Ujian Nasional

By KalaSanggurdi

8K 588 40

Ujian nasional tengah berlanjut di Indonesia pada tahun 2014. Sarah bersama teman-temannya tengah mempersiapk... More

Menteng: Rabu, 25 Desember 2013
Sawah Besar: Jumat, 24 Januari 2014
Sawah Besar: Senin, 14 April 2014 - Bagian 1
Sawah Besar: Senin, 14 April 2014 - Bagian 2
Sawah Besar: Senin, 14 April 2014 - Bagian 3
Sawah Besar: Senin, 14 April 2014 - Bagian 4
Sawah Besar: Senin, 14 April 2014 - Bagian 4 [Tambahan]
Sawah Besar: Senin, 14 April 2014 - Bagian 5
Sawah Besar: Senin, 14 April 2014 - Bagian 6
Sawah Besar: Senin, 14 April 2014 - Bagian 6 [Tambahan]
[Tambahan] Matraman: Selasa, 15 April 2014
Senen: Selasa, 15 April 2014 - Bagian 1
Sawah Besar: Selasa, 15 April 2014 - Bagian 1
Sawah Besar: Selasa, 15 April 2014 - Bagian 2
Senen: Selasa, 15 April 2014 - Bagian 2
Senen: Selasa, 15 April 2014 - Bagian 3
[Tambahan] Senen: Selasa, 15 April 2014 - Bagian 3
Senen: Selasa, 15 April 2014 - Bagian 4
Menteng: Selasa, 15 April 2014
Swapsikoanalisis Sarah: Rabu, 16 April 2014 - Bagian 1
Swapsikoanalisis Sarah: Rabu, 16 April 2014 - Bagian 2
Swapsikoanalisis Sarah: Rabu, 16 April 2014 - Bagian 3
Swapsikoanalisis Sarah: Rabu, 16 April 2014 - Bagian 4
Menteng: Rabu, 16 April 2014 - Bagian 1
Menteng: Rabu, 16 April 2014 - Bagian 2
Menteng: Rabu, 16 April 2014 - Bagian 4
Sawah Besar: Kamis, 14 April 2039

Menteng: Rabu, 16 April 2014 - Bagian 3

71 12 0
By KalaSanggurdi

"Ngobrol apa?"

Sarah tak menatap Robi sama sekali. Ia terpaku oleh catatan kecil yang ditulisnya, yang ia hafal entah sedari kapan. Robi, melihat Sarah tak mengindahkannya dan tetap terpaku dengan secarik kertas, mulai menegangkan otot rahangnya.

"Kamu sadar, kan, UN dibatalin?" Robi memastikan.

Sarah tak menjawab langsung. Ia tetap memperhatikan catatan kecilnya. Namun pada akhirnya, ia membalas, "UN nggak dibatalin, Rob."

Robi mendekati Sarah, agak tergesa-gesa. Setelah sampai di depan Sarah, ia menutup catatan Sarah dengan tangannya.

"Sarah. Aku mohon. Mikir. Sekali ini aja. Please. Jangan belajar terus."

Sarah yang sedari tadi menatap kertas catatannya, kini dipaksa menatap Robi. Ia menatap Robi lama dan dalam, dengan raut wajah datar yang tak berubah sama sekali.

"Jangan belajar? Terus aku harus ngapain?"

Robi terperangah, namun tak menunjukkan raut wajah terperangah. Rahangnya semakin tegang, namun ia berusaha tak menunjukkan ketegangan itu.

"Ada banyak yang bisa kamu lakuin. Belajar di saat kayak begini itu hal yang paling salah yang bisa kamu lakuin."

"Hal paling salah?" tanya Sarah, tanpa mengubah kedataran wajahnya.

Robi menghembuskan napas, berusaha tidak tegang, "Sar. Kamu bisa ngelakuin hal yang lebih guna."

"Misalnya?"

