Finale

By nadomeda

2.2K 336 43

The journey to get through things that once broke them down, to love and to be loved properly. More

meet the characters
01 - Bitter
02 - Hi Hello
03 - Struggling
04 - A Ride Home
05 - Addicted
06 - Your One Call Away Man
07 - Rejection
09 - A Glimpse of Her Past
10 - Rumour
11 - New Step
12 - Serendipity
13 - Bad Bad Dream
14 - Weird Tension
15 - Soto Pagi
16 - Sunrise
17 - Blooming
18 - Take It Easy
19 - Midnight Lullaby
20 - Unfortunate Fortune
21 - She Came Back
22 - The Things You Do
23 - Safe Haven
24 - Story Unlocked

08 - Green-eyed

64 17 1
By nadomeda

Bianca

Sejak apa yang terjadi di jembatan penyeberangan, Kak Brian benar-benar menghentikan segala interaksi kami. Contohnya sekarang ini. Kami gak sengaja ketemu di luar gedung dosen. Aku yang baru mau keluar, sedangkan dia baru mau masuk. Kak Brian lewat gitu aja, seolah-olah aku nggak ada.

Memang, sih, kami belum kenal lama, dan seharusnya aku pun nggak ngerasa sedih atau apa karena, yah, kami nggak bener-bener temenan.

Yaudahlah, toh lebih baik begini. Daripada kami terus-terusan ngobrol dan Kak Brian terus-terusan berbuat baik padaku. Yang ada aku makin gila.

Gila karena sejak kejadian itu aku gak bisa gak merasa takut setiap kali ada seseorang yang memperlakukanku dengan spesial. Bukannya aku kepedean, tapi aku dan Kak Brian memang gak ada hubungan apa-apa, dan rasanya aneh, kenapa dia mau susah-susah nyari aku cuma karena dia tau aku nangis?

Bahkan Dimas yang terang-terangan melihatku nangis gak ada niatan untuk mencariku sejauh itu. Dan kalaupun tindakan Kak Brian kemarin belum bisa dianggap spesial, I know that it could lead us to something special.

Aku gak mau. Aku gak siap.

"Bi!"

Dimas tiba-tiba muncul di hadapanku. Tangannya terulur dengan sebotol yoghurt, mengarah tepat ke dadaku. "Suka yoghurt gak? Kalo nggak gue beliin yang lain."

"Hah?"

"Ish, sebagai tanda makasih, Bianca."

"Buat?"

"Lo belom tau?" Dimas menghela napasnya, lalu membusungkan dada dengan bangga, "Jadi, gue belom keterima sebagai anggota SunDay, tapi karna mereka lagi butuh banget drummer, gue dikasih tampil pas Welcoming Party."

"Aw ... great," jawabku setengah hati. Aku turut senang untuknya, tentu saja, tapi aku sedang tidak berada di mood yang tepat untuk bersenang-senang.

Untungnya Dimas nggak sadar, karena ia cuma memasang cengiran bangga, masih sambil menyodorkan yoghurt tadi.

"Oh iya, gue suka yoghurt, kok. Makasih ya," aku mengambil botol tersebut dari tangan Dimas.

"Yaudah, gue duluan ya, ada kelas soalnya."

Aku mengangguk, membiarkan Dimas pergi dan melanjutkan perjalananku sendiri ke gerbang seraya memesan ojol.

Tindakanku terhenti saat melihat Kak Brian. Ia sedang berdiri di samping motornya, dan sepertinya Kak Brian juga melihat keberadaanku. Kami sama-sama diam di tempat, dengan tatapan yang terus beradu tanpa makna.

"Mbak Bianca?" seorang driver ojol memecah fokusku. Aku buru-buru mengangguk dan memakai helm yang diserahkannya, lalu naik ke atas motor driver tersebut.

Aku menyempatkan diri untuk menengok pada Kak Brian selagi driver tersebut menyalakan motornya.

Kak Brian masih disitu, mengacak-acak rambutnya dengan frustasi.

Satu hal yang kutahu, aku merasa bersalah.

