DELUSIONS

By tanindamey

5.4K 1.5K 1.5K

Bagaimana rasanya memiliki suatu cela dalam hidup? Diasingkan, diacuhkan, ditindas, serbuan kalimat pedas. Ta... More

Prolog
Chapter 1- Pembendung
Chapter 2- Lilin lebah mencekam
Chapter 4 - Menikam dipenghujung
Chapter 5 - Bunga tidur
Chapter 6 - Teror malam
Chapter 7- Goresan Luka
Chapter 8 - Kepelikan seseorang
Chapter 9-Tuturan Menyayat Hati
Chapter 10-Tumpahan Air Mata
Chapter 11 - Terjebak dalam Gulita
Chapter 12 - Ancaman
Chapter 13 - Gamang
Chapter 14 - Dekapan
Chapter 15 - Sebuah Amaran
Chapter 16 - Tak Kuasa
Chapter 17 - Terungkap
Chapter 18 - Cela
Chapter 19 - Kelam
Chapter 20 - Sukar
Chapter 21 - Langka
Chapter 22 - Terjaga
Chapter 23 - Berbeda
Chapter 24 - Cendala
Chapter 25 - Berdebar
Chapter 26 - Jengah
Chapter 27 - Terlambat
Chapter 28 - Mulai Meragu
Chapter 29 - Terbelenggu
Chapter 30 - Bertekad
Chapter 31 - Pasrah
Chapter 32 - Kegetiran
Chapter 33 - Pengakuan
Chapter 34 - Jawaban
Chapter 35 - Telah Padu
Chapter 36 - Meradang
Chapter 37 - Kembali Melukai
Chapter 38 - Memerangi
Chapter 39 - Terdesak
Chapter 40 - Suatu Cela
Chapter 41 - Telah Renggang
Chapter 42 - Delusi
Chapter 43 - Kilah
Chapter 44 - Kalut
Chapter 45 - Berlaga [Ending]
Epilog

Chapter 3 - Diluar terkaan

176 80 48
By tanindamey

Di luar terkaan

"Hati-hati, nggak selamanya ada gue yang bakal nolong lo kaya tadi."- Alkar

Dering Alarm membuat Stevlanka mengerjapkan mata. Menyingkap selimut tebalnya, lalu bangkit. Saat hendak berdiri dari tempat tidur, Stevlanka menatap album foto di atas nakas. Tampak sepasang suami istri dan gadis kecil tersenyum bahagia. Bibir ikut Stevlanka tersenyum.

Menghela napas sejenak, kemudian ia bergegas untuk bersiap-siap. Setelah tiga hari pengurusan berkas kepindahan sekolahnya, hari ini adalah hari pertamanya bersekolah di sekolah yang baru. Ada sedikit rasa khawatir yang menyelimuti relung hatinya. Apakah akan sama seperti sekolahnya yang dulu? Di mana tidak ada satu pun yang mau berteman dengannya. Lebih menyedihkan lagi jika insiden yang kemarin akan menyebar. Namun ini adalah pilihannya, apa pun yang terjadi adalah konsekuensi yang harus ia terima. Semua akan baik-baik saja.

Setelah selesai, Stevlanka keluar kamar. Menuju ruang makan. Dengan seragam yang sangat rapi. Rambut tergerai panjang dengan poni tipis menutupi dahinya.

Sesampai di meja makan, ia mengedarkan pandangannya. Ia tidak melihat Ayahnya. Memandang jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. Menunjukkan pukul enam lebih lima menit. Bukankah seharusnya Ayahnya sudah sarapan?

Beberapa helai roti dengan selai coklat di tambah lagi segelas susu. Hanya itulah yang ada di atas meja. Sekali lagi ia mengedarkan tatapannya.

"Ayah!" seru Stevlanka yang menggema di dalam ruangan. Ketika hendak beranjak menuju kamar Ayahnya, sebuah pesan masuk di ponselnya.

Makan sarapanmu, Ayah sudah berangkat kerja. Ayah juga sudah memesankan taksi di depan rumah. Dan satu lagi, jangan melakukan hal-hal yang aneh. Cukup bersekolah dan langsung pulang.

