A Home Without Walls

By pratiwikim

6.3K 786 1.3K

[ON GOING] Menurut pemikiran dangkal Jinan, ia dapat menyimpulkan bahwasannya Kim Taehyung itu serupa dengan... More

prologue : swallowed in the sea
b. fall for anything
c. no sound without silent
d. for the first time
e. broken arrow
f. equlibrium, exit wounds
g. warning sign
h. up in flame
i. splintered

a. through the dusk

805 116 260
By pratiwikim

Jika bukan karena perjanjian kuno yang terbentuk berpuluh-puluh tahun silam, kiranya Jinan tidak akan pernah tahu bahwa Min Yoongi hidup di dunia, bernapas sebagaimana mestinya.

Lelaki itu berumur dua puluh delapan tahun, memiliki struktur wajah kecil dengan sepasang iris hazel menawan yang menggantung layaknya bulan sabit. Suaranya rendah, nyaris seperti bass. Tubuhnya tidak terlalu tinggi, tidak pula terlalu rendah, barangkali bibirnya cukup menjamah kening Jinan tanpa perlu menunduk terlalu dalam. Jika kalian bertanya relasi macam apakah yang terjalin di antara mereka, maka jawabannya sudah pasti; perjodohan.

Iya, mereka terikat pada benang merah tersebut. Diberi waktu selama beberapa bulan ke depan untuk saling mengenal, menyelami karakter masing-masing agar bisa membangun keharmonisan saat berumah tangga. Namun di sana, termenung dalam suasana kafe tua yang lengang, nyatanya Jinan masih belum menemukan eksistensi dari si Min itu. Ini kencan pertama mereka, sekaligus jumpa pertama mereka. Jujur, Jinan agaknya sedikit menaruh rasa kecewa akan keterlambatan sang calon suami.

Aku sedang di perjalanan menuju kafe; begitu isi pesan yang dikirimkan Yoongi beberapa saat lalu. Jinan menghela napas panjang, melabuhkan punggung sempitnya menuju sandaran kursi kayu yang terasa keras menyentuh tulang-belulang. Kelopaknya terkatup rapat, sedang hidung mungilnya membaui aroma tungku yang berdifusi dengan harum pinus. Ini penghujung musim panas, di mana para lelaki kota akan bertandang sembari menenteng papan selancarnya, unjuk kebolehan dengan dada bidang yang dibiarkan terekspos. Jinan tidak mau naif. Pria-pria itu memang sangat menawan dan menarik.

Lantas, dihadapkan dengan satu fakta yang menampar belah pipinya keras-keras, mau tak mau membuat Jinan membuka mata lebar-lebar. Ia akan menikah, menikah dengan seseorang yang sama sekali tidak dikenalnya. Jinan ingin menolak, tetapi apa daya tatkala Seulhee—ibunya, memberi tatap seolah dia akan mati besok hari. "Mama tidak menuntutmu untuk memberi kami cucu yang menggemaskan, sama sekali tidak. Mama hanya ingin wasiat yang ditinggalkan nenek bolotmu itu terpenuhi." Air wajahnya memelas, menatap putri semata wayangnya dengan pelupuk yang memanas. "Tolong Mama, Ji. Kali ini saja."

Tentu Jinan tidak langsung menerima dengan mudahnya. Ia butuh waktu untuk berpikir, menjernihkan isi kepala yang keruh agar dapat menemui suatu keputusan. Jinan nyaris menolak, sungguh. Tetapi entah mengapa, tatkala Seulhee memberinya satu lembar foto hitam putih yang menampilkan rupa dari Min Yoongi, Jinan sekonyong-konyong memutarbalikkan keadaan. "Iya, aku akan menerima perjodohannya." Akan tetapi sekarang, setelah menunggu hampir satu jam penuh tanpa adanya kepastiaan serta balada pedih yang terus berkumandang, Jinan mendadak menyesali keputusannya. Ia secara tiba-tiba menyadari bahwa ada banyak hal yang belum terlaksana, dan pernikahan ini sudah pasti akan memersulitnya.

Dasar bajingan tengik!

