Sew The Heartmade (akan terbi...

By teru_teru_bozu

436K 44.8K 3.1K

JLEB! Kamu beneran yakin nih, akan menjalin hubungan serius dengan pria kayak Berlyn? Bukannya dia orang ane... More

prolog
One: All Hail The Singles!
Two: The Story Behind Us
Three: The Things That You Want To Say
Four: The Silent Question
Five: Bitter Candy
Six: Madame Boss
Seven: Unseen Distance
Eight: Reality Sucks!
Nine: Side Matters in The Bedroom
Ten: Couple Layout Design (a)
Ten: Couple Layout Design (b)
Twelve: In The Name of Kindness
Thirteen: Psycho War
Fourteen: Valent
Fifteen: Cold Anger
Sixteen: It's Just That ...
Orin's World
Seventeen: Two Path
Eighteen: Count Me! (a)
Eighteen: Count Me! (b)
Nineteen: Sweet Revenge (a)
sweet revenge (b)
add. Tough Love in Memory
sepik-sepik
OPEN SPECIAL ORDER
Novella : You and I
special part : the reason why

Eleven: Verified Caller ID

7.4K 1.5K 76
By teru_teru_bozu

Karena reputasi tidak hanya menyangkut urusan harga diri.

"Berlyn nggak datang juga, Ma?"

Wanita lanjut usia yang sedang membenahi tanaman-tanaman hias dalam pot itu hanya terhenti sejenak ketika melirik perempuan muda yang sedang duduk di kursi panjang teras rumah itu.

Irma adalah putri sahabatnya yang menikah dengan salah satu kerabat jauhnya. Sejak kecil gadis itu sudah sering bermain ke rumah ini dan juga akrab dengan Berlyn. Rasanya semua seperti mimpi ketika putra semata wayangnya ini memutuskan menikahi Irma. Dan gadis itu memberinya seorang cucu yang cantik dan lucu.

Sebelum perceraian itu terjadi. Dan sebelum misteri di balik pernikahan mereka terkuak. Kini Irma memang bukan lagi menantunya. Tetapi dia tak keberatan kalau tetap dipanggil Mami. Dan Vero pun masih diperlakukan seperti cucu kandungnya di rumah ini. Tidak ada yang berubah. Kecuali kegelisahan di mata Irma yang tidak sanggup dia tutupi.

"Dia sibuk. Jadi jarang bisa mampir. Katanya sekarang dia mengurus divisi baru di perusahaannya."

Irma terkejut. "Oh ya?"

Wanita itu akhirnya berdiri dan menatap Irma dengan iba. "Mama pikir kamu sudah tahu."

Irma menggeleng. Bagaimana dia tahu? Setiap berbicara dengan Berlyn selalu hanya membicarakan tentang Vero. Karena hanya gadis kecil itu satu-satunya penyambung komunikasi di antara mereka. "Sejak kapan, Ma?"

"Sejak dia pulang dari Belanda. Kan direkturnya yang meminta Berlyn kembali ke perusahaan karena sudah diplot untuk posisi baru. Papa waktu itu sudah khawatir aja kalau masa depannya berantakan. Kondisi sedang kayak gini, cari kerja susah, Berlyn malah menolak cuti. Dia memutuskan untuk mengundurkan diri dari jabatannya karena nggak yakin akan balik lagi setelah menyelesaikan program masternya. Untung saja dia langsung ditawari posisi baru begitu urusan studinya kelar."

"Kupikir Berlyn kembali ke perusahaan pada posisinya yang dulu dan masih harus dikirim ke lapangan. Terakhir aku telepon juga dia lagi di lapangan, Ma."

Mama Berlyn kembali memperhatikan Irma yang seolah sedang melamun. Meskipun ada dugaan keras kalau Irma seperti berharap kembali pada putranya, dia tidak akan sampai hati menanyakannya. Hubungan mereka sudah sangat dekat seperti keluarga, dengan atau tanpa pernikahan mereka.

