Tanah Airku [SUMPAH PEMUDA]

By shanertaja

182K 33K 4.4K

[Dream World] 15+ Jika semesta membawamu kembali untuk melihat sejarah perjuangan bangsamu, lantas perubahan... More

Prakata
Prolog
1. Satu ... Dua ... Lari!
2. Suasana Pagi
3. Tas Hitam
4. Kotapraja Batavia
6. Jong Java
7. Malang Raya
8. Keinginan Mas Arif
9. Kamu Percaya?
10. Mas Arif Kenapa?
11. Am I Wrong?
12. Bir Pletok Engkong Badar
13. Merdeka, Kata Terlarang
14. The Congress
15. Indonesia Raya
16. Bioscoop
17. Mijn Schatje
18. Believe Me, Please
19. Apa Wetonmu?
20. Perempuan Lain
21. First Love
22. Pergundikan Hindia Belanda
23. Everything Has Changed
24. Aku Mencintaimu!
25. Kekhawatiran di Kala Senja
26. Gugur Bunga
27. Bittersweet Memories
28. Kamu dan Kenangan
Epilog
[extra+] Gadis dari Masa Depan (Mas Arif's POV)
[extra+] Is It Real?
[special chapter] On The Wedding Day
Acknowledgements & QnA
Hey! Mind To Open It?
Kamu Mau Jadi Penulis?

5. Penyuka Sajak

5.2K 1.1K 112
By shanertaja

Aku terbangun dari mimpi yang menegangkan dengan sebuah senyuman. Tadi malam, aku baru saja bermimpi kalau aku menjadi seorang intel! Aku mendapat tugas untuk menyelidiki tentang seorang bandar narkoba. Ah, aku merasa seperti menjadi seorang pahlawan dalam mimpi!

Dengan senyum yang merekah, aku turun dari kasur dan keluar dari kamar. Aku melihat Mas Arif yang tengah menyesap kopi miliknya di halaman rumah, sedangkan Bu Surnani tengah pergi ke pasar untuk membeli bahan masakan. Aku duduk di sebelah Mas Arif. Tidak ada di antara kami yang mau membuka obrolan, maka aku putuskan untuk berbasa-basi.

"Mas, kopinya rasa apa?" ucapku sambil menunjuk segelas kopi di tangannya.

"Kopi hitam, kenapa? Kamu mau? Ini pahit, lho."

"Gak, Mas. Aku gak mau," jawabku sembari menggelengkan kepalaku.

Mas Arif terkekeh, ia kemudian menaruh gelas yang dipegangnya tadi di sebelahnya. Badannya ia renggangkan, Mas Arif tersenyum manis sekali. "Kenapa gak mau? Kamu gak suka pahit, ya?"

"Iya, aku gak suka, Mas. Lebih suka teh daripada kopi."

Di tengah obrolan ku dengan Mas Arif, Ahmad berjalan melewati rumah Bu Surnani. Dengan peci hitam dan cengiran khasnya, ia menyapa aku dan Mas Arif. "Selamat pagi, Lan, Mas. Lagi ngapain nih, Mas? Ngopi-ngopi pagi, yak?"

"Pagi juga, Dot. Iya, lagi ngopi aja. Dodot mau ke mana?" balas Mas Arif yang ku ikuti dengan anggukan.

Dodot mengangkat kedua alisnya. "Biasa, bantuin Nyak, pamit dulu ye, Mas, Lan!" ucap Dodot sembari berjalan menjauhi kami.

Obrolan kami pun dilanjutkan, tapi beberapa saat kemudian Mas Arif izin untuk mandi karena siang nanti ia akan pergi menemui teman seperjuangan lainnya. Aku masih setia duduk di halaman rumah sembari menunggu Bu Surnani pulang dari pasar. Ku lihat orang-orang yang berlalu-lalang di sekitaran sini. Mereka terlihat sibuk dengan urusannya masing-masing, sedangkan aku hanya bersantai-santai saja di sini.

