• 20:00 •
Sosok perempuan memakai hoodie dengan wajah tertutup tudung, segera duduk sampai menimbulkan suara bising. Untungnya musik tenang yang diputar membuat pengunjung tak terlalu menghiraukannya.
Hwang, cowok yang sedang memejamkan mata sambil bersender di kursi langsung berceletuk, "Berisik lo. Bisa ga santai aja?"
"Maaf, gue deg-degan banget soalnya," jawab perempuan bertudung itu.
Hwang menghela. "Lagian, kenapa sih harus ketemuan di kafe ini segala? Kita kan masih bisaㅡ"
"Gak. Gue gamau orang jadi berpikiran kita itu sodara kembar, bahkan terlahir di keluarga aneh. Papa sama mama juga udah ngelarang kita buat sebar identitas kan?"
Perempuan itu membuka tudungnya, tampaklah wajah rupawannya. "Apalagi, kalo orang-orang tau kalo papa sama mama udah cerai. Marga kita juga udah diganti paksa. Syukur-syukur kita masih disekolahin di sekolah yang sama."
Hwang memanggut-manggut. "Iya... gue ga tau lagi kalo orang-orang tau. Ah, tapi intinya, lo jangan sedih ya, my little Kim?"
"Hah?" Kim mengangkat kepala, menatap lawan bicaranya. Wajahnya terlihat terkejut bukan main. Sudah lama sekali Hwang tidak memanggilnya dengan panggilan kesayangan.
"Gue sayang lo. Meski di sekolah status kita cuma 'sahabat', tapi gak apa-apa kan? Hati kita tetep nyatu kok, layaknya saudara kembar lain."
Kim kembali menunduk. Tangannya meremat ujung hoodie kuat-kuat untuk menahan bulir-bulir bening di ujung mata tidak menetes. Ia tak mau membuat Hwang khawatir, apalagi sedih. Ia harus kuat layaknya Kim yang ada di sekolah. Ya, harus begitu.
"Dua puding cokelat pesanan dari Saudara Hwang?"
Hwang dan Kim kompak menoleh.
"Ah iya." Hwang menarik dua piring puding cokelat ke hadapan mereka. "Ini puding kesukaan lo, kan? Ah gak bakal salah sih. Soalnya waktu masih SD gue inget banget lo suka berlepotan sama saus cokelat dari puding."
Hwang menyengir seperti biasa. Kim yang memandangnya sampai terkesiap. Selain Hwang yang ingat kenangannya, Kim juga... ingat senyuman Hwang yang selalu ditunjukkan cowok itu ketika keluarga mereka masih utuh.
Bulir itu pada akhirnya tetap jatuh dan lama-lama menjadi aliran kecil di pelupuk mata sampai dagu. Kim terisak keras, membuat pengunjung lain kini benar-benar menatapnya aneh. Tapi Kim tak peduli. Pikirannya hanya sempat memutar semua kenangan Kim dan Hwang kecil dulu, yang kini sudah kandas tak bersisa.
"Hwang... kitaㅡkita nanti jajan cilor habis ini, ya?" Ia memaksa kedua sudut bibirnya naik, membuat senyuman semirip mungkin dengan senyuman saudara kembarnya.
***
"Eh anjir lo, kenapa tas gue lo buang!?" Jeno emosi, melihat tas ransel biru dongkernya sudah tergeletak di lantai, sedangkan di atas kursinya sudah ada Heejin yang terduduk manis.
"Gak tau anjir ini cewek ngebet banget mau duduk sama gue!" Jaemin membalas, ikut kesal dengan keberadaan Heejin.
"Eh-eh ini berdua ngomongnya kasar banget." Heejin melerai agar acara memberi cacian padanya berhenti.
"Sok suci lo."
"Iya, padahal dalemnya pasti busuk."
"Eh santuy dong, kenapa jadi pada ngatain gue gini, hehe. Gue cuma mau duduk di sini sehari aja kok. Gue mau sama Jaemin dulu. Jeno, lo sama Siyeon dulu ya? Di tempat duduk gue," pinta cewek itu. Juga, ia tersenyum manis untuk tambahan.
Wajah Jeno memerah. Bukan, bukan karena ia marah harus duduk di tempat Heejin, melainkan karena dirinya malu.
Siyeon adalah gebetannya sejak hari pertama masuk sekolah, tapi tak pernah di-notice. Meski begitu, Jeno juga bukanlah tipe cowok terang-terangan yang bisa begitu saja mendekati cewek seperti Siyeon.
"Emm... oke." Jeno pergi sambil membawa tasnya. Ia duduk di paling belakang, tepatnya hanya berbeda empat bangku dari miliknya.
Tak sengaja, tatapannya bertemu dengan Kim yang duduk di depan. Lalu, dengan secepat kilat Kim beralih pada Hwang seakan tak tahu apa-apa. Jeno juga hanya diam, kegugupannya tak mampu membuat ia memedulikan Kim.
"Heh Jeno! Dasar pengkhianat!" Jaemin berteriak marah. Bisa-bisanya Jeno mau merelakannya bersama dengan Siyeon dan memilih meninggalkannya dengan Heejin. "Dan lo, jangan jejelin gue sama info palsu!"
