TELUK ALASKA 2

By ekaaryani

3.8M 333K 237K

[SEQUEL TELUK ALASKA] Alistasia Reygan, semua orang menganggapnya sempurna dan bisa mendapatkan segalanya den... More

PROLOG
PROLOG II | JANJI MASA KECIL
1. HILANGNYA DIARY
VOTE COVER
2. MENGEMBALIKAN DIARY
3. KECEWA
4. SEBUAH TUDUHAN
5. PARAHYANGAN VS SINGGASANA
6. MENCOBA PERGI
7. MENJAUH
8. SEBUAH BALASAN
9. JANGAN PERGI
10. PERMINTAAN MAAF
LOGO PEGASUS & PHOENIX
11. SEORANG MANTAN?
12. TAWANAN
13. BERADA DI SISIMU
14. SALAH PAHAM 1
16. ARABELLA
17. NEGARA TUJUAN SIA
18. MELINDUNGINYA 1
DANDELION
Malem
19. BUKAN TEMAN KECIL!

15. First Kiss?

135K 13.6K 18.8K
By ekaaryani

Jam berapa kalian baca cerita ini?

Aku update jam 1 malem loh

Siapin jempol buat komentar tiap paragraf ya

25.000 komentar buat next chapter?

Kalo ada typo kasih tahu🙏🙏

Siap baca 3.500 word lebih? Jangan bosen ya, ceritanya panjang banget chapter ini wkwk btw jangan salfok sama judul ya✌️

Happy reading...



"Ayo Abin," ucap Crystal lalu membisikan sesuatu pada telinganya. Menyebalkan, pertanyaan selanjutnya pasti sangat mengerikan.

"Jawab jujur," tanya Bintang membuat jantung Sia berdetak kencang, "Siapa cowok yang kamu suka," tanya Bintang, Bara tercekat mendengarnya, dia kembali menatap Sia dengan serius.

Sia merunduk, senyum tipis bercampur malu, wajahnya terus memerah, jantungnya terus berpacu kencang, "Ada, temen kecil aku. Dan aku masih suka sama dia sampai sekarang."

Crystal, Bintang dan Orlando langsung menatap Bara. Tapi sebaliknya, tatapan Bara malah tertuju pada Bintang, rahangnya mengeras, tatapannya amat tajam seperti seorang pemburu.

Begitukah, cowok itu yang Sia suka? Seorang cowok seperti Bintang?

"Sia, kayanya ada yang harus gue omongin," ucap Bintang membuat Sia mengangguk cepat. Tunggu dulu, apakah Bintang akan mengungkapkan perasaannya, sekarang?

"Gue juga, ada yang harus gue omongin," ucap Bara membuat Sia tersenyum merona.

"Gue dulu, ini penting!"

"Lo pikir apa yang mau gue omongin nggak penting?" tanya Bara sembari menatap Bintang kesal.

"Oke, Bara. Kita keluar," ucap Sia semangat dan memberi kedipan ke arah Bintang agar dia diam tak menganggunya. Bintang hanya mengembuskan napas panjangnya, sepertinya Sia memang benar-benar menyukai Bara.

Saat melihat Sia dan Bara pergi keluar, Crystal langsung menepuk paha Bintang, Crystal menatapnya dengan tatapan berbinar, "Apa Bara bakal tembak dia?"

"Menurut Kakak, nggak," balas Orlando cepat.

"Setuju!" Bintang mengangguk lalu menatap Orlando, tapi sayang, cowok itu malah menatapnya tajam.

"Sebelum kita bahas Bara sama Sia, ada yang harus gue pastiin juga sama lo, Bintang." Crystal langsung terkejut, terutama saat melihat wajah Orlando yang... menakutkan. Apa dia sedang marah sekarang?

"Ada apa?"

"Siapa aja di Parahyangan yang tahu kalau lo takut Mie?"

"Biar gue jelasin." Bintang kemudian menghadap Orlando dengan serius, "Nyokap gue sama kaya Sia. Bedanya, Sia takut darah, dia takut Mie. Dia punya trauma sama Mie."

"Oke, terus?"