"Berlyn bilang kalau dia memang harus ke lapangan. Tetapi tidak stay seperti dulu. Karena kantor tetapnya sekarang di sini."

"Hm ..." Irma seperti orang yang sedang melamun. "Berlyn sering pulang, Ma?"

"Sesekali. Itu juga cuma sebentar. Kalau pulang kantor kadang mampir untuk makan malam. Tetapi jarang. Karena dia sering lembur juga."

"Weekend juga jarang nongol ya. Dia malah belum pernah sekali pun hadir di acara keluarga."

"Dia sibuk, Irma. Jumat kemarin dia juga baru pulang dari lapangan."

"Hm ... iya. Pasti dia sibuk. Tapi baiknya dia, di sela-sela kesibukannya, kalau ditelepon sama Vero pasti dia mau meladeni," Irma tertawa kecil.

"Papa Berlyn ya, Ma?" tanya Vero tiba-tiba.

"Iya, Sayang."

"Papa Berlyn sudah pulang, Oma?"

"Belum. Papa Berlyn kan kerja?"

"Ini hari Minggu. Kok Papa nggak libur?"

Irma segera menarik tangan anaknya dan berbicara dengannya. "Papa Berlyn memang libur, Sayang. Tapi tidak di sini."

"Kita ke rumah Papa Berlyn ya, Ma."

Irma mengangguk. "Kapan-kapan, ya?"

Sedangkan wanita senior itu menatap keduanya dengan khawatir. Dia pasti akan sangat bersyukur andai Irma dan Berlyn akan bersatu kembali. Melanjutkan apa yang dulu belum dimulai. Putranya pria yang baik di balik penampilan luarnya yang genit dan suka bercanda. Memiliki rasa tanggung jawab yang luar biasa. Irma akan terjaga andai dia tetap bersama Berlyn. Begitu juga Vero.

***

"Mulai malam ini kamu nginep ya, Rin," kata Berlyn tiba-tiba.

Orin terkejut dan menoleh pada pria yang sedang duduk di belakang kemudi. "Ish! Nggak lah!" tolak Orin seketika.

Wajah Berlyn terlihat tegang. Pria itu tidak sedang dalam mode bercanda. Sebab sejak mereka memasuki jalan raya, tak sekali pun dia melemparkan lelucon. Membuat Orin pun akhirnya bungkam dan memandang kendaraan yang ada di depan dan di sebelah kirinya.

"Kamu ada-ada aja, Bee. Apa kata tetanggamu nanti? Aku juga punya reputasi yang harus dijaga juga, kan?" Orin mengatakan keberatannya dengan suaranya yang lembut.

"Yakin deh, Rin. Nggak bakal ada yang berani komentar apa pun." Berlyn masih serius.

"Iya di depan kamu, Bee. Di belakang? Nggak tahu juga, kan?"

"Ngapain kamu ngurusin omongan orang di belakang? Selama kita nggak dengar, nggak akan masalah. Toh kita juga nggak ngapa-ngapain, Rin."

Orin membayangkan seperti waktu-waktu yang dia habiskan bersama Berlyn. Mereka tertawa, bertengkar, berdiskusi, lalu saling diam. Biasanya Orin akan tenggelam dalam aktivitasnya yang berhubungan dengan hobi. Sedangkan Berlyn menemani sambil membaca buku. Mereka bisa bergelung di atas karpet di depan televisi, atau di sofa. Tak jarang Berlyn tertidur lebih dulu. Membuat Orin bebas mengawasi pria itu sepuas-puasnya.

Tetapi selelap apa pun Berlyn tertidur, sering dia sadar kalau Orin sedang menatapnya. Dan membuka matanya pelan sambil berbicara, "jangan cuma diliatin, Rin. Disayang juga dong. Masa iya ini pipi dianggurin."

Dan Orin sambil tersenyum malu-malu mencium pipi pria itu dengan lembut. Menikmati teksturnya yang kasar karena sering terpanggang sinar matahari.

