[Selesai] Perfectly Imperfect

By twelveblossom

173K 17.6K 6.4K

Sempurna. Bagaimana jika Nayyara Judistia Putri Hartadi menjadi perempuan yang paling sempurna bagi Javas? Ja... More

0. Tokoh Yang Ada
1. Titik Awal
2. Bertemu Pilihan Lain
3. Soal Cemburu
4. Bersamamu itu Segalanya
5. Melewati Batas
6. Alasan Yang Keliru
7. Jalan Pintas
8. Dia Yang Kelabu
9. Kamu dan Buku yang Tertutup
10. Meragukan dan Diragukan
11. Tentang Rindu
[GIVEAWAY] HI DECEMBER!
12. Terikat Asa
13. Dua Peran
14. Sebuah Permainan
15.1. Menjadi Kita
15.2 Menjadi Kita
16. The Heaven
17. Yang Diperbaiki, Tidak Ada
18. Kenangan Untuk Yang Pergi
19. Untuk Melepaskan
20. Bicara Soal Pernikahan
21. Bagian Terbaik Dalam Hidupku
22. He Brings The Heaven To Her
23. Terluka dan Kembali Sembuh
24. Rumah Kita
25. Perasaan Yang Terombang-Ambing
26. Lebih Dari Ego
27. Hiruk Pikuk
28. Katanya, Cinta Itu Mengusahakan Segalanya
29. Membakar dan Terbakar
30. Ketenangan Yang Sebentar
32. Yang Ditunggu Datang Juga
33. Sebelum Kelahiran Bintang Yang Ditunggu
34. Comfort Zone (Final)
35. Bagaimana Kalau Berlanjut? (S2 Perfectly Imperfect)
36. Mereka Pun Mulai Bahagia

31. Kita Akan Bicara Besok

3.7K 391 306
By twelveblossom

Kita akan Bicaratwelveblossom

Kita akan bicara,
Bicara perihal masalah
Bicara perasaan yang terluka.

Kita akan bicara,
tentang kita yang bersilang jalan
dan tidak tahu, kapan akan pulang.

Kita akan bicara,
jangan kamu menolak
dan berucap, kita akan bicara besok.

-oOo-

"Maaf, Nayyara." Itu kalimat yang diungkapkan Javas setelah sepuluh menit duduk diam di hadapan Nara.

Baru saja ada insiden kecil di antara mereka. Nara sempat bingung karena mantan kekasih Javas bertandang ke apartemen. Nara yang awalnya sibuk menghias kuku bersama Aria dan