Stevlanka membaca pesan itu dari Ayahnya. Ternyata Ayahnya sudah berangkat kerja. Padahal ia ingin Ayahnya yang mengantarkan di sekolah barunya. Namun, sepertinya pria itu lebih mementingkan klien-kliennya. Satriya adalah seorang jaksa. Terkadang pria itu berangkat pagi dan pulang hingga larut malam.

Stevlanka tersenyum terpaksa menatap helai roti di atas piring. Tak butuh waktu lama ia keluar rumah, dan menaiki taksi yang sudah Ayahnya pesankan menuju ke sekolahnya yang baru.

Beberapa menit kemudian taksi yang ia tumpangi berhenti di sebuah gedung tinggi. Dari dalam taksi ia bisa melihat banyak siswa yang berlarian masuk melewati gerbang. Ia tersenyum sekilas, berterima kasih pada supir taksi.

'SMA ANGKASA BIRU'

Stevlanka mengeja tanpa suara. Melangkahkan kakinya memasuki gerbang sekolah. Berjalan menyusuri koridor, matanya memandang kanan kirinya. Semua yang dominan berwarna biru seperti nama sekolahnya. Sedari tadi ia berjalan tidak menemukan ruangan kepala sekolah. Siswa yang berada di luar kelas menatapnya, hal itu wajar saja. Seperti murid baru pada umumnya. Mendadak menjadi sorotan banyak pasang mata. Yang menjengkelkan adalah dimana letak ruang Kepala Sekolah. Jika saja ia berangakat dengan Ayahnya mungkin akan lebih mudah.

Mata Stevlanka tertuju pada anak tangga di hadapannya. Apa mungkin ruang kepala sekolah ada di lantai atas?

Stevlanka membenarkan saja asumsinya. Satu demi satu ia memijak anak tangga itu. Melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya yang menunjukkan pukul enam lebih lima puluh lima menit. Gadis itu mempercepatkan langkah kakinya. Namun karena tidak melihat ke arah depan, tiba-tiba tubuhnya menabrak seseorang. Hampir saja ia terjatuh jika saja seseorang yang ia tabrak tidak menarik tangannya.

Stevlanka meneguk salivanya, menatap anak tangga di bawahnya. Entah apa yang terjadi jika ia jatuh di sana. Perlahan kepalanya teralih menatap seseorang yang menahan tubuhnya. Laki-laki tinggi yang menatapnya lekat. Mata mereka bertemu sejenak. Setelah sadar, Stevlanka menegakkan tubuhnya. Merapikan seragamnya.

"Hati-hati, nggak selamanya ada gue yang bakal nolong lo kaya tadi," kata laki-laki itu mengingatkan. Stevlanka menatap kembali anak tangga di bawah sana.

Stevlanka tersenyum kaku. "Iya, makasih, ya. Maaf juga gue nabrak lo." Kemudian Stevlanka menundukkan kepalanya.

"It's okay," jawab laki-laki itu. "Lo anak baru ?"

Sevlanka mendongakkan kepalanya. "Iya, ruang Kepala Sekolah di mana, ya?"

Laki-laki itu tersenyum. "Ruang kepala sekolah ada di bawah. Nggak jauh dari lobi, kok."

Stevlanka hanya menatap laki-laki. Laki-laki itu mengerti air muka Stevlanka yang bingung. "Gue antar aja, ya?"

Stevlanka hanya mengangguk saja. Mengikuti langkah kaki laki-laki itu dari belakang. Ternyata ruang kepala sekolah ada di paling ujung. Jelas saja ia tidak melihatnya, ia tadi langsung berjalan lewat koridor tengah. Kini ia telah berada di depan ruang kepala sekolah. Bel telah berbunyi.

"Lo langsung masuk aja nggak papa. Gue ke kelas dulu."

"Makasih, ya." Stevlanka tersenyum. Laki-laki itu membalas senyumannya. Ketika gadis itu hendak membuka knop pintu, ia terpaksa berhenti karena suara menghentikannya.

"Tunggu."

Sontak Stevlanka membalikkan tubuhnya. Laki-laki itu tersenyum, mengulurkan tangannya. "Nama gue Alkar, nama lo?"

