Down There Is What You Called...

By Atikribo

93.1K 10.1K 2.6K

Kepergian sahabatnya meninggalkan sebuah tanda tanya besar dalam diri Raka. Ketika semua orang mengatakan pen... More

Sebelum Menjelajah
Chara Profile
Surface - 1
Surface - 2
Surface - 3
Surface - 4
14 Years Ago, Capital City
Somewhere - 1
Somewhere - 2
Surface - 5
Surface - 6
1st Floor
2nd Floor
3rd Floor
4th Floor
5th Floor
At The Corner Of His Memories
6th Floor
10K READS: GIVE-FRICKIN-AWAY!! (Closed)
7th Floor
GIVEAWAY CLOSED
GIVE-FRICKIN-AWAY WINNER
8th Floor
9th Floor
10th Floor
11th Floor
12th Floor
13th Floor
14th Floor
15th Floor
Somewhere - 3
16th Floor
17th Floor
18th Floor
19th Floor
20th Floor
Antarkasma - 4
Antarkasma - 5
21st Floor
Antarkasma - 6
Antarkasma - 7
22nd Floor
23rd Floor
Orenda, 14 Years Before
Orenda - 7 Years Before
24th Floor
Antarkasma - 8
25th Floor
26th Floor
27th Floor
28th Floor
Antarkasma - 9
29th Floor
30th Floor
Epilog
Afterwords & Surat Cinta
Bincang Ubin Vol.1
FLOOR NEW YEAR SPECIAL: College AU
Bincang Ubin Vol. 2
Maps & Glossarium

31st Floor

512 77 17
By Atikribo

RAHANG LUKE MENGERAS, Kres mengerutkan alis, sementara Raka —duduk di kursi terpisah dan berseberangan cukup jauh dari mereka— memasang mata serta telinganya baik-baik. Orang-orang berkepentingan itu menunggu salah satu di antara mereka menjawab. Sedetik, dua detik berlalu. Salah ucap sedikit maka habislah sudah. Raka takkan heran jika perjalanan ini menjadi berdarah-darah.

"Maaf, siapa?" Nova membuka bibir, menanggapi setenang yang ia bisa. Setelah mengganti baju, gadis itu mengenakan tudung dan juga syal untuk menutupi wajahnya jauh sebelum orang ini datang.

Pria yang bertanya berpenampilan lebih rapi dibandingkan dua sisanya. Jelas ia dikawal. Rambut sebahu dengan tubuh yang cenderung ramping, pria itu mengenakan kemeja dan tunik berwarna terang. Celana kargonya memberikan kesan rapi tanpa tas dan aksesoris apapun yang ia bawa. Bisa jadi ia orang penting yang enggan mengotori tangannya.

"Nova Sarojin," ulang pria itu memajukan tubuhnya, mengamati lamat-lamat sosok gadis di hadapannya. Dari suaranya ia terdengar tersenyum namun begitu dingin, "Jangan pura-pura bodoh begitu."

"Aku benar-benar tidak tahu siapa orang yang kau sebut," jelas Nova, "Nampaknya kau salah orang, maaf."

"Ah... begitukah?" pria itu memegang kerah tuniknya, berjalan mundur. Keputusan pria itu untuk tidak mengkonfrontasi malah membuat Raka semakin was-was, "Maaf mengganggu kalau begitu."

Kedua pengawal yang mengenakan masker saling tatap namun postur mereka tetap siaga. Merekat tidak ikut duduk, melainkan berdiri di lorong, di samping kursi pria berpakaian necis itu; tepat di belakang Nova. Kerongkongan Raka terasa kering. Begitu saja? Tidak mungkin 'kan?

Luke menatap Raka dari kursinya, menggerakan kepalanya seminimal mungkin untuk mengetahui keberadaan orang-orang itu. Pura-pura mengusap wajahnya, Raka memberikan isyarat bahwa orang-orang berseragam itu duduk di belakang mereka. Entah paham atau tidak, Luke mengangguk pelan, menepuk tangan Nova beberapa kali, dan berdiri sembari membawa tas yang berisikan senjata api.

Nova tampak tegang. Menggigit bibir, gadis itu menarik napas. Mereka tahu mereka belum aman. Luke berjalan ke arah berlawanan dari tempat Raka duduk dan menghilang dari balik pintu. Suara laju kereta api yang beradu mengisi kesunyian, setiap detik yang berlalu tak meredakan kecemasan yang tak tergambarkan itu.

Si pria necis menghela napas panjang, suaranya dipaksakan terdengar nyaring, "Kau tidak perlu berbohong, lho. Karena aku tahu." Ia berbalik, menunjukkan separuh kepalanya dari kursi. Wajah yang tertutup masker tak bisa menggambarkan ekspresi di balik kata-katanya, "Air muka kalian terlihat tegang; tidak biasa menyimpan rahasia ya?"

Kres angkat bicara, "Dia bilang, dia tiak tahu, Pak. Anda telah membuat kami tidak nyaman, kami bisa memanggil petugas keamanan."

"Petugas keamanan?" pria itu mendengus, "Mereka tidak akan datang. Dalam kereta ini hanya ada kita dan kita seorang." Ia mengulurkan tangannya dan menarik tudung beserta rambut Nova secara bersamaan.

Pekikan gadis itu membuat Kres terkesiap. Akan tetapi, segala gerakan yang tiba-tiba membuahkan para pengawalnya untuk menodongkan senjata.