<>

Sandri

Setelah malam di mana gue memberikan nomor telepon pada Bianca, gue belum sempat bertemu dengannya lagi. Yah, beberapa kali liat sih dia sliweran di kampus, atau lagi ngobrol sama Dimas—temen dia beneran Dimas doang, ya?—tapi, gue belum sempat ngobrol lagi dengan anak itu.

Gue nggak berharap Bianca akan langsung nge-chat gue setelah nomor itu ada di tangannya, tapi seenggaknya gue harap kami berdua bisa berinteraksi lebih banyak. At least she should know that I'm here for her.

Gila, menye bener.

Sayangnya Bianca gak menunjukan kemajuan apa-apa, sedangkan gue gak bisa selamanya jadi orang yang bergerak pertama. Buat apa gue berjuang kalau dia nggak ngasih feedback, kan? Makanya gue cuma bisa nunggu.

Nunggu, nunggu, nunggu, gak tau sampe kapan.

"Kita jadi bawain berapa lagu, San? Durasi cuma satu jam, kan ya?"

"Hm? Tergantung, sih, mau bawain lagu full atau banyakin medley? Terus kata Nadia durasinya lebih-lebih dikit gak pa-pa, sih, yang penting berkesan."

"Yah itu omongin nanti, deh, sama anak-anak, gue ngikut aja," Brian merebahkan tubuhnya di atas sofa, mulai seru berselancar di media sosial, sementara gue memilih untuk bermain dengan gitar yang disediakan studio.

"Permisi,"

Baik gue maupun Brian menoleh ke sumber suara. Di ambang pintu, Bianca sudah berdiri dengan enggan, tatapannya mengelilingi ruangan, seolah mencari sesuatu, atau seseorang, lalu berhenti pada Brian.

Nggak kaget, sih. Aneh aja. Ada apa, sih, di antara mereka? Kayaknya juga belum kenal lama.

"Kenapa, Bi?"

Bianca mengalihkan pandangannya ke gue, seolah-olah baru sadar kalau gue juga ada di sini. "Koko belum dateng?"

"Belum, tuh. Kayaknya belom jalan. Lo dititipin sesuatu sama nyokapnya?"

"Nggak," perempuan itu buru-buru menggeleng, "gue yang nitip sesuatu sama dia."

"Oh, yaudah duduk dulu situ sambil nungguin Juan. Santai aja."

Bianca masih diam di tempat, dan gue baru sadar kalau satu-satunya sofa yang tersedia itu dipenuhi seluruh tubuh Brian yang bisa-bisanya tiduran di situ.

"Bri, jangan tiduran. Kasian itu Bianca gak bisa duduk."

"Nggak usah, Kak," potong Bianca, "gue duduk sini aja."

Dia langsung menempatkan dirinya di atas cajon, sementara Brian masih tetap bungkam, masih dalam posisi rebahan. Lebih tepatnya, cowok itu sekarang memejamkan matanya, enggan untuk melihat Bianca maupun gue, apalagi nimbrung ke perbincangan.

Tiga tahun bersama-sama, gue cukup tau tetek bengeknya Brian kayak apa. Gue juga tau kalau Brian biasanya tutup kuping kayak sekarang ini cuma kalau ada orang yang nggak dia suka berada di ruangan yang sama dengannya. Buat menghindari ribut, katanya. Karena kalau dia ngeladenin orang yang lagi bermasalah sama dia, yang ada dia bakal marah-marah dan bikin suasana makin buruk. In this case, gak mungkin orang itu gue.

Tapi masa Bianca? Emang mereka udah ngapain aja sampe jadi ribut gini?

Gue gak bisa berhenti bolak-balik ngeliatin Bianca dan Brian. Apalagi sekarang ekspresi keduanya sama-sama suram. Brian kayak orang lagi nahan marah dan di sisi lain Bianca keliatan sama sekali gak nyaman.

"Buru-buru, Bi?" gue bertanya, berniat untuk mencairkan suasana.

"Ngh ... nggak, Kak."