Manakala Jinan bersiap membatalkan pertemuan dengan mengangkat bokong dari atas kursi, pun menyelipkan beberapa lembar uang di dekat vas bunga, seorang pria berkulit putih kemerahan masuk dari arah pintu utama, terlihat kebingungan sembari menyapukan pandangan hingga irisnya bersua dengan milik Jinan. Tungkai jenjangnya kemudian berayun cepat, terkesan tergesa-gesa sembari menyulam senyum kecil.

"Maaf terlambat, mobilku sempat mogok." Yoongi menyugar surai legamnya ke belakang, menilik si gadis dengan tatapan menilai. Dia berkeringat, banyak. Hal tersebut semerta-merta membuat Jinan meneguk air liurnya susah payah. Ah, lelaki ini. Tipikal pria panas yang akan memanjakan kedua matanya secara cuma-cuma. Nyaris menyahut dengan manik yang mengerjap lambat, tahu-tahu saja Yoongi kembali melanjutkan, "Omong-omong, terima kasih telah menungguku. Kau terlihat cantik, sama seperti apa yang nenekku katakan."

Sudut bibir Jinan melengkung malu-malu, jemarinya menyelipkan helai rambut ke belakang telinga sebagai gerakan spontan. "Ya, terima kasih kembali. Kau juga tampan."

Konversasi berjalan lancar. Yoongi lebih dulu menceritakan seluk-beluk mengenai kehidupannya yang kemudian disambung oleh milik Jinan. Sesekali Yoongi mengirim lelucon payah, bermaksud meruntuhkan sekat kecanggungan yang membatasi mereka berdua. Entah karena selera humor Jinan yang murahan atau memang lelaki tersebut yang pandai membangun suasana, gelak tawa pun seakan tidak bisa dihindari. Namun pada satu titik menuju lembayung senja, ada hal yang membuat Jinan secara tiba-tiba melunturkan senyum lebar yang membingkai wajah jelitanya.

Yoongi memasang tampang kelewat serius, sementara jemarinya bertaut erat di atas meja. "Kuharap kau tidak menyesali keputusanmu yang satu ini, Ji. Sebab, bukan hal yang mustahil jika suatu saat nanti aku justru mengecewakanmu."

Jinan tidak ingin menghakimi, tidak pula ingin berasumsi. Namun perkataan Min Yoongi, benar-benar mengusik hati. Jinan bahkan hanya mengunci rapat mulutnya, bergerak mengekori sang calon suami menuju lahan parkir. Mereka akan pergi ke suatu tempat—berdasarkan ajakan Yoongi, dimana gemerlap bintang bisa dijamah dengan mata telanjang. "Kau tidak akan menyesal, Ji. Kesempatan semacam ini tidak akan datang dua kali jika kau menolaknya begitu saja." Yoongi mengulurkan satu tangan, menunggu Jinan menyambutnya walau dengan sedikit keterpaksaan.

Pun, kencan kembali berlanjut, mengarungi jalanan aspal yang seakan tidak ada habisnya. Lantunan lagu klasik menggiring merdu, menambah kesan syahdu tatkala Yoongi membuat Jinan tersipu. Pria itu berkata, "Kau tahu, tidak, Ji, apa yang saat ini aku takutkan?" Si pemilik nama menoleh, lalu menggeleng kecil sebagai jawaban. Yoongi mengulas senyum tipis, mengurangi laju kecepatan sembari memutar setir ke arah kiri. "Kehilanganmu."

Berusaha menghargai Yoongi dengan kalimat rayunya, Jinan tertawa lirih. Maniknya seakan tak lepas memandangi profil wajah Yoongi yang terpahat begitu sempurna. Yoongi ini tampan, tipikal pria idaman Jinan sekali, apalagi ditambah tutur katanya yang semanis madu. Akan tetapi, Jinan merasakan hal ganjil yang tersirat dalam sorot teduh itu. Kau tahu, semacam menyimpan dendam yang kini tengah menggunung di dalam kepala.

"Sudahlah, berhenti menggodaku. Fokus saja menyetir."