Mulut Anta ternganga, apakah ia tak salah dengar? Seseoarang mengajaknya berkenalan. Sungguh luar biasa. Menatap jabatan tangan laki-laki itu dan kemudian ia membalasnya. "Stevlanka."

"Okay. Gue ke kelas dulu, ya." Setelah mengatakan kalimat itu, ia berlari meninggalakan Stevlanka. Stevlanka menatap punggung laki-laki itu yang saat ini membalikkan tubuh, berjalan mundur dengan melambaikan tangan ke arah Stevlanka. Stevlanka hanya tersenyum. Ia menatap tangan kanannya sejenak. Awal yang cukup baik, setidaknya ada yang mau sekedar berkenalan dengannya. Ia memasuki ruangan kepala sekolah.

*****

Di sebuah kelas yang tampak gaduh. Yaitu kelas XII IPA B. Sederet yang lagi asik bergosip, seorang gadis yang duduk di bangku ke dua dari depan sedang asiknya berdandan. Kumpulan kaum para cowok yang lagi bermain gitar sambil bernyanyi tidak jelas. Ruang kelas yang cukup luas dengan warna dinding biru muda. Lukisan-lukisan indah menambah keindahan.

Bara berada di ambang pintu. Ia menjadi salah satu salah satu murid di kelas yang menunggu kedatangan gurunya di ambang pintu. Kemudian memberi tahu teman sekelasnya agar tidak ribut. Laki-laki itu melihat guru pengajar bersama seoarang gadis berambut panjang berjalan menuju kelasnya.

"Hei diem, ada Bu Naya. Kayanya bakal ada anak baru, deh," kata laki-laki itu berjalan tergesa-gesa menuju tempat duduknya. Semua seisi kelasnya bergumam 'Anak baru?' saling tatap.

Tepat setelah itu bu Naya memasuki kelas, memang benar. Bu Naya tidak sendiri. Wanita itu bersama dengan siswa baru, yaitu Stevlanka.

"Anak-anak, kelas kita akan ada siswa baru," kata Bu Naya pada seluruh muridnya, kemudian ia menoleh ke arah Stevlanka. "Silahkan perkenalkan namamu."

Stevlanka tersenyum seraya mengangguk, kemudian ia menatap teman baru yang ada di hadapannya. Wajahnya terlihat sedikit gugup, kemudian ia memejamkan mata menghela napas panjang. Semua murid yang ada di kelas saling tatap pada teman sebangkunya masing-masing. Melihat Stevlanka yang memejamkan matanya sedari tadi. Kemudian, Bara mengatakan kalimat lelucon. "Woi, mau semedi di situ apa mau perkenalan?" Bara adalah ketua kelas. Cukup pintar, ia selalu aktif di beberapa organisasi. Selain itu ia juga banyak dikenal para guru karena sikapnya yang terkesan blak-blakan.

Sontak Stevlanka mengerjapkan matanya, menatap laki-laki itu. Sedetik, dua detik, tiga detik, semua seisi kelas tertawa bersama. Stevlanka hanya menatapnya dengan wajah datarnya. Kemudian bu Naya menenangkan para muridnya. Mempersilahkan Stevlanka untuk kembali memperkenalkan diri.

"Stevlanka Annesca, itu nama saya. Kalian bisa panggil Stevlanka." Stevlanka tersenyum. Banyak pasang mata yang menatapnya dengan sangat lekat, dari ujung rambut hingga ujung kaki seperti dinilai oleh mereka.

"Selamat datang di kelas yang penuh kegilaan ini," kata Bara, tersenyum girang. Laki-laki itu menatap Bu Naya. "Iya, nggak, Bu Naya?" mengangkat satu alisnya, di tambah wajahnya yang sangat tengil itu.

Bu Naya menggelengkan kepalanya. "Jangan membuat masalah dengan saya kamu Bara, mau saya suruh bersihkan toilet?" Kemudian seluruh murid di kelas tertawa menyoraki Bara. Laki-laki itu hanya menatap teman sekelasnya malas. Stevlanka ikut tersenyum.