Tetapi bukan itu yang jadi masalah. Mereka memang tidak melakukan tindakan apa pun yang lebih jauh. Karena Orin sejak awal sudah menyatakan dengan tegas standar moral yang dianutnya. Bukan pula perkara Berlyn yang bisa mengabaikan segala omongan negatif tentang mereka. Itu karena mereka tidak berani ngomong langsung di depanmu. Tetapi mereka tidak segan-segan mengatakannya di depanku, Bee. Batin Orin.

Karena memang itulah yang dia alami di kantor. Sudah cukup buruk mereka sering merundungnya dengan omongan-omongan negatif yang membuat telinga Orin memerah. Orin tidak mau ketika suatu saat hubungannya dan Berlyn berhasil hingga jenjang pernikahan, yang membuatnya tinggal di wilayah itu, dia dikenal para tetangga sebagai pasangan yang sudah hidup bersama sebelum menikah. Dan andai omongan itu kelak akan didengar anak-anak mereka, bagaimana?

Bagi Orin, reputasi tidak hanya menyangkut harga diri. Tetapi juga berhubungan dengan urusan fitnah bagi orang-orang yang terdampak olehnya.

"Aku orang yang sangat peduli dengan reputasi. Aku nggak bisa sebebas kamu, Bee. Karena kita memang berbeda. Tidak bisa dong dipaksa sama. Emang apa pentingnya sih aku tinggal di rumahmu? Hubungan kita juga masih dalam tahap awal banget gini," kata Orin.

"Kita udah saling mengenal lama kan, Rin? Apa lagi? Sekarang, andai kamu bilang mau, saat ini juga aku akan ke rumah orangtuamu untuk melamar."

Orin terkejut. Tetapi berusaha terlihat tenang. "Kita memang akan menikah kalau memang berjodoh. Tapi nggak sekarang, Bee. Yang kamu bilang kita sudah lama saling mengenal itu, dalam medium yang beda kan? Kamu atasanku, aku bawahan. Saat itu aku lihat kamu sebagai seorang bos. Beda dengan sekarang."

Karena banyak hal-hal yang membuatku belum siap, Bee. Karena aku tahu hidupmu nggak sesederhana yang kelihatan di permukaan.

"Mungkin kita perlu mengawali dengan mengenalkan kamu kepada orangtuaku, Rin," kata Berlyn akhirnya.

"Aku sudah kenal mereka, Bee," sahut Orin.

Dia teringat pada pasangan lanjut usia yang ditemui ketika mengikuti sidang pembacaan keputusan perceraian Berlyn dan Irma, lebih dari tiga tahun yang lalu. Mungkin yang perlu dilakukan Berlyn adalah mengatakan kepada orangtuanya kalau dia sedang menjalin hubungan serius dengan Orin. Entah, Berlyn sudah bilang apa belum. Kalau sudah, reaksi kedua orangtua Berlyn membuat Orin penasaran. Kalau belum, apa alasannya? Sama kah dengan dirinya? Bahwa sebenarnya Berlyn pun masih ragu kepadanya?

Sebuah hubungan asmara memang serumit ini. Saat mereka berdekatan, saat jari-jemari mereka bertautan, tetap tak menghalangi pikiran yang berkelana tak tentu arah dan saling meragukan.

Orin penasaran. Pada setiap pasangan yang sudah menikah, yang sudah dikaruniai anak-anak, akahkah masih tersisa keraguan di hati mereka? Saat malam-malam mereka tidur berdekapan, saat saling membisikkan kalimat-kalimat kasih sayang, apakah sebenarnya hati mereka juga mengungkapkan hal yang sama? Dalam hubungan sedekat itu, baik secara fisik dan perasaan, masih mungkinkan terselip rasa bimbang yang tak sanggup diungkapkan?

"Nginep ya? Malam ini aja," kata Berlyn lagi.

Orin menggeleng. "Nggak."

"Ribet Rin, kalau harus antar kamu pulang terus besok jemput lagi."