Jinan mengalihkan atensi ke luar jendela, menikmati pemandangan pohon-pohon kecil yang dipadukan dengan ladang gandum. Sejemang, ia memejam, hanyut dalam suasana menenangkan yang nyaris membuatnya jatuh lelap ke dalam buaian mimpi semu. Tetapi sebelum itu, mobil yang Jinan tumpangi mendadak berhenti di tengah jalan, membawa tanya tersendiri tatkala irisnya bersirobok dengan milik Yoongi.

"Maaf, Ji. Ini sungguh di luar dari rencanaku." Menggaruk pelipisnya pelan, Yoongi lantas turun, memposisikan tubuh tepat di pintu masuk mobil sembari tangannya yang mendorong benda beronda empat tersebut sekuat tenaga. Jinan masih diliputi kebingungan. Membuka mulut; hendak melempar satu kalimat tanya, Yoongi buru-buru mengimbuh, "Bahan bakarnya habis. Tapi kau jangan khawatir, lima ratus meter dari sini akan ada pom bensin. Dan jika kau tidak keberatan, mungkin kau bisa membantuku."

Melihat bagaimana raut wajah Yoongi yang memelas, pula bulir keringat sebesar biji jagung yang menuruni ceruk leher, membuat Jinan tak sampai hati bila harus menolaknya. Lagipula membantu seseorang yang kesusahan itu tidak akan merugikan diri sendiri. Toh, Tuhan tidak pernah tidur. Dia akan membalasnya dengan sesuatu yang lebih besar.

"Sekali lagi, maaf. Aku janji, kencan kita yang selanjutnya akan berjalan lebih baik dari hari ini. Percayalah, kita akan menumbuhkan perasaan itu secara bersama-sama."

Mendadak Jinan stagnan, terdiam di pijakan sementara Yoongi tetap mendorong sedan miliknya dengan sisa tenaga yang tak seberapa. Jemari Jinan kebas, begitu pula lengan dan kakinya. Melipat bibir ke dalam dengan perasaan ganjil yang kembali merangkak menuju pangkal tenggorokan, Jinan membalas, "Ah, sebenarnya kau tidak perlu meminta maaf. Ini bukan salahmu sepenuhnya. Mungkin, semesta saja yang iri pada kita karena dia tidak memiliki waktu untuk berkencan bersama orang terkasihnya."

Mendengar penuturan tersebut, Yoongi terkekeh geli, memilih melanjutkan aksi mendorongnya sebab bangunan yang dituju sudah menampakkan diri. Jinan merutuk di dalam hati. Astaga, omong kosong macam apa yang kau katakan, Ji. Dasar bodoh!

"Selagi aku mengantre, kau bisa menungguku di sana," ujar Yoongi sembari menunjuk minimarket di dekat pom bensin. Mereka telah sampai, berada di antrean paling belakang dengan mobil-mobil lain yang tersusun rapi. Jinan memberi tatap seakan berkata; kau yakin? yang mana lekas diberi satu anggukan mantap oleh Yoongi. "Sudahlah, jangan memikirkanku. Lagipula aku tidak mungkin meninggalkanmu di sini seorang diri. Kau 'kan calon istriku."

Teruskan saja, Yoong. Biarkan aku meledak.

Setelah mengantongi persetujuan, Jinan akhirnya memberanikan diri untuk menjauhi presensi Yoongi, melangkah kecil menuju pelataran minimarket dengan kepala yang sesekali menoleh guna memastikan. Yoongi memberinya satu lambaian tangan yang disertai senyum kecil. Hal tersebut membuat hati Jinan berdesir hebat dengan hangat yang menjalar cepat di belah pipinya. Jinan menggeleng pelan, meneruskan langkah agar bisa berteduh dari paparan sinar matahari.