"Stevlanka, silahkan duduk di bangku nomor dua itu," Kata Bu Naya sambil menunjuk bangku yang ia maksud. Stevlanka mengangguk, kemudian menuju tempat yang duduk yang dimaksud Bu Naya. Ia menatap gadis itu kemudian tersenyum ramah. Mengulurkan tangannya, pada teman sebangkunya.

"Stevlanka."

"Gue cantika," balas Cantika membalas uluran tangan Stevlanka. Cantika sedikit memajukan wajahnya, kemudian mengatakan, "Sesuai sama nama gue, nggak?"

"Hah?" gumam Stevlanka.

Melihat respon Stevlanka yang agak lambat, Cantika melepas genggaman tangannya. "Nggak asik lo, lemot banget. Maksud gue sesuai, nggak, kalo gue cantik?"

Stevlanka mengerjapkan matanya, tersenyum kaku, kemudian mengangguk. "Oh, i-iya, cantik."

"Thanks, ya." Cantika tersenyum sambil mengangkat satu alisnya.

"Kita mulai pelajaran, ya," suara bu Naya, membuat Stevlanka mengeluarkan bukunya. Begitupun dengan semua murid yang lain.

"Kita buka halaman-"

Suara ketukan pintu yang mengalihkan tatapan seisi kelas pada sumber suara. Tampak seorang laki-laki berdiri di ambang pintu. Tersenyum hingga memperlihatkan deretan giginya. Stevlanka menyipitkan matanya, wajah yang tak asing. Beda dengan teman sekelasnya. Menatapnya malas, sudah terlalu biasa dengan seperti ini.

"Maaf, Bu Naya, boleh saya masuk?" kata laki-laki itu meringis.

"Kamu lagi, kamu lagi. Sini masuk!" kata bu Naya tegas. Laki-laki itu melenggang masuk, menuju meja bu Naya.

"Maaf, Bu, Jakarta macet." Laki-laki itu melontarkan alasannya. Bu Naya memandang atasan seragam laki-laki itu keluar, berantakan pula. Setelah sadar arah pandangan bu Naya, laki-laki itu buru-buru memasukkannya. Kemudian tersenyum kaku.

"Apa kamu tidak berniat memperbarui alasan klasikmu itu?" sahut bu Naya dengan wajah datar, namun terkesan tegas. Laki-laki itu memilih diam.

"Keluar saja tidak usah mengikuti pelajaran saya." Bu Naya melanjutkan kalimatnya.

"Siap, Bu." Laki-laki itu menjawab dengan semangat, lalu melangkah ke luar.

"Kelakuan lo, Dan," sahut Bara menggelengkan kepalanya. Namun laki-laki itu berjalan keluar tidak menghiraukan cibiran Bara, bahkan ia tidak sadar jika ada murid baru di kelasnya.

Tepat setelah laki-laki itu keluar, Stevlanka menegakkan tubuhnya. "Ardanu." Ia bergumam.

Cantika di sebelahnya menoleh. "Kenapa? Lo bilang apa tadi?" bertanya pada Stevlanka. Gadis itu menatap Cantika, mengerjapkan mata. "Enggak, kok."

"Okay," jawab Cantika mengangguk.

Kemudian kegiatan belajar mengajar dimulai. Bu Naya adalah pengajar pelajaran Bahasa Indonesia. Wanita itu masih terlihat cantik walaupun umurnya lebih dari kepala tiga. Statusnya adalah bersuami, memiliki seorang anak. Ia di kenal dengan guru yang sangat disiplin, namun juga sangat ramah. Oleh karena itu banyak murid yang senang jika ada mapel Bahasa Indonesia.

Di tengah-tengah pelajaran, cantika menoleh ke arah Stevlanka. Gadis itu sedang mengerjakan tugas yang diberikan oleh Bu Naya.

"Stevlanka." Cantika mulai bersuara dengan nada pelan. Gadis yang ia panggil menoleh ke arahnya.

"Iya," sahut Stevlanka.

"Tunggu deh, kayanya gue manggil nama lo kepanjangan. Orang-orang juga biasanya gitu?" Cantika menaikkan satu alisnya.

"Panggil aja Vla," kata Stevlanka tersenyum.

