Sew The Heartmade (akan terbi...

By teru_teru_bozu

435K 44.7K 3.1K

JLEB! Kamu beneran yakin nih, akan menjalin hubungan serius dengan pria kayak Berlyn? Bukannya dia orang ane... More

prolog
One: All Hail The Singles!
Two: The Story Behind Us
Three: The Things That You Want To Say
Four: The Silent Question
Six: Madame Boss
Seven: Unseen Distance
Eight: Reality Sucks!
Nine: Side Matters in The Bedroom
Ten: Couple Layout Design (a)
Ten: Couple Layout Design (b)
Eleven: Verified Caller ID
Twelve: In The Name of Kindness
Thirteen: Psycho War
Fourteen: Valent
Fifteen: Cold Anger
Sixteen: It's Just That ...
Orin's World
Seventeen: Two Path
Eighteen: Count Me! (a)
Eighteen: Count Me! (b)
Nineteen: Sweet Revenge (a)
sweet revenge (b)
add. Tough Love in Memory
sepik-sepik
OPEN SPECIAL ORDER
Novella : You and I
special part : the reason why

Five: Bitter Candy

8.8K 1.7K 61
By teru_teru_bozu

Andai orang tahu bagaimana rasanya jadi aku.

Persoalan yang berputar-putar di kepalanya ini tidak akan mudah untuk diceritakan kepada orang lain. Orin tak akan sanggup menerima risiko kalau dirinya dikatakan lebay, lemah, penuh drama, dan hiper sensitif. Hanya dengan membayangkan apa yang akan dikatakan Luna kalau sampai dia tahu apa yang sesungguhnya dia rasakan, Orin sudah merasa tertekan.

Luna akan mengatakan: apa juga aku bilang? Pacaran sama orang kayak Berlyn cuma bikin kamu tersiksa. Atau, kalau emang nggak sanggup, jangan paksa diri. Kasihan tuh perasaanmu.

Pertanyaannya, apa benar aku menyiksa diri dengan tetap bertahan bersama Berlyn? Apakah benar aku memaksa diri? Haruskah aku menyerah sekarang? Tapi, ya ampun! Ini kan baru jalan dua bulan!

Gini amat sih, rasanya punya pasangan? Kenapa aku nggak bisa kayak orang lain? Yang di awal jadian, mesra ke mana-mana, dan sayang-sayangan mulu bikin iri orang sedunia? Apa aku yang terlalu banyak menuntut? Apa aku yang terlalu ribet dengan pikiran sendiri? Adakah yang merasakan sama seperti aku?

Lalu apa pikiran Berlyn tentang aku?

"Udah ngelamunnya?' tanya Berlyn tiba-tiba.

Orin terkejut. Dia menoleh pada sosok pria di sebelahnya. Yang dipikirnya masih berkonsentrasi pada jalanan di depannya. "Maaf, pikiranku ke mana-mana."

"Nggak usah minta maaf, Sayang. Wajar itu," Berlyn tersenyum kepadanya. Seolah ingin menekankan kesungguhannya pada apa yang dia ucapkan, pria itu meraih tangan Orin dan menggenggamnya. Saat itu mereka berhenti di sebuah lampu merah.

Cara Berlyn mengucap sayang, seolah itulah namanya. Membuat Orin tiba-tiba ingin memberontak. "Aku nggak mau dipanggil Sayang," kata Orin tiba-tiba.

"Eh?" Berlyn terkejut.

"Panggil Orin aja."

"Kenapa, Sa—"

"Karena namaku Orin. Bukan Sayang."

Berlyn membuka mulut ingin berbicara. Tetapi karena Orin terlihat begitu tegang, akhirnya dia mengalah. "Oke, Orin. Kalau itu mau kamu."

Orin mengangguk, menarik tangannya. "Lampu lalu lintasnya udah hijau," katanya sambil memalingkan wajah ke luar jendela.

Karena semua cewek kamu panggil 'sayang'. Lalu apa bedanya aku sama mereka? Mastiin aja kamu masih hafal namaku.

