Pagi itu Yoongi merasakan pipinya di tepuk pelan. Ia membuka kedua matanya, dan menemukan sosok yang ia tunggui sejak semalam.
Mimpi buruknya karena takut ditinggalkan gadis itu langsung sirna ketika melihat Jennie yang berjongkok di hadapannya, tersenyum manis membangunkan Yoongi dari tidurnya.
“Cepat pindah ke kamarmu, Oppa. Disini dingin.” ujarnya.
Yoongi mengerjap kecil. Ia yakin ini bukanlah mimpi. Ia masih di tempat yang sama, bersandar pada dinding di samping pintu kamar Jennie. Namun yang aneh adalah ketika dia dapat melihat Jennie tersenyum manis padanya, padahal semalam gadis itu mengunci pintu rapat-rapat, juga menangis di dalam kamar.
“Jennie?” tanya Yoongi pelan.
“Ya, ini aku. Sudah hampir pagi, Oppa. Cepat pindah ke kamarmu, sebelum Rose atau bahkan Heeyeon eonnie melihatmu tertidur di lantai seperti ini. Aku tidak mau mereka menyalahkanku karena hal ini.”
Yoongi tersenyum. Ya, ini memang benar-benar Jennie-nya.
“Maaf.” ucap Yoongi.
Bukannya menjawab, Jennie malah bangkit berdiri. “Itu hanya salah paham bukan?”
Yoongi mengangguk, lalu ikut berdiri. “Kau mau memaafkanku?”
Jennie hanya tersenyum. Senyum yang terlalu cantik dan apik untuk disebut senyum palsu. Membuat Yoongi dengan segera memeluk tubuh gadis itu dengan erat.
*
Yoongi menyelesaikan makan siangnya tanpa minat. Bagaimana Yoongi bisa makan dengan lahap dan tenang jika bayangan di pagi itu terus menghantuinya? Yoongi menghela nafasnya, seraya mengusap wajahnya dengan kasar.
Jennie memaafkannya bukan? Tapi yang terjadi selama tiga hari terakhir ini, Yoongi merasa ada perubahan pada sikap Jennie. Padahal Yoongi sudah mati-matian menepikan gengsinya demi kembali mendapat perhatian Jennie. Namun gadis itu hanya bicara secukupnya, dan bersikap sewajarnya.
Hoseok bilang mungkin Jennie sedang menunjukkan sisi dewasanya. Tapi bagi Yoongi itu adalah hal yang aneh. Dan jujur saja, Yoongi jauh lebih menyukai sikap bar-bar juga berisik Jennie dibanding gadis itu menjadi pendiam.
“Argh, kau kenapa sih?!” Yoongi mengerang, lalu menjatuhkan kepalanya pada meja kerja.
Pria itu bahkan tidak menyadari bahwa Hoseok sudah berdiri di dekat pintu, memandangi atasan sekaligus sahabatnya itu.
“Kau yang kenapa, masa kau masih tidak menyadarinya sih?”
Yoongi dengan cepat melirik pada pria yang setahun lebih muda darinya itu. “Kau tidak mengetuk pintu, ya!”
Hoseok mengedikkan bahu acuh. “Aku sudah mengetuknya, tapi kau malah bengong seperti kambing.”
Setelahnya Hoseok menyimpan berkas di atas meja Yoongi, tanpa memperdulikan tatapan tajam dari pria itu.
“Hyung, kau tahu apa kesalahanmu?”
Yoongi mendongak, menunggu Hoseok melanjutkan ucapannya.
“Kau memang sudah meminta maaf, tapi bukan berarti Jennie bisa berdamai dengan hatinya, jika kau masih saja menyakitinya.”
“Menyakiti? Tapi aku—“
“Kau pikir melihat kekasih dengan mantan kekasihnya itu menyenangkan ya?” Hoseok menggelengkan kepala. “Kau benar-benar tidak peka. Tak heran jika kau baru pacaran satu kali, itupun kandas karena sang mantan pergi dengan sahabatmu sendiri.”
“Ya!” hampir saja Yoongi melempar laptopnya pada Hoseok jika saja benda itu tidak sedang di charge.
Hoseok tertawa. Namun sedetik kemudian, tatapannya menatap serius pada Yoongi. “Hyung, kau harus bersikap tegas, jangan egosi. Kau harus memilih siapa yang ingin kau pertahankan, dan siapa yang ingin kau lepas.”
“Tak ada yang harus ku lepas.”
“Harus.” Hoseok menatap Yoongi yakin. “Tanyakan hatimu, sebenarnya apa alasanmu membuat kalian bertiga harus tinggal dalam rumah yang sama?”
“Tentu saja karena Minji.” jawab Yoongi yakin.