"Oh, oke, Vla," kata Cantika. "Umm, lo kenal sama cowok yang disuruh keluar Bu Naya?" tanyanya. Stevlanka seperti berpikir sejenak, kemudian menggeleng. Nyatanya memang begitu, Stevlanka tidak mengenal Ardanu-meskipun laki-laki telah memperkenalkan namanya malam itu.

"Namanya Ardanu, dia itu terkenal cowok tengil di kelas ini. Ya, gitu deh kelakuannya, suka telat. Biasanya dia duduk di samping gue," kata Cantika sambil menopang dagu.

"Di sini?" tanya Stevlanka sambil menunjuk meja yang ia tempati.

Cantika mengangguk. "Jadi siap-siap aja lo bakal diusir, nggak papa, kan?" Stevlanka menanggapi hanya dengan senyuman. "Oh iya, dia itu agak aneh."

Stevlanka mengerutkan dahi. "Maksudnya?"

Cantika mendekatkan wajahnya, kemudian membisikkan sesuatu. "Semua omongannya jadi kenyataan, kaya dia itu tau semua yang bakal terjadi gitu. Jangan sampe lo di sumpahin."

"Cantika, saya suruh kamu mengerjakan soal!" tegur bu Naya dari tepat duduknya. mendenar teguran itu membuat Cantika menjauhkan tubuhnya dari Stevlanka. Ia meringis memperlihatkan deretan giginya pada Bu Naya.

Stevlanka hanya diam menatap Cantika, berusaha mencerna perkataannya. Apa maksudnya? Perkataan yang akan menjadi kenyataan, benarkah? Stevlanka menggigit bibir bawahnya. Jika saja di sumpahkan yang baik, seperti akan mendapatkan uang undian sebesar puluhan juta itu menguntungkan. Namun jika sumpah itu buruk, sepertinya itu tidak seharusnya terjadi. Stevlanka bergidik memikirkannya.

*****

Empat jam berlalu, guru pengajar telah keluar dari masing-masing kelas. Mempersilahkan siswanya untuk beristirahat. Stevlanka memasukkan bukunya ke dalam tas. Cantika di sampingnya sempat mengajaknya untuk istirahat ke kantin. Namun, gadis itu menolak. Hingga akhirnya mereka memilih untuk di kelas saja. Saling bertukar cerita, namun Cantika-lah yang banyak berbicara. Stevlanka hanya menyimak apa yang diceritakannya. Gadis seperti Cantika sungguh menyenangkan, selalu memiliki banyak bahan obrolan. Hari pertama untuk siswa baru sungguh tidak mengecewakan untuk Stevlanka. Ini berbanding terbalik dengan apa yang ia pikirkan sebelum masuk melewati gerbang sekolah ini. Sungguh diluar dugaan.

"Eh, Vla, dari tadi lo senyam-senyum," kata Cantika menautkan kedua alisnya. "Cerita apa kek.."

Stevlanka tersenyum. "Gue seneng ketemu sama lo."

Mendengar kalimat itu, membuat Cantika tesipu. Mendorong lengan Stevlanka menggunakan sikunya. "Bisa aja lo."

"Oh iya, kenapa lo pindah ke sini?" tanya Cantika.

Seketika raut Stevlanka berubah, senyum di bibirnya memudar. Mengapa harus ada pertanyaan seperti itu? Akankah ia mengatakan yang sebenarnya? Itu tidak mungkin. Mungkin saja setelah mendengarkan alasannya, mengapa ia pindah ke sekolah ini. Cantika langsung akan menjauhinya.

"Gue-"

"Astaga, udah mau masuk aja nih. Jam istirahat sebentar banget, ya, Bar?" Ardanu memasuki kelas bersama Bara.

"Lo yang nggak tau diri, Anjir. Udah telat, bolos pelajaran ke dua lagi," sahut Bara meninju lengan Ardanu.

Mendengarkan obrolan itu, membuat Stevlanka dan Cantika menoleh serentak. Langkah kaki Ardanu berhenti seketika, saat matanya memandang gadis yang tengah duduk di tempatnya. Tatapan mata itu masih begitu tampak jelas di benaknya. Mata mereka saling bertemu. Cantika dan Bara saling bertukar pandang. Mengangkat dagunya, seperti kode bertanya untuk bara. Sementara laki-laki itu hanya mengangkat kedua bahunya sebagai jawaban tidak tahu.