Tetapi kalimat-kalimat itu hanya berteriak di kepalanya.

Ini hari Minggu, seperti biasa Berlyn menjemputnya dari galeri, lalu mereka pergi makan siang di suatu tempat yang dipilih secara acak. Sesudahnya adalah waktu paling berat untuk diputuskan. Orin tidak terlalu suka pergi ke keramaian kecuali ada perlunya. Tetapi kalau dia menolak pergi, Berlyn hanya memberinya opsi menghabiskan waktu di rumahnya yang masih berantakan tak keruan itu.

Seperti siang ini.

"Istrinya Pak Hus hari ini ke rumah kamu nggak, Bee?" tanya Orin.

"Nggak dong. Aku nggak mau diganggu kalau mau pacaran sama kamu."

Ish!

"Lagian Rin, kemarin dia negur aku loh. Karena kehabisan seprei, aku minta dia ambil seprei bekas penghuni lama rumah itu, yang tersimpan di gudang. Eh, kata dia nggak boleh."

"Kamu diomelin dong?"

"Iya."

"Kapok! Sukurin!"

"Kok sukurin sih, Say ... Rin!"

"Itu seprei bekas jijik kali Bee, kalau dipakai. Sumpah deh kamu ini," omel Orin.

Seulas senyum tersungging di bibir Berlyn. Pria itu merasa puas akhirnya Orin kembali fokus kepadanya. "Aku nggak sempat beres-beres rumah. Perlengkapan yang ada, kayak seprei dan selimut, diambil dari rumah orangtuaku. Jadi ketika dicuci, nggak ada gantinya."

Dulu, ketika hubungan mereka masih sebagai teman dekat, Orin sangat antusias membantu Berlyn melengkapi rumahnya. Keluar masuk toko perabotan untuk memilih furniture. Berlyn sangat bersemangat dengan rumah barunya kala itu. Sayangnya serah terima kunci bertepatan dengan sidang perceraiannya. Padahal rumah itu dia dengan niat memberi hadiah kejutan bagi Irma.

Berlyn yang baik, yang sedang bersedih karena terbelit masalah, membuat Orin berempati dan dengan senang hati membantunya. Dulu.

Tetapi sekarang kondisinya berbeda. Menjadi orang dekat Berlyn tidak membuatnya lebih leluasa untuk melibatkan diri seperti dulu. Terutama bila Berlyn tidak memintanya secara khusus. Ada ganjalan di hati yang belum sanggup Orin singkirkan.

"Sekarang kamu punya stock selimut dan seprei, Bee?"

"Ya, seadanya. Cuci, kering, pakai," sahut Berlyn ringan. "Kamu nggak pengen gitu nganterin aku beli?"

Akhirnya! Orin menundukkan kepala. "Aku nggak pernah beli selimut dan seprei. Aku bikin."

"Aku juga mau banget kok dibikinin, Rin."

Orin menunduk semakin dalam. "Sebenarny aku udah bikin buat kamu, Bee," sahutnya pelan.

Berlyn terdiam sejenak. "Untung jalanan ramai. Kalau nggak, aku udah berhenti dan cium kamu karena gemes, Rin," katanya.

***

Hari sudah senja. Bahkan sinar matahari hampir hilang sepenuhnya dari cakrawala. Orin memperhatikan Berlyn yang sedang berbaring di sebelahnya. Mereka berada di halaman belakang rumah Berlyn. Satu bidang sempit yang dibiarkan terbuka dengan rumput yang teratur rapi. Tempat pria itu sering menghabiskan waktu bersantai, tidur di atas karpet sambil menatap langit.

Berlyn bukan orang yang akan betah berada di rumah. Di lapangan, pria itu seorang penikmat alam. Mendaki gunung, berperahu, memancing hingga menombak ikan di danau, atau berburu binatang liar, adalah rutinitas liburannya selama di proyek. Itu yang Orin tahu.