Hoseok tersenyum miring. Lagi-lagi alasan yang sama. “Kau tidak sadar ya sudah menyakiti tiga orang, terlebih... Jennie.”
Yoongi terdiam, mencoba mencerna baik-baik ucapan Hoseok. Masalahnya adalah, ia benar-benar tidak bisa melepaskan Minji!
“Kalau kau terus begini, Jennie bisa meninggalkanmu, hyung. Wanita itu butuh kepastian.”
“Diamlah, Jung Hoseok.”
“Aku serius. Karena nantinya dia akan bertemu dengan pria yang jauh lebih baik.” ucap Hoseok yakin. “Wendy contohnya. Setelah dia menyerah padamu, akhirnya dia bertemu denganku, pria yang jauh lebih baik.”
Hoseok terbahak, membuat Yoongi mendengus karenanya.
“Jika saja Taehyung tahu yang terjadi malam itu, mungkin dia sudah menyeret Jennie keluar dari rumahmu.”
“Yak!” Yoongi menatap Hoseok tajam.
Hoseok tertawa kecil. Puas sekali mengutarakan perkataan untuk menyadarkan Yoongi. “Berdoa lah semoga ini bukan kesempatan terakhir yang diberikan Jennie padamu.” ucapan Hoseok berhasil membuat Yoongi bungkam.
“Sudahlah, cepat pelajari kembali materi di berkas ini. Sebentar lagi kita akan rapat.”
“Hoseok-ah, belikan aku 2 botol bir sekarang.”
“Yak jangan gila! Setengah jam lagi kita rapat!”
📍📍📍
Jennie melirik Minji yang sedang berceloteh ria diatas pangkuan Rose, yang duduk di sebelahnya. Gadis kecil itu bercerita dengan lucunya mengenai kegiatan di sekolah yang dilakukannya hari ini. Setiap Minji bercerita, Jennie maupun Rose pasti saja tersenyum atau tertawa mendengarnya. Minji terlalu lucu dan menggemaskan, apalagi tangan kecilnya itu tak berhenti mengambil jelly dari bungkusan di tangannya.
“... Eunwoo bilang Seokjin appa membeli banyak sekali jelly. Jadi Eunwoo membawakannya untukku hari ini. Minji senang sekali!”
Jennie mengulurkan tangannya untuk mencubit gemas pipi Minji. Minji yang mulutnya terisi jelly memberengut kecil. “Jennie eonni pasti tidak tahan ya dengan pipi tembam Minji?”
“Tentu saja!” jawab Jennie cepat, membuat Rose tergelak setelahnya.
Ah ya, mengenai hubungan Jennie dengan Rose, keduanya sudah membaik bahkan saat pagi setelah kejadian itu. Rose meminta maaf untuk kesalahpahaman yang terjadi. Jennie sendiri sudah memaafkannya, lagipula tangan Rose memang benar-benar terluka. Dia bahkan baru membuka perban sehari yang lalu. Maka dari itu, Jennie akan menganggap adegan mengelus pipi adalah sebuah ‘kesalahpahaman’ yang harus iya maklumi juga.
Maklumi apanya?!?!
“Kalian akan pergi kemana setelah ini?” tanya Jennie setelah berhasil menghentikan mobil di depan rumah.
Rose menggeleng kecil, lalu melirik Minji. “Minji sedang ingin menghabiskan waktu dengan boneka saja katanya. Iyakan, sayang?” tanya Rose pada Minji, yang dijawab anggukan oleh Minji. Setelahnya gadis kecil itu membuka pintu mobil dan berlari masuk ke dalam rumah.
“Kalau begitu aku akan pergi dulu sebentar untuk menemui seseorang.”
Rose mengangguk. “Selamat bersenang-senang!” balasnya.
Jennie tersenyum. “Jika kalian ingin pergi keluar, jangan lupa untuk menghubungiku. Biar aku yang antar.”
Senyum yang sebelumnya terlukis di bibir Rose, tergantikan dengan wajah yang datar, menyiratkan ketidaksukaan.
“Jangan bicara seolah-olah kau adalah supir pribadiku, Jen.” ucap Rose.
Jennie menggeleng. “Tidak, aku hanya melakukan tugasku.”
“Tugas?” Rose berdecih. “Aku tidak suka kau bersikap seperti ini. Kau bukan supir, apalagi pengawal.”
“Aku pengasuh Minji.”
“Yak! Apa kau gila?!”
Jennie kembali tersenyum. “Setidaknya, itulah kesepakatanku dengan Yoongi Oppa dulu. Menjadi pengasuh Minji selama aku tinggal disini.”
