Sew The Heartmade (akan terbi...

By teru_teru_bozu

435K 44.7K 3.1K

JLEB! Kamu beneran yakin nih, akan menjalin hubungan serius dengan pria kayak Berlyn? Bukannya dia orang ane... More

prolog
One: All Hail The Singles!
Two: The Story Behind Us
Three: The Things That You Want To Say
Four: The Silent Question
Five: Bitter Candy
Six: Madame Boss
Seven: Unseen Distance
Eight: Reality Sucks!
Ten: Couple Layout Design (a)
Ten: Couple Layout Design (b)
Eleven: Verified Caller ID
Twelve: In The Name of Kindness
Thirteen: Psycho War
Fourteen: Valent
Fifteen: Cold Anger
Sixteen: It's Just That ...
Orin's World
Seventeen: Two Path
Eighteen: Count Me! (a)
Eighteen: Count Me! (b)
Nineteen: Sweet Revenge (a)
sweet revenge (b)
add. Tough Love in Memory
sepik-sepik
OPEN SPECIAL ORDER
Novella : You and I
special part : the reason why

Nine: Side Matters in The Bedroom

8.9K 1.6K 101
By teru_teru_bozu

ngereceh dulu yuk ...


---

"Cowoknya pergi manyun, cowoknya di rumah manyun. Hubungan kamu nggak jelas banget sih, Rin?" komentar Luna ketika Sabtu itu Orin muncul di galeri.

Hari Sabtu memang hari penuh kegalauan bagi Orin. Kalau dulu dia menolak menghabiskannya bersama Berlyn, karena merasa membutuhkan waktu untuk dirinya sendiri, sekarang kondisi telah berbeda. Setelah hubungan mereka semakin dekat, Orin tidak yakin lagi apakah benar dirinya membutuhkan waktu lebih banyak untuk sendiri.

"Namanya pasangan baru, wajar dong kalau maunya nempel melulu. Kamu aja yang aneh, maunya pisah-pisahan," ledek Luna. "Jadi nih kamu tetap jaim nggak mau nanya, itu cowokmu ngapain aja?" tanya Luna sambil memberikan rincian peserta workshop-nya minggu ini.

"Ya gimana lah aku mau nanya, Na. Kalau aku udah pernah ngomong nggak mau diganggu kalau hari Sabtu. Waktu itu aku memang masih nggak nyaman banget kalau sering-sering bersama Berlyn. Jadi kesimpulanku Berlyn juga pasti merasakan hal yang sama."

"Maksudnya?" tanya Luna terkejut oleh pemikiran Orin.

"Kalau aku aja risih karena selalu berdua, Berlyn juga pasti merasakan hal yang sama."

"Kata siapa?" tanya Luna sambil menggeleng-geleng. "Kamu tuh seneng banget sih menyimpulkan sesuatu pakai standar sendiri. Berlyn beda kali sama kamu, Rin. Sekarang kamu serba salah sendiri kan? Kamu galau karena kepo, kalau Sabtu Berlyn ngapain aja, tapi terlalu jaim buat nanya? Gitu?"

Orin nyengir. "Kok kamu tahu banget isi hatiku sih, Na?"

Luna mencibir. Berteman sejak zaman masih mahasiswa, membuatnya hafal luar dalam sifat Orin. Dan gemas luar biasa karenanya. "Kalian cewek Pisces gini amat sih? Bisa nggak kalian kurang-kurangin dramanya?" sindir Luna kesal.

"Aku nggak percaya zodiak!" protes Orin cepat. Dia memang paling tidak bisa mengerti alasan Luna yang masih mempercayai ilmu perbintangan itu. "Tahu nggak sih Na, konyolnya ramalan perbintangan?"

"Emang siapa bilang aku percaya ramalan zodiak?"

"Kamu nyebutin aku sebagai cewek Pisces, seolah kamu udah memutuskan kalau kami para Pisces penuh drama?"