Melihatnya membaringkan diri di atas karpet seperti ini membuat Orin leluasa memperhatikan sosoknya. Tak terbayang bagaimana jadinya kalau pria seenergik ini terikat di satu tempat. Dengan seseorang sepertinya.

"Bee..."

"Hm ..."

"Jangan tidur dong."

"Aku nggak tidur."

"Tapi matamu merem, Bee."

"Iya, merem. Tapi aku nggak tidur, Rin."

"Kalau tahu-tahu ketiduran gimana? Nggak baik tidur jam segini."

Berlyn akhirnya membuka mata dan menegakkan tubuhnya, sehingga duduk bersebelahan dengan gadis yang sedang memeluk lutut di sebelahnya. "Kenapa sih?"

"Aku di sini, tapi kalau kamunya tidur kan mending aku pulang, Bee."

Berlyn menatap Orin dalam-dalam. Pria itu menyadari kalau banyak hal yang berubah pada diri gadis ini. Tetapi dia belum bisa menyimpulkan apa. Dengan tenang diraihnya bahu Orin dalam rengkuhannya. "Iya, aku nggak tidur kok. Bosen?"

Orin menggeleng. "Kalau kamu memang mau sendirian, aku pulang aja."

"Terus, kamu sama siapa dong di tempatmu?"

"Sendiri. Aku udah biasa sendirian kok. Kamu pikir, kenapa aku suka menjahit? Karena dengan menjahit aku nggak harus ngobrol sama orang. Juga nggak akan ngerepotin orang lain yang nggak mau ngobrol sama aku."

Berlyn terdiam. Hari ini sudah dua kali Orin menyebut sesuatu yang membuat sensor kepekaannya terusik. Orin hanya mau dipanggil nama. Dan sekarang?

"Omong-omong, aku suka selimutnya," kata Berlyn, menunjuk pada onggokan selimut yang menutupi kakinya.

Orin menoleh. Menatap langsung wajah Berlyn yang berada sangat dekat dengannya. Mencari kesungguhan dari kata-katanya. Karena tak banyak orang yang bisa menghargai handmade yang dibuat terbatas dan spesial begitu. Lalu menyeringai. Berlyn mungkin sedang berusaha menjalin komunikasi dengannya. Sereceh apa pun itu usahanya, Orin ingin menghargainya.

"Bagus nggak-nya itu relatif. Tapi kalau kamu beneran suka, makasih ya."

"Mana ada sih barang dari kamu yang aku nggak suka, Rin?"

Orin mengangguk. Berlyn memang tak pernah menolak apa pun yang dia buatkan untuknya. Bahkan memakainya dengan suka rela. Entah karena terpaksa atau tidak. "Aku lihat motif kain ini di akun instagram echino textile. Dan jatuh cinta pada desain Etsuko Furuya." Orin menjelaskan. "Motif ini baru keluar di Jepang sana dan belum dipasarkan ke negara lain."

"Berapa lama pengiriman dari Jepang ke sini?" tanya Berlyn. Setelah mengenal Orin lebih dekat, Berlyn jadi tahu bagaimana cara gadis itu berburu bahan-bahan yang dia gunakan. Dan bagaimana gadis itu menikmati prosesnya.

"Kebetulan kakak Luna sedang ke Jepang. Aku nitip sama dia."

Berlyn terdiam.

"Emang sih barang kayak gini nggak populer. Dan nggak banyak yang tahu juga. Kamu nggak perlu paham, Bee. Karena emang kamu nggak tahu dunia perkainan seperti aku. Asal buat kamu nyaman, dan bisa dipakai, aku udah seneng kok."

Berlyn mengetatkan pelukannya. "Rumah ini kosong banget, Rin. Aku sih maunya kamu sering-sering di sini."

"Kamu mau ke lapangan kan, bentar lagi?"

Berlyn mengangguk. "Dengan kesibukanku, mana mungkin aku sanggup membereskan semuanya," ditatapnya Orin dengan tajam. "Bantuin aku, ya?" pintanya lembut.

Orin tidak langsung menjawab. Perlu beberapa lama hingga dia mengangguk.