Kerongkongannya kering—seperti dilanda musim kemarau berkepanjangan tanpa ada setetes air hujan yang turun, pun Jinan memutuskan untuk membeli beberapa kaleng minuman dingin. Ah, mungkin juga camilan kecil dan roti sebagai pengganjal rasa lapar, sebab Jinan tahu bahwa kencan ini tidak akan berakhir cepat. Mendorong pintu kaca yang menjadi perantara, Jinan dapat merasakan hawa dingin yang begitu kontras menyentuh kulitnya. Ada banyak rak yang mengisi ruang, berisikan makanan, minuman, pula kebutuhan rumah tangga yang lain. Jinan menyapu pandangan ke arah kiri, mengunjungi lemari pendingin dan mengambil dua kaleng soda dan sebotol air mineral.

Ketika hendak beralih menuju rak camilan, suara dehaman seketika membuyarkan fokus Jinan, irisnya mendapati seorang lelaki tengah menatapnya lekat tepat di bagian bokong. Satu alis Jinan menjungkit naik, merasa ditelanjangi kendati sosok tersebut sudah mulai balik menatapnya.

"Jangan berbuat mesum di tempat umum, Tuan."

"Eh?"

"Kau memandangi pantatku seolah-olah hendak meremasnya." Mengentak kuat salah satu kaki yang berbalut sneakers, Jinan berlalu dari sana. "Jangan menargetkan aku. Aku tidak sudi, ya!"

Memercepat laju tungkai dengan wajah yang memerah sepenuhnya, Jinan tentu tidak lupa untuk mengambil cheetos dan dua potong roti berselai cokelat. Ketika hendak menuju kasir, entah bagaimana caranya, simpul tali sepatunya lepas, nyaris membuat Jinan jatuh tersungkur jika saja lengannya tak diraih dengan cepat. Menolehkan kepala lewat bahu kanannya, Jinan sekonyong-konyong menemukan sosok lelaki genit tadi tengah menyeringai puas.

"Astaga, Nona. Jangan terburu-buru begitu. Maksudku ini baik kok." Dia melepas cekalan, menyodorkan sesuatu tepat di wajah Jinan. "Aku hanya ingin mengatakan bahwa kau mungkin memerlukan barang ini."

Iris Jinan membeliak dua kali lipat lebih lebar. Coba tebak, barang apa yang laki-laki itu berikan padanya?

Ya, pembalut wanita.

Jinan memandang skeptis, merasa terintimidasi sekaligus jengkel setengah mati. Untuk sesaat, ia bergeming, memindai tubuh sang lawan bicara sebelum akhirnya menepis benda tersebut hingga terpental dan membentur lantai. "Dasar lelaki cabul! Apa maksudmu memberi aku benda itu, huh? Sudah kukatakan, jangan menargetkan aku sebagai korbanmu. Cari saja wanita lain yang bersedia!"

Sedikit tergesa, Jinan berlalu dari sana, membayar barang belanjaannya dengan manik yang menatap awas. Lelaki cabul itu ada di dekatnya, menunggu giliran untuk membayar satu kaleng minuman berenergi miliknya. Jinan memberikan uang yang diminta, melengos pergi secepat mungkin tanpa peduli sang kasir yang berteriak guna memberikan uang kembalian yang jumlahnya tidak sedikit. Well, Jinan ini memang ceroboh. Jumlah belanjaannya hanya sepuluh ribu won, tetapi uang yang diberikan malah lima puluh ribu won.

"Ada apa, Ji?" Yoongi tersentak kaget, lekas menjejalkan ponsel ke dalam saku celana tatkala sang calon istri kembali dengan kantong plastik berlogo. Ia memasang seatbelt sembari menunggu penjelasan, bahkan sempat tak menghidupkan mesin agar Jinan bisa berbicara. Namun, si gadis diam saja, bersidekap dengan wajah tertekuk masam. "Ya sudah, nanti kita bahas lagi kalau suasana hatimu sudah membaik."

Jinan sama sekali tidak berniat untuk mengabaikan pertanyaan yang dilontarkan Yoongi, hanya saja, perasaan sebal itu masih bercokol kuat di dalam dada. Si lelaki kembali melanjutkan perjalanan, kali ini di bawah lautan senja yang temaram, berikut kicau burung yang bergegas menuju sarang. Jinan menghela napas pendek, merasa tidak enak hati setelah mengunci rapat belah bibirnya dalam kurun waktu lima belas menit. Mengambil satu kaleng soda yang berembun dan membuka tutupnya dalam sekali sentak, Jinan lekas menyodorkannya pada Yoongi.