"Jadi di rumah, gue udah kena doktrin kalau Mie itu—" Bintang mengembuskan napasnya, "Nyeremin," lanjutnya.

"Gue tanya sekali lagi, siapa aja di Parahyangan yang tahu kalau lo nggak suka Mie?"

"Cuma Crystal sama Sia."

Orlando mengangguk, "Bagus, jangan sampai masalah ini bocor. Lo bisa dalam bahaya. Pegasus nggak kaya Phoenix."

"Menurut gue sama aja," ucap Bintang, Crystal kemudian mengambil mangkuk Mie milik Sia, dia memakannya dengan lahap lalu mendengarkan perkataan mereka dengan serius.

"Beda. Suatu hari nanti lo bakal tahu bedanya Phoenix dan Pegasus."

Bintang tetap dengan pendiriannya, dia menggelengkan kepalanya beberapa kali lalu berdiri, mendekat, dengan tatapan mata yang penuh amarah pada Orlando.

"Gue mau ketemu, Jeremy, temen lo. Apa lo bisa atur?" tanya Bintang pada Orlando.

"Kenapa tiba-tiba Jeremy?"

"Dia udah bunuh Kakak dari sahabat gue, Troy. Bukannya Phoenix juga tukang bunuh? Apa bedanya? Sama aja, kan?" Orlando membulatkan matanya, tangannya mengepal, membuat Crystal dapat melihat kalau Kakaknya, sedikit banyak tahu sesuatu tentang Jeremy.

***

Bara kini keluar bersama Sia, tapi sedikit pun Bara tidak bertanya apapun, pikirannya masih bergejolak, membayangkan kalau Bintang yang dengan mudah memegang tangan Sia dan memeluknya seolah Sia adalah miliknya.

Menyebalkan, hatinya terasa panas, terbakar, seperti kumparan api yang terus melahap setiap inchi dalam tubuhnya. Kenapa harus Bintang? Tidak sadarkah Sia kalau cowok itu sangat fakboi?

"Apa aku punya salah, lagi?" tanya Sia bingung.

"Nggak."

"Masa?"

"..."

Sia mengerucutkan bibirnya dan menatap Bara dengan tatapan menyelidik.

"Kak Bara?"

"Huh?" tanya Bara bingung saat Sia tiba-tiba memanggilnya dengan sebutan 'Kakak'.

"Kamu marah karena aku panggil Orlando 'Kakak' kan?"

"Panggil gue Bara, gue lebih nyaman."

"Terus aku salah apa?"

"Nggak ada." Sia menggertakkan giginya, sedingin itukah bocah yang dulunya cerewet dan selalu mengganggunya dulu?

"Terus kamu mau bicara apa?"

"..."

"Ish!"

Sia mengikuti langkah kaki Bara yang lebar. Mereka terus berjalan ke halaman belakang rumah Crystal, mengingatkan Sia tentang masa kecilnya bersama Bara dulu.

"Bara, aku boleh cerita?" tanya Sia sambil duduk di atas rerumputan di atas tanah yang menjulang tinggi seperti bukit kecil.

"Ya."

"Dulu, temen kecil aku sering—"

"Stop, gue nggak mau denger."

What? Sia langsung menganga lebar sekarang.

"Oke!"

Sia merundukkan kepalanya, Bara terasa amat dingin. Memang, Bara tidak se cerewet dulu. Dia lebih banyak diam, Sia tidak memungkiri kalau dia sangat merindukan Bara yang dulu.

Bara memejamkan matanya lalu duduk di samping Sia, kenapa harus terus tentang teman kecilnya itu? Dia mengembuskan napas panjang saat Sia tengah cemberut, Bara yakin Sia tengah mengucap sumpah serapah untuknya sekarang.

"Sia..."

"Ya?"

"Seberapa deket lo sama Bintang?"

"Abin?" tanya Sia heran, dia mengedipkan matanya beberapa kali sebelum mencerna ucapan Bara.

"Ya, sejak kapan lo kenal dia?"

"Aku kenal Abin dari lahir," ucap Sia sambil menerawang isi pikirannya, "Kalau masalah deket—aku sama Abin emang nggak bisa dipisahin dari dulu. Abin itu orangnya kuat, dia cowok paling kuat yang pernah aku kenal."