"Kamu bisa balik ke rumah Bu Ajeng. Atau ke bunker. Atau—"

"Itu semua lebih guna dari belajar?"

Robi terpaku. Ia tidak percaya apa yang baru saja ia dengar, terutama karena yang mengucapkan pertanyaan itu adalah Sarah. Ia berusaha menenangkan diri.

"Sar. Maksud aku bukan gitu. Please. Kamu lebih pinter daripada aku. Harusnya kamu ngerti."

Sarah berdiri. Ia menatap Robi dalam. Tanpa bergetar, ia berkata kepada Robi, "Orangtua aku udah nggak ada, Rob. Mereka pergi perang. Perang ngelawan negara kamu. Pesan mereka cuma satu: aku belajar yang benar. Kamu juga bilang begitu kan, ke Tante Ajeng? Kamu di sini buat belajar?"

Robi berusaha sabar, "Tapi kita bisa lupain UN buat sekarang. Ayo, Sar. Ayo. Ayo kita balik ke rumah Tante Ajeng. Atau ke bunker. Kalo mau belajar, nggak usah di sini. Bisa di sana."

"Terus UN-nya gimana?" tantang Sarah.

Kesabaran Robi hampir habis, "UN-nya dibatalin, Sar. Please. Kamu pinter. Kamu lebih pinter dari ini. Kamu yang paling bijak di antara kita semua. Kita belajar buat UN tuh udah makan korban. Kalau aja waktu itu kita langsung pulang, Pak Arli... Diva..."

Robi mulai memalingkan wajahnya dari Sarah. Sarah tak bergeming sama sekali. Ketika Sarah menyadari Robi takkan melanjutkan kalimatnya, ia membalas.

"Aku tau kok. Aku sadar. Aku nyaksiin semuanya. Pak Arli, Diva... semuanya. Karena aku juga, kan, kita bisa dilindungin Tante Ajeng? Karena aku juga, kamu dilepas sama tentara-tentara. Kamu udah ngapain aja emang?"

Robi kembali menatap Sarah. Kali ini ia tidak dapat menyembunyikan wajah terperangahnya. Ia juga telah gagal menyembunyikan ketegangan otot wajahnya.

"Aku udah ngapain aja? Aku juga nyaksiin semuanya. Aku juga udah bantu kamu, Pak Jon, Tante Ajeng, sama Novi. Apa maksud kamu nanyain gituan ke aku? Kamu beneren mikir cuma kamu yang ngapa-ngapain di sini?"

Berjalan hening di antara Sarah dan Robi. Ruangan kelas itu hanya diisi bunyi pecahan permen digital Novi. Setelah beberapa saat, hening itu dipecahkan Sarah.

"Kamu udah denger kabar soal Medan, kan? Banyak yang gugur, Rob. Orangtua aku, orangtua Diva... banyak. Mereka gugur di medan perang. Gugur ngelawan negara kamu. Semua gara-gara negara kamu!"

Robi menghentakkan meja, "Terus apa hubungannya sama aku?! Kamu pikir aku setuju sama semua ini? Aku nggak ngerti apa-apa, Sar. Tiba-tiba semuanya jadi begini. Jadi aku juga ikutan salah gara-gara negara aku perang sama negara kamu, gitu? Aku tau udah banyak yang gugur ngelawan negara aku. Terus kamu mau apa? Kamu mau aku tanggung jawab? Buat semua yang udah dilakuin negara aku? Atau kamu mau aku ikut pergi ke medan perang? Ngebela negara aku, ngebom orang-orang Indo, terus mati dibunuh orang-orang Indo?"

Sarah diam, namun membalas tak lama setelah itu, "Setidaknya kamu bakalan mati ngebelain negara kamu sendiri. Nggak berkhianat kayak sekarang."

Robi berteriak, "Kamu mau aku mati?!"

Sarah kembali diam. Ia menunggu napas Robi menenang. Setelah itu, dengan wajah datar, ia menjawab pertanyaan Robi.

