Diary Of My Wedding

By jenniferdwi

87.7K 5.2K 367

Oke, aku ingin meralat kata-kataku yang sebelumnya mengatakan bahwa lebih baik aku menyimpan buku harian ini... More

DIary Of My Wedding
Lubang Hitam Dari Neraka
Ayah Semua Orang
Siksaan Dari (Bukan) Ibu Mertua
Malam Tanpa Bulan
PDA
Menjadi Genie dengan Tiga Permintaannya

Yang Terakhir Tahu

17K 822 53
By jenniferdwi

14 Desember 2014

Minggu terakhir sebelum minggu natal tiba merupakan periode teraneh dalam hidupku.

Sedang terjadi perubahan, entah perubahan menuju suatu kebaikan atau suatu bahaya. Yang jelas sikap Janet sekarang tidak bisa kuperkirakan lagi arahnya. Mengakibatkan aku selalu kebingungan harus bersikap seperti apa padanya.

Karena dirinya selalu mengalihkan perhatian, aku harus punya sebuah ruang kerja di rumah untuk tetap produktif akan urusan kantor. Janet sudah kuberi tahu tentang hal ini dan dia sangat menyetujuinya. Bukan hanya tidak pernah mencariku ketika aku di dalam, dia bahkan sering menyuruhku berlama-lama di sana!

Tapi hari Minggu kemarin, Janet masuk ke dalam ruang kerjaku saat aku berada di dalamnya. Tentu saja, konsentrasi yang kubangun perlahan di awal hari hancur dengan satu panggilan darinya.

"Dan..." Karena tidak ada bangku lain di ruangan ini, Janet hanya bisa berdiri tepat di belakangku.

"Mmmm..." Jawabku tanpa melepaskan pandangan dari layar laptop. Wangi tubuhnya melingkupi sekitarku dan membuatku merasa sedang dipeluk erat olehnya. Ya ampun, wanginya selalu lebih menggodaku dibanding dengan sentuhan fisiknya.

"Aku ingin pergi sebentar."

"Ke mana?"

"Minimarket depan."

"Perlu kutemani?"

"Tidak perlu."

Jawaban biasa seperti dugaanku. Janet selalu tidak ingin merepotkanku di hal yang bisa dia lakukan sendiri. Walau terkadang aku tetap memaksa ikut. Tapi karena kali ini hanya minimarket depanlah tujuannya, mungkin tidak masalah membiarkannya pergi sendiri. Lagipula aku yakin satpam-satpam kompleks perumahan ini bekerja dengan baik setelah beberapa kali traktiran makan siang dariku.

"Tidak perlu tapi... tapi aku ingin berjalan berdua denganmu kalau kau sempat."

Kalau kalimat yang ini, baru di luar dugaanku.

"Kau ingin kutemani?"

"Kalau kau sempat." Ulangnya sekali lagi sambil memindahkan sebagian rambutnya ke belakang telinganya. Untuk sesaat wajahnya memerah. Dia selalu seperti itu jika sedang menginginkan sesuatu dariku.

Kutatap layar laptopku yang menampilkan beberapa jendela Microsoft Word. Aku baru menyelesaikan seperempat bagian pekerjaanku, mungkin lebih sedikit dari seperempat. Lalu pandanganku beralih ke Janet yang masih setia berdiri di belakangku. Mata hitamnya terlihat sangat menginginkanku menemaninya walau tidak ditunjukkan terang-terangan.

Hanya butuh beberapa detik untukku membuat keputusan. Antara menolak permintaan Janet untuk pertama kalinya atau bergadang sepanjang malam ini.

