coba gue tanyain deh sekalian hubungin CP-nya. Fix nih ya."

Setelah itu, semuanya kembali dengan kesibukannya masing-masing. Brian kembali mengotak-atik liriknya, Juan dan Dimas sedang memilih game apa lagi yang akan mereka mainkan, sementara Wage sibuk berselancar di Instagram.

"Eh, San," gue menengok saat Wage menepuk lembut bahu gue, "temenin ke Indomaret, dong. Nyokap gue minta dibeliin susu."

"Ayo," gue beranjak dan mengambil kunci motor, diikuti Wage yang memutuskan untuk meminjam jaket oversized milik Juan, "ada yang mau nitip sekalian gak?"

"Gue mau sponge cokelat, dong!" sahut Brian.

"Brian doang, nih? Yaudah gue cabut bentar ya."

<>

Pesanan ibu negara ternyata lebih dari sekedar susu. Selagi Wage memenuhi permintaan ibunya itu, gue mampir ke rak mie instan. Mata gue langsung tertuju pada mie cup yang direkomendasikan Bianca tempo hari. Otak gue melayang ke momen pagi buta itu, membuat beberapa pertanyaan tiba-tiba melintas.

Mereka ngapain aja, ya? Mereka ngobrol apa aja? Brian cerita apa aja? Dan ...

... kenapa Brian bawa Bianca ke tempat rahasianya itu?

Saat Bianca bilang kalau mereka mau lihat sunrise, gue sama sekali nggak kepikiran kalau tujuan mereka adalah tempat rahasia itu.

Gue nggak bisa bohong kalau gue kaget saat melihat foto di story IG-nya. Foto itu sama persis seperti foto tempat atau view yang diunggah Brian setiap kali ia mampir ke tempat tersebut.

Is she that special for him that he brought her there?

Dan dia bilang mereka gak ada apa-apa. Bullshit lo, Bri.

"Lo naksir sama indomie?"

Gue menoleh, mendapati Wage sudah berdiri di samping gue dengan keranjang penuh belanjaan. "Ini bukan indomie."

"Mau merknya apa juga orang bilangnya indomie," jawab Wage sekenanya, meskipun omongannya nggak salah juga sih.

"Nggak lo beli?" tanyanya saat gue menaruh kembali mie cup itu. Gue menggeleng. "Kenapa? Ngeliatinnya udah kayak orang naksir gitu padahal."

Tak urung gue tertawa mendengar candaan recehnya, "Apaan, sih, gue ngeliatin doang."

"Iya, iya, kan naksirnya sama Bianca ya."

"Hah?"

Wage menatap gue dengan alis terangkat, "Jujur sama gue, lo ada sesuatu, kan, sama dia?"

"Uhh ... nggak, tuh?"

"Iya," Wage mengelak, gak mau kalah rupanya, "mata lo gak bisa bohong."

"Oh ya? Sejak kapan lo merhatiin cara gue merhatiin Bianca?"

Bukannya menjawab, Wage malah mengedipkan sebelah matanya dan berjalan menuju kasir, meninggalkan gue dalam kebingungan.

<> 

A/N

Maafkan aku yang suka update tengah malem begini ya :") I hope y'all still enjoy this story, also big thanks buat kalian yang masih bertahan sampai sini masih selalu baca dan ngasih vote, I'm really grateful for that huhu I love you all <3

Continue Reading

You'll Also Like

127K 1K 6
isinya jimin dan kelakuan gilanya
440K 44.8K 37
Menceritakan tentang seorang anak manis yang tinggal dengan papa kesayangannya dan lika-liku kehidupannya. ( Kalau part nya ke acak tolong kalian uru...
38.5K 3.2K 69
#taekook #GS #enkook "Huwaaaa,,,Sean ingin daddy mommy. Kenapa Sean tidak punya daddy??" Hampir setiap hari Jeon dibuat pusing oleh sang putra yang...
803K 57.7K 47
[Brothership] [Not bl] Tentang Rafa, hidup bersama kedua orang tuanya yang memiliki hidup pas-pasan. Rafa tidak mengeluh akan hidupnya. Bahkan ia de...