"Bukan, Rob. Bukan. Aku lagi ngelaksanain kewajiban aku. Sebagai pelajar. Sebagai warga negara Indonesia. Mau badai menerjang, atau Jakarta jadi lautan api, tugasku ya belajar. Cuma belajar. Nggak ada yang lain. Karena itulah aku. Pelajar. Cara pelajar untuk membela negaranya, ya dengan belajar. Kamu apa? Kenapa kamu masih di sini, nyariin aku? Kamu cowok. Kamu bisa ikut perang. Kalo nggak mau ngebelain negara kamu sendiri dengan ikut perang, ya belalah dengan belajar. Tapi kamu nggak ngapa-ngapain, kan?"

"Sar."

"Kamu di sini ngapain kalo nggak belajar atau perang? Biar kamu bisa sama aku, kan? Karena aku, kan? Karena ini kesempatan buat kamu bisa sama aku. Biar kamu bisa gunain aku lagi kayak tadi malem, kan?"

"Sarah!"

"Kamu egois, Rob."

Robi diam memelototi Sarah. Matanya sedikit berlinang. Dengan suara hampir parau, ia meneriaki Sarah.

"Egois?! Egois? Siapa yang egois? Kamu, alasan kita masih di sekolah. Kamu, yang kekeh mau belajar. Terus kamu, nyalahin aku karena aku nggak ikut bela negara? Karena nggak ikut perang ngelawan negara kamu? Karena nggak belajar? Kamu sendiri gimana?! Emangnya kamu bisa bela negara dengan belajar?!"

Sarah menantang tinggi suara Robi dengan meninggikan suaranya juga, "Apa lagi emangnya? Apa lagi yang bisa dilakuin, Rob?! Kita pelajar. Tugas kita belajar. Cara kita bela negara ya dengan belajar. Aku mau-mau aja pergi perang, tapi aku tau aku nggak akan bisa ngapa-ngapain di sana. Aku nggak punya pengalaman medis. Aku juga nggak bisa make senjata. Kalo aku pergi perang, yang ada aku bakalan mati duluan. Aku sekolah udah dua belas taun, dan satu-satunya hal yang bisa aku lakuin, yang udah diajarin selama aku sekolah, ya cuman belajar! Kalo bukan dengan belajar, terus gimana lagi cara aku bisa bela negara?!"

Robi memaki, "Anjing! Negara anjing! Belajar anjing! Kita belajar dua belas taun emang nggak dapet apa-apa! Kita nggak bisa ngapa-ngapain! Udah tau kayak gitu, udah tau kita nggak bisa ngapa-ngapain, buat apa kamu sok-sok mau bela negara?! Kamu cuman buang-buang waktu! Kamu cuman buang-buang nyawa!"

Sarah hampir menangis, "Udah, Robi! Udah! Ini cara aku mengabdi kepada negara! Kalo kamu nggak suka, pergi aja sana balik! Nggak usah sok-sok mau nyelametin aku kalo kamu sendiri cuman mau kabur! Mending sekarang kamu—"

Tiba-tiba datang suara yang lebih keras dari Sarah maupun Robi. Keduanya mengenal suara tersebut: sebuah lagu dari boyband kesukaan Novi. Oleh karena itu, keduanya menengok ke arah Novi. Keduanya menyadari bahwa Novi mulai menyanyi dan menari.

"Cantiknya, cantiknya..." nyanyi Novi. Ia kemudian menari ke arah Sarah dan Robi yang masih kebingungan, dan memegang tangan kedua temannya itu. Sarah semakin bingung, karena Novi tak mungkin berani menyentuh kulit orang lain. Kini Novi menyentuh tangannya demi mengajaknya menari dan bernyanyi.

Sarah luluh. Dengan mata berlinang dan suara yang gemetar, ia ikut menyanyi dan menari. Robi butuh waktu untuk menyadari gelagat Novi, dan ketika tahu maksud Novi, juga ikut luluh. Kini ketiga remaja itu bernyanyi dan menari.