Tentu saja bergadang terdengar lebih mudah.

~~~~~♥~~~~~

Barang yang dicari Janet tidak dijual di minimarket depan karena itulah sekarang kami berada di dalam apotek tidak jauh dari minimarket itu. Janet bertanya kepada pegawai toko tentang barang yang diinginkannya sementara aku hanya menyusuri rak-rak toko.

Saat mataku berfokus pada beragam sirup obat batuk di depanku, tiba-tiba seseorang menepuk bahuku. Pegawai toko yang tadi membantu Janet sekarang berdiri tepat di belakangku. Kucari sosok Janet dan ternyata dia sudah mengantri di dekat kasir.

"Mas, suaminya mbak itu ya?" Satu jarinya menunjuk pada Janet yang mengantri dengan sabar walau orang yang melayaninya bekerja selambat siput.

"Ya."

Detik berikutnya tangan kanannya diulurkan kepadaku dan menjabat tanganku dengan gerakan cepat. Senyuman lebar dia keluarkan sampai aku bisa melihat gigi graham belakangnya. "Selamat ya, Mas. Usahanya nggak sia-sia."

Aku yang tidak mengerti apapun hanya bisa memasang muka bingung. "Maksudnya?" Gumamku.mLalu tanpa menjelaskan lebih lanjut pria itu pergi meninggalkanku dan membantu melayani pelanggan lain. Saat aku ingin bertanya, Janet sudah selesai dan menarikku keluar dari sana.

"Janet, kamu beli apa sih tadi sampai aku diselamatin sama pegawai tokonya?" Rasa penasaran begitu memenuhi kepalaku sehingga aku langsung bertanya di tengah perjalanan kami kembali.

Mata hitam indahnya terlihat memandang ke sekeliling sebelum menjawab. "Mmm... Itu, Softex."

Janet membeli perlengkapan menstruasinya lalu pria itu menyelamatiku? Apa maksudnya dia turut senang karena istriku ini perempuan sejati yang menstruasi sebulan sekali, bukan luarnya perempuan dalamnya lelaki?

Orang gila.

~~~~~♥~~~~~

Setelah sampai aku terpaksa kembali ke ruang kerjaku dan langsung meninggalkan Janet. Aku tidak punya waktu untuk bersantai lagi. Ini salah satu pekerjaan besar yang dapat memberi keuntungan melimpah untuk perusahaan.

Beberapa puluh menit duduk diam membuat otot leherku kram dan sakit. Akhirnya kuputuskan untuk pergi setengah berbaring pada ranjang yang empuk di kamar. Akan lebih menyenangkan lagi jika ada Janet di sebelahku.

Aroma lezat dari dapur membuat perut laparku memerintahkan kedua kakiku berjalan ke arah tersebut. Pasti di sanalah juga wanita cantik yang dapat membangkitkan rasa laparku yang lain berada. Begitu sampai daerah dapur, pandanganku langsung mengelilingi satu ruangan. Berbagai lauk pauk dengan asap mengepulnya tergeletak di meja makan, tapi di mana pembuatnya?

Akhirnya aku hanya menuju tempat awal tujuanku, kamar tidur. Tempat tidur berukuran King Size itu langsung menggoda batinku begitu aku melihatnya. Kurebahkan seluruh tubuh yang lelah di atasnya dan mengerang bahagia. Untuk sesaat aku melupakan laptop yang masih menyala di sebelahku. Rasanya aku bahkan bisa melupakan apapun dan hanya ingin menikmati kebahagiaan tiada tara ini.

Aku sudah mulai terlelap saat merasakan kasur bergoyang dan sebuah kepala menyandar kepadaku. Mataku terbuka saat merasakan kaus di bagian kepala Janet beristirahat mulai basah entah karena apa. "Janet, mukamu basah?"

Tetap tidak mengangkat wajahnya, Janet menggeleng untuk menjawabku. Hanya dua kata yang dia ucapkan selanjutnya, "Dan, peluk."

Walau merasa aneh dengan sikap Janet, aku menurutinya dan mengubah posisi tubuhku menjadi menyamping. Dari posisiku yang sekarang aku bisa melihat pintu kamar mandi yang sekarang terbuka lebar. Mungkin tadi Janet baru mencuci mukanya dan memutuskan memakai kaosku sebagai handuk.

Setelah lama diam tidak bergerak maupun berbicara, akhirnya Janet mengangkat kepalanya dan menatapku. Dan wajah Janet langsung membuatku memaki diri sendiri. Daniel bodoh! Kenapa bisa-bisanya kau membuat dugaan air yang membasahi kausmu adalah air bekas cuci muka? Suaraku melembut seraya aku mencium matanya yang merah dan bengkak. "Janet, ada apa?"