"Kau tidak bisa bohong, Nova Sarojin. Tidak bisa bohong!" desis pria itu di telinga Nova.

"Aku tidak tahu siapa yang kau maksud," ringis Nova, menahan sakit.

"Lepaskan dia," ujar Kres setenang mungkin.

Pria bermasker itu mengencangkan cengkramannya disusul oleh ringisan Nova lagi, "Atau apa? Gadis ini tahu betul betapa berharga dirinya. Jadi lebih baik kau mengaku saja, sebelum ada pertumpahan darah yang tidak perlu."

"Aku tidak tahu siapa itu...Nova Sarojin," suara Nova terdengar gemetar.

Raka diam-diam memuat peluru pada pistol dan membuka pengamannya. Salah satu pengawalnya beberapa kali menatap Raka namun ia lebih waspada pada Kres yang jaraknya lebih dekat. Apa yang harus ia lakukan? Menembak?

"Bilang kalau kau tidak tahu sekali lagi, maka aku akan—"

"Akan apa, Pak?" Raka, berwajah sepolos yang ia bisa beranjak dari kursi. Pistol dan belatinya ia simpan tersembunyi di balik jubah dan tuniknya namun dapat ia raih dengan cepat jika dibutuhkan, "Apa ini caramu memperlakukan seorang perempuan? Enggak malu apa?"

Pengawal itu mengarahkan senjatanya pada Raka, memberikan isyarat untuk duduk. Akan tetapi, Raka tidak menurutinya. Mengangkat kedua tangannya, pemuda itu tetap berdiri. Ia berjalan ke tengah lorong bahkan, memikirkan cara bagaimana bisa mengelabui atau melawan kedua pengawal bertubuh besar.

"Lebih baik kau tetap duduk di sana, Nak," si pria berpenampilan necis menghentakkan Nova yang sudah mulai berkaca-kaca, "Bukan saatnya kau sok-sokan menjadi pahlawan seperti itu."

Gadis itu menatap Raka takut. Ia menggelengkan kepala perlahan. Kerongkongan Raka terasa kering. Luke di ujung gerbong menunjukkan batang hidungnya dengan senjata yang sudah ia siapkan.

"Tapi, aku enggak bisa membiarkan seorang gadis menangis dan ketakutan seperti itu, tahu?"

Pintu gerbong terbuka, Luke menembakkan pelurunya pada jendela kereta. Suara lontarannya mengejutkan semua orang. Pria necis itu sontak menoleh, melepaskan cengkramannya rambut Nova. Meraih gadis itu, Kres memposisikannya di belakang tubuh; melindunginya. Kedua pengawal mengarahkan senjatanya pada Luke.

Momentum yang begitu sempit adalah satu-satunya kesempatan Raka menjegal si pengawal. Melihat sosok Luke di balik pintu, Raka tahu apa yang akan pria botak itu lakukan. Raka mengambil langkah lebar, menghunuskan belati dari pinggangnya dan menyayat paha pengawal terdekat.

Pria itu bergeming, mengalihkan tatapannya pada Raka. Tak ada darah; sayatan itu hanya menyobek sedikit seragam si pengawal. Si pengawal sudah mengarahkan popor senjatanya pada kepala Raka namun dia kalah gesit. Tanpa pikir panjang Raka menusukkan belatinya di tempat yang sama, menghasilkan raungan mengerikan dari sosok itu.

Lukanya dalam. Belatinya berubah merah ketika dicabut, meneteskan kentalnya darah. Gang sempit di antara kursi bukanlah tempat ideal untuk bertarung. Jarak pandangnya mengecil, ruang geraknya pun tidak leluasa. Raka mengambil langkah mundur, Nova tengah berlari ke kursi paling belakang; berlindung.

Geraman si pengawal tidak seberapa dengan pekikan Nova ketika rentetan tembakan senjata mengenai jendela kereta. Hingar bingar dan hancur berkeping-keping. Angin berhembus kencang seiring dengan laju kereta, membuat hawa panas serta debu masuk ke dalam gerbong. Luke menembakkan senapan serbu itu pada si pengawal di hadapannya. Namun lontaran peluru yang tidak terkontrol tak bisa membedakan mana kawan maupun lawan.

"Kenapa Luke malah menembak?" seru Kres sembari berlindung di balik kursi, memuat peluru pistol yang ia miliki.

Desir adrenalinnya membuat Raka lebih bersemangat dari yang seharusnya. Mengingat ia hanya seorang rakyat sipil tanpa menggunakan baju anti peluru, nyawanya bisa hilang kapan saja. Setiap lontaran peluru yang mengenai kursi maupun celah antar jendela membuatnya tersentak. Ini tidak baik, ceroboh sedikit saja mereka bisa terpojokkan.

Secara posisi mungkin mereka lebih menguntungkan: sosok bermasker gas itu berada di tengah sementara Raka dan yang lain berada di kedua ujung gerbong, menutup akses keluar masuk. Jika salah posisi, para pengawal dan pria necis itu bisa saja terluka entah dari sudut sebelah mana. Hanya saja mereka profesional. Kesalahan posisi tidak akan berpengaruh banyak kecuali mereka benar-benar beruntung.

Meski sejenak, baku tembak di gerbong itu berhenti. Kres dan Raka saling tatap. Hal yang paling masuk akal adalah kabur namun mereka tidak mau meninggalkan Luke di sudut kereta sendirian. Deru napas dan rintihan yang tertahan terdengar berat. Nampaknya salah satu pengawal masih kesulitan menangani luka tusuk itu.