Paling kuat katanya? Lalu, apa Bara yang jelas-jelas tengah di sampingnya sama sekali tak dianggap olehnya? Bara hanya membalas ucapan Sia dengan decakan sebal.

"Dia dari kecil selalu lindungi aku. Jadi kalau kamu tanya seberapa deket aku sama dia. Aku udah pasti jawab sangat deket."

"Sia, apa lo suka cowok kuat?" tanya Bara dan Sia mengangguk cepat, menatap Bara dengan tatapan berbinar.

Karena menurut Sia, Bara pun tak kalah kuat dari Bintang, selain kuat Bara pun sangat keren. Sia tidak bisa menahan matanya untuk tidak melihat cowok yang ada di sampingnya.

"Apa gue harus kalahin Bintang buat bisa lindungi lo?"

"Maksud kamu?" tanya Sia bingung, "Kenapa harus kalahin Bintang? Kalian bisa sama-sama lindungi aku."

"Gue cuma mau satu-satunya orang yang lindungi lo itu... gue. Cuma gue seorang."

Apakah itu berarti Bara menyukainya? Sia menggigit bibir bawahnya, tapi tunggu. Bara hanya ingin melindunginya, kan? Dia tidak mengungkapkan perasaannya, Sia kembali mengerucutkan bibirnya.

Sia kemudian memegang tangan Bara yang masih diperban lalu membuka telapak tangan yang kokoh tersebut. Dia kemudian menatap luka yang mulai pudar di atas dahinya.

"Bara, luka di tangan ini udah jadi bukti kalau kamu udah lindungi aku. Jadi, kamu nggak perlu kalahin Abin, cukup lindungi aku, kapan pun dan di mana pun."

Bara masih memasang wajah datarnya. Dia menatap Sia, cewek itu selalu tersenyum—indah, hanya itu definisi yang dapat dia ungkapkan sekarang. Semakin Bara melihatnya semakin Bara takut, kalau cewek yang ada di sampingnya ini memang Alistasia.

Apakah hanya nama panggilan mereka saja yang kebetulan sama? Dan... apakah hanya kebetulan, iris mata cokelat itu memiliki keindahan yang sama? Bara sangat ingin menanyakan hal ini, tapi dia kembali dihantui rasa cemas yang membuat niatnya tak tercapai.

"Maaf," ucap Sia lagi dan lagi, "Aku nggak bisa obatin luka di tangan kamu, kalau aja aku nggak punya trauma, mungkin—"

"Ini bukan salah lo. Dan berhenti minta maaf, Sia. Kata maaf dari lo terlalu berharga buat dikeluarin."

"Terus, tadi siang di mobil aku tidur. Kamu yang gendong aku, kan? Kamu tahan sakit di tangan kamu buat gendong aku?" tanya Sia membuat Bara kembali berdecak, tentu saja dia akan melakukan hal itu. Hanya menahan sakit seperti itu hanya hal kecil baginya.

Bara menyunggingkan senyuman tipis, Sia mampu menangkap itu. Bisakah senyumnya terus menempel di wajah datarnya? Meskipun Bara dengan wajah datarnya tetap tampan, tapi dia lebih tampan lagi dengan senyumnya.

"Sama-sama," ucap Bara membuat wajah Sia memerah.

Bara kemudian mengeluarkan satu botol Aqila dari hoodienya, dia lantas memberikannya untuk Sia.

"Lo tadi abis makan Mie, lo belum minum sama sekali, Sia."

Sia memgangguk, ternyata Bara mengerti kalau Sia memang haus. Tapi tentu saja Sia menahannya, karena dia ingin tetap berada di sini, bersama cowok itu, Bara William, teman kecilnya yang selalu mengintip dari jendela.

Sia pun meminum air tersebut sampai habis, botolnya memang berukuran kecil, jadi Sia mampu menghabiskannya dengan cepat.

"Tunggu," ucap Sia sambil menatap botol itu.

"Ini bekas siapa?" tanya Sia dengan jantung yang berdetak kencang, "Atau—barusan kamu bukain tutupnya buat aku, ya?"