Rose mengusap wajahnya kasar. “Omong kosong macam apa itu! Kau itu kekasihnya, Jennie!”
“Kekasih, ya?” Jennie tersenyum miring. Senyum yang entah mengapa terasa menakutkan bagi Rose.
“Ya, kekasih Min Yoongi. Jadi, jangan pernah bertingkah seolah kau adalah pengasuh Minji. Minji adalah urusanku, karena dia anakku. Lakukan apa yang kau ingin lakukan, jangan lagi terikat dengan perjanjian omong kosong kalian dulu.”
🔐🔐🔐
Jennie telah sampai di sebuah café. Gadis itu melambai pada seseorang yang tengah duduk di dekat jendela. Senyumnya mengembang ketika ia duduk di hadapan wanita cantik dengan rambut blonde sebahu itu.
“Menunggu lama, Wendy eonni?”
Wanita itu, Wendy, tersenyum pada Jennie. “Tidak. Hanya tiga hari tiga malam saja.”
Keduanya tertawa bersamaan dengan seorang pramusaji yang menghampiri meja mereka untuk menawarkan menu.
“Jadi, ada cerita apa?”
Jennie menggeleng kecil. “To the point sekali. Kau tidak mau kita berbasa-basi dulu ya? Kita sudah tidak bertemu selama dua minggu bukan?”
Wendy mengangguk. “Dan hari pertamaku di Seoul adalah bertemu denganmu disini.”
Jennie ikut tertawa. Gadis itu kemudian meminum milkshake cokelat yang sudah dipesankan Wendy sebelumnya. Setelahnya, Jennie merapikan sedikit anak rambutnya yang berkeliaran.
“Apa menurutmu Yoongi oppa masih menyukai Rose?”
OW, Wendy membulatkan mulutnya tak percaya. Jennie lebih blak-blakan daripada dia rupanya. “Apa dia bersikap aneh?”
Jennie terdiam, nampak menimang haruskah ia ceritakan tentang kejadian malam itu? Namun tak lama bibirnya mulai bergerak untuk menceritakan secara singkat kronologis malam itu.
“Hanya memegang pipi kan?”
Jennie menatap Wendy jengah. “Tidakkah itu aneh? Maksudku, pipi Rose bahkan tidak terlihat kotor untuk dia elus seperti sedang membersihkan sesuatu dari pipi wanita itu.”
Wendy tersenyum kecil, lalu bertanya, “Bagaimana dengan tatapannya?”
“Tatapannya ya?” Jennie nampak mengingat-ingat kembali memori kelam malam itu. “Aku tidak tahu persis sebenarnya, tapi sepertinya itu tatapan yang menyiratkan sebuah kekaguman?”
“Atau sebuah penyesalan?” Wendy menaikkan sebelah alisnya. “Jen, Yoongi pernah bercerita kalau dulu dia menyesal karena tidak bisa melindungi Rose. Juga mengesal karena tidak mengejar Rose saat wanita itu pergi. Yoongi pikir dia bisa mengurus Minji sendiri. Namun nyatanya, bayi kecil malang itu tetaplah membutuhkan sosok ibu disampingnya. Jadi kupikir, bisa saja Yoongi masih menyesali hal itu.”
Jennie terdiam untuk beberapa saat. “Apa itu... benar-benar bukan tatapan kagum dan memuja?”
Wendy mengedikkan bahunya. “Aku tidak tahu. Yang aku tahu, tatapan kagum dan memuja itu justru sering Yoongi tunjukkan untuk... untukmu, Kim Jennie.”
Keduanya terdiam. Wendy membiarkan gadis di hadapannya itu mencerna setiap ucapannya. Meyakinkan Jennie untuk tidak menyerah akan perasaannya. Karena biar bagaimanapun, Wendy tetap mendukung Jennie untuk Yoongi. Menurutnya, Jennie lah yang pantas bersama pria Min itu.
Jika diputar kembali ke belakang, rasanya lucu sekali melihat Jennie dan Wendy menjadi akur dan dekat, bahkan menjadi rekan curhat. Padahal dulu mereka saling mengangkat bendera perang, berlomba untuk mendapatkan perhatian dan hati Yoongi.
“Tapi nyatanya, Rose datang dan merusak hal itu kan?”
Ya, benar, Rose datang dan kembali merusak tatanan hati Yoongi. Pria itu kembali dibuat bimbang akan perasaannya.
Wendy mengetukkan telunjukkan pada pipi. “Dulu aku sudah mengatakannya padamu. Sainganmu bukanlah aku, tapi ibu kandung Minji. Dan orang itu Rose.” Wendy tersenyum lebar, “Aku bahkan sangat yakin kau bisa menarik Yoongi oppa dari masa lalunya itu. Kau gadis yang hebat, Jennie. Kau tidak mungkin menyerah bukan?”