Dalam diam Kres mengisyaratkan agar mereka mendekat dan menjatuhkan para pria bermasker itu. Satu langkah. Luke dan pria pengawal itu melontarkan lagi pelurunya. Serangan bertubi-tubi itu menghentikan gerakan mereka. Kres meringis, Raka beberapa kali mengintip ke belakang, memastikan Nova baik-baik saja.

Hening menyambut. Tiga baris lagi menuju tempat orang-orang bermasker gas itu berlindung. Akan tetapi, ketika kedua pemuda itu hendak berpindah, si Pengawal sudah bersiap di balik kursi, mengarahkan senjatanya pada mereka. Peluru dilontarkan, Raka hampir tertembak.

Raka terengah, memandang Kres yang sudah bersiap dengan pistol di tangannya. Pemuda itu mengedikkan kepala, mengisyaratkan Raka untuk maju. Aku akan melindungimu, gesturnya berbicara. Air liur membasahi kerongkongan kering Raka. Ia menyiapkan belati di pinggang dan mengangguk.

Kres berdiri, menembakkan peluru pistolnya pada si pengawal dan pria necis. Sulit mengarahkan pistolnya ketika Luke juga menembak di waktu bersamaan. Raka yang merangkak ke depan untungnya tidak menjadi fokus utama para pria bertopeng untuk mengarahkan pistolnya. Pelan namun pasti, Raka bergerak di sudut-sudut mati mereka. Satu baris lagi maka Raka akan tiba di belakang kursi si pengawal berlindung.

Laras senjata si Pengawal tampak ketika Raka sudah berada tepat di belakang kursinya. Setiap lontaran peluru terdengar nyaring dan denting selongsong berjatuhan bergema di telinga Raka. Kres masih menembaki khususnya si pria necis yang kerap menggeram frustasi. Waktu yang tidak tepat dapat menghancurkan kepala Raka.

Raka mendongak, mengangkat tangan untuk menggenggam dan mendorong laras senjata pria itu ke samping. Pelurunya terlontar ke langit-langit gerbong, memecahkan jendela kereta. Raka menonjok wajah pria itu sekuat tenaga, mendorong senapannya ke atas, mengabaikan rasa ngilu di tinjunya ketika mengenai masker. Satu gerakan, Raka menarik senjata itu dari tangan si pengawal dan kini sudah berpindah di tangan Raka.

Tangan Raka gemetar, jantungnya berdebar. Kresna menembakkan pistolnya pada tangan si pria necis ketika Raka muncul dari belakang kursi; disusul oleh raungan penuh kesakitan. Raka cepat bergerak menuju tempat si pria necis, menendang pistolnya yang terjatuh menjauh. Sementara Kres bergerak ke tempat Raka, mengarahkan pistolnya ke kepala pengawal yang Raka jatuhkan barusan. Segala tembakan dari sisi Luke tak kunjung berhenti namun dengan si pria necis yang menjadi sandera membuat pengawal itu mau tak mau menggencatkan senjatanya.

Luke berjalan mendekat, senjata api masih ditodongkan, secara mengejutkan cukup piawai menggunakannya. Ia mengisyaratkan si pengawal untuk menurunkan senjatanya. Satu peluru ditembakkan ke langit-langit sebagai gertakan. Meski tidak bisa melihat ekspresi orang-orang di balik topeng itu, Luke memastikan bahwa dia menurut.

Mereka kira, mereka telah mengamankan keadaan. Senapannya diletakkan di lantai dan ditendang ke tengah-tengah lorong. Ketiga orang bertopeng itu berhasil ditangani dan Nova menunjukkan wajahnya perlahan dari balik kursi. Garis kegelisahannya mengendur. Namun si pria necis tiba-tiba tertawa. Raka yang dari tadi menahannya terkejut, menghentakkan tubuh pria itu agar tetap tenang.

"Sekarang aku tahu kalau dia memang benar Nova Sarojin," ujar pria itu seusai menggelakan tawanya, "Ini akan mempermudah segalanya."

Belum pria itu selesai bicara, pintu gerbong di sisi Raka tiba-tiba terbuka. Seorang pria bertubuh sama besarnya dengan para pengawal muncul entah dari mana. Bagaikan serigala menunggu waktu yang tepat, sosok itu meraih Nova yang terpana, menjambak rambutnya dan menjadikannya sandera. Fokus Raka, Kres, dan Luke beralih pada gadis itu. Di saat yang sama, pengawal yang Raka jatuhkan menepis pistol yang Kresna todong, meraihnya dan kini mengacungkannya pada Kresna. Luke mengambil langkah panjang, menendang senjata itu dari jangkauan siapapun. Permainan sandera ini sangat tidak menyenangkan. Nyawa orang menjadi taruhannya.

Ketegangan di antara mereka terpecahkan oleh suara tawa si pria necis; nyaring dan melengking. Napas tertahan, jiwa yang tertekan...antisipasi dari konsekuensi bukan lagi prioritas. Betapa sinting ketika Raka sudah tidak lagi memikirkan nyawa orang lain. Dengan sadar, ia menjedotkan kepala si pria necis ke dinding kereta hingga tak sadarkan diri.

Menjatuhkan pria itu, Raka mengarahkan kembali senjata yang telah ia rampas pada para pengawal. Namun gertakannya tak lagi berguna. Pelatuk ditarik, peluru tertembak, refleks Kres yang tidak seberapa membuahkan peluru itu mendarat di lengan atasnya.