Sia menatap botol tersebut dengan horor, matanya terus bergantian, antara menatap botol tersebut dan menatap Bara yang memasang wajah tanpa dosa. Sia dapat mengingat, kalau botol tersebut memiliki tutup yang tidak terkunci, aish... semoga saja wajah Sia tidak memerah sekarang.

"Itu bekas gue. Maaf, gue nggak sempet ambil yang baru."

Sia menganga lebar, dia kemudian menutup mulut dengan tangannya. Dia langsung memutar tubuhnya, memunggungi Bara agar cowok itu tak melihat wajahnya yang semakin panas.

Sungguh, apakah Barusan Bara sudah merebut ciuman pertamanya? Apakah barusan mereka ciuman? Ya, Tuhan. Jantung Sia terus berdetak kencang, seperti ingin melompat keluar sekarang juga.

"Sia, lo nggak papa?"

Sia mengatur napasnya, dia lalu menggigit bibir bawahnya.

"Aku nggak papa," bohongnya, padahal Sia ingin melompat-lompat sekarang.

"Sini, gue buang botolnya."

"NGGAK!" bentak Sia membuat Bara terperanjat kaget. "Botol ini punya aku sekarang!" tegas Sia sembari menyembunyikan botol tersebut.

"Lo... baik-baik aja, kan?" tanya Bara khawatir, wajah Sia sangat merah seperti kepanasan, Bara langsung memegang kening Sia, "Lo dingin banget, tapi keringetan. Kalau ada—"

Sia tidak kuat menahan wajahnya, dia langsung pergi meninggalkan Bara, berlari kencang dan segera memasuki rumah melewati Bintang, Orlando dan Crystal. Sia memeluk rapat botol tersebut lalu mengunci dirinya sendiri di kamarnya.

"Nggak bisa. Nggak bisa!" teriak Sia, dia benar-benar tidak bisa melihat wajah Bara sekarang.

Sementara Bara, dia hanya bingung. Mengejar Sia dan melihatnya mengunci diri di kamar lalu di hadang oleh Bintang di tepat di depan pintu.

"Lo apain Sia?" tanya Bintang kesal.

"Aku baik-baik aja, Abin. Beneran."

"Kalau gitu, aku boleh masuk?" Crystal langsung mengetuk pintunya, suara kunci terbuka pun terdengar, memberi isyarat kalau Crystal boleh masuk ke dalam kamarnya.

"Iya, Abin. Sia baik-baik aja. Cuma wajahnya aja yang merah!" teriak Crystal di balik pintu membuat Bintang bernapas lega.

"Ada yang harus gue pastiin sama lo," tanya Bara sambil melangkah jauh dari kamar Sia, Bintang pun mengikutinya, sepertinya Bara akan mengatakan sesuatu yang serius.

"Seberapa deket lo sama Sia?"

Sial, Bintang kira Bara akan mengatakan hal penting. Ternyata hanya hal sepele seperti ini.

"Gue sama Sia itu kek lobang idung," balas Bintang membuat Bara mengernyit, "Jarak kita deket banget. Meskipun deketan tapi emang nggak ditakdirkan buat bersama."

"Teluk Alaska, maksud lo?" tanya Bara sembari berdecak, tentu saja Teluk Alaska, Bara sangat tahu dengan istilah 'Bertemu tapi tak bisa bersatu' yang selalu Sia bicarakan.

"Itu istilahnya terlalu keren, buat lebih jelasnya lo bisa bayangin lobang hidung gue."

Orlando rasanya ingin tersedak saat melihat wajah Bara kebingungan, "Kayanya, lo emang pecinta lobang!" jawab Orlando.

"Nyesel gue tanya lo," balas Bara tidak semangat.

"Maksud lo apa tanya gue kaya gini?" tanya Bintang.

"Sia suka sama lo, Bintang. Lo jadi cowok harusnya peka!"

"HA?" teriak Orlando dan Bintang bersamaan. Astaga, sepertinya mereka benar-benar ingin membuang Bara ke jurang sekarang.

"Jujur gue kasihan sama lo, tapi—mau gue kasih spoiler?" tanya Bintang dengan wajah cemas, sementara Orlando hanya bisa menahan tawanya. Kalau saja Crystal tidak memintanya untuk tutup mulut, mungkin Bara sekarang sudah tahu siapa Sia sebenarnya.