"Itu bukan ramalan zodiak. Ramalan zodiak itu emang bullshit, mau yang bulanan, mingguan, harian, apaan itu. Yang bilang kalau kamu Pisces hari ini bakal nemu duit di kolong jembatan, atau bakal ketimpa hujan, padahal jelas-jelas musim kemarau, itu emang bohong."

"Lalu?"

"Yang aku katakan ini tentang karakter zodiak secara umum, Rin."

"Tetapi karakter berdasarkan zodiak itu terlalu menggeneralisir deh, jadinya sok tahu."

"Ya emang kan karakter itu ditentukan berdasarkan frekuensi kejadian paling sering, Orin. Menarik kesimpulan perilaku manusia berdasarkan kesamaan bulan lahir. Mungkin hampir sama lah seperti melakukan riset untuk menentukan perilaku pembeli berdasarkan parameter yang sudah ditetapkan."

Orin memandang Luna, tertarik oleh hipotesis yang disampaikan sahabatnya ini. "Lalu kenapa harus zodiak? Kan sudah ada tes psikologi?"

"Kalau tes psikologi boleh, kenapa zodiak nggak boleh?" balas Luna. "Kalau MBTI –Myers-Briggs Type Indicator—boleh mengelompokkan manusia dalam sebutan INTJ kek, ESTJ, atau apa gitu, kenapa zodiak nggak boleh melabeli orang dengan sebutan Leo, Pisces, Aries, dan lain-lain?"

"MBTI kan tesnya dilakukan secara ilmiah, Na. Sedangkan zodiak, entah lah. Aku nggak berani bilang karena emang nggak tahu."

"Tanpa pengujian ilmiah, bukan berarti nggak boleh, Rin. Buat seru-seruan aja kok. Kalau bener ya syukur, nggak ya no problem."

"Jadi beneran kalau kayak aku ini, Pisces, emang penuh drama?"

"Yee!" Luna membelalak sebal. "Nggak ngerasa ya?"

Orin tertawa terbahak-bahak. Sejauh ini memang hanya Luna sahabat yang dia percaya untuk menunjukkan sisi paling rapuh dan paling buruk dari dirinya. Karena dia yakin, Luna akan menerimanya apa adanya. Segala omelan yang selama ini diucapkan oleh gadis itu, adalah karena Luna benar-benar tidak ingin Orin celaka. Memang menyebalkan sih. Dan kadang Orin masih tersinggung juga dengan omongan Luna yang to the point. Tetapi hal itu tidak membuat persahabatan mereka terganggu.

Luna berjalan ke bagian depan galeri. Membiarkan Orin kembali dengan aktivitasnya. Tempat bisnisnya ini memang sekilas tidak terlihat menjanjikan. Orang yang tidak tahu akan mempertanyakan, apa untungnya berjualan kain-kain berharga mahal ini? Juga aneka perlengkapan jahit seperti benang dan jarum, gunting, penggaris, serta berbagai pernik-pernik seperti aneka kancing dan peniti.

Adalah Orin, gadis pendiam yang dia kenal saat menjadi mahasiswa baru di sebuah universitas negeri di kota Malang. Gadis itu membuatnya heran karena di zaman seperti ini masih ada orang yang hobi menyulam, menjahit, dan segala kegiatan yang berhubungan dengan jarum dan kain. Orin mengingatkan Luna akan ibunya yang memiliki hobi yang sama. Bedanya, ibunya bergabung dalam sebuah komunitas yang berisi ibu-ibu lainnya dengan hobi serupa. Sedangkan Orin sendirian, berteman aneka tutorial di youtube, atau bergabung dalam komunitas crafter sejenis yang berasal dari luar negeri.

Ketika Orin pindah dan bekerja di Jakarta, barulah Luna terpikir untuk membuka galeri ini. Semula pelanggan galeri ini memang baru sebatas teman-teman ibunya. Dan Orin hanya sesekali menitipkan karyanya untuk dijual di tempat ini. Tetapi sekarang tempat ini semakin besar dan dikenal luas. Apalagi sejak Valent, abangnya, ikut membantu mengurus dan berperan penting dalam pengadaan barang-barang dagangan agar menjadi lebih beragam. Juga kehadiran Orin yang secara rutin membuka kelas tatap muka untuk membuat produk-produk berbahan dasar kain ini.