Nova meneriaki nama Kres; berlinangan air mata. Dibalik ronta dan raungan gadis itu, sosok yang menggendongnya tidak berkutik ketika bosnya tak sadarkan diri. Alih-alih meremukkan gadis itu, dia pergi. Raka tahu mereka tidak akan membunuh Nova karena Orenda membutuhkannya hidup-hidup. Si pengawal menodongkan pistolnya pada Raka, tetapi gerakan Raka lebih cepat. Dengan popor senjatanya ia memukul tangan pria itu, menjatuhkan pistolnya jauh ke lantai, kemudian memukul wajahnya hingga babak belur.

Napasnya menderu, telinganya tak dapat mendengar apapun selain suara hantaman senjata dengan wajahnya. Raka terus melampiaskan amarah dan frustasinya pada pengawal itu sampai ia mendengar Luke kerap memanggil namanya. Matanya terbelalak ketika sosok di hadapannya semakin lebam dan merah karena darah. Raka berdiri, mendapati pengawal kedua yang sudah tak bernyawa. Perutnya bergejolak, Luke kembali memanggil namanya.

"Kau membunuhnya?" kerongkongan Raka terasa kering, perutnya melilit.

"Sekarang bukan waktunya untuk itu! Ambilkan pakaian atau kaosmu, cepat!" Luke tengah menekan luka di lengan Kres. Baju dan lengannya berubah warna merah. Wajah Kres memucat, napasnya terengah.

Raka mengambil kaos yang ia kenakan tadi dan melemparnya pada Luke. Sementara Luke menekankan lukanya, Kres berusaha mengatur napasnya dari rasa syok, "Aku enggak apa-apa. Aku enggak apa-apa. Kejar Nova sekarang, aku akan baik-baik saja."

Luke menatap Raka, menyuruhnya pergi dengan wanti-wanti, "Jangan sampai dia terluka. Aku akan menyusul."

Menyeka wajah dan berjalan ke bordes kereta, Raka menuju gerbong selanjutnya. Pemuda itu berusaha sedemikian rupa melupakan pemandangan barusan. Darah dan jasad seseorang akan menjadi pemandangan biasa. Raka pun tidak peduli lagi akan kenyataan bahwa dia nyaris membunuh orang dua kali. Dunia ini mempengaruhinya dan ia hanya beradaptasi. Tidak ada yang salah.

Raka memegang senapan serbu di tangan; gemetaran. Ia belum pernah menembak. Kelihatannya memang mudah, tetapi bagaimana jika nanti malah mengenai Nova? Jika memang Raka harus membunuh, dia tidak mau membunuh karena kecelakaan.

Menarik napas dalam-dalam, pemuda itu membuka pintu menuju gerbong lain. Kosong. Nova dan pria itu mungkin berada di gerbong paling belakang. Desir jantungnya terasa hingga telinga. Setiap langkahnya penuh pertimbangan. Ia selalu was-was akan setiap pintu yang ia buka. Akankah seseorang menantinya atau hanyalah gerbong kosong lagi?

Nomor gerbong terpasang di dinding, menunjukkan angka tiga. Ia kira antek terakhir itu akan bersiaga dengan senjata yang ditodong tepat ke wajahnya, tapi tidak. Pistolnya tepat diarahkan ke kepala Nova. Lengan pria besar itu mengunci tubuhnya, membuat kaki gadis itu tidak menyentuh tanah. Mata Nova memandangnya ngeri, mulutnya terkunci.

"Satu gerakan saja, dia mati," ancam pria itu. Warna kulitnya kelabu, terbalut pakaian dengan model hampir sama dengan Raka.

Raka mendengus, larasnya masih diarahkan pada pria itu, "Kau enggak akan berani."

Pelatuk ditarik, peluru menembus langit-langit. Napas Nova tertahan, matanya terbelalak, sama terkejutnya dengan Raka. Pria kelabu itu mengisyaratkan Raka untuk menjatuhkan senjata. Menurut, pemuda itu menurunkan senjatanya. Jika dia memang akan melukai Nova, seharusnya pria itu menembak kaki gadis itu, bukan menembak langit-langit kereta.

Raka menurunkan senjatanya perlahan dan mendorongnya menjauh ke tengah gerbong. Penyandera itu berjalan mendekat sementara Raka memegang belati di pinggangnya. Ketika pria itu membungkuk untuk mengambil senjata, Raka berlari maju. Menyadari gerakan Raka, pria itu melempar Nova ke kursi bagaikan barang. Suara benturannya kencang. Raka menjatuhkan tubuhnya, memanfaatkan pakaiannya yang licin untuk memperkecil gaya gesek.

Belati dihunuskan ke kaki, sosok pria itu meraung kesakitan. Satu tarikan belatinya membuat raungan pria itu semakin menggelegar. Di saat yang sama, pria itu mengayunkan popor senapan itu pada kaki Raka, menghantamnya sekuat tenaga.

Lidahnya tergigit, sakitnya bukan main namun tak ada suara yang keluar dari mulutnya. Raka bertumpu pada tangan, menahan sakit untuk bangkit. Jika bukan sekarang, pria yang mencoba menghentikan pendarahan itu akan menembaknya. Tanpa pikir panjang, Raka menerjang sosok itu. Tubuh Raka yang kalah besar tak bisa menyeimbangi tenaga sosok itu —meskipun dia tengah kesakitan.