"Kau pasti lelah," cicitnya memulai percakapan. Jinan tahu bahwa kalimat yang mengudara tersebut terdengar amat sangat klise dan murahan, tetapi harus bagaimana lagi? Ia tidak bisa mendiami Yoongi lebih dari ini.

"Terima kasih," balas Yoongi sembari menyambut uluran tersebut, lekas mengirim tiga tegukan ke dalam lambung dengan jakun yang bergerak naik turun. "Jadi, bisakah kau menceritakannya sekarang?"

Jinan memilin ujung bajunya. "Aku bertemu dengan seorang laki-laki dan dia—"

"Mantan kekasihmu?" sela Yoongi.

"B-bukan," sanggah Jinan, menggeleng cepat sebelum melanjutkan tertahan, "Hanya seseorang yang tidak kukenal, dan sialnya, dia menyodorkanku satu pack pembalut." Tangan Jinan mengepal, ingin sekali mendaratkan bogeman tepat di hidung bangir nan tinggi tersebut. "Aku malu sekaligus takut, Yoong. Tampangnya benar-benar seperti orang yang gemar berbuat tidak senonoh."

Menanggapi hal tersebut, Yoongi mengulum senyum. "Jangan menyimpulkan sesuatu terlalu cepat, Ji." Lelaki Min itu melepas sendawa, tidak begitu nyaring tapi cukup membuat Jinan menoleh keheranan. Menempatkan kaleng soda yang tersisa separuh ke dashboard, ia melanjutkan, "Kau bilang dia memberimu pembalut, 'kan? Nah, bisa saja dia melihat sesuatu yang tidak seharusnya dia lihat. Kau tahu maksudku, bukan?"

Detik itu juga Jinan membeku. Ia coba mengingat kapan terakhir kali ia mendapat menstruasi dan kala itu juga tangannya sekonyong-konyong menyentuh perut dengan obsidian yang jatuh ke bagian selangkangan tepat ke bagian privatnya yang kini sedikit memberi warna kemerahan di jins kasual miliknya.

Shit, shit, shit. Ini namanya double malu!

Jinan tampak seperti akan menangis hebat, menggigit sudut bibir bawahnya kuat-kuat dengan wajah memelas. "Astaga, Yoong. Bagaimana ini? Aku tidak membawa celana cadangan."

"Aku punya jaket di jok belakang. Pakai saja itu sementara. Nanti, kalau ada toserba atau minimarket terdekat, aku akan membelikan pembalut untukmu."

"Maaf telah banyak merepotkanmu," ujar Jinan disertai perasaan tak enak hati.

Memelankan laju kendaraan, Yoongi akhirnya memilih untuk menepi di bahu jalan. Daksanya condong ke arah Jinan, menempatkan telapak tangan di masing-masing bahu ringkih si gadis. "Hei, jangan berkata seperti itu. Kau ini 'kan calon istriku, kita akan hidup bersama-sama di masa depan sampai waktu yang tidak ditentukan." Membawa dagu mungil Jinan untuk menghadap ke arahnya, Yoongi meneruskan, "Kau harus terbiasa. Jadi, jangan sungkan lagi, ya?"

Jinan mengirim anggukan pelan sebanyak dua kali, menatap lamat bagaimana Yoongi menyimpulkan lengan boomber hitam tersebut di pinggulnya. "Sudah merasa lebih baik?" tanyanya beriring dengan satu usapan lembut yang mendarat di pucuk kepala Jinan, sementara yang ditanya kembali mengirim anggukan, lantas Yoongi membuka suara, "Kalau begitu, apakah kau keberatan jika kutinggal sebentar? Jujur, aku sudah menahannya sejak lima menit yang lalu."

Tanpa perlu dijelaskan, Jinan pun paham. Lelaki itu pasti sudah sangat tersiksa dengan desakan alam yang tidak bisa ditunda. Menyahut tergagap, Jinan memersilahkan Yoongi untuk lekas menuntaskan urusannya tersebut. "T-tentu saja. Silahkan."