Perlahan Ardanu melangkahkan kakinya mendekati tempat duduknya-yang sekarang ditempati oleh Stevlanka. Dengan tatapan yang masih saling beradu. Ardanu menyipitkan kedua matanya menatap Stevlanka dengan lekat. Saat ini ia berada tepat dihadapan gadis itu.

Tiba-tiba Ardanu menundukkan badannya, menunjuk Stevlanka dengan jari telunjuknya tepat di hadapan Stevlanka. "Lo," kata Ardanu, "cewek yang tiba-tiba meluk gue malam itu, kan?"

Stevlanka membulatkan matanya, sungguh ingin menggunting mulut laki-laki di hadapannya ini. Tidak bisakah dengan kalimat lain? Stevlanka menatap Cantika yang menutup mulutnya karena terkejut. Stevlanka juga menatap Bara yang sedang membulatkan mata sambil memegangi dadanya.

Bara tiba-tiba mendekat. "Malam? Astaga kalian berpelukan malam-malam di mana?" tanya Bara dengan sangat frontal. Stevlanka menggeleng cepat.

"Dan, lo ngapain malam-malam sama anak baru?" Bara tidak terima, ia menepuk pundak Ardanu.

"Vla, lo ada hubungan sama Ardanu? Tadi lo bilang nggak kenal, kok ... peluk-pelukan?" tukas Cantika.

"Enggak," jawab Stevlanka cepat. Kemudian ia menatap Ardanu. "Jangan sembarangan, ya, kalo ngomong. Malam itu lo cuma nolongin gue, nggak lebih."

Stevlanka menoleh ke Cantika. "Can, gue nggak kenal sama dia. Bahkan malam itu pertama kalinya gue ketemu dia. Dia nolongin gue saat gue tersesat," kata Stevlanka beralih memandang Bara. "Jangan mikir yang aneh-aneh."

"Tapi lo meluk gue, kan, malam itu?" tanya Ardanu yang kini sudah duduk di meja Stevlanka. Gadis itu semakin kesal manatap Ardanu.

"Oh jadi yang lo ceritain waktu itu Stevlanka, Dan?" kata Cantika membuat Stevlanka menoleh.

Ardanu tidak menanggapi pertanyaan Cantika, ia justru tersenyum miring menatap Stevlanka. "Jadi, lo anak pindahan? Kok gue tadi pagi nggak sadar, ya?" Stevlanka menatap laki-laki yang duduk di mejanya itu.

Stevlanka beranjak dari tempat duduknya. Menatap Ardanu dengan sangat lekat. "Lo bisa duduk di sini." Melangkah menuju tempat duduk di paling belakang. Cantika hanya diam melihat Stevlanka yang beranjak dari tempat duduknya.

Ardanu tersenyum miring berjalan ke arah Stevlanka.

"Apa lagi, sih?" Stevlanka bertanya dengan kesal.

Tiba-tiba Ardanu mengambil tas Stevlanka. "Gue rasa lo butuh temen duduk. Duduk aja sama Cantika."

"Gue di sini aja. Balikin tas gue!" Stevlanka berdiri, menyodorkan tangannya meminta tas yang ada di tangan Ardanu. Laki-laki itu tidak menjawab, ia membalikkan badannya menaruh tas Stevlanka kembali ke tempat semula.

"Ardanu!" seru Stevlanka tegas.

Sang pemilik nama memberikan senyum pada Stevlanka. "Ternyata lo inget-inget nama gue malam itu. Gitu lo bilang nggak ada niatan kenalan. Kok nama gue diinget-inget?"

Gadis itu berjalan mendekati Ardanu. Stevlanka menggertakkan giginya, mengepalkan tangan erat-erat. Bisakah mencabik mulut laki-laki ini? Sungguh menjengkelkan. Tak lama kemudian, guru pengajar memasuki kelas mereka.