Seperti menyerang monster yang mengamuk, serangan Raka dengan mudah dihentikan. Pria itu mencengkram lehernya, mengangkat Raka cukup tinggi dengan satu tangan. Kakinya yang terlepas dari tanah menendang sementara tangannya yang bebas mengayunkan belatinya. Namun tangan kiri pria itu mencengkram tangan Raka, menahan gerakannya.

Pria itu tidak tahu Raka memegang pistol di tangan kirinya. Napas yang tertahan, paru-paru yang terbakar. Fokus pria itu pada Raka membuatnya terbelalak ketika dingin pistol terasa di kulit. Orang itu tak punya cukup waktu untuk menempis. Raka menyeringai, menarik pelatuknya. Dengung nyaring menulikan. Sekali...dua kali...tiga kali... tangan gemetar melepas cengkraman, merah menembus pakaian.

Pria itu menekan perutnya yang tak terkontrol mengalirkan darah. Pupilnya mengecil, tubuhnya kehilangan keseimbangan. Terjatuh, ia termegap mengambil napas. Raka dengan cepat mengambil senapannya lagi meski kaki begitu ngilu untuk digerakkan dan terduduk tak jauh dari sana.

Napas Raka terengah, tubuhnya gemetar, sosok pria yang mati perlahan ini membuat perut Raka melilit. Darah mulai menggenang, tubuh Raka terasa dingin. Dalam diam ia hanya melihat sosok itu mengambil napas yang kian memendek. Tengkuknya meremang. Ia membunuh seseorang. Kali ini manusia.

Sentuhan tangan Nova mengejutkan pemuda itu, membawanya kembali ke realita, bukan lagi rasa bersalah. Gadis itu memeluk Raka, terisak, "Maaf...maaf.... Dia sudah mati, Raka. Dia sudah mati...," bisiknya.

Tangan Raka yang gemetar secara perlahan membalas pelukan gadis itu. Hati yang mencelos dan mata yang kosong terus menatap sosok pria yang sudah hilang nyawa kehabisan darah.





Segala keributan dan baku tembak ini tidak membuat masinis keluar dari ruang kemudinya. Entah disogok atau disuruh tutup tutup mata; mayat dan tubuh orang tak sadarkan diri tidak membuat kereta itu melambatkan kecepatannya. Mulut keempat orang itu terkatup rapat. Pakaian mereka tampak gelap oleh darah yang mengering. Hawa panas nan pengap membuat paru-paru terasa sesak, angin kencang berhembus membuat mereka takut kehilangan keseimbangan. Pemandangan di depan mereka terus bergerak dan takkan berhenti hingga sampai di stasiun terakhir. Mereka berdiri di atas kereta. Ya, di atap kereta.

Luke berfirasat orang-orang Orenda akan menantinya di stasiun Ragni; menunggu manis dengan segala perlengkapan untuk menangkap mereka. Pria botak itu bilang, mereka harus melompat, mengesampingkan ke mana mereka akan mendarat. Pasir yang empuk? Tumpukan bebatuan? Atau malah terserempet kereta hingga tubuhnya tercerai berai?

Nova, Raka, dan Kres saling tatap. Dalam waktu dekat, mereka akan tiba di Ragni. Kerongkongan kering, pakaian compang-camping, dan tubuh babak belur. Apakah tidak ada pilihan selain melompat?

"Kau punya cara supaya tubuh kita tidak semakin remuk?" tanya Raka dengan kaki yang sudah semakin kebas.

"Lari dulu, baru melompat, sisanya cuma masalah keberuntungan," Luke menyeringai, memegang bagian tulang rusuknya yang luka, "Aku enggak bisa menjamin di mana kita akan mendarat, tapi bersiaplah kalau satu-dua tulangmu patah."

"Terserahlah, tubuh kita sudah tak keruan ini," Kresna berkata, wajahnya sudah terlalu lelah untuk antusias.

Luke berdiri di tepi kereta, mengintip keadaan di bawah sana, "Di bawah sana pasir semua," ia menunjuk, "Kita harus menjatuhkan barang-barang kita. Baru kita melompat."

"Semuanya? Bahkan sampai senjata?" tanya Raka.

"Kau enggak mau barang bawaanmu malah mengakhiri hidup 'kan? Bawa senjata yang muat di kantongmu saja."

Ketika mereka sudah menjatuhkan barang-barannya, tersusun bagaikan jejak, keempat orang itu berdiri di tepi kereta. Rahang mengeras, jantung berdebar. Pria botak itu memberikan aba-aba untuk berlari. Hitungan ketiga mereka melompat.

Hanya beberapa detik hingga mereka jatuh ke pasir. Menghantam permukaan, menggelinding bagaikan bola, meremukkan tubuhnya. Raka tak mengira tangannya masih bisa terangkat, menutupi wajah dari teriknya matahari. Pemuda itu bertumpu pada kaki, menahan sakit, dan mencoba bangkit. Beberapa meter tak jauh darinya Luke, Nova dan Kres mengerang nyeri.

Pria botak itu tak banyak komentar maupun berbicara seperti sebelum-sebelumnya. Ia bahkan memimpin kawanan ini dengan arahan yang jelas. Tak ada yang menyinggung kejadian di kereta tadi. Nova sempat berkali-kali meminta maaf, tapi Luke menyuruhnya untuk diam.