Luna menebarkan pandangan dengan puas pada deretan kain aneka warna yang ditata penuh gaya ini. Tempat ini memang dirancang agar instagrammable, sehingga menjadi favorit berbagai komunitas untuk mengadakan acara di sini. Apalagi koleksinya juga sangat lengkap untuk memanjakan para pecinta kain unik yang diimpor langsung dari negara-negara asalnya itu.

Suara mobil yang berhenti di tempat parkir menarik perhatian Luna. Apalagi sosok pria yang melangkah keluar dari Odyssey hitam itu sangat familier baginya. Berlyn.

"Halo, selamat siang sahabatnya Orin," sapa Berlyn dengan senyum cerah di wajahnya yang tampan.

Luna menggeleng-geleng tak habis pikir. Kenapa Orin mau menjalin hubungan dengan pria slebor seperti Berlyn ini?

"Selamat siang. Akhirnya lo nongol juga," sahut Luna sambil menatap Berlyn tajam.

"Apakah kehadiran gue begitu diharapkan?" balas Berlyn dengan nada bercanda.

"Tentu saja!" jawab Luna cepat dan serius. "Harusnya lo nggak usah nanya lagi!"

Berlyn tertegun. "Bukannya Orin selalu sibuk kalau akhir pekan? Kelasnya full dari pagi sampai sore, kan? Ini juga gue gambling buat datang kemari lho. Kali aja dia nggak keberatan direcokin."

Betapa ingin Luna menjewer telinga pasangan dodol ini. "Tunggu sebentar. Gue pastiin lo bisa seret Orin dari sini sekarang. Bete gue lihat dia galau kayak gitu."

"Galau? Karena siapa? Gue?"

"Dih! Masih nanya lagi! Siapa lagi?"

Berlyn tertegun sejenak. Lalu tertawa lebar. "Thank you ya," katanya tulus.

Luna mengangguk singkat dan segera bergegas menuju ke tempat Orin berada. "Rin!"

"Ya?" Orin menoleh, melihat Luna menghampirinya dengan tergesa. "Ada apa?"

"Tinggalin aja gih, mending kamu pulang sekarang. Berlyn undah jemput kamu tuh."

"Tapi Na ..."

"Nggak usah tapi-tapian! Kalian pacaran aja, biar aku hendel kerjaannya."

"Nggak bisa gitu dong. Aku nggak janjian apa pun sama Berlyn."

"Halah, orang pacaran mah nggak usah pakai janjian. Udah kalian keluar aja dari sini."

"Tapi kelas hari ini? Pesertanya udah pada bayar lho, Na."

"Itu urusanku. Udah, kamu keluar aja. Aku yang akan hendel semua."

Orin masih akan membantah, ketika Berlyn tahu-tahu sudah muncul di ruangan itu.

"Tuh, Rin. Udah gih!" Luna kalau sudah ada maunya memang susah dilawan. "Pak Berlyn, bisa minta tolong amankan temen saya ini? Kalau perlu, saya akan ngiket dan lemparin dia ke jok mobil."

"Dasar gila!" omel Orin.

"Jangan kebanyakan alasan. Cepet pergi sebelum aku berubah pikiran!

Orin mengamati sahabatnya itu sebelum akhirnya mengangguk. "Oke, deh kalau itu maumu. Tapi ntar tolong bilang sama Bu Eka ya, setting tension benang di mesinnya kekencengan. Jadinya hasil quilting dia nggak konsisten. Beberapa bagian berkerut."

"Iya..."

"Kalau Bu Riana, kemarin udah aku benerin tugasnya. Aku taruh di laci paling atas, barengan sama punya kelas sore ini. Udah aku kasih catatan kok."

"Udah, ntar kalau ada yang nanya, aku kontak kamu. Sekarang kamu pergi dulu!"