Aku jadi kepikiran, bagaimana caranya agar aku bisa kembali ke masa depan, ya? Aku mulai merindukan kedua orang tua dan teman-temanku di sana. Aku juga rindu dengan gonggongan dari anjing milik tetanggaku di sore hari. Terlalu larut dalam pikiran, aku sampai tidak sadar kalau Bu Surnani sudah kembali dari pasar.

"Nak Lana mikirin opo toh sampai gak sadar kalau Ibu sudah pulang?" Bu Surnani tertawa pelan. Kerutan di wajahnya jadi terlihat semakin jelas.

"Gak mikirin apa-apa kok, Bu. Hehehe," kilahku. Tak mungkin juga aku bilang kalau aku sedang memikirkan cara untuk kembali ke masa depan, kan?

Mas Arif masuk ke dalam obrolan kami dengan penampilannya yang lebih segar. Ia kemudian berpamitan pada kami dan pergi. Aku hanya menatap punggungnya yang menjauh. Bu Surnani bercerita pada ku tentang kejadian di pasar pagi tadi. Menurut penuturan beliau, tadi sempat ada bentrokan antara beberapa centeng Belanda dengan pedagang di pasar. Aku hanya menyimak cerita beliau. Setelah selesai mendengarkannya, aku pun izin untuk mandi.

Selesai mandi, aku membantu Bu Surnani memasak. Menu makan siang hari ini adalah tumis kangkung dan frikadeller atau yang mungkin biasa dikenal dengan perkedel. Aku membantu beliau menumis kangkung serta menumbuk kentang untuk perkedel. Harum masakan menusuk indra penciumanku. Cacing-caing di perutku sepertinya sudah memulai konser keroncongnya.

"Yeaay!" seruku ketika makanan sudah selesai disajikan. Sekarang, saatnya aku mensejahterakan perutku dengan hidangan lezat ini! Dengan penuh semangat, aku melahap tumis kangkung dan perkedel yang kami masak. Bu Surnani tersenyum melihat tingkahku. Beliau memintaku untuk makan pelan-pelan agar tidak tersedak, aku pun menuruti permintaan beliau.

Matahari yang semula bersinar di atas kami kini mulai membenamkan dirinya di ufuk barat. Entah mengapa aku merasa bosan saat ini. Aku memutuskan untuk melihat-lihat beberapa foto yang dipajang di atas meja pribadi milik Mas Arif. Foto-foto yang menampilkan gambaran masa kecil Mas Arif itu sepertinya diambil sewaktu Mas Arif tinggal di Malang karena latarnya terlihat berbeda dengan rumah ini. Aku menyunggingkan senyum, Mas Arif rupanya sangat manis sekali waktu kecil.

Sekarang juga masih manis, sih ....

Puas melihat foto-fotonya, atensiku beralih pada sebuah buku berwarna cokelat yang tersimpan rapih di atas mejanya. Aku penasaran dengan isinya, tetapi aku tidak berani membukanya. Ku intip sebuah kertas yang terselip di dalam buku itu. Ternyata, kertas ini berisi sebuah untaian kata-kata indah yang dibuat oleh Mas Arif. Aku membaca isi kertas itu, rasanya seperti ada sesuatu yang menghantam dadaku, sesak.

Boemi Bersama

Djika air mata, darah, dan pengorbanan masih tak tjoekoep oentoek membawa negeri ini pada kebebasan.

Djika tangisan, djeritan, dan perlawanan jang diberikan masih tak tjoekoep oentoek membawa negeri ini pada kemerdekaan.

Biarkan kami berdjoeang demi kemerdekaan bangsa ini. Bangsa jang masjhoer di tanah boemi bersama.

Merdeka!