Mereka menyusuri rel kereta dan mengambil barang-barang yang untungnya masih utuh dan tidak ada cacat benturan di sana-sini. Meski terik, matahari nampaknya belum berada tepat di atas kepala. Kereta sudah jauh berjalan, meninggalkan debu yang terus beterbangan. Raka menyampirkan tas ranselnya, menutup hidung serta mulut dengan syal. Meski Luke memegang rusuknya dan tampak sekali kesakitan, Kres yang meringis ketika menyampirkan bawaannya di punggung, serta Nova yang entah jiwanya ada di mana, mereka bergerak menjauhi rel.

"Dua jam berjalan kaki," ujar Kres, membaca peta sembari menghela napas berat. Ia menunjukkan di mana posisinya sekarang dengan tujuannya nanti, "Kuharap kondisiku tidak semakin buruk. Kepalaku mulai terasa ringan."

Mereka berada di mulut goa tak jauh dari tempat mereka melompat. Gunung bebatuan rendah tersembunyi pasir dan tanah tandus itu hampir tidak ditemukan jika Raka tidak nyaris tergelincir. Aksi di kereta tadi jelas menghancurkan segalanya. Perbekalan dan peralatan medis yang terbatas, serta kondisi Kres yang kekurangan darah jelas membuat perjalanan mereka tersendat.

"Kita harus berhenti dan istirahat," ujar Raka, melihat betapa biru langit siang itu.

"Berapa lama? Kondisi Kres akan terus memburuk kalau dibiarkan," Luke melipat kedua tangannya di depan dada.

"Aku enggak apa-apa. Aku hanya perlu tiduran sebentar," Kres menyandarkan tubuhnya pada dinding goa.

"Lalu kita akan berjalan di bawah matahari yang membakar ini?" tanya Raka, setengah berharap jawabannya tidak, "Apa kita punya cukup banyak air untuk melanjutkan perjalanan?"

"Aku menemukan sumber air di sana," Nova menunjuk ke dalam goa, "Mungkin cukup bersih untuk langsung diminum."

Sementara Nova mengisi lagi perbekalan minum mereka dan Luke membersihkan senjata yang ia bawa, Raka duduk bersila sembari memandangi tangannya yang kosong. Dia telah membunuh; membunuh manusia. Raka tak pernah mengira betapa mudah mengambil nyawa seseorang. Tapi sulitnya orang itu mengambil napas dan kehabisan darah tak bisa ia lepaskan dari pikirannya. Tidak apa-apa 'kan? Ini salah satu bentuk pertahanan diri...'kan?

"Hei Raka," panggil Luke, memecahkan lamunannya, "Sini."

Pria botak itu mengajak Raka membantunya membersihkan senjata. Ia memberikan dasar-dasar bagian senjata dan bagaimana memegangnya dengan benar supaya tidak terjadi recoil. Raka mendengarkan, mengikuti instruksinya, dan meletakkan senjatanya di atas tanah.

"Kau ini sudah sering membunuh orang ya?" Raka melontarkan pertanyaannya begitu saja, "Bagaimana bisa kau beraktivitas normal setelah mengambil nyawa seseorang?"

"Memang tidak mudah. Tapi, lebih baik mereka yang mati daripada kau 'kan?" Luke menyandarkan senjata itu, "Kau merasa bersalah?"

Raka mengulum bibirnya yang kering, "Mungkin. Entahlah. Tapi pemandangan itu...begitu mengganggu."

"Itu akan berlalu," ujar Luke, mengambil senjata di tangan Raka dan menyandarkannya lagi di dinding. Ia menambahkan lirih, "mungkin."

"Mungkin, huh?"

"Mimpi buruknya terkadang masih membangunkanku," tatapan Luke menerawang.

"Apa yang kau lakukan?"

"Hal-hal."

"Sangat menjawab," cibir Raka. Ia berdiri dan keluar dari goa, hendak melihat area sekitarnya dan memastikan akan kembali paling lama satu jam lagi.

Tak ada apa-apa selain bebatuan, ceruk dan relung pegunungan, serta pasir. Sesekali ia melihat tanaman dan semakin lama ia berjalan, tanaman itu semakin banyak dan subur. Sumber mata air tampak tak jauh di depan, berwarna biru dan menyegarkan. Sekelompok pengembara berkaravan tengah beristirahat, menikmati sejuknya air di tengah siang yang panas.

Raka menyipitkan mata, setengah menahan diri untuk menyapa. Mereka bukan orang-orang bermasker layaknya antek-antek Orenda. Kulit mereka tidak biru maupun kelabu. Tak ada marka lingkaran gelap di tengkuk mereka. Kelompok itu terdiri dari sepasang lelaki dan perempuan, dengan tumpukan barang di atas karavan, mungkin hanyalah pedagang. Kerugian apa yang bisa ia dapatkan?

Kembali ke goa tempat mereka beristirahat, Luke mengangkat alisnya ketika Raka berlari mendekat. Pemuda itu berkata, "Kita punya bala bantuan. Dan mulai sekarang nama kalian adalah Nara, Bob, dan Ali," Raka menunjuk Nova, Luke, dan Kres berurutan; mereka tengah berkemas untuk melanjutkan perjalanan.

"Apa?" Luke kebingungan, tatapannya tajam ketika mendapati ada seorang perempuan yang mengikuti Raka. Pria botak itu dengan sigap mengambil senjatanya, bersiaga.