Dengan Luna yang susah dibantah dan Berlyn yang sangat persuasif, akhirnya Orin mengalah.

"Nanti kita bakal bahas perkara hari Sabtu ini," kata Berlyn. "Tapi nanti. Sekarang ada hal yang lebih penting untuk dilakukan," kata Berlyn ketika Orin sudah duduk di sebelahnya di dalam mobil.

Orin mengangguk. Tidak ingin membantah perkataan pria yang berada di belakang kemudi ini.

Siang itu akhirnya mereka meweujudkan rencana yang sempat tertunda beberapa lama. Melengkapi rumah Berlyn. Orin tidak tahu, apakah dia memang suka menata interior, ataukah karena ini rumah Berlyn yang membuatnya bersemangat. Lagipula, siapa sih yang akan menyangka kalau prosesnya bisa seseru ini?

"Dimulai dari kamar kamu aja ya, Bee," kata Orin sambil ngeloyor menuju ke ruangan yang berada di sebelah kiri bangunan.

Satu-satunya nilai tambah rumah ini di mata Orin adalah posisi tempat tidur utama yang menghadap langsung pada taman, bukan garasi. Ukurannya juga cukup luas untuk ukuran tipe bangunan tempat tinggal Berlyn ini.

"Kenapa? Nggak bisa langsung semua gitu? Barengan? Kita pergi aja ke toko sekarang. Beli sofa baru, tempat tidur, lemari, karpet, rak..."

"Bee!" Orin membelalak ngeri.

"Kenapa? Bisa kan?" tanya Berlyn dengan ekspresi tanpa dosa.

"Udah deh, kamu nurut aku apa nggak? Kalau nggak, mending aku nggak ikutan deh."

"Ups! Sorry. Apalah artinya ideku kalau sang nyonya rumah sudah bertitah!"

Dengan melemparkan sorot mata tajam tak mau dibantah, Orin mengeluarkan tablet dari tasnya. Tak perlu waktu lama jari-jari Orin sudah bergerak lincah menggoyangkan ujung stylus untuk membuat sketsa dasar ruangan ini.

Orin memang tidak ingin menyakiti diri sendiri dengan bertanya kenapa Berlyn begitu tidak becusnya mengatur tempat tinggal. Karena pasti sebelumnya Berlyn bergantung sepenuhnya pada keputusan Irma untuk merancang hunian mereka, saat mereka masih berumah tangga.

"Punya cewek sarjana teknik emang beda," kata Berlyn menyusul Orin duduk di tepi tempat tidur. Pria itu mengamati dengan saksama hasil coretan Orin.

"Jadi ntar segala barang seperti tempat tidur dan perabot lain ini harus keluar, ya?"

"Kecuali kamu mau pakai barang-barang bekas orang ini sih, Bee. No problem kalau mau di-keep," jawab Orin sambil mengamati perabotan seadanya yang dipakai pria itu dalam kondisi darurat ini.

Berlyn menggeleng. "Aku nurut sama kamu aja, Rin."

"Aku ngobrol sama Pak Hus dan istrinya beberapa hari lalu. Mereka sudah punya rencana terhadap barang-barang milik penghuni lama ini."

"Oke," Berlyn menyeringai lebar. "Pak Hus emang paling tahu dan paham who is the real boss in this family."

"Siapa?" goda Orin pura-pura tidak paham.

"Gadis paling manis yang ada di ruangan ini, dong."

Orin menyipitkan mata. "Awas, jangan ngegombal. Nyamuk betina yang lagi terbang bisa hamil karena kege-eran denger omongan kamu, Bee."

"Ah, kamu bikin aku patah hati. Semua rayuanku nggak mempan sama kamu," keluh Berlyn. "Jadi ntar kalau balik ke rumah sendiri, bisa dibawa lagi dong semua perabotnya."