Sebelum air mataku turun lebih dulu, aku buru-buru menaruh kembali kertas itu dan menyelipkannya pada buku cokelat tadi. Ya Tuhan, sebegitu besarnya keinginan Mas Arif untuk bangsa ini. Aku menelan ludahku, kemudian memilih untuk duduk di halaman rumah sembari menikmati langit senja hari ini.

Mas Arif pulang lebih cepat daripada biasanya. Wajahnya menunjukkan sebuah senyuman yang membahagiakan.

Duh, manisnya!

"Lan? Kamu gak masuk? Sebentar lagi magrib, langit udah mau gelap. Ayo masuk!" katanya.

Aku mengangguk, lalu mengikuti langkahnya masuk ke dalam rumah. Mas Arif menarik bangku yang ada di bawah meja pribadinya dan mendudukinya. Ia membuka buku cokelat yang aku lihat tadi.

Mataku meliriknya sekilas, buku itu rupanya berisi sajak-sajak ciptaan Mas Arif. Sepertinya Mas Arif sadar kalau aku tengah memperhatikannya, ia pun menyuruhku untuk mendekat dan berkata, "Sini aja Lan kalau mau lihat,"

Dengan malu-malu aku mendekat, Mas Arif menunjukkan kumpulan sajak yang ia buat padaku. Rata-rata sajak ini bertemakan perjuangan dan keinginan Mas Arif agar bangsa ini bisa merdeka dan terbebas dari belenggu penjajahan. Tapi, ada satu sajak yang ia buat khusus untuk sang ayah.

"Mas Arif suka bikin sajak, ya?" ucapku sembari membuka lembar demi lembar buku cokelatnya.

"Iya, aku memang suka menulis sajak, Lan. Aku tertarik dengan dunia sastra."

Oh, pantas saja, ternyata Mas Arif tertarik dengan dunia sastra, toh. Aku sih tidak begitu tertarik dengan dunia sastra, aku lebih suka menghitung daripada membuat untaian kata-kata. Harus ku akui kalau sajak ciptaan Mas Arif sungguh bagus. Jika ia bersekolah di sekolahku, aku yakin Pak Yadi, guru Bahasa Indonesia-ku akan menjadikan Mas Arif sebagai siswa favoritnya!

"Sejak pulang tadi, Mas Arif gak berhenti tersenyum. Ada apa memangnya?" Aku bertanya pada Mas Arif karena ia tak henti-hentinya menyunggingkan senyum sumringahnya.

"Sebentar lagi perjuanganku dan teman-teman lainnya akan terbayar, Lana." Mas Arif terlihat begitu antusias dengan pembicaraan ini.

"Aku dan teman-temanku akan melakukan pemberontakan. Doakan saja semoga berhasil," sambungnya.

Pemberontakan? Pemberontakan apa?

Aku menatapnya bingung, sedangkan Mas Arif masih setia menatapku dengan senyumannya. Aku menghela nafasku. "Pemberontakan apa, Mas?"

"Nanti akan aku beri tau, tapi gak sekarang."

Raut kecewa terlihat dari wajahku. Jawaban Mas Arif membuatku harus bersabar menunggu agar rasa penasaranku dapat dijawab olehnya. Tiba-tiba aku teringat dengan tas hitam yang ia bawa kemarin! Aku pun memutuskan untuk bertanya padanya, "Kalau tas hitam yang kemarin Mas bawa itu isinya apa?"

Mas Arif terdiam beberapa saat. "Tas kulit yang kemarin maksudmu?"

Aku mengangguk pelan. "Iya, itu isinya apa, Mas?"

"Oh, rancangan strategi pemberontakan. Memang kenapa?" jawabnya santai.

"Di ujung tasnya ada tulisan M1928, kalau itu artinya apa, Mas?" tanyaku lagi.

Ia tak langsung menjawab, Mas Arif justru terlihat berpikir sejenak sebelum memberikanku jawabannya. "Aku gak ingat, Lan. Tulisan di bagian mana itu?"

"Ih, ada di ujung tasnya."