Setelah lagunya selesai, Novi tersenyum. Ia masih tak menatap kedua pasang mata temannya, tetapi ia berdiri di depan mereka, seakan-akan sedang menunggu jawaban. Sarah mengerti, dan ia pun dibuat merasa bersalah oleh Novi.

"Makasih ya, Novi."

Novi hanya terkekeh.

"Rob," panggil Sarah dengan nada yang melembut. Hanya saja, sebelum Robi sempat menjawab, suara orang lain terdengar dari luar ruang kelas.

"Novi?"

Sarah, Novi, dan Robi mengenal suara wanita itu. Ketiganya menengok ke pintu kelas. Benar saja, suara itu adalah suara Patricia, yang sedang ditemani Adit.

Hening. Namun, hening itu diberhentikan oleh Novi.

"Mama?"

Ketika Patricia sudah mengonfirmasi bahwa yang ia lihat adalah anaknya, air matanya tak dapat dibendung lagi. Ia berlari dan langsung memeluk anaknya.

"Novi. Novi sayang. Kamu di sini, nak. Kamu di sini ternyata. Novi. Novi sayang. Novi..."

Sarah dan Robi terdiam. Adit juga terdiam, meski diamnya karena ia sendiri tak mau banyak berkomentar. Rangkulan seorang ibu dan anak itu berlangsung lama, dan seragam Novi mulai dibasahi air mata ibunya.

Sarah, yang terbiasa melihat Novi selalu menolak sentuhan, kini melihat Novi tak melawan rangkulan ibunya. Sarah tak mengerti, namun juga mengerti. Ia tak lagi mempertanyakan apakah Novi nyaman dirangkul seerat itu, atau dibasahi oleh air mata. Toh, Novi hanya terdiam sedari tadi.

"Mama dengar Novi nyanyi. Mama senang Novi nggak kenapa-kenapa. Mama senang sekali."

Setelah selesai menangis dan merangkul anaknya, Patricia melepaskan anaknya dan memandang ke arah Sarah. Ia tersenyum.

"Sarah, terima kasih, ya. Kamu tidak lupa anak saya di keadaan seperti ini."

Sarah hanya terdiam. Ia tidak tahu mau mengucapkan apa. Pun juga dengan Robi, yang hanya bisa menyaksikan Patricia perlahan berjalan untuk memeluk Sarah. Ketika gilirannya untuk dipeluk, Robi mendengar Patricia berucap.

"Robi, terima kasih juga sudah menjaga Sarah dan anak saya."

Robi reflek menjawab, "Iya, tante."

"Adit, terima kasih," ujar Patricia ke pintu kelas. Adit hanya tersenyum mengangguk.

"Tante nggak kenapa-kenapa?" tanya Sarah.

"Tante baik-baik saja, Sarah. Tadi pagi tante baru habis dari berlayar. Langsung cari Novi di rumah. Tapi Novinya tidak ada. Tante dikasih tahu kalau Novi ada sama kamu. Jadi tante tebak-tebak saja. Ternyata benar, Novi di sini sama kamu," senyum Patricia.

"Oh, gitu, tante," Sarah senyum balik, meski masih agak terperangah.

"Kalian memangnya tidak ke mana-mana? Kenapa kalian di sini?" tanya Patricia.

"Kami—"

"Ke sini nyari barang yang ketinggalan, tante," ucap Robi cepat sebelum Sarah sempat berkata apa-apa.

"Oh, begitu. Habis ini kalian ke mana?" Patricia memastikan.

"Pulang ke rumah Tante Ajeng," jawab Robi. Sarah merasa agak terganggu, namun merasa tidak akan sopan jika ia memotong Robi di depan Patricia.

"Oh, okelah kalau begitu. Berarti kalian aman ya. Syukurlah," senyum Patricia kepada Robi dan Sarah, lalu kepada anaknya sendiri.