Sebelum benar-benar pergi, Yoongi sempat mengucapkan terima kasih yang mana membuat kening Jinan mengernyit heran. Dia juga tak lupa untuk memberi beberapa peringatan, "Kalau ada orang yang mencurigakan atau berniat melakukan hal yang aneh, teriakkan saja namaku sekuat yang kau bisa. Kupastikan bedebah itu babak belur dan jera mengusikmu."

Jinan terkekeh, merasa terhibur dengan wajah Yoongi yang terlihat seakan ingin meledak. "Iya, iya. Aku akan mengingatnya. Sekarang, cepat tuntaskan urusanmu itu sebelum kau mengompol di sini."

Menghela napas panjang dengan pikiran yang mendadak seringan kapas, Jinan pun memilih untuk memejam. Ia ingin tidur sejenak, waktu tempuh perjalanan masih berkisar antara setengah hingga satu jam. Alunan lagu milik Oh Wonder yang dikemas dalam satu album mulai menggelitik selaput telinga, menari-nari hingga membuatnya terhanyut pada penghujung senja yang temaram. Manakala siulan jangkrik menyambangi rungu—pertanda malam yang sebentar lagi akan datang, secara mendadak Jinan mendengar ketukan samar yang berlabuh di bagian jendela.

"Permisi."

Sontak Jinan menyingkap kelopak matanya, menyesuaikan pandangan dengan kerjapan cepat sebelum menyadari bahwa ada figur lelaki berdiri tepat di samping sedan Yoongi.

Astaga! Jinan dalam bahaya.

Sosok lelaki yang ditemuinya di minimarket tadi mendekatkan wajah, menilik ke dalam dan menyungging satu senyum lebar tatkala berhasil menemukan Jinan yang beringsut ke arah kemudi. Iris jelaganya menatap awas, bersiap membuka mulut guna meneriakkan nama Yoongi sekuat tenaga. Akan tetapi, sebelum Jinan benar-benar berhasil menyuarakan alfabet pertama dari nama sang calon suami, sosok lelaki mesum tersebut lebih dulu membuka pintu mobil.

Sial, Jinan lupa menguncinya.

Meneguk saliva yang seolah-olah berubah menjadi kerikil di dalam kerongkongan, Jinan keluar dari dalam mobil, membiarkan kedua kakinya kembali menjejak bumi. "Ada apa? Ingin mengolok-olokku? Iya?" Jinan mendengus, dongkol setengah mati usai menemukan sang lawan bicara menyematkan senyum lebar. "Sudahlah, lebih baik kau pergi saja. Aku tidak ingin membuang-buang waktu untuk hal yang tidak penting."

"Tunggu," cegahnya sembari melingkarkan jemari di pergelangan tangan Jinan yang mana sukses buat darahnya berdesir hebat dengan kehangatan menjalari dada. "Aku ingin memberikan sesuatu untukmu. Tolong jangan berburuk sangka."

Setelahnya, lelaki bersurai pirang itu mengambil sesuatu dari dalam mobil antiknya yang berwarna kuning cerah. "Aku melihatmu berdarah. Oleh karena itu, aku menawarimu benda ini. Tapi ternyata kau malah salah paham, buru-buru keluar tanpa sadar uang yang kau berikan juga memiliki kembalian." Dia menyodorkan bungkusan berisi pembalut lalu merogoh saku jins pudar yang mengecap pas kedua tungkainya. "Nah, ini struk dan uang kembaliannya."

Rasanya, Jinan ingin menampar dirinya sendiri.

Mengusap tengkuk canggung, pun mengambil alih kantong plastik yang disodorkan, Jinan menunduk malu. "E-eum, terima kasih. Maaf telah berburuk sangka." Ia merasa bersalah, tentu saja. Akan tetapi, sepersekon kemudian Jinan mendongak, mendelik sebal karena teringat sesuatu yang menjengkelkan. "Lagipula tampangmu cabul sekali. Itu sebabnya aku berburuk sangka padamu."

