A Home Without Walls

By pratiwikim

6.3K 786 1.3K

[ON GOING] Menurut pemikiran dangkal Jinan, ia dapat menyimpulkan bahwasannya Kim Taehyung itu serupa dengan... More

prologue : swallowed in the sea
a. through the dusk
c. no sound without silent
d. for the first time
e. broken arrow
f. equlibrium, exit wounds
g. warning sign
h. up in flame
i. splintered

b. fall for anything

578 96 200
By pratiwikim

Tolak ukur kecantikan seorang wanita menurut Min Yoongi tidak harus selalu berpusat pada hal-hal seperti wajah mulus tanpa jerawat, kulit putih bersih, dan helai rambut yang lebat. Bagi lelaki Min itu, kecantikan bisa berasal dari berbagai macam aspek. Bisa dari tingkah lakunya, tutur bahasanya, bahkan cara memandangnya kepada seseorang.

Beberapa tahun yang lalu, Yoongi pernah memiliki seorang kekasih-well, sebenarnya ia juga ragu apakah itu bisa disebut kekasih atau bukan, sebab Yoongi tidak pernah mencintainya. Berlandaskan rasa kasihan sekaligus keinginan untuk mencicipi sesuatu yang berbeda, pun ia menerima. Sosok tersebut memiliki perangai yang manis, agak manja dan sedikit penuntut. Namun, setelah hampir empat tahun menjalin kasih, Yoongi sadar bahwa selama ini ia dimanipulasi.

Sosok itu mengincar sesuatu terhadap dirinya.

Tanpa berpikir dua kali, Yoongi mengakhiri hubungan tersebut, tak menghiraukan raungan penuh kesakitan yang menggema melalui panggilan telepon. Mantan kekasihnya itu begitu nekat, berani menjejakkan kaki di pekarangan rumah lantas bersujud layaknya pengemis. Akan tetapi tetap, Yoongi sama sekali tidak peduli, hatinya telah mati atau mungkin tak berfungsi lagi. Yoongi berlalu dari sana, bergelung dalam selimut sementara sosok tersebut nyaris mati kedinginan akibat badai yang bersambut.

Menatap lekat sosok yang berjalan bersisian dengannya, Yoongi mengeratkan genggaman. "Sakitnya benar-benar parah, ya?" Dia bertanya dengan nada kelewat cemas, memerhatikan detail wajah Jinan yang telah berubah sepucat lembar kertas. Gadis tersebut mengernyit, lantas mengangguk sembari menahan nyeri yang melanda perut. Yoongi kian memercepat langkah, menuntun Jinan yang berjalan tertatih. "Mau kugendong atau bagaimana? Kamar kita ada di lantai dua."

Jinan menggeleng lemah. "Tidak usah, Yoong. Aku jalan saja."

Tampak ada sirat ketidaksetujuan di sana. Yoongi menghela napas pendek, memilih untuk menurut sembari menarik koper berukuran kecil di salah satu tangan yang bebas. Sesaat, Yoongi mengunci rapat mulutnya-tidak ingin berceloteh sebab ia tahu benar bahwa semua ini adalah kesalahannya; mutlak. Jika saja dirinya tidak memaksa Jinan untuk pergi ke puncak bukit guna melihat lautan bintang yang gemerlap, barangkali gadis itu akan baik-baik saja.

Harum citrus menyeruak tatkala pintu kayu berpoles pelitur itu tersingkap, menampilkan fasilitas sederhana yang terkesan nyaman untuk dipakai selama satu malam. Yoongi menempatkan Jinan di tepi ranjang, membantunya melepas sepatu dan kaos kaki merah jambu yang membungkus kedua kaki mungilnya. Meski lelah menggelayut tubuh, Yoongi tetap menerbitkan seulas senyum, memberi pijatan lembut di bagian tumit si gadis sebagai permohonan maaf atas kecerobohannya.

"Astaga, jangan berlebihan, Yoong." Jinan tertawa lirih, memandang sayu figur lelaki yang tengah berkutat dengan betisnya. "Aku hanya kram perut, dan itu hal yang wajar jika tamu bulananku datang."