Bagai diguyur air es, Orin membeku di tempat duduknya. Sedetik, dua detik, hingga tiga puluh detik, Orin berusaha menenangkan debar jantungnya yang tiba-tiba bertalu-talu memukul rongga dadanya. Di tatapnya jalan raya di depannya. Kurang lima ratus meter lagi mereka akan tiba di persimpangan jalan, ke kanan menuju ke komplek perumahan Berlyn berada, dan ke kiri menuju ke tempat tinggal Orin.

"Nanti di depan sana langsung belok kiri saja ya, Bee. Antar aku sekarang saja."

Saat gadis itu berkata demikian, Berlyn sadar kalau dirinya sudah salah langkah. Satu kesalahan yang sangat fatal. Orin jarang sekali mengungkapkan dengan jujur apa yang dia rasakan. Hanya dalam suasana hati paling nyaman yang bisa membuat gadis mau membuka diri.

Perlu pendekatan secara intensif di setiap akhir pekan agar membuat gadis itu nyaman di kediamannya dan tidak meminta buru-buru diantar pulang. Meskipun Berlyn tak pernah tahu apa alasan Orin dulu begitu tak kerasan di rumahnya. Jadi bego sekali Berlyn kalau merusaknya kembali seperti hari ini.

"Kita pulang dulu. Nanti kuantar kamu pulang seperti biasa."

"Nggak usah, Bee. Bener kata kamu. Ribet." Orin seperti keong yang berusaha sembunyi di balik cangkangnya.

"Maaf karena kata-kataku tadi."

"Kamu nggak salah. Jadi nggak usah minta maaf. Memang aku seribet itu kok."

Berlyn melepas satu tangannya dari kemudi dan menggunakannya untuk menangkap tangan Orin. "Aku sudah meminta maaf. Tak seharusnya aku mengatakan hal itu. Sekarang diam dan kita pulang. Kuantar kamu nanti malam."

Suara Berlyn begitu tegas. Dengan nada yang biasa dia gunakan dalam memimpin pertemuan. Apalah artinya Orin yang bukan tandingan pria seperti Berlyn. Dia hanya bisa mengangguk dan diam.

Mereka tiba di rumah masih dalam diam. Barang-barang di bagasi menjadi tugas Berlyn untuk mengeluarkan. Jadi Orin pun meloncat dari mobil dan menghambur untuk membuka pintu serta menyalakan lampu-lampu. Mereka bekerja cepat menata barang belanjaan. Segala perabotan masih bisa menunggu. Jadi digeletakkan begitu saja di ruang depan. Orin lebih peduli pada bahan makanan yang tadi mereka beli. Segera dia membongkar tas belanja yang selalu dibawanya ke mana-mana dan menatanya sesuai rak yang telah ditentukan.

Yang paling akhir tentu saja makanan beku yang harus dia tata dengan cermat di freezer. Sekaligus memberi catatan bagi pengurus rumah Berlyn mana yang lebih dulu diolah. Ketika Orin sedang menggapai posisi rak tertinggi dari kulkas itu, tahu-tahu sepasang lengan kokoh memeluknya dari belakang.

"Kamu tahu kan, kalau aku nggak pernah punya maksud buruk?" bisik Berlyn di telinga Orin.

Gadis itu tercekat dan mengangguk ragu-ragu.

"Kalau aku ingin kamu berada di sini lebih lama, karena aku suka kamu temani, Rin. Aku tak rela kalau harus pisah sama kamu. Tetapi aku juga tahu bukan hakku untuk memaksa."

Lagi-lagi Orin mengangguk.

"Itu saja yang perlu kamu tahu saat ini. Dan kamu harus paham kalau aku bukan tipe orang yang akan memaksa."

Orin terdiam beberapa lama. Ya, dia tahu. Berlyn terlalu baik untuk menjadi pria manipulator terhadap wanita. Nggombal iya. Perayu ulung iya. Tapi bukan tipe brengsek yang akan memanfaatkan kelemahan wanita demi keuntungan pribadinya.

Ya, ini adalah Berlyn yang telah membuatnya jatuh cinta.

Akhirnya Orin membalikkan badan dalam pelukan Berlyn. Ditatapnya pria itu dalam-dalam. "Aku respek banget sama kamu Bee, karena selama ini kamu selalu menghargai pendirian dan keputusanku."

Berlyn memandang wajah Orin dan membuat dahi mereka saling bersentuham. "Aku tahu, Rin. Aku tahu. Dan aku akan berusaha untuk tidak melanggar batas itu."

Mereka terdiam dan saling bertatapan untuk beberapa saat. Sampai akhirnya dengan malu-malu Orin mengatakan bahwa Berlyn perlu mandi agar menjadi lebih segar. Usul yang diterima pria itu dengan senang hati. Dia melepaskan pelukannya di pinggang Orin, lalu mengeluarkan HP dari sakunya dan meletakkannya di atas meja makan. Dan berjalan meninggalkan Orin sendirian.

Orin masih terpaku di tempatnya. Permainan perasaan seperti ini memang melelahkan. Biasanya dia akan segera mundur dan kabur, menenangkan diri sendirian, bersama kain-kain kesayangannya dan menjahitnya menjadi suatu karya. Tetapi kali ini dia ingin menjajal ketangguhan emosinya dengan mencoba bertahan lebih lama. Karena bersama Berlyn gesekan-gesekan seperti ini kemungkinan akan sering terjadi.

Terdengar suara getaran dari arah meja makan. Orin menoleh. Berusaha menahan diri agar tidak mengintip HP milik Berlyn tersebut. Mungkin orang-orang kantor. Tetapi untuk apa menghubungi di waktu sudah cukup larut begini? Orin melawan rasa penasaran yang berkobar-kobar di dalam dirinya. Dan dia gagal. Karena sekarang dia melongokkan kepala untuk mencari tahu siapa identitas si penelepon.

Betapa terkejut Orin mendapati kenyataan di depan matanya. Karena nama pemanggil yang tertulis di layar HP itu adalah Irma.

Note:

Memenuhi ambisi menyelesaikan dua judul secara bersamaan. Semoga saja nggak oleng hehehe... Dan semoga bisa lancar.

Oh ya, aku nulis juga di gwp.id lho. Judulnya: Marry Me, Marry Me Not.

Pas banget deh. Judul itu dulu aku sertakan beberapa bab awalnya dalam bonus pembelian novel Tough Love. Sekarang aku sedang berusaha menyelesaikannya berbasaam dengan novel ini. Tetapi kalian bisa kok mengintip bab-bab awalnya. Baru berjalan 5 bab sih. Tetapi persyaratan untuk mengikuti lomba memang harus tamat bulan Juli ini.

Semoga lah selesai.

Link-nya nggak bisa diletakkan di sini.

Jadi kalian mending follow instagram aku ya. @ollyjayzee

Kalian bisa klik link-nya pada linktree di bio aku.

Kalian tetep harus bikin akun sih. Tapi nggak usah install aplikasi kok.

Silakan membaca.



Continue Reading

You'll Also Like

II. ALMOST By J

Teen Fiction

894 98 5
we are just a word almost © Primera Joya, 2023
1.4M 51.7K 9
[ Edisi PLATFORM ONLINE ] Apa enaknya jadi pemain cadangan? Biasanya tak terlihat, eh mendadak diperlukan banyak orang. Sumpah. Gak enak!
27.6K 2.6K 22
[FREE ALL CHAPTER] Ethan Pascal tau, satu-satunya cara untuk mendapatkan Valerie Isaac kembali adalah dengan menjebaknya untuk bekerja sama di proyek...
466K 75.4K 20
Cerita tentang Arum dan Yusra. Pastry Chef yang sedang berjuang mewujudkan impiannya melalui toko roti sederhana yang didirikannya. Hingga seorang ak...