Dia tergelak dalam tawa yang menyenangkan. "Ya, ya. Aku tahu. Semua orang mengatakan hal yang sama." Berdeham, bermaksud melancarkan tenggorokannya yang tiba-tiba tercekat, ia menjulurkan sebelah tangan. "Namaku Kim Taehyung, dan dengan siapakah aku berbicara sekarang?"

Tak lekas membalas, Jinan malah menatap telapak tangan lebar tersebut ragu. Sejenak, menimbang-nimbang keputusan di dalam kepala sebelum akhirnya menyambut dengan seulas senyum yang terkesan dipaksa. "Jinan. Kim Jinan."

"Nama yang cantik ..." Taehyung mengangguk samar, mengunci pandangan dengan senyum timpang yang merambat di ceruk bibir. "... sama seperti orangnya."

Hening menyeruak, membalut tubuh mereka yang mulai menggigil akibat embus angin yang berlalu. Taehyung menyemburkan napas, membuat kepul asap tipis membumbung tinggi. Kepalanya bergerak ke samping kanan, sedang kedua tangannya dilesakkan ke dalam saku celana. Ujung kaos putihnya berkibar, begitu pula helai rambut Jinan yang mulai tak keruan. "Apa yang kau lakukan di sini? Seorang diri pula. Untung yang menghampirimu itu aku, kalau orang jahat yang berniat macam-macam bagaima—"

"Ji?"

Atensi mereka terpecah kala satu seruan nyaring mengudara. Yoongi mendekat sembari membenarkan sabuk yang melingkar di pinggang. Iris sabitnya menyipit, coba menilik dengan siapakah sang calon istri tengah berbicara, dan tatkala tubuhnya tiba tepat di samping Jinan, secara tak langsung syaraf dan otot Yoongi menegang.

"Eh, ternyata kau tidak sendiri, ya." Taehyung melepas satu tawa renyah, balas menatap presensi lain dengan pandangan yang sulit diartikan. "Kau siapa?"

Sudut bibir Yoongi tertarik ke atas, menyungging senyum sinis sebelum satu lengannya merengkuh pinggang Jinan kelewat posesif. Merapatkan tubuh hingga si gadis merasa sesak sendiri karena terhimpit. "Aku kekasihnya. Iya, 'kan, Ji?" Kendati ragu, Jinan tetap mengangguk membenarkan. Jujur, ia tidak tahu hal macam apakah yang sedang terjadi. Jinan melirik Yoongi dan Taehyung secara bergantian, coba memahami kendati di detik selanjutnya ia buru-buru didorong agar lekas masuk ke dalam mobil.

"Ah, begitu, ya."

Yoongi mengeraskan rahang, menahan gelegak amarah yang nyaris menenggelamkan setengah dari kewarasannya. Kalau dijabarkan ke dalam hal hiperbolis, barangkali ada kepulan asap tebal yang menyeruak dari dalam kepala. Sementara itu, Taehyung merotasikan bola matanya, tak merasa gentar sekali pun sang lawan bicara mulai mengambil satu langkah lebih dekat seraya berbisik penuh penekanan, "Aku akan menikah dengan Jinan. Jadi, lebih baik kau menyerah. Urusi saja kehidupanmu yang urakan itu dan jangan pernah menampakkan diri, lagi." []

Continue Reading

You'll Also Like

42.5K 5.9K 36
Cerita tentang perjodohan konyol antara christian dan chika. mereka saling mengenal tapi tidak akrab, bahkan mereka tidak saling sapa, jangankan sali...
40.6K 4.6K 17
Terpaksa Menikah dengan seorang pria yang tidak ia ketahui, tinggal di rumah yang sama dengan pria asing memiliki status suami, tidak membenci namun...
232K 34.8K 63
Jennie Ruby Jane, dia memutuskan untuk mengadopsi seorang anak di usia nya yang baru genap berumur 24 tahun dan sang anak yang masih berumur 10 bulan...
54.2K 4.9K 45
Sebuah cerita Alternate Universe dari tokoh jebolan idol yang banyak di shipper-kan.. Salma-Rony Bercerita mengenai sebuah kasus masa lalu yang diker...