"Spoiler?"

"Ya."

"Apa itu?"

"Gampang. Tar malem sebelum tidur, lo cari instagram Sia. Kelar semua masalah hidup lo!" ucap Bintang membuat Orlando mengangguk cepat.

"Setelah lo ketemu sama instagram Sia, otomatis, lo bakal tahu siapa gue bagi Sia."

***

"Kamu kenapa, Sia?" tanya Crystal khawatir, saat ini dia langsung menyalakan AC di kamar tersebut agar Sia tidak kepanasan.

"Kamu kaya kepiting rebus pakai saus tiram."

"Crsytal!" teriak Sia seolah ingin menangis dengan jantung yang berdebar kencang.

Crystal langsung memeluk Sia dan mengusap pucuk kepalanya. Seperti itulah cara Ibunya dulu membuat Crystal tenang, apakah cara ini akan berpengaruh pada Sia?

"Kamu kenapa? Ceritain aja, Bara sakitin kamu?"

"Bara barusan rebut ciuman pertama aku."

"HA?" teriak Crystal sampai membuat Bara, Orlando dan Bintang menoleh. Mereka pun dengan cepat berlari ke arah pintu kamar di mana Sia dan Crystal berada.

"OMO!" teriak Crystal lagi, cewek itu memang terkenal dengan teriakan melengkingnya. Tak salah kalau Abin selalu membekap mulutnya.

"Jadi... Bara barusan rebut ciuman pertama kamu? Di taman bekalang rumah aku?" tanya Crystal kaget. Sayangnya, suara Crystal kini terdengar sampai ke luar kamar. Orlando dan Bintang langsung menatap Bara dengan horror sementara Bara kebingungan.

"Merebut ciuman pertamanya? Kapan?" tanya Bara dalam hatinya.

"Oke tenang aja, aku janji aku nggak bakal bilang siapa-siapa, bahkan Kak Lando sekalipun," ucap Crystal kembali terdengar keluar pintu, membuat wajah Bara memerah.

Saat ini, Orlando dan Bintang benar-benar menatapnya seperti seorang buronan. Membuat Bara semakin bingung, kapan dia mencium Sia?

***

Sia keluar kamar bersama Crystal, saat melihat Bara tengah berkumpul bersama Bintang dan Orlando, Sia langsung memalingkan wajahnya malu-malu.

"Mau ke mana?" tanya Bara saat melihat Sia membawa tasnya, seperti seorang akan pindahan.

"Mau pulang." Sia memegang tangan Crystal erat.

"Gue anter."

Saat Bara hendak berdiri, Crystal mengangkat kedua tangannya, "Nggak perlu, biar aku yang anter Sia."

Bara mengerutkan keningnya. Sia langsung pergi ke luar bersama Crystal, tanpa mengucapkan pamit, dan tanpa memberi senyuman. Hanya wajah malu-malu yang dia sembunyikan dibalik rambutnya.

"Bar, lo bener-bener mau gue santet?" tanya Bintang masih dengan tatapan horornya.

Sementara itu, Crystal mengantarkan Sia pulang. Mereka berbagi cerita bersama di dalam mobil, membagi tawa, dan membagi kisah yang memilukan satu sama lain.

"Kamu harus bersyukur Sia, Papa Mama kamu masih ada. Aku?" tanya Crystal, "Kami berdua hidup sebatang kara sejak SMP."

"Jadi... kalau menurut aku. Maafin dia kalau mungkin dia sembunyiin sesuatu, mungkin emang bener, dia nggak mau kamu terluka," ucap Crsytal sambil fokus mengemudikan mobilnya, "Dan kamu juga harus minta maaf karena udah buat Papa kamu sakit hati."

Sia tersenyum penuh arti, Crystal sahabatnya ini benar-benar. Satu sisi, dia terkadang sangat menyebalkan dan selalu membuatnya tertawa karena tingkahnya. Satu sisi, dia memiliki sisi dewasa yang sangat membuat Sia tenang.

"Ya, aku juga salah di sini."