"Can, gue titip, ya?" Ardanu mengedipkan satu matanya. Cantika hanya tertawa saja. Stevlanka menatap tajam Ardanu. Menghela napas kasar, kemudian ia duduk kembali bersama Cantika.

"Can, emang rese kaya gitu, ya?" tanya Stevlanka sambil mengeluarkan buku dari dalam tasnya. Sedikit menghentakkan kesal.

"Jangan ditanya," jawab Cantika sambil tertawa geli.

Ardanu menyuruh seorang laki-laki yang duduk di sisi Stevlanka yang lain. Lebih tepatnya memaksa. Namun dengan bodohnya laki-laki itu hanya mengangguk pasrah. Ardanu menatap Stevlanka dari samping, sebenarnya ia masih heran dengan gadis yang di lihatnya. Sungguh tidak terduga, ia akan bertemu kembali dengan gadis yang ketakutan di tengah jalan dan berakhir memeluknya. Setelah malam itu, hari-hari Ardanu berubah. Pikirannya selalu tertuju pada Stevlanka. Detik berikutnya saat Stevlanka menoleh ke arah Ardanu, laki-laki itu tersenyum senang.Stevlanka menajamkan tatapannya. Ia tidak suka dengan gaya bicara Ardanu yang terkesan tidak sopan. Sok asik pula.

Bara yang duduk di depan meja Cantika dan Stevlanka, ia memutar tubuhnya menghadap kedua gadis itu. "Nama lo Stevlanka? Eh crita, dong. Pelukan gimana yang Ardanu maksud tadi?"

Stevlanka hanya menghela napasnya. Ia tidak berniat membalas pertanyaan menyebalkan itu. Namun, Cantika-lah yang menjawab. "Bibir lo mau gue pakein liptint, Bar?" sarkasnya.

"Dih, bibir lo tuh kemerahan."

Cantika menatapnya kesal. Meraih cermin kecil yang selalu di denggamannya. "Enggak, tuh."

"Cantik enggak, yang ada kaya emak-emak, lo tahu?"

Cantika bertambah berang, ia menjambak rambut Bara. Stevlanka terkejut hingga menjauhkan duduknya. Melihat Cantika yang menjambak rambut Bara. Laki-laki itu berteriak. Guru pengajar pada akhirnya menghentikan aksi gila Cantika. Seluruh kelas tertawa melihat Bara yang berantakan.

"Gila lo, Can! Nggak ada harga diri banget gue sebagai ketua kelas!" Seluruh isi kelas semakin terbahak. Stevlanka ikut tertawa kecil. Tatapan seseorang mengganggunya, ia kembali menoleh ke arah Ardanu. Laki-laki itu masih dengan posisi yang sama. Menatapnya sambil tersenyum.

******

Thanks for reading!

Cast DELUSIONS:

Alkar Luckyano

Alkar itu nggak banyak ngomong,tapi tindakannya muanis poll.Nis manisssss.

Akhirnya, Ardanu ketemu lagi nih sama Stevlanka. Mulai dari sini akan banyak banget yang terjadi. Jadi tungguin Chapter selanjutnya ya. i'll do my best!!

Jangan lupa tinggalin jejak kalian

Tanindamey
Senin, 22 juni 2020
R

evisi: Jum'at, 13 Agustus 2021


Continue Reading

You'll Also Like

118K 3.7K 55
Bagaimana rasanya menikah dengan iblis? Kenyataan itu benar benar gila DEVIL Denial Villen adalah nama siluman yang menjadi pengantar dongeng anak-an...
2.6M 138K 73
❝Diam menjadi misterius, bergerak menjadi serius.❞ -Liona Hazel Elnara Genre: 1. Drama Psikologis 2. Thriller / Suspense 3. Action 4. Romance 5. Crim...
534K 49.9K 20
[BUKAN TERJEMAHAN!] Deenevan Von Estera adalah Grand duke wilayah utara yang terkenal tertutup. Dia adalah pemeran antagonis dari cerita berjudul "Be...
226K 17.3K 18
[SEBELUM BACA JANGAN LUPA FOLLOW AUTHOR!!] Jiwanya berpindah memasuki raga permaisuri didalam novel? Bukankah terdengar aneh dan gila? Tentu saja, t...