Heejin diam. Ia tak tahu mau bicara apalagi. Bukannya omongan Jaemin dianggap benar olehnya, tapi ia memang sedang memikirkan kalimat yang pas untuk memancing Jaemin kembali.
"Jeno, lo udah ngerjain tugas minggu lalu?" tanya Siyeon di belakang sana.
"Hah, yang mana deh?"
"Itu yang dari Bu Yoona, Matematika lima puluh soal."
"Oh yang itu, YA ANJIR GUE BELOM! Siyeon, lo... udah kan? Please, gue belom...."
"HAH, ADA TUGAS YEON?!" Jaemin yang tak sengaja mendengar teriakan panik Jeno langsung ikut bertanya.
"Iya, loh kalian belom ngerjain?"
Langsung saja, hampir semua dari penghuni kelas panik. Pasalnya Bu Yoona, guru itu tak pernah membahas tugas itu lagi setelah satu minggu berlalu. Alhasil banyak anak-anak yang lupa mengerjakan. Padahal di jam ketiga nanti, Bu Yoona akan hadir kembali untuk menagih tugas yang diberikan.
"Siyeon, gue boleh minta jawaban lo juga gak?" Takut-takut Jaemin meminta. Ya, gimana enggak takut kalau yang nge-gebet-in ada di sebelah cewek itu?
"Gak ya anjir," balas Jeno. Tuh kan.
"Duhh gue ga bisa kalo dadakan gini," keluh Jaemin. "Padahal emteka gue selalu bagus niainya. Masa harus sekarang nilai gue jelek?"
"Liat punya gue aja kali." Dengan hati tulus, Heejin rela menawarkan jawaban tugas yang sudah dikerjakannya dari kemarin-kemarin hari disontek oleh sosok yang selalu mencacinya.
Jaemin yang ragu, memicingkan matanya jadi mirip dengan mata Jeno. "Lo serius?"
"Iya."
"OKEE TERIMA KASIH JEON HEEJIN YANG MANIS!"
Dengan serta-merta Jaemin mencomot buku tugas di dalam tasnya dan juga milik Heejin yang disodorkan langsung oleh sang empunya.
"Eit tapi ga gratis ya." Tangan cewek itu mengangkat tinggi-tinggi buku tugasnya sebelum diambil oleh Jaemin.
Bahu Jaemin yang semula naik tegak langsung melemas. Kecewa. "Yahh tapi gue ga punya uang lebih Jin," alasannya.
"Tenang aja. Gak pake uang kok, lo tinggal dengerin omongan gueㅡheh yang serius tapi!" Heejin tiba-tiba berteriak, karena buku tugasnya langsung dicomot kembali sebelum omongannua selesai.
"Iya-iya bawel."
Suasana jadi hening. Beruntungnya, selama menyalin jawaban, Heejin tak mengoceh macam-macam. Cewek itu hanya bergantian menatap duo Hyunjin, Jaemin, dan jam dinding. Entahlah apa maksudnya.
Jam sudah menunjukkan pukul tujuh kurang lima belas menit dan soal yang disalin Jaemin bersisa dua puluh dua soal lagi.
Dan ketika Heejin mengintip kembali buku tugas Jaemin, kini sudah bersisa tujuh soal lagi. Alis Heejin terangkat, bibirnya sedikit maju. "Hm, hebat juga ya lo."
"Selesai!"
Waktu masih tersisa dua menit lagi dan Jaemin sudah selesai terlebih dahulu. Cowok itu kini sudah bisa menghela napas lega.
"Duh~ makasih ya, Jin. Gue jadi tinggal rebahan sekarang."
Heejin tertawa. "Ya... sama-sama."
Heejin kembali melihat Jaemin. Sekarang ia menatap sepasang mata indah Jaemin yang terarah pada pemandangan di luar jendela.
"Lo ga liat itu?"
Jaemin menatap kepala Heejin yang berada di atas kepalanya, tepatnya memandang mata Heejin yang terarah pada peti kemas itu.
"Peti kemas gosong itu? Lo kenapa? Gak ada apa-apa di sana." Selanjutnya, Jaemin malah tertawa miris, dia jadi teringat awal mula bertemunya ia dan Jeno dengan duo Hyunjin.
"Kalo emang gak ada apa-apa, kenapa Kim sama Hwang selalu ketakutan tiap ngeliat ke arah sana? Masa iya gak ada sesuatu?"
Seperti yang kalian tebak, Heejin mulai memancing Jaemin kembali. Kini dengan suara yang lebih dipelankan agar sepasang cewek-cowok itu tidak ikut mendengar.
"Nih ya, gue tes." Cewek berwajah imut itu menoleh pada Kim dan Hwang yang sedang mengobrol. "KIM, HWANG, DI SANA ADA ORANG TUA KALIAN!"
Sontak saja, Kim, Hwang, Jaemin, dan bahkan seisi kelas terkejut. Kim dan Hwang juga segera menoleh ke tempat yang ditunjuk Jaemin, tepatnya pada peti kemas hangus itu.
Satu detik,
dua detik,
dan tigaㅡ
"AAARGHH!"
TENG!
Jeritan keduanya terdengar melengking, bersamaan dengan suara bel tanda masuk kelas yang tepat saat itu juga berbunyi.
Jaemin mengangkat kepala. Terkesiap.
"See? Lo sekarang sadar kan, mereka takut liat ke sana karna liat sesuatu?"