"Iya," jawab Orin. Dan cepat-cepat menutup pikirannya yang akan mengembara tak keruan pada rumah Berlyn yang dibeli untuk Irma. Yang sekarang sedang disewakan. Lupain! Anggap aja kamu nggak tahu! Perintah Orin pada otaknya.

"Kamar ini kan ukurannya empat setengah meter kali empat meter. Cukup luas. Pakai tempat tidur super king juga oke kok, Bee. Kayak gini ntar komposisinya," Orin membuat lay out kamar itu. Sebagai seorang sarjana teknik yang sudah terbiasa menerjemahkan bangunan dalam bentuk gambar, tidak sulit bagi gadis itu untuk membuat sketsa terskala meskipun tanpa penggaris.

"Nah, kalau nanti bed-nya ditaruh sini, masih ada space buat nakas di sini. Dan lemari di sebelah sini. Cukup kok untuk lemari tiga pintu. Coba kita browsing ya, lemari seperti apa yang cocok untuk ukurannya."

Berdua mereka melihat-lihat katalog daring dari berbagai merk furniture yang ada di internet. Soal selera, Berlyn memang percaya sepenuhnya kepada Orin.

"Kalau tempat tidurnya dibalik gimana?" tanya Berlyn kembali mengamati sketsa di layar tablet milik Orin.

"Dibalik? Ngapain, Bee? Kasur di bawah dan tempat tidur di atas gitu?" tanya Orin iseng.

Berlyn menyambar kesempatan itu untuk menggoda Orin. "Ngapain kasurnya yang di bawah, Rin? Mending kamu aja yang di bawah, dan aku yang di atasmu. Gimana?"

Orin yang mencibir. "Kalau kamu bermaksud membuatku terintimidasi dengan omongan mesum gitu, sorry ya, Pak! Nggak mempan! Cari cara lain yang lebih kreatif!"

Berlyn mencolek pipi Orin dengan gemas. "Maksudku itu gini, Orin Sayang. Kalau posisi kepala tempat tidur diputar 180 derajat, bisa kan?"

"Kenapa harus diputar sih? Sama aja kan? Ada masalah?"

"Bukan masalah sih. Cuma mauku tuh jendela ada di sebelah kanan. Biar kalau bangun tidur aku bisa melihat ke jendela."

"Mau jendela di kanan atau di kiri, nggak ada pengaruhnya juga kan, Bee? Kamu tinggal ganti posisi miring aja."

"Oh, tidak bisa!"

"Kok nggak bisa? Emang kenapa kalau jendela ada di kiri? Kamu nggak bisa miring ke kiri?"

"Masalahnya gini lho, Rin. Kan kamu ntar tidur di sebelah kanan, dan aku di sebelah kiri. Kalau aku peluk kamu dari belakang, otomatis kan aku miring ke kanan. Jadi posisi jendela harus di kanan."

Orin tertegun. Berusaha mencerna penjelasan Berlyn. Begitu sadar apa maksudnya, wajahnya memerah. "Sialan!" umpatnya. "Untung tablet ini mahal, Bee. Jadi sayang kalau buat nabokin muka kamu," omelnya antara kesal dan tersipu.

Note:

...

Kepada yang tercinta

Ingin ku mengeluh

Semua resah di diri

Mencari jawab pasti

...

So, how?

Episode kali ini memang receh banget hehehe...

Continue Reading

You'll Also Like

529 73 4
Yang orang tahu, Sailo Dewangga menjadi alasan Resyara terus menjomlo selama 7 tahun. Kata lainnya gamon. Sementara skandal salah satu penulis calon...
107K 12.8K 31
Sebab langit terpekat adalah beberapa saat sebelum subuh. Ketika matahari belum menyapa, tetapi bintang dan bulan sudah pamit undur diri.
137K 793 66
Beberapa penulis cerita wattpad yang aku suka dan cerita yang menarik untuk dibaca
944K 99.5K 41
Niar - Gusniar Hayati, 30 tahun, Direktur Operasional PT Saka Buana Patria Bagaimana mungkin seorang Keenan Cakra salah dalam membuat keputusan? Kala...