"Ya, dan aku nggak bakal dukung kamu kalau kamu salah, Sia. Sebagai sahabat, sahabat cewek aku satu-satunya. Aku nggak mau kamu tersesat."

Crystal memarkirkan mobilnya tepat di depan halaman rumah Sia, dia memeluk sahabatnya itu. Semoga Sia benar-benar bisa berbaikan dengan Ayahnya, Crystal sangat ingin melihat Sia bahagia.

"Makasih, selalu ingetin aku kalau aku salah, Crystal."

"Tentu!"

"Sekarang, apa kamu mau mampir ke rumah aku?"

"Mungkin nanti, sekarang kamu harus fokus sama Papa kamu dulu," ucap Crystal. Dia tidak mau merusak momen Sia dan Ayahnya, lebih baik dia pulang dan kembali makan bersama Orlando.

"Hati-hati," ucap Sia sambil turun dari mobil tersebut, membuat Crystal kembali melambaikan tangannya.

"Daaahhhh!"

Saat melihat Crystal pergi, bayangan rumahnya kembali membuat Sia gemetar. Rumah ini, baru Sia tinggalkan satu malam tapi rasanya seperti satu tahun. Belum apa-apa, Sia sudah merindukan kehangatan rumahnya.

Sia berjalan menuju pintu depan rumahnya, tangan mungilnya bergetar saat dia akan menekan bel. Suara bel pun terdengar, Sia langsung merundukkan kepalanya saat seseorang membuka pintunya.

"Sia..." panggil Alister.

Sia tercekat, dia menatap Alister yang tengah tersenyum penuh rasa sakit, matanya pun berkaca-kaca. Sia yang tidak bisa menahan tangisnya lagi langsung memeluk Ayahnya dalam dekapan yanh hangat.

"Papa, maafin Sia. Maafin Sia udah bilang kata-kata kasar, maafin Sia yang egois, maafin Sia yang nggak ngertiin Papa. Bukannya Sia pengecut? Harusnya Sia peluk Papa kemarin tapi Sia malah lari, Sia pergi ninggalin Papa tanpa pamit. Sia—"

"Hei Anak Jerapah, sejak kapan kamu bisa buat kata-kata bijak?" tanya Alister membuat Sia memukul dada Ayahnya dengan kencang.

"Papa Jerapah, aku kangen Papa Jerapah!" rengek Sia sambil menangis kencang di pelukkan Alister.

"Papa juga kangen, Papa juga minta maaf udah buat kamu terluka, udah buat kamu punya trauma, udah buat kamu tahan sakit selama ini sendirian. Papa janji, Sia. Apapun yang kamu mau tahu, apapun yang kamu mau, Papa bakal jawab dan kasih itu semua."

Ana menangis bahagia mendengar ucapan Alister dan Sia yang saling memaafkan sekarang.

"Sekarang jawab Papa, apa yang kamu mau tahu, dan apa yang kamu mau, Alistasia?"

"Sia cuma pengen Papa Jerapah kembali,"ucapnya membuat Alister mengeratkan pelukkannya, hatinya terasa remuk saat mendengar ucapan Sia.

"Sure, Papa Jerapah kembali sekarang." Ana pun langsung memeluk mereka berdua, mencium kening Alister dan Sia secara bergantian.

"Kalian berdua, kenapa cuma ada istilah Papa Jerapah sama Anak Jerapah? Mama nggak boleh gabung?" tanya Ana, mereka berdua pun kembali tertawa dalam tangisnya.

Sia tersenyum lalu menyeka air matanya, ternyata meminta maaf dan mengeluarkan kata-kata sayang pada orangtuanya, tidak menggelikan seperti yang dia bayangkan. Ini sangat hangat dan nyaman, membuat Sia ingin waktu berhenti berputar sekarang.

"Aku sayang kalian."

***

Bara melihat following Crystal di instagramnya, tidak mungkin kalau dia tidak mem-follow Sia, benarkan?

Dan... benar saja, dia mendapatkan nama @anastasyamysha di following Crystal. Tapi... kenapa fotonya berbeda? Dan di following Crystal hanya ada satu seseorang yang memiliki nama Anastasia, yaitu Anastasia Mysha.