Jennie terdiam. Ya, dulu dia memang sangat berambisi bisa mengalahkan Wendy untuk mendapatkan Yoongi. Tapi sekarang, yang menjadi saingannya adalah Rose, yang jelas-jelas Wendy pun tak bisa mengalahkannya padahal wanita itu dulu tidak diketahui keberadaannya. Namun situasinya berbeda sekarang, Jennie harus bersaing dengan Rose yang sekarang nampak dan ada di dekatnya.
“Jen, jika Rose benar-benar mengatakan untuk berhenti menganggap dirimu sendiri sebagai pengasuh Minji, dan meyakinkanmu sebagai kekasih Yoongi Oppa, itu artinya Rose mendukungmu. Mendukungmu untuk bersama Yoongi oppa.”
“Benarkah?”
Wendy mengangguk yakin. “Kau hanya harus meyakinkan pria itu. karena sepertinya, titiknya ada pada Minji.”
📍📍📍
Minji bilang menu makan malam kali ini rasanya sangat enak. Karena Rose dan Jennie memasak bersama, seperti biasanya.
Minji bilang menu makan malam ini rasanya enak, tapi tidak dengan suasananya. Gadis kecil itu menatap wanita yang duduk di hadapannya. Seketika pandangan mereka bertemu. Heeyeon menatap Minji dengan penuh tanya, pun dengan Minji yang seakan mengerti maksud tatapan bibinya itu.
Ini sudah hari ketiga Heeyeon merasakan hawa yang tak mengenakkan setiap mereka berkumpul bersama. Tepatnya terjadi setiap waktu makan. Jennie dan Rose sibuk dengan makanannya, tanpa sedikitpun mengucap sepatah kata yang biasanya akan mencairkan suasana.
Yoongi sendiri sedang sibuk menatap gadis yang duduk di sebelah Heeyeon. Pria itu bahkan tak menyentuh makanannya barang sedikitpun. Ia hanya terus menatap Jennie dalam diam.
Heeyeon mengerti mereka telah berbaikan, namun ia pun paham dengan perasaan Jennie. Rasanya ingin sekali memaki Yoongi habis-habisan karena adiknya lah yang membuat suasana menjadi kacau seperti ini.
“Sedang berlomba menjadi bisu ya?” ucap Heeyeon memecah keheningan. “Aku tidak tahan tiga hari makan bersama tapi saling diam seperti ini.”
Jennie dan Rose sempat melirik Heeyeon, namun keduanya hanya tersenyum dan kembali pada kegiatan makan mereka.
“Aku sudah selesai. Aku ke kamar sebentar, ya.” Jennie berdiri dari kursinya, lalu mengambil segelas susu yang belum diminumnya. “Rose, nanti aku yang mencuci piring, ya.”
Jennie melirik ponselnya, lalu mengetikkan sebuah balasan pesan untuk seseorang di seberang sana. Tangannya memutar handle pintu kamar, namun matanya masih fokus pada layar ponselnya. Sehingga ia tidak menyadari bahwa Yoongi tengah mengikutinya dari belakang.
“Jen,”
Jennie mengerjap kaget. Gadis itu membalikkan tubuh menghadap Yoongi.
“Kau masih marah?” tanya Yoongi.
Jennie menggeleng dengan cepat. “Tidak,” jawabnya.
“Kalau begitu kenapa kau masih mengabaikanku?”
Jennie hanya terdiam dengan raut wajah menyesal. Apa dia keterlaluan dengan mengabaikan Yoongi beberapa hari ini?
“Tidak, Oppa. Aku benar-benar sudah memafkanmu.”
Dengan gerakan yang cepat, Yoongi menarik Jennie ke dalam pelukannya. “Kalau begitu jangan mendiamkan aku terus.” ucapnya. “Aku minta maaf, Jen, sungguh.”
Jennie tersenyum di balik punggung Yoongi. Membalas pelukan pria itu seraya mengelus pelan punggung Yoongi.
Tak ada kata yang keluar lagi dari bibir keduanya. Yoongi dan Jennie larut dalam pelukan mereka.
Namun tak lama, denting ponsel Jennie berbunyi. Menampilkan sebuah pesan di layarnya.
Kim Taetae
19.23
Jangan khawatir. Biar aku yang tangani soal perjodohanmu itu.
🔐🔐🔐
TBC
.
.
DUAARRRR!!!
loh kok lah kok loh lah...
Nahlho, Yoon, Jennie mau dijodohin tuh 🤣🤣
Btw ada salam nih dari teman curhatnya Yoongi dan Jennie kali ini. 💙