"Ya Tuhan, apa yang dilakukan bandit-bandit itu benar-benar keterlaluan!" perempuan itu terkejut, "Kami akan dengan senang hati membantumu, Pram!"

"Pram? Bandit?" Nova bergumam namun langsung dipelototi Raka.

"Okta, kenalkan ini Nara, Bob, dan Ali. Okta pedagang karavan yang sedang mangkir di oasis tak jauh dari sini. Mereka akan pergi ke Ragni dan bersedia ditumpangi. Jadi, kalau kita mau ikut...."

Kres bertukar pandang dengan Luke, "Dengar Okta, aku sangat berterima kasih kau menawarkan tumpangan. Sesungguhnya Ragni bukan tujuan akhir kami, tapi," Kres membuka petanya, menunjuk lingkaran koordinat mereka, "apakah mungkin kau bisa menurunkan kami di sekitar sini?"

"Akan sedikit memutar, tapi sepertinya Sapta takkan keberatan," perempuan itu berlutut di depan Kres, melihat peta, "Sapta adalah adikku. Dia orang baik kok."

Perkataan gadis itu setidaknya mengangkat hawa berat selama beberapa jam terakhir. Meski ada kelegaan yang tampak di wajah Nova, Kres dan Luke masih waspada. Ketika mereka berjalan menuju oasis, pria botak itu menghampiri Raka dan bertanya jika Okta dan Sapta ini akan melaporkan mereka.

"Kita takkan bertemu dengan mereka lagi," Raka mendesis, "semoga saja."

Luke mengerling.

"Jadi, karavanmu dirampok? Apa yang kalian lakukan di tujuan akhirmu?"

"Bertemu orang," jawab Kres.

"Tapi bagaimana kalau tidak ada orang di sana?"

"Pokoknya tinggalkan kami. Kau punya urusan untuk pergi ke Ragni 'kan?" Kres meninggikan suaranya.

"Hei, tenang," Raka menepuk punggung pemuda berkacamata itu, "Maaf, Okta, dia kehilangan banyak darah; sopan santunnya juga mungkin ikutan hilang."

Beruntungnya Sapta mengiyakan. Katanya perjalanan akan menjadi lebih seru jika ditemani banyak orang; berbagi cerita katanya. Namun rasa lelah menghadapi baku tembak tadi hanya membuat mulut mereka terkunci. Ketika karanvan berhenti dan keempat orang itu terjaga, matahari sudah melewati garis tegak lurus dari atas kepalanya. Perempuan itu melongokkan kepala, mengatakan bahwa mereka sudah tiba. Kres keluar, melihat sekeliling dan memastikan lokasi di petanya. Wajahnya tampak ragu.

Nova merapatkan tudung kepalanya, "Tidak ada apa-apa di sini," ujar gadis itu, berdiri tak jauh di belakang Kresna.

Memang hanya pasir dan bebatuan saja sejauh mata memandang. Namun tempat itu dikelilingi oleh lereng dan tebing... sebuah potensi untuk tempat persembunyian. Flint takkan membangun rumah yang mencolok di tengah tanah gersang seperti ini 'kan?

"Kalian bisa ikut dengan kami ke Ragni, kalau mau," Okta menawarkan, "Nara benar, tidak ada apa-apa di sini."

"Tidak perlu, tinggalkan kami saja di sini," Kres menjawab ketus, bolak-balik melihat peta dan sekelilingnya.

"Ia bermaksud bilang terima kasih," Luke menjelaskan, meringis ketika menurunkan barang-barang dari karavan.

"Pokoknya hati-hati. Jangan sampai kerampokan lagi," Okta mewanti sebelum pergi. Luke tersenyum kemudian derap kuda serta roda karavan itu berlalu.

Raka melihat mereka dari kejauhan, ia berjalan menelusuri lereng, mencari-cari jalan masuk maupun mulut goa yang bisa membawa mereka entah ke mana. Beberapa kali terpeleset karena kerikil, Raka mengerjapkan matanya ketika mendapati sebuah bayang-bayang yang janggal. Terletak di antara dua buah batu dan bagian menjorok ke bawah, Raka mungkin akan melihat jika matahari tidak di posisi sekarang dan membentuk bayangan ini. Mendekat, lubang ke dalam sana kecil namun cukup untuk keluar masuk seseorang dengan barang di punggungnya.

Pemuda itu menyeringai, sebuah tempat sempurna untuk persembunyian.

Raka bersiul, memanggil rekan perjalanannya. Jalan kecil itu membawa mereka ke dalam goa berbentuk lingkaran, berukuran luas, namun tak ada cabang ke mana pun. Janggal. Tempat itu tampak seperti goa biasa namun rupanya terlalu rapi...dan bersih. Jejak kaki terlihat di seluruh ruangan, menghilangkan jejak debu yang seharusnya tertinggal. Bagian dalam goa itu seperti sebuah struktur bangunan simetris yang terlapis elemen bebatuan untuk kamuflase. Sekilas mirip dengan goa pada umumnya namun tetap saja janggal.

Di bawah penerangan seadanya, Raka dan Luke saling tatap; berpikir ada satu-dua tombol yang membuka pintu ke manapun Flint menunggu. Mereka duduk, menyentuh, dan meraba segala permukaan yang ada di ruangan itu. Tombolnya tersembunyi jauh di balik bebatuan. Nova mendudukinya secara tidak sengaja karena sudah terlalu lelah dan suara klik menggema di seluruh goa.