Patricia melanjutkan, "Sekarang karena saya sudah di sini, kalian mau menumpang pulang ke rumah Tante Ajeng?"

"Menumpang pulang? Tante mau pulang ke Menteng juga?" tanya Sarah.

"Kayaknya tante mau ke bunker saja. Rumah tante kemalingan. Takutnya tidak aman lagi. Jadi, tante kayaknya mau ke bunker."

"Oh, gitu, tante. Boleh—"

"Aku masih mau cari-cari barang lagi, tante," ujar Sarah cepat sebelum Robi menyelesaikan kalimatnya.

"Oh, masih mau cari-cari barang? Ya sudah. Tante pamit duluan kalau begitu. Tapi..."

"Kenapa, tante?" tanya Sarah.

"Tante tidak tahu bunkernya di mana."

Semua terdiam, berpikir. Robi menatap Adit yang sedari tadi hanya berdiri sambil menyembunyikan rokok yang menyala.

"Kak, kakak tau bunker terdekat dari sini nggak?" tanya Robi kepada Adit.

"Bekasi," jawab Adit cepat.

"Bekasi mana?" tanya Robi lagi.

"Bekasi Timur," sekali lagi Adit menjawab dengan cepat.

Sebelum Robi bertanya apa-apa lagi, Sarah menanya duluan, "Mas bisa anterin Tante Petris ke sana?"

"Hah?" Adit kebingungan. Ia tahu bahwa yang bertanya adalah Sarah, keponakan jenderalnya. Ia menjadi kikuk dan tidak tahu bagaimana cara bersikap di depan Sarah. Sejenak, ia takut perilaku yang salah akan terdengar hingga ke Ajeng.

"Anterin, Mas. Mas Adit kan?"

"Iya, Adit."

Robi menengok ke Sarah sambil memasang wajah heran. Sarah balas menengok, dengan wajah yang seakan-akan mengatakan bahwa ia tahu apa yang perlu dilakukan. Robi mengalah, dan ikut dalam sandiwara kecil Sarah.

"Bisa anterin Tante Petris ke bunker Bekasi?" Sarah melengkapkan pertanyaannya.

Adit agak ragu, kemudian bertanya kembali, "Kalian berdua gimana?"

"Kami nggapapa kok. Habis selesai cari barang, kami pulang ke rumah Tante Ajeng," Sarah memperjelas.

"Jalan kaki?" Adit bertanya dengan nada khahwatir.

"Tadi saya ke sini juga jalan kaki kok. Saya sih seneng-seneng aja."

Adit berpikir agak lama, kemudian berkata, "Ya sudah. Tapi kalian jangan ke mana-mana lagi. Nanti saya balik ke rumah Bu Ajeng berarti, ya?"

"Iya, Mas," senyum Sarah.

Patricia memandang Sarah dan Adit berbolak-balik. Kemudian, ia tersenyum lebar.

"Wah. Terima kasih, Sarah, Adit. Saya benar-benar berutang budi."

"Nggapapa, tante," senyum Sarah. Adit hampir-hampir jengkel karena ia kini harus bolak-balik Bekasi-Menteng, namun ia sembunyikan mengingat ia sedang berurusan dengan keponakan jenderal.

"Nanti kita berkabar ya, Sarah. Saya tunggu kabar dari kamu," ujar Patricia; "Yuk, Novi sayang, kita pergi."

"Sebentar," ujar Novi sebelum tangannya ditarik oleh Patricia. Ia memandang ke luar kelas, kemudian berbalik ke arah Sarah. Perlahan, ia mendekati Sarah. Ketika sudah dekat, ia berhenti. Ia menunduk, dan memang terbiasa menunduk. Namun dalam detik-detik yang lama itu, ia terlihat sedang berusaha memandang Sarah dengan kedua matanya.

Ketika pasang mata Novi dan Sarah bertemu, Sarah terperangah—hampir-hampir melongo. Itu kali pertama mata Novi bertemu dengan matanya, untuk waktu yang terlalu lama bagi Novi. Sarah terpatung, dan jantungnya entah kenapa berdetak kencang.