Tidak salah lagi, ini pasti Anastasia yang dia kenal kan? Fotonya terlihat tidak jelas, tapi Bara yakin itu bukan foto Sia.

Bara mengirimkan pesan tersebut, semoga Sia membalasnya. Dia langsung tertidur karena sangat lama menunggu balasan dari Sia.

***

Alister pun mandi air dingin tengah malam, dia ingin menjernihkan pikirannya membuat wajahnya segar kembali karena sudah menangis seharian. Saat Alister selesai dan keluar dari kamar mandi, dia mendapatkan kalau Ana sudah tertidur.

Alister menyelimuti Ana, mengecup keningnya dan tersenyum lekat. Bahagia, hanya itu yang dia rasakan. Tapi saat itu juga ponselnya berbunyi, bersamaan dengan ponsel Ana yang juga berbunyi.

"Paling instagram," ucap Alister sambil memakai baju tidurnya, dia sangat tahu, kalau ada pesan masuk baik terkirim pada Ana atau Alister, kedua ponsel mereka akan berbunyi bersamaan.

Tentu saja, karena semua sosial media mereka berdua saling terhubung satu sama lain. Sangat lucu memang.

Alister pun membuka ponselnya, ternyata ada pesan dari seseorang yang masuk pada instagram istrinya.

"Huh?" tanya Alister bingung saat membaca pesan tersebut, Bara William? Alistasia? Ketemu di tempat biasa katanya? Alister langsung mengepalkan tangannya kesal, bagaimana bisa—Alistasia, anaknya yang paling dia sayangi harus bersama clan William?

"Maaf, Sia. Kalau emang ini Bara William yang Papa kenal. Papa nggak bakal biarin itu terjadi," ucap Alister sembari mengirim sebuah balasan pada pesan tersebut.

Love you readers...

Siapa yang ngakak?

Yang nanya kenapa Bara bisa bawa minum, tuh liat, sampe celananya melorot juga dia tetep bawa minum wkwk

Dan yang tanya, kenapa di dm Bara malah tanya Alistasia padahal dia belum tahu, itu sengaja, tunggu next chapter😌

Uh panjang banget kan? 3.500 word lebih loh, ga percaya? Itung sendiri wkwk

Spoiler next chapter: "Ahh... sakit!"

SPAM KOMEN NEXT DI SINI🥰

Jangan lupa vote sama komentar ya sama beli novel Teluk Alaska buat nemenin quarantine👌


Di shopee: rne.ofc juga novel TA nya aja lagi diskon, cuma 69.100 loh. Jadi mending beli novelnya dulu kalau belum bisa beli paket😍

Jangan lupa juga follow instagram Official:

@telukalaskaofc
@ekepstory_

Dan juga instagram Roleplayer:
@barawilliam_
@alistasia.reygan
@bintang.elano
@hutomo_
@alister_reygan
@anastasyamysha
@crystal.kyne
@orlandokyne
@biancalucretia

Ada yang mau ditanyain?

Instagram: ekaaryani01

Thankyou💕

Continue Reading

You'll Also Like

ARSYAD DAYYAN By aLa

Teen Fiction

2.1M 113K 59
"Walaupun وَاَخْبَرُوا بِاسْنَيْنِ اَوْبِاَكْثَرَ عَنْ وَاحِدِ Ulama' nahwu mempperbolehkan mubtada' satu mempunyai dua khobar bahkan lebih, Tapi aku...
3.7M 295K 49
AGASKAR-ZEYA AFTER MARRIED [[teen romance rate 18+] ASKARAZEY •••••••••••• "Walaupun status kita nggak diungkap secara terang-terangan, tetep aja gue...
2.1M 127K 42
Kanaya Tabitha, tiba tiba terbangun di tubuh seorang figuran di novel yang pernah ia baca, Kanaya Alandra Calash figuran dingin yang irit bicara dan...
394K 25.5K 50
JANGAN DISIMPAN, BACA AJA LANGSUNG. KARENA TAKUT NGILANG🤭 Transmigrasi ke buku ber-genre Thriller-harem. Lantas bagaimana cara Alin menghadapi kegi...