"Yang mana sih? Aku gak ingat."

"Ya udah, lupakan aja deh," balasku kesal. Aku mengalihkan tatapanku yang semula menatap Mas Arif menuju sebuah lemari kayu yang tak jauh dari kami. Mas Arif tertawa terbahak-bahak melihatku yang kesal atas jawabannya tadi.

"Astaga, Lana ..... Aku hanya bercanda. Tas itu milik salah satu kawanku, M1928 artinya Merdeka1928. Sudah ya, jangan merajuk seperti itu." Mas Arif mengelus-elus kepalaku, masih dengan tawa kecilnya.

"Oh ... aku gak merajuk, tuh," ucapku.

"Hmm ... serius?"

"Iya, Mas. Duarius deh," jawabku sambil terkekeh.

Aku kemudian duduk di kursi yang tak jauh dari meja pribadi Mas Arif. Melihat Mas Arif yang tengah disibukkan oleh berkas-berkas di mejanya membuatku teringat dengan rutinitas malamku. Aku biasa membaca ulang materi pelajaran yang aku dapat dari sekolah sebelum tidur. Keadaan meja belajarku saat melakukan rutinitas malam itu benar-benar sama seperti keadaan meja pribadi Mas Arif saat ini.

Berantakan!

Sepertinya aku sudah mulai diserang oleh rasa kantuk. Aku menguap, hal itu membuat Mas Arif menengok ke arahku. "Kamu ngantuk, Lan? Kalau ngantuk ke kamar aja. Ada Ibu kan di kamar?"

"Gak ngantuk kok, Mas." Aku berbohong padanya. Sebenarnya aku masih ingin melihat Mas Arif lebih lama lagi, entah mengapa melihat wajahnya yang manis itu bagaikan candu untukku. Mas Arif hanya mengangguk setelah mendengar jawabanku, ia lalu kembali fokus dengan berkas-berkas yang ada di mejanya.

Keinginanku untuk melihat Mas Arif lebih lama lagi rupanya kalah bertarung dengan rasa kantuk yang menyerangku. Aku tertidur di kursi. Sebuah tangan menahan tubuhku dan mengangkatnya ke kamar. Aku tau pasti, ini adalah tangan Mas Arif. Entahlah, aku sebenarnya merasa tidak enak pada Mas Arif karena ia harus mengangkat tubuhku yang tak ringan ini. Namun, di sisi lain aku juga terlalu malas untuk membuka mataku yang hanya tersisa beberapa watt ini. Tubuhku dibaringkan di atas kasur. Sebelum Mas Arif pergi kembali ke meja pribadinya, aku dapat mendengar ia berbisik lirih.

"Sudah tau mengantuk, tapi malah memilih untuk tetap duduk di kursi. Aduh, Lana ... ada-ada saja kelakuanmu. Selamat malam ya, sudah aku pindahkan kamu ke kasur agar dapat tidur dengan nyenyak. Mimpi indah."

📃📃📃

Continue Reading

You'll Also Like

292K 808 7
kisah hanni mempunyai ayah sambung yang tampan, gagah, dann.. hot🥵 • • • perhatian!!! khusus 18+ mohon bijak dalam membaca dosa di tanggung masing...
95.9K 13.2K 122
Sekar Ayu Damacakra, seorang putri kerajaan kecil di ujung barat perbatasan yang sudah dijodohkan dengan sepupunya sendiri, tiba-tiba saja dipaksa me...
Vilvatikta 2 By rahmadhany

Historical Fiction

17.2K 2.2K 31
"Miliki semuanya Kangmas, harta-harta itu tidak ada harganya sama sekali di mataku. Aku cukup menghormatimu karena engkau seorang pemimpin sekaligus...
401K 59.6K 84
"Became the Most Popular Hero is Hard" adalah judul novel yang saat ini digemari banyak pembaca karena memiliki visual karakter dan isi cerita yang m...