Sarah masih terpatung, namun entah kenapa ia merasa harus menunggu. Detik demi detik berjalan, dan mata Sarah serta Novi masih bertemu. Sarah mendengar Novi berdesis, seakan-akan sedang berusaha merangkai kata. Sarah juga merasa lidah Novi sedang susah payah menghindari gagap. Hingga akhirnya, Novi mengucapkan sesuatu.

"Makasih. Maaf Novi manja."

Tanpa disuruh, air mata Sarah membasahi pipinya. Tanpa disuruh, Sarah menerjang memeluk Novi seerat-eratnya. Tanpa menghindar, Novi membalas pelukan itu.

Setelah usai berpelukan, Novi berjalan ke arah Robi. Hal yang sama terjadi: Novi butuh waktu menatap mata Robi, dan butuh waktu untuk merencanakan perilakunya. Namun akhirnya, Novi mengangkat tangan kanannya.

"Tos."

Robi tak dapat menahan kekehannya. Ia menyambut tangan Novi dengan tangannya sendiri, sambil ikut mengatakan tos. Setelah itu, Novi kembali mendekati ibunya.

Patricia hanya tersenyum melihat kejadian itu. Sejenak, ia bangga kepada Novi, karena itulah pertama kali ia melihat anaknya bisa bersosialisasi dengan orang lain selain dirinya dan mendiang ayahnya.

"Sampai jumpa ya, Sarah, Robi," ujar Patricia meninggalkan ruangan itu bersama Novi dan Adit. Adit tak lupa mengingatkan sekali lagi kepada Sarah dan Robi untuk segera pulang ke rumah Ajeng.

Kelas itu hening kembali. Sarah membersihkan wajahnya dari air mata, dan Robi mulai mencari meja untuk diduduki.

Setelah keduanya menenangkan diri, Sarah memulai percakapan dengan Robi.

"Rob."

"Kenapa?"

"Aku minta maaf."

Robi tersenyum tipis, "Ngapain."

"Soal yang tadi. Aku jahat banget bilang itu ke kamu."

"Nggak apa, Sar."

"Ini semua gara-gara aku. Ya kan?"

"Udahlah. Nggak usah dibahas lagi."

"Mungkin bener kata kamu. Aku yang egois. Aku yang—"

"Sar."

"Apa?"

"Kamu ke sini buat belajar, kan?"

"Hah?"

"Ya udah. Belajar aja sana. Aku tungguin."

"Robi."

"Nggapapa. Aku nggak sarkas. Aku beneren bakal nungguin kamu belajar. UN Bahasa Inggris, kan?"

"Iya."

"Ya udah. Belajarlah. Tanya-tanya aja kalo mau. Bahasa Inggris aku masih lebih bagus dari kamu. Hahaha!"

Sarah melihat Robi terkekeh. Ia pun ikut terkekeh. Ia lanjut membaca carikan kertas catatannya, sembari bersyukur mempunyai teman seperti Robi.

Menteng: Rabu, 16 April 2014 - Bagian 2 Draft - Jun 10, 2020

Continue Reading

You'll Also Like

658K 24.2K 32
[KAWASAN BUCIN TINGKAT TINGGI 🚫] "Lo cuma milik gue." Reagan Kanziro Adler seorang ketua dari komplotan geng besar yang menjunjung tinggi kekuasaan...
59.9K 10.4K 40
Edisi BeckFreen...
239K 9.9K 49
Kisah ini bercerita tentang kedua belah insan manusia, dimana yang cowo badboy, dan yang cewe juga sama sama bad girl. Ada satu rasa yang membuat me...
69.9K 3.7K 3
Ketika cinta yang tulus ternodahi dengan sebuah kata ketidak percayaan #Romance #Rainin In #Family NOTE : Cerita ini adalah adaptasi dari cerita sebe...