Jatuh terduduk dengan tangan sebagai penyangga, Yoongi menghela napas panjang, coba meluruhkan penat setelah seharian mengemudi dalam jarak tempuh yang cukup jauh. "Aku benar-benar khawatir, Ji. Aku tidak pernah melihat hal seperti ini sebelumnya." Iris hazelnya berdenyar gelisah, seolah memberitahu Jinan bahwa ia panik setengah mati. "Jujur, kau terlihat seperti orang yang sekarat."

Ah, benarkah? Tapi, nyeri yang datang saat hari pertama menstruasi memang semengerikan itu. Bahkan Jinan pernah mendengar bahwa ada seorang wanita yang harus dilarikan ke rumah sakit setelah pingsan akibat kekurangan banyak darah. Sebelum berujar penuh keyakinan, Jinan menyempatkan diri untuk menepuk pelan bahu Yoongi.

"Aku baik-baik saja, sungguh. Nyerinya tidak akan bertahan lama kok." Membasahi labium dengan saliva, ia melanjutkan, "Sekarang, lebih baik kau mandi. Baumu sudah seperti bocah nakal yang kerap berjemur di bawah paparan sinar matahari."

Nyaris membalas dengan bibir yang mencebik sebal, sekonyong-konyong Yoongi mendapat ide cerdas. "Mau mandi bersama? Aku bisa menggosok bagian-bagian yang sulit kau jangkau. Punggung cantikmu, misalnya?"

"Sialan!"

Sepersekian detik setelahnya, Yoongi berlari terbirit-birit, memasuki kamar mandi seraya berkata jenaka, "Ampun, jangan bunuh aku, Ji. Aku masih ingin hidup bersamamu selama mungkin."

Ya, dasar Min Yoongi sialan.

Merebahkan diri sembari menyorot langit-langit kamar yang dihiasi ornamen kayu, Jinan dapat merasakan bahwa nyeri yang mendera perut berangsur-angur hilang. Sementara calon suaminya bersenandung dengan lagu milik Elvis Presley di balik bilik kamar mandi, Jinan memilih untuk merapikan beberapa perkakas yang dimuat Yoongi di dalam koper. Jinan mencoba maklum tatkala iris menawannya mendapati kekacauan besar tengah bersarang; empat lembar kaos hitam yang tergumpal, celana pendek yang dilipat asal, dan oh, astaga. Jinan hampir berteriak, buru-buru menutup koper tersebut dengan pipi yang menghangat.

Kalau tidak salah lihat, ada dua pasang dalaman pria berwarna hitam, well, ukurannya cukup besar-sial, Jinan merasa dirinya telah ternoda.

"Sedang apa?"

Seketika Jinan tersentak, menolehkan kepala ke sumber suara dan menemukan Yoongi telah berbalut jubah mandi. Surai legamnya basah dengan titik air yang sesekali jatuh menghantam lantai kayu. "Tunggu, tunggu, ada apa dengan wajahmu? Kenapa memerah begitu?"

"Bukan apa-apa," sahut Jinan gelagapan, buru-buru memasuki kamar mandi dan meninggalkan Yoongi yang kebingungan.

Akan tetapi di sana, setelah berpikir dalam kurun waktu satu menit lamanya, Yoongi mendadak menyadari hal macam apa yang telah membuat Jinan nyaris seperti akan meledak di detik itu juga. Lantas ia terkekeh geli, memakai pakaian santai yang telah Jinan siapkan di atas ranjang.

"Melihat pembungkusnya saja sudah begitu, bagaimana nanti melihat isinya?"

Di sisi lain, di bawah guyuran air yang merajam tubuh moleknya, Jinan merutuki dirinya sendiri, berkali-kali mengirim sumpah serapah akibat tangannya yang nakal ini. Sungguh, setelah melihat dalaman Yoongi, Jinan jadi tidak bisa berpikir jernih; kerap terbayang akan malam pertama mereka. Milik si Min itu akan masuk ke pusat tubuhnya dan-astaga, hentikan pikiran kotormu, Kim Jinan. Mama tidak mendidikmu untuk jadi gadis yang murahan.