"Mau minum dulu gak?"

Bianca menggeleng kencang. Keliatannya bener-bener gak mau ditawarin minum. Di atas sofa, air muka Brian mengeras.

Apaan, sih?

Kok gue gak tau apa-apa?

Bianca menggoyang-goyangkan kakinya, selayaknya orang yang lagi bener-bener gak nyaman dalam suatu keadaan, tapi dia berusaha keliatan fine-fine aja dengan terus menyunggingkan senyum kaku.

Tiba-tiba Brian bangkit dari sofa, mengacak rambutnya dengan frustasi, lalu berjalan ke arah pintu.

"Mau ke mana?"

Brian gak menjawab, hanya mengangkat sebatang rokok sebagai gantinya.

Here's one thing about Briantino Dharma. Dia gak terlalu suka merokok, terlepas dari seberapa nikmat benda itu, Brian selalu mencoba untuk gak merokok. Tapi dia cuma punya dua pelarian: musik dan rokok. Akhirnya, cowok itu selalu bawa asupan nikotin entah di tasnya, di kantung celana, bahkan di dompet. Walau cuma sebatang, at least dia bawa, supaya kalau sewaktu-waktu dia bener-bener in need to escape, dia tinggal nyebat.

Karena gak mungkin, kan, lagi stres di tempat umum terus dia nyanyi jerit-jerit.

Konklusinya, sekarang Brian lagi banyak pikiran. Dan kalau asumsi gue benar, salah satu penyebabnya kemungkinan ada di ruangan ini. Taulah siapa.

Gak lama setelah Brian keluar, pintu terbuka lagi. Sosok Juan masuk dengan Wage mengekor di belakangnya.

"Lho, Bi? Udah dateng, tah, ini—"

"Makasih, Ko. Aku langsung, ya, semangat latian e. See you," ujar Bianca dengan terburu-buru. Ia mengambil paksa barang titipannya dari tangan Juan dan pergi keluar studio begitu aja.

Kenapa, sih, Bi?

"Sepupu lo kenapa, sih?"

"Apanya?" Juan mengambil duduk di atas sofa, lalu menatap gue dengan serius.

"Daritadi aneh, si Brian juga aneh."

"Oh, pantesan doi nyebat di depan. Gara-gara Bianca itu?" celetuk Wage dari sisi lain ruangan.

Gue mengangkat bahu, "Bianca kayaknya gak nyaman banget daritadi, Brian juga ogah ngeliat Bianca. Merem mulu anaknya."

"Siapa yang merem?" Dimas menyeruak masuk, "Eh, Bang Ju, si Bianca lagi banyak masalah ya?"

"Hah?"

"Itu diluar dia lagi nunggu ojol, mukanya serem banget kek orang nahan nangis. Kemaren-kemaren juga nangis di kelas, kenapa, sih dia?"

"Nangis di kelas?" tanya Juan dengan nada meninggi bercampur khawatir.

"Lah lo belom tau, Bang? Berarti baru Bang Bri doang yang tau?"

Brian?

Kenapa Brian selalu ... lebih dulu?

Atau cuma firasat gue aja kalau gue selalu kalah dari dia?

<> 

Continue Reading

You'll Also Like

91.6K 12.9K 28
Renjun mengalami sebuah insiden kecelakaan yang membawa raganya terjebak di dalam mobil, terjun bebas ke dalam laut karena kehilangan kendali. Sialny...
93.6K 10.5K 43
Setelah kepergian jennie yang menghilang begitu saja menyebabkan lisa harus merawat putranya seorang diri... dimanakah jennie berada? Mampukah lisa m...
73.2K 6.9K 30
Marsha Ravena baru saja diterima di salah satu perusahaan ternama, ia jelas sangat senang karena memang dari dulu itulah yang ia inginkan. tetapi kes...
802K 57.6K 47
[Brothership] [Not bl] Tentang Rafa, hidup bersama kedua orang tuanya yang memiliki hidup pas-pasan. Rafa tidak mengeluh akan hidupnya. Bahkan ia de...