Lantai bebatuan itu terbuka secara otomatis, berbentuk lingkaran, berupa lubang yang bisa membawa mereka ke sebuah ruang bawah tanah. Raka menjatuhkan batu dan bunyi pantulannya terdengar cukup cepat. Mereka dapat berpijak dan lagi bukan di atas tanah, tetapi logam. Bunyi pantulan itu terdengar seperti logam. Tempat ini jelas adalah bunker.

Raka masuk duluan, lalu Nova, Kresna, dan Luke yang terakhir. Pria botak itu menggigit senternya sembari menuruni tangga. Gelap, dingin, dan berdengung; ruangan itu hanyalah lorong yang membawanya ke sebuah pintu besi terkatup rapat. Cahaya merah berasal dari lampu yang terpasang di atas pintu. Bagaimana mereka bisa masuk?

"Kata sandinya?" seseorang bertanya dari pengeras suara.

Bagaimana mereka bisa tahu? Tato Nova tidak menjelaskan hal ini sama sekali. Nova yang memapah Kres menggelengkan kepalanya. Begitu juga Kres dan Luke, mereka semua tidak ada yang tahu.

Suara itu bertanya lagi, "Apa kata sandinya? Kalau tidak bisa menjawab, kalian tidak seharusnya ada di sini, keluar."

Raka tertegun. Ia mengenal suara ini. Sial, "Jun!"

"Salah orang dan kata sandi. Enyah."

"Jangan bercanda, sialan!" Raka mencari-cari di mana mereka memasang kamera pengawasnya, "Aku tahu kalau itu kau! Buka pintunya!"

"Kau tidak menjawab dengan benar. Enyah."

"Ini Raka! Hiraka Oktavi! Kalau kau cuma pura-pura mati, kenapa tidak bilang saja dari awal, hah?! Buka pintunya!" emosi Raka meluap, tak memperdulikan rekan perjalanannya yang kerap memandangi pemuda itu, "Buka pintu sial ini, asu!"

"Kenapa aku harus membuka pintu ini?"

"Karena aku...aku melihat tubuhmu tak bernapas. Mati. Kau mati, sialan. Aku datang ke pemakamanmu, melihatmu dikubur. Kau teman terdekatku, Brengsek. Kukira kau mati... kukira kau mati," suara Raka bergetar, "Aku mengenalmu dari kecil, Mahardika Sudibyo; dari kecil! Kau minta dipanggil Jun cuma gara-gara nonton film Jepang doang. Kau selalu bantu orang, selalu membuat orang ketawa. Kau bahkan memberiku buff yang selalu kupakai ke mana-mana! Kau kerasukan apa sih? Jadi pembual...penghianat.... Brengsek."

Kerongkongan Raka terasa kering, matanya pun terasa berat. Tak lama pintu besi itu terbuka, lampu merah itu berubah hijau. Lorong gelap menyambut mereka namun di ujung sana, tampak kedipan putih sebuah lampu.

Detik berlalu, seluruh lorong di balik pintu telah diterangi putihnya lampu. Sosok pemuda itu muncul tak lama kemudian. Ia mengenakan pakaian yang sama ketika Raka melihatnya di stasiun semalam: celana hitam, jaket bomber yang melapisi kaos berwarna merah, dan sepatu bot. Meski sedikit cahaya yang memaparnya, kulitnya tampak berwarna biru. Sangat biru; bagaikan orang sakit dan kekurangan darah. Namun pemuda itu tetap berdiri tegak dan bugar.

Rambutnya terlihat basah setelah keramas. Matanya menatap nanar dan penuh rasa bersalah. Meski ada jarak di antara mereka, Raka tahu...Raka tahu bahwa pemuda di hadapannya itu adalah sahabat karibnya dari kecil.

"Maaf, Raka," adalah kata pertama yang sosok itu ucapkan padanya. Setelah sekian lama.



-end of part 1-

***

//AAAAAAAAAAA SELESAI SUDAH! Aku tahu cerita ini banyak banget bagian gantung yang tidak terjelaskan and far from perfect. Karena memang begitu, akan sangat panjang. Cuma mau ga mau harus dihentikan dulu. Agar supaya bisa revisi... Aku emosional sampe bingung mau nulis apa. Akan ada surat cinta di minggu-minggu yang akan datang, tentunya setelah epilog dipublish. Iya itu video disetel aja ya. Roll credit ceritanya. Dengerinnya sambil nangis.

Terima kasih. Terima kasih sudah mau membaca sampai akhir. *nangis* tamat anyeng huhuhuhu. Terima kasih.//

Continue Reading

You'll Also Like

580K 63.5K 88
[Cerita ini akan tersedia gratis pada 6 Agustus 2021] *** Pembunuhan berantai di Andromeda City mengincar nyawa para Anak Spesial. Oliver harus menem...
851K 53K 22
[Completed Chapter] Anak itu muncul di jendela meski tak pernah ketahuan kapan masuknya. Tahu-tahu hidupku sudah dijajahnya. Banyu Biru bilang ingin...
30.9M 1.8M 67
DIJADIKAN SERIES DI APLIKASI VIDIO ! My Nerd Girl Season 3 SUDAH TAYANG di VIDIO! https://www.vidio.com/watch/7553656-ep-01-namaku-rea *** Rea men...
665K 145K 68
Di dunia di mana kekuatan magis hanya didapatkan bila melakukan kontrak dengan para dewa, kedatangan Pemagis Murni, seorang yang memiliki magis tanpa...