"Kamu sedang di puncak kesibukan gini, Bee."

"Iya. Divisi baru. Dan aku yang dipasang di posisi itu."

"Tapi kan kamu udah punya track record ngurusin energi, Bee? Yang dulu negosiasi ke Pemda, siapa? Yang sering ngadepin LSM di lapangan siapa? Bukannya dulu kamu juga yang ngurusin semuanya ketika berhadapan dengan PLN Suluttenggomalut kamu juga kan, Bee?"

"Iya sih. Tapi kemarin aku kuliah lagi tuh pengen mendalami teknisnya, Rin."

"Teknis? Desain gitu?" Orin terbelalak. Lalu tertawa terbahak-bahak. "Kamu kalau mau ikutan desain, kasihan rumusnya, Bee. Kalah ngetop sama kamu!"

"Seneng ya, akhirnya kamu bisa ngetawain aku," Berlyn tertawa.

"Lagian, kamu aneh-aneh aja."

"Oh ya, PLTA yang dulu kita kerjakan itu udah beroperasi penuh, Rin. Tahu nggak?"

"Sempet denger sih orang-orang ngobrol. Tapi aku nggak pengen dengerin."

"Kenapa nggak pengen?"

"Nggak pengen denger dari mereka, biar bisa dengar dari kamu aja." Orin nyengir lebar.

"Dan kamu masih menyebutku perayu? Yang tersipu-sipu di sini siapa sih?" omel Berlyn.

"Kamu? Emang bisa tersipu? Pembuluh darahmu nggak bakal sanggup nembus tebelnya pipi kamu, Bee. Nggak ada ceritanya itu seoran Berlyn Danu Patterson tersipu-sipu," ejek Orin.

"Kamu kalau nggemesin gini nggak aku pulangin deh. Nginep sini aja."

"Eits! Ngelesnya nggak mutu banget deh."

"Tapi kan ntar kamu juga harus sering ke sini, Rin. Nyonya rumah kan yang bertanggung jawab untuk semua kelengkapan di sini."

"Nyonya rumah? Siapa? Aku?" Orin mengerutkan kening. "Bukannya yang jadi nyonya rumah istrinya Pak Hus?"

Dan Orin hanya bisa menjerit-jerit ketika Berlyn menggelitik pinggangnya. Sampai gadis itu berteriak memohon ampun.

"Bee! Kamu kampungan banget kalau pengen menang! Nggak berkelas!" semburnya kesal.

Berlyn yang masih tertawa terbahak-bahak akhirnya kembali mengempaskan diri di sebelah Orin.

"Lagian, emang perabotan kamu yang dulu ke mana sih, Bee? Kan banyak banget?" tanya Orin penasaran.

"Perabotanku? Ya, semua dibawa Irma lah. Siapa lagi?" sahut Berlyn enteng.

Dan bagai tersiram air dingin, seketika segala keceriaan yang baru muncul itu membeku. Senyum di wajah Orin pun pudar. Sialan! Orin mengutuk mulut lancangnya. Orin ... Orin ... Ibaratnya, sudah tahu kalau jendela terbuka itu bikin kamu masuk angin, dia malah sengaja duduk di depannya. Mabok kan? Bego sih!

Note : selamat membaca.

Continue Reading

You'll Also Like

1.9K 230 9
📚 KUMPULAN CERITA PENDEK 📚 "Keep love in your heart. A life without it is like a sunless garden when the flowers are dead. The consciousness of lov...
25.5K 2.1K 15
Kisah pertemuan pertama antara gadis bernama [Name] dan juga anggota muda Tapops. [Name] ditugaskan ke markas utama untuk membantu komandan Kokoci un...
137K 793 66
Beberapa penulis cerita wattpad yang aku suka dan cerita yang menarik untuk dibaca
2.8K 190 13
Naskah pilihan WattpadRomanceID - SPOT LIGHT ROMANCE OF FEBRUARY 2024 Cinta terlalu manis, bahkan sekali pun terluka kamu akan tetap tersenyum. Aku...