Sebenarnya Jinan ingin sekali berlama-lama di kamar mandi, tetapi apa daya kala tubuhnya tidak bisa diajak bernegosiasi. Setelah mengenakan bathrobe, Jinan menyembulkan kepala di ambang pintu dan menilik bagaimana Yoongi berbaring memainkan ponsel dengan satu kaki yang bertumpu di lutut.

"Yoong?" panggilnya.

"Ada apa, Ji?"

"Boleh aku meminjam bajumu?"

Yoongi lekas bangkit, menyimpan ponselnya di atas nakas lalu bergegas mengambil satu lembar kaos beserta celana training biru dongker. Sebelum benar-benar menyerahkannya, Yoongi mendadak berinisiatif untuk melakukan sesuatu.

"Rambutmu masih basah, mau kubantu mengeringkan?" Menyadari si gadis nyaris menggeleng, Yoongi menambahkan, "Tidak boleh menolak. Aku memaksa."

Senyum penuh kemenangan terpatri manakala Jinan memilih pasrah dan berjalan mendekat, menghampiri Yoongi dan duduk di atas karpet beludru. Kakinya dibuat lurus ke depan, sedang punggung sempitnya bersinggungan langsung dengan tepi ranjang. "Kau benar-benar menyebalkan," desisnya.

"Bilang saja kalau saat ini kau berdebar, tidak usah ditutup-tutupi begitu. Aku tahu aku tampan, jadi, jangan pernah memasang wajah seolah-olah kau ingin muntah." Oke, rasanya Jinan ingin sekali mendecih, lalu menyanggah kalimat tersebut. Tetapi, memang benar sih, Yoongi tampan-siapa pun yang mengatakan dia jelek, sudah pasti matanya bermasalah. "Ohya, apa kau sudah meminta izin pada orang tuamu kalau kita menginap di sini?"

Sepasang netra eloknya mengerjap lembut, Jinan merasa bahwa darahnya berdesir lebih cepat, terlebih saat jemari panjang Yoongi mulai membelai surai basahnya menggunakan handuk kecil. "B-belum, nanti saja. Lagipula Mama pasti akan mengizinkannya."

"Kalau aku boleh tahu, kenapa kau menerima perjodohan ini, Ji? Bukankah umurmu masih terlalu muda untuk terikat pada sesuatu yang sakral?" Sejenak Yoongi menyemburkan napas, memperbaiki posisi dengan kedua kakinya yang diturunkan, mengukung tubuh Jinan. "Begini, dibandingkan dirimu, aku jauh lebih dewasa. Kita terpaut usia delapan tahun dan aku jelas memiliki lebih banyak pengalaman dalam berbagai aspek, termasuk masalah percintaan."

"Apa saat ini kau menyindirku bahwa aku kekanakan?" Jinan menoleh, memberi tatapan memincing sebab ia merasa tersinggung. "Kedewasaan seseorang tidak bisa dilihat dari seberapa tua usianya. Ada banyak orang di luar sana yang berkepala tiga atau bahkan empat tetapi masih bertingkah seolah mereka adalah remaja puber." Napasnya terdengar menggebu, namun buru-buru dinetralkan kala melihat sorot Yoongi yang berubah seteduh naungan senja. "Mengenai alasanku menerima perjodohan ini, tentu karena sebatas memenuhi wasiat yang nenek tinggalkan."

Yoongi tertawa di dalam hati, mendadak menyesali pertanyaan yang dilontarkannya. "Ya, tentu saja."

"Kau sedih?"

"Eh?"

"Apa kau sedih setelah mendengar alasan yang kukatakan?"

Melipat bibir ke dalam lantas mengendikkan bahu pelan, Yoongi menyahut apa adanya, "Yah, sedikit."

Entah dari mana keberanian ini muncul, Jinan mendadak menghentikan pergerakan jemari Yoongi, menggenggamnya erat seakan-akan ia telah menaruh banyak rasa percaya pada lelaki tersebut. "Jangan khawatir, bukankah kau sendiri yang mengatakan bahwa kita akan menumbuhkan perasaan itu bersama-sama?"

Yoongi tersenyum simpul, mengirim satu anggukan dan kembali menggerakan ruas jarinya; mengeringkan helai rambut Jinan yang tampak menawan. "Tentu saja," gumamnya. Si Min itu agaknya ikut bersemu, merasakan jantungnya berdetak dengan tempo yang terkesan acak. Terima kasih, Tuhan. Tolong pertahankan ini selama yang Engkau bisa.

Hening merayap perlahan, menggelitik rungu mereka dengan kesunyian. Malam kian meninggi dengan jam dinding yang telah menunjukkan pukul sebelas lewat sepuluh menit.

Jinan berdeham, merasakan satu pertanyaan yang mendadak menggasak kepala. "Omong-omong, apa kau mengenal pria tadi?" Ada jeda yang cukup panjang, Yoongi membisu dengan pandangan yang kosong. "Kim Taehyung-apa kau mengenalnya?"

Tanpa perlu menoleh dan menelisik bagaimana raut wajah Yoongi saat ini, Jinan tahu benar bahwa si lelaki tengah menahan napas, mati-matian mencari alibi agar kotak pandoranya tak terbongkar begitu saja. "Tidak," sahutnya. "Aku tidak mengenal siapa pun yang bernama Taehyung."

Yoongi berbohong, dan Jinan tahu itu. Akan tetapi, dia diam saja, memilih mengikuti alur permainan yang Yoongi ciptakan.

"Kenapa bertanya?"

Jinan melipat kedua kakinya, menenggelamkan dagu di atas lutut yang tertekuk. "Hanya penasaran?" Seketika Yoongi mendengkus, melecut senyum masam tatkala si gadis melanjutkan, "Dari caramu memandang, aku bisa menyimpulkan kalau sebenarnya kalian berdua memang saling mengenal. Tapi, kau mengatakan hal yang berlainan. Jadi, ya, sudah. Tidak apa-apa."

Padahal baru saja Yoongi merasa hatinya lega, tetapi kini, ia dilanda gelisah, lagi. Dia tidak bisa tenang barang sedetik pun. "Jinan?" panggilnya kemudian, terdengar berat dan sensual dalam satu waktu. "Jangan pernah melihat lelaki lain selain diriku, ya?" Bersamaan dengan kalimat tersebut, Yoongi menyingkap kain yang membalut bahu Jinan, mendaratkan satu kecup basah di tulang selangka hingga si empu menegang. "Cukup lihat aku saja."

Ya, sebab kau hanya boleh bersamaku.

Sembari kakinya yang melangkah gelisah, Jinan melirik ke arah ponsel lipatnya, memastikan balok jaringan terisi penuh dan ia bisa memberi panggilan kepada Seulhee. Well, setelah mendapati serangan mendadak pada permukaan epidermisnya, Jinan semerta-merta bangkit berdiri, lekas menuju kamar mandi dan mengenakan pakaian yang diberikan Yoongi. Tanpa meninggalkan sepatah kata, si gadis keluar dari motel, mencari cara agar dirinya bisa memberi kabar kepada sang ibunda.

Di menit ketiga uji coba, akhirnya Jinan berhasil melakukan panggilan. Suara Seulhee lekas menyapu liang telinga. "Astaga, kau di mana, Ji? Mama khawatir sekali. Apa kau dan Yoongi baik-baik saja? Tidak mendapat kendala?"

Disuguhi rentetan pertanyaan yang membuat kepalanya seperti dihantam gada masif jelas bukan hal yang baik, sejenak Jinan memilah kalimat, coba membalas di tengah udara dingin yang menusuk kulit. "Tenang, Ma. Aku dan Yoongi baik-baik saja. Kencannya juga berjalan lancar." Si Kim itu menggigit sudut bibir bawahnya pelan, ragu untuk menyuarakan yang satu ini. "Dan sekarang, kami menginap di motel terdekat. Kata Yoongi terlalu berisiko jika pulang selarut ini, apalagi tadi aku sempat mengalami kram perut."

"Ya ampun, Jinan." Di seberang sana, Seulhee mendesah berat, menjatuhkan diri di ruang tengah dengan ponsel yang senantiasa terapit di telinga. "Harusnya kau bilang lebih awal pada Mama."

"Iya, maunya memang begitu. Hanya saja sinyal di sini benar-benar menjengkelkan."

Kemudian, konversasi berjalan sebagaimana mestinya. Tidak banyak yang mereka bicarakan, hanya seputar obrolan antara seorang ibu dan anak. Akan tetapi, Jinan masih mengingat jelas bagaimana Seulhee mengingatkannya untuk tetap menjaga diri. "Mama tahu sebentar lagi kalian akan menikah, tapi, ada baiknya jangan melakukan itu dulu, ya. Ingat, kehormatan seorang perempuan tergantung bagaimana dia menjaga kemaluannya."

Sebagai balasan, Jinan berdeham. "Iya, Ma. Aku mengerti."

Topik semacam ini memang sudah bukan hal yang tabu lagi bagi Jinan, Seulhee kerap mewanti-wantinya sejak lama, memberi nasihat agar masa depan putrinya bisa terjaga. Bukannya berontak seperti kebanyakan remaja di luar sana, Jinan malah memilih untuk menyetujuinya. Lagipula seks di luar pernikahan tentu lebih riskan, selain karena konsekuensinya bisa hamil (jika melakukannya tanpa pengaman), juga dikarena Jinan yang tidak ingin mencoreng nama baik keluarga. Seulhee termasuk orang yang cukup religius, menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan untuk diterapkan ke dalam lingkup keluarga.

"Kalau begitu, Mama akhiri saja teleponnya, ya. Kau pasti lelah setelah berkencan dengan Yoongi." Seulhee mengerjap lambat, merasakan kantuk yang perlahan menampar sepasang manik legamnya. "Mama mencintaimu, Ji."

Si gadis menggumam. "Aku juga mencintai Mama."

Panggilan pun terputus. Hela napas yang Jinan semburkan membuat asap kecil tercipta di udara. Nyaris berbalik menuju kamar guna mengistirahatkan tubuh yang dirundung rasa lelah, rungunya kemudian sekonyong-konyong menangkap satu bariton yang terdengar serak.

"Kenapa tidak meneleponku?" Seketika Jinan meremang, merasakan eksistensi seseorang yang tengah berada tepat di belakang tubuhnya. "Jangan bilang kalau kau tidak menyadarinya?"

Menempatkan kedua tangannya di bahu sempit si gadis, Taehyung membalikkan daksa tersebut secepat kilat. Manik mereka bersirobok dan buat gelenyar aneh merangsek di sela rongga dada, seperti tersengat aliran listrik tetapi dalam voltase yang minim. Jinan meneguk air liur secara kepayahan, tidak menyangka jika dirinya harus bertemu dengan lelaki ini kembali.

"Bagaimana bi-" Alis lebat si gadis mengerut, keheranan. Sedetik kemudian irisnya melebar, memberi satu hantaman di lengan kokoh Taehyung. "Astaga! Kau pasti menguntitku, ya! Ayo, mengaku saja!"

"Percaya diri sekali," ujarnya disertai tawa lirih. Kedua tangan Taehyung telah jatuh di sisi badan, memandang lekat sosok elok di hadapannya tanpa mengedip barang sedetik. "Aku hanya ingin bertanya kenapa kau tidak meneleponku. Kau tahu, aku menunggunya sedari tadi. Yah, salahku juga sih, seharusnya aku meminta nomor ponselmu secara langsung, bukannya menuliskan nomor milikku di struk belanjaanmu tadi."

Struk belanjaan?

Oh, astaga. Jinan lupa mengeluarkannya, dia telah merendam jins itu ke dalam air sabun dan tentunya sudah dapat dipastikan bahwa lembar struk tersebut ikut basah dan melunturkan tinta yang tergores.

Namun di sana, Jinan masih mempertanyakan kehadiran Taehyung yang mendadak muncul seperti hantu-hantu di acara televisi. "Kau belum menjawab pertanyaanku."

Si Kim itu memainkan lidah di dalam mulut, mengetuk pipi bagian dalamnya beberapa kali sebelum menyahut, "Oke, oke." Dia menatap lurus ke arah lawan bicara-terkesan mengintimidasi dengan katup bibir merahnya yang tersingkap. "Pertama, aku tidak menguntitmu, aku memang menginap di sini selama dua hari. Kau tahu 'kan ini penghujung musim panas, tentunya aku ingin menghabiskan masa liburanku dengan melakukan berbagai macam hal yang menyenangkan. Dan yang kedua, aku tidak mempunyai teman di sini, oleh karena itu, aku ingin mengajakmu berkenalan."

Kendati telah mendengar sederet penjelasan dari labium Taehyung yang terkesan seksi dengan bintik hitam di tepiannya, Jinan masih menaruh sekelumit ragu. "Kenapa harus denganku? Bukankah kau bisa mencari seseorang yang lain?" Ia menjilat bibirnya sekilas. "Min Yoongi misalnya? Eum ... maksudku, laki-laki yang tadi bersamaku."

Taehyung mengendikkan satu alisnya ke atas, menyahut dalam satu tarikan napas yang membuat syaraf dan persendian Jinan menegang seketika, "Aku mengenal Yoongi. Lantas, haruskah aku berkenalan lagi?"

Sudah kenal? Lalu, kenapa Yoongi mengatakan hal yang sebaliknya?

"Apa dia tidak memberitahumu?"

Tersentak dalam lamunan singkat yang terbesit di dalam kepala, Jinan menyahut, "Yoongi tidak memberitahu apa-apa." Rahangnya mengeras, menahan gemeletuk gigi akibat terpaan angin pada kulit pualamnya yang hanya berlapiskan kaos hitam berlengan pendek. "Memangnya ada hubungan apa antara kau dan Yoongi? Teman masa kecil atau malah kerabat jauh?"

"Kenapa kau tidak bertanya langsung saja pada Yoongi? Kupikir dia bisa mengatakan sesuatu menurut sudut pandangnya sendiri."

Ha! Omong kosong. Saat ditanya saja Yoongi telah memberi kalimat telak bahwa ia tidak mengenal Taehyung. Lantas, mengorek informasi yang lebih? Duh, yang benar saja.

Jinan hendak menyahut, sekadar menyanggah agar kuriositas yang bertumpuk di dalam kepala bisa terselesaikan, tetapi suara Taehyung lebih dulu menusuk ruang pendengaran dengan jemarinya yang digenggam lembut. "Mau menemaniku minum kopi?" Lelaki itu menawarinya sesuatu dan mestinya Jinan diberi dua opsi; menerima atau menolak. Tetapi, hei, Taehyung bahkan telah menarik lengannya masuk ke dalam motel, menuju kafetaria mini yang memang disediakan di lantai bawah, tak memedulikan Jinan yang terseok karena harus mengimbangi langkah lebarnya itu.

"Silahkan pilih yang kau mau. Kali ini, biar aku yang traktir."

"Kau menyogokku dengan secangkir kopi agar aku mau menyetujui ajakan pertemananmu?"

Taehyung mencebik. "Kalau kau menganggapnya begitu, ya, terserah saja."

Merotasikan bola matanya, Jinan menghela napas pasrah, lekas menunjuk gambar cokelat panas yang tercetak di atas buku menu. Ya, dirinya memang tidak begitu menyukai kopi, tetapi bukan berarti Jinan tak bisa meminumnya. Lagipula meminum cairan hitam pekat tersebut hanya akan menghambat rasa kantuknya malam ini.

Keduanya duduk berhadapan di sudut ruangan, ditemani derik mesin pemanas juga aroma renyah roti yang baru saja keluar dari pemanggang. Tak banyak yang mengisi tempat ini, mungkin hanya ada lima orang-itu pun sudah termasuk dengan Jinan dan Taehyung.

Menyatukan tangan di atas meja dengan telapaknya yang bergerak saling menggesek, Taehyung membuka suara, "Kau benar-benar akan menikah dengan Yoongi?"

"Mungkin?"

"Kenapa kau terdengar ragu?"

Haruskah aku mengatakan yang sebenarnya? Jinan mendekatkan bibir cangkir menuju miliknya, menyesap cokelat panas tersebut sebelum akhirnya bertutur dengan suara pelan, "Pernikahan kami tidak dilandasi rasa cinta seperti kebanyakan pasangan di luar sana. Kami dijodohkan berdasarkan wasiat yang nenek kami tinggalkan." Jinan tertawa getir, teringat akan pendidikannya yang harus terbengkalai untuk sementara waktu. "Terdengar klise dan membosankan, ya? Haha, terkadang hidup memang selucu itu, Tae."

Jinan meloloskan tawa, tetapi tidak dengan Taehyung. Lelaki itu terlihat lebih serius, terlebih saat tangannya menangkup tangan Jinan kelewat hangat. "Ji, kita ini hidup di zaman modern. Hal semacam itu jelas terdengar konyol dan dungu." Bola matanya mengilap, seakan tengah menyalurkan sesuatu lewat sorot yang terpaku pada si gadis. "Kau bisa menolaknya dan mencari lelaki lain."

Menggeleng lemah, Jinan membalas, wajahnya terlihat sendu dengan iris yang berubah kuyu. "Aku tidak ingin melanggar wasiat yang nenek tinggalkan. Mama juga tidak menuntut hal yang macam-macam. Mungkin, jika rasa itu gagal ditumbuhkan bahkan setelah pernikahan diselenggarakan, barangkali kami akan memilih jalan pintas."

"Perceraian?" sela Taehyung, dan Jinan mengangguk membenarkan. Sepasang obsidian si lelaki memandang teduh, masih dengan jemari yang saling bertaut. "Dengar, Ji. Pernikahan itu bukan sesuatu yang bisa dimainkan. Sekali kau terikat dengannya, maka kau tidak memiliki tempat untuk berlari."

Kalimat yang dilontarkan seketika menusuk relung kalbunya. Ah, lelaki ini. Dia menyindir Jinan secara tidak langsung. Tetapi, mau bagaimana lagi? Apa yang dikatakan Taehyung memang benar.

"Jadi, aku harus bagaimana? Aku tidak mungkin tiba-tiba membatalkan semuanya secepat ini." Jinan terlihat gusar, setengah frustasi juga. Barangkali otaknya sudah termakan rayu dari si ulung Kim Taehyung.

Menarik satu sudut bibirnya ke atas; menyungging sebuah senyum yang kelewat aneh, Taehyung tak lupa untuk melabuhkan satu kecupan ringan di atas punggung jemari Jinan. "Izinkan aku menculikmu selama satu hari." Bulu roma si gadis meremang, membawa degup asing yang kontan mendera dada. "Besok, kutunggu kau di lobi jam empat pagi, dan kalau bisa, jangan sampai ketahuan Yoongi." []

Continue Reading

You'll Also Like

662K 50.8K 62
Abigaeil, namanya manis dan imut anaknya si buntalan daging mengemaskan yang selalu menjadi primadona para tetangganya. si bucin Pai coklat dari nene...
439K 4.6K 85
•Berisi kumpulan cerita delapan belas coret dengan berbagai genre •woozi Harem •mostly soonhoon •open request High Rank 🏅: •1#hoshiseventeen_8/7/2...
33K 4.3K 42
[DISCLAIMER!! FULL FIKSI DAN BERISI TENTANG IMAJINASI AUTHOR. SEBAGIAN SCENE DIAMBIL DARI STREAM ANGGOTA TNF] "apapun yang kita hadapi, ayo terus ber...
73.7K 7.4K 23
Brothership Not BL! Mark Lee, Laki-laki korporat berumur 26 tahun belum menikah trus di tuntut sempurna oleh orang tuanya. Tapi ia tidak pernah diper...