Tiba-tiba handphone-ku mengeluarkan bunyi yang mengganggu percakapan kami berdua. Terpaksa aku menunda mendengar penjelasan Janet tentang tangis tiba-tibanya ini.

"Halo? Ah tidak, tidak mengganggu. Ada apa memangnya?"

...

"Bukannya pertemuan bersama diadakan Kamis depan?"

...

"Baik, akan kuusahakan agar semuanya bisa selesai Selasa."

...

"Tidak apa-apa. Kalau begitu sampai jumpai minggu depan."

Akhirnya dapat kumatikan telepon dari klien itu dan kembali berfokus pada Janet. Mata dan hidungnya yang memerah membuatku merasa sakit. Padahal Janet masih tersenyum saat kembali dari apotek tadi.

"Jelaskan padaku kenapa kau menangis." Rambut yang menempel di sebagian wajahnya karena air mata kurapikan ke bagian belakang telinganya.

"Apa telepon tadi berkaitan dengan pekerjaan yang dari tadi kau kerjakan?"

"Iya, tapi itu tidak penting. Yang penting..."

"Mereka memajukan deadline-nya?"

"Janet, aku sama sekali tidak peduli jika deadline sialan itu pun dimajukan menjadi hari ini. Yang sekarang ingin kuketahui adalah alasanmu menangis." Kalimat itu spontan terucap saat mendengar Janet lebih memikirkan pekerjaanku dibanding dirinya sendiri. Sudah selalu kukatakan bahwa aku tidak akan memedulikan apapun jika dia sedang tersakiti.

Janet terdiam dan aku tahu kalimat terakhirku salah. "Maaf kata-kataku kasar. Tapi aku benar-benar khawatir akan dirimu, kau tahu?"

Kutarik dirinya mendekat dan untungnya dia tidak menolak. Akhirnya kami berdua memilih duduk bersebelahan daripada duduk berhadapan seperti musuh. Laptop yang telah terabaikan lama sekarang kupindahkan ke atas meja kecil agar tidak mengganggu.

"Aku juga benar-benar ingin memberitahumu, Dan. Tapi aku yakin kau tidak bisa berfokus pada pekerjaan setelah kau mengetahuinya." Jelas Janet.

"Aku lebih tidak bisa bekerja jika belum tahu apa yang membuatmu sedih."

"Kalau begitu aku bisa memberitahumu hal yang lain."

"Apa?"

"Ini bukan tangis kesedihan, Dan."

~~~~~♥~~~~~

Beberapa kali bujuk rayu kukeluarkan dan Janet tetap menolak memberitahu. Dia hanya menyuruhku cepat-cepat menyelesaikan pekerjaanku.

Sampai hari Senin pun tiba, aku masih belum mendapatkan suatu jawaban. Dengan suasana dan tekanan di kantor, aku sempat melupakan misteri dari Janet untuk sementara. Lupa sebelum ada orang lain yang mengingatkan.

Satu pesan masuk dari Jack menjadi pemicunya. Dia memberiku kalimat yang sama dengan pegawai toko apotek itu, hanya saja lebih kurang ajar.

From: Jack Wilder
Selamat untukmu Daniel Callaghan Wijaya, om-om separuh abad. Kau berhasil.

To: Jack Wilder
Apa maksudmu?

From: Jack Wilder
Nanti kau tahu. Lebih baik cepat selesaikan pekerjaanmu agar kau bisa segera tahu.

To: Jack Wilder
Apa sulitnya memberitahuku sekarang?

Dan Jack tidak membalas pesanku, bahkan ditelepon pun tidak bisa. Entah handphone-nya mati atau dia yang mati. Mana aku tidak bisa menemuinya secara langsung karena siang tadi dia pergi mengawasi salah satu proyek. Ditemani oleh Janet sebagai penerjemah.

Ketika aku ingin kembali berfokus pada pekerjaan, datang lagi telepon dari seseorang yang menyebalkan.

"Apa urusanmu meneleponku?" Makiku masih kesal dengan si bule palsu itu.

"Tidak bisakah kau mengucapkan 'halo' terlebih dahulu saat orang meneleponmu, adik ipar?" Suara dari seberang sana terdengar begitu ceria... dan begitu mengejek.

"Aku tidak punya waktu untuk memberikanmu sapaan sopan. Dan jangan panggil aku adik ipar, Mori."

Walau aku sudah tidak mempunyai masalah dengan pria ini, entah kenapa aku tetap tidak menyukainya. Mungkin karena sikap Janet yang begitu sayang padanya.

"Sibuk menyelesaikan pekerjaan yang bisa membuatmu tahu akan sesuatu yang disembunyikan darimu?"

Pertanyaan itu sontak menangkap seluruh perhatianku yang tadi terbagi. Lembaran dokumen yang sedang kupegang kuletakkan sembarangan di atas meja.

"Kamu... Kamu tahu? Janet memberitahumu?"

"Tentu saja. Dia tidak pernah merahasiakan apapun padaku." Jawabannya yang diakhiri dengan tawa puas.

Sedikit rasa cemburu menyelinap ke dalam hatiku. Megapa Janet bisa-bisanya memberi tahu dua lelaki lain tentang apapun yang dia sembunyikan dariku?

Baru ingin kumatikan telepon dari Mori saat suara tawanya berubah teriakan kesakitan. Lalu suara menyebalkan Mori digantikan dengan suara lembut seorang wanita.

"Dan, tolong maafkan Mori ya. Memang sifatnya itu begitu menyebalkan."

Alena.

"Padahal aku menyuruh Mori menelepon untuk mengucapkan selamat, tapi dia malah memanas-manasimu seperti tadi."

"Tidak apa-apa Alena. Aku sudah kebal dengan sifat menyebalkan suamimu itu." Tidak kusangka akhirnya aku bisa memanggil si Mori sialan itu sebagai suami Alena. Suara Alena yang dulu memberiku debaran sekarang hanya terdengar seperti sepupu dekat.

"Kamu juga sudah tahu, Alena?"

"Baru tadi pagi Janet memberi tahu kami. Tapi tolong jangan kau merasa kesal padanya. Karena alasannya..."

Aku memotong kalimat Alena yang masih berusaha menjelaskan. "Tidak perlu kau jelaskan, Alena. Aku tahu bagaimana cara istriku mengambil keputusan, jadi aku tidak akan bisa marah padanya."

Cemburu mungkin, tapi tidak dengan marah.

Walau aku dan Alena berbicara melalui telepon, entah kenapa aku tahu dia tersenyum mendengar jawabanku.

"Tapi bisakah kau memberikanku suatu petunjuk? Tentang rahasia ini?"

"Mmm... Pokoknya alasan Mori bersikap begitu menyebalkan adalah karena dia kesal kedahuluan oleh kalian."

Seakan sedang duduk di sebelah Alena, terdengar teriakan Mori. "Aku tidak kesal!"

"Pokoknya pesan dari kami berdua adalah jangan pernah tinggalkan Janet sendirian."

Setelah Alena mengucapkan kalimat itu, teleponnya langsung terputus. Dugaanku yang mematikannya adalah Mori yang ingin mencegah Alena mempermalukannya lagi.

~~~~~♥~~~~~

Begitu sampai di rumah aku segera menghentikan langkah Janet menuju dapur dan menyuruhnya duduk di sampingku. Kunyalakan laptopku dan membuka beberapa jendela Microsoft Word dan Microsoft powerpoint lalu menyerahkannya pada Janet.

Bola matanya terlihat berjalan-jalan mengelilingi layar laptopku saat dia membacanya perlahan. "Kau sudah menyelesaikannya?" Tanya Janet dengan senyum indah mulai merekah di bibir merahnya.

"Sekarang saatnya kau memberitahuku apa yang telah kau beri tahu pada semua orang lain." Ucapku sambil tersenyum juga. Aku tidak bisa tidak tersenyum melihat binar senang dalam bola mata hitam itu.

"Kau tahu aku telah memberi tahu orang lain?"

"Tentu saja. Jack, Mori, juga Alena. Mereka semua langsung menghubungiku dan membuatku semakin mati penasaran." Kugunakan nada kesalku yang biasa pada Janet. Sengaja aku memutar tubuh membelakangi Janet untuk meyakinkan akting marahku.

"Maaf, Dan. Bukan maksudku ingin merahasiakannya. Hanya saja aku yakin kau akan terlalu gembira mengetahuinya..." Jelas Janet panik.

Saat aku masih tidak merespons, kepanikan Janet semakin menjadi. Dia bahkan menarik-narik tanganku agar aku menghadap ke arahnya. "Dan, jangan marah dong..."

"Kalau begitu katakan sekarang apa rahasiamu." Perintahku masih dengan suara sinis yang sama. Ya, sedikit balasan untuk Janet yang telah membuatku mati penasaran dua hari ini.

Pertama-tama Janet hanya terus tersenyum tanpa bisa memandangku sama sekali. Lalu dia akan menggerakkan mulutnya tanpa ada kata-kata mengalir keluar. Dan saat dia bisa berbicara dia hanya mengatakan, "Memangnya mereka bertiga tidak ada yang memberitahumu?"

"Tentu saja tidak. Jack sama seperti pegawai apotek yang hanya menyelamatiku dan mengatakan usahaku tidak sia-sia, Alena hanya memberi petunjuk bahwa aku telah mendahului mereka dan jangan pernah meninggalkanmu. Lalu darimu, aku hanya tahu itu kabar bahagia."

"Kau masih belum tahu dari petunjuk-petunjuk itu?" Tanya Janet terlihat geram.

Aku menggelengkan kepala dan Janet tampak memikirkan suatu hal. "Baiklah, bagaimana untuk petunjuk yang ini? Dalam beberapa bulan beratku akan bertambah drastis."

"Aku tidak mengerti Janet. Kenapa kau tidak memberitahuku secara langsung saja?"

"Karena begini jugalah caraku memberitahu Jack, kak Mori, juga Alena. Aku... Aku terlalu bahagia dan terlalu tidak percaya untuk mengucapkannya secara langsung." Bulir-bulir bening mulai membuat jalannya di pipi Janet saat kalimatnya berakhir. Walaupun begitu dapat kulihat bibirnya itu tersenyum sangat bahagia.

Gerak-gerik tubuh wanita mungil itu memintaku memeluknya dan langsung kukabulkan keinginannya. "Aku ingin kau segera tahu, cobalah menebak lebih keras."

Satu kecupan singkat di puncak kepala Janet sebelum aku berkata-kata lagi, "Berikan aku satu petunjuk lagi. Petunjuk terakhir dan aku janji akan bisa menebaknya."

"Ini... sesuatu yang kau inginkan dan juga aku." Kata Janet sambil memainkan jari-jari tanganku yang sedang menggengam tangannya. Air matanya terus menerus jatuh membasahi tangan kami berdua yang masih berkaitan satu sama lain.

Satu per satu petunjuk tersurat maupun tersirat dari semua orang mulai terbagi-bagi di otakku. Kata-kata, tingkah laku, bahkan nada suara mereka akhirnya berhasil membawaku pada satu kesimpulan. Mata yang tadi kupejamkan rapat sekarang terbuka untuk menatap orang yang ada dalam pelukanku. Sekilas pandanganku kabur lalu kembali normal saat aku mengerjapkan mata keras. Air mata yang sempat mengganggu sekarang keluar membasahi pipiku. Sama seperti Janet, sekarang aku mulai menangis dengan bibir dan hati yang tersenyum.

Perlahan aku mulai mengatakan analisisku tentang rahasia Janet.

"Usaha yang dimaksud pegawai toko apotek dan Jack adalah usaha kita setiap Sabtu dan Minggu malam sebelum jatuh tertidur saat subuh menjelang..."

"Maksud Alena untuk jangan pernah meninggalkanmu sendirian adalah karena kondisimu yang rentan untuk beberapa bulan ke depan..."

Aku menghela nafas panjang sebelum melanjutkan kalimatku lagi. Janet berhenti bermain dengan tanganku dan memilih hanya diam menyandar padaku. Dia tahu aku telah mengetahuinya.

"Dan Mori marah karena kita yang menikah belakangan bisa lebih dulu mendapatkannya..."

"Berat badanmu akan bertambah drastis saat sesuatu, bukan, seorang individu berkembang di dalam rahimmu..."

"Hal yang sama-sama kita inginkan adalah... suara tawa anak-anak kita menggema di seluruh penjuru rumah ini."

"Rahasiamu itu adalah... kau sekarang sedang hamil, Janet."

Janet langsung memutar tubuhnya menghadapku dan memeluk erat, seerat yang dia bisa lakukan. Dapat kudengar suara tangisnya yang semakin membesar dan tidak terkontrol.

"Maafkan aku, Dan. Dari awal kita menjadi rukun, aku sudah sering mengeceknya setiap tamu bulananku datang terlambat. Tapi semua hasilnya selalu negatif. Aku... Aku kehilangan kepercayaan diri untuk memberimu apa yang kita berdua inginkan."

Suaranya yang bergetar membuat hatiku serasa diremas. Selama ini dengan bodohnya aku terus mengungkit hal itu di depannya tanpa menyadari ketakutan yang ada dalam dirinya. Padahal aku tahu, bahwa Janet adalah orang yang selalu tersenyum di luar walau hatinya tidak.

"Jadi saat... saat akhirnya hal itu datang, aku tidak bisa langsung memberitahumu. Maafkan aku, Dan. Padahal seharusnya kau menjadi orang yang pertama tahu tentang berita ini... Maaf... Tolong jangan marah..." Tangisnya semakin pecah saat kata maaf meluncur keluar dari bibirnya.

Dalam hatinya Janet pasti merasa bersalah karena tidak bisa memberitahuku duluan tapi dia juga tidak bisa membiarkanku merasa kecewa. Janet terus menangis layaknya anak umur lima tahun yang kehilangan orang tuanya.

Aku hanya terus memeluknya seerat mungkin dan membiarkan air mataku jatuh ke puncak kepala wanita itu. "Janet, kau bodoh. Kenapa kau bisa mengira aku marah padamu saat semua keputusanmu selalu mementingkan diriku?"

~~~~~♥~~~~~

Entah berapa lama momen tangis menangis itu berlangsung. Yang jelas ketika kami berdua berhenti yang tersisa hanyalah mata bengkak, hidung memerah dan keheningan yang memenuhi udara.

Aku menyuruh Janet melepaskanku sebentar sementara aku membuatkannya makan malam sederhana. Walau rasanya biasa, tapi nasi goreng cukup dapat membuat kenyang sampai pagi tiba.

Baru beberapa suapan masuk ke dalam perut wanita itu saat dia menyuruhku mengisi perutku juga. Aku menggeleng sambil berkata, "Aku tidak lapar, Janet. Kamu yang harus mengisi perutmu saat ini."

Hanya anggukan yang dia berikan sebagai jawaban. Mungkin tenaganya sudah terkuras karena menangis keras tadi.

"Aku sangat takut kamu marah padaku, Dan." Ungkapnya saat kami berdua berbaring di tempat tidur.

Janet menceritakan bahwa yang dibelinya di apotek adalah alat pengecek kehamilan. Lalu siang setelah pergi bersama Jack dia pergi ke rumah sakit bersama Alena dan Mori. Pantas saja mereka semua bisa tahu lebih dulu dariku.

"Kau terlihat kesal saat berbicara denganku tadi. Entah dari mana rasa takut muncul, tapi itu ada dan sangat nyata." Kedua alis Janet berkerut ketika mengatakannya. Sepertinya rasa takut itu masih tersisa di dalam hatinya.

"Mungkin calon bayi kita takut papanya pergi meninggalkan dia bahkan sebelum sempat lahir." Kuelus perlahan perut Janet yang masih rata. Belum kelihatan memang, tapi di dalam sana ada suatu kehidupan yang bertumbuh setahap demi setahap.

"Yang jelas aku ingin ini terakhir kau merahasiakan sesuatu. Memang seterbuka apapun kita kepada pasangan, ada hal yang tidak dikatakan untuk menjauhkan mereka dari sakit. Tapi bukan itu fungsi pasangan sebenarnya, Janet. Kepada pasanganmu lah kau pertama membagi kekecewaan terbesarmu, bukan menjadi yang terakhir mengetahuinya."

Janet tidak menjawabku dan dapat kudengar suara nafasnya yang sudah mulai teratur. Sepertinya dia tidak kuasa menahan kantuknya sehingga jatuh tertidur di tengah-tengah pembicaraan. Selimut yang baru menutupi kakinya sekarang kutarik sampai menutupi seluruh tubuhnya.

Dengan hati-hati aku menempatkan diriku di sebelahnya. Tangannya yang menyadari posisiku di dekatnya langsung mencari tempat yang nyaman untuk memelukku.

Kelopak mataku yang terasa berat perlahan kututup, membuat cahaya dari lampu jalan menjadi terakhir yang dilihat mataku.

Sebelum terlelap otakku masih memikirkan sesuatu. Lalu aku berbisik sekali dua kali sebelum kesadaranku mulai menghilang, walau yang dibisikkan mungkin tidak mendengarnya.

"Ternyata aku tetap tidak sanggup marah padamu walau faktanya aku orang terakhir yang mengetahui keberadaan bayi kita."

~~~~~♥~~~~~

NEW YEAR EXTRA PART

"Dan, katanya kita harus memberi pesan akhir tahun untuk orang-orang yang membuat kita menjadi pasangan paling populer yang dibuat penulis."
"Sekarang? Ya ampun orang itu..." *menghela nafas kesal*
"Percuma marah sama dia. Memang dia itu selalu menyelesaikan apapun pekerjaannya di hari terakhir." *duduk di sebelah suaminya*
"Tapi kita juga yang jadinya susah, Janet sayang."
"Kalau begitu katakan apa saja yang kau katakan padaku dulu."
"Baiklah... Siapapun yang membaca, mulailah tahun barumu dengan awal yang baru. Membuat awal yang baru itu memang sulit, tapi kau pasti akan bahagia di tengah dan akhirnya." *tersenyum mesum ke sebelahnya*
"Terlalu bahagia sampai tiap malam nggak mau tidur." *menyikut perut kekar itu*
"Kita berdua selalu terlalu bahagia, Janet." *mematikan lampu*

HAPPY NEW YEAR FOR ALL OF YOU!!!

Dan... untuk yang merasa menjawab pertanyaanku dulu tentang sifat favorit Janet dan Daniel, makasih ya. sesuai janji akan kupilih dua komentar yang menurutku sama dengan pikiranku

aku suka Janet karena... dia berdedikasi tinggi(?) dia itu pejuang tangguh untuk mendapatkan hati Dan(?) comment by elenharits

dan satu lagi...

...kalo dari Dan suka rasa sayang yang ingin dia jaga dan selalu sama Janet... comment by OppaOva

Continue Reading

You'll Also Like

6.9M 47.5K 60
harap bijak dalam membaca, yang masih bocil harap menjauh. Kalau masih nekat baca dosa ditanggung sendiri. satu judul cerita Mimin usahakan paling b...
627K 56K 54
⚠️ BL LOKAL Awalnya Doni cuma mau beli kulkas diskonan dari Bu Wati, tapi siapa sangka dia malah ketemu sama Arya, si Mas Ganteng yang kalau ngomong...
549K 4.3K 24
GUYSSS VOTE DONGG 😭😭😭 cerita ini versi cool boy yang panjang ya guysss Be wise lapak 21+ Gavin Wijaya adalah seseorang yang sangat tertutup, ora...
415K 9.7K 61
bagaimana kalau hidup kamu yang awal nya bahagia dengan pekerjaan itu, malahan menjadi petaka untuk kamu sendiri. Pernikahan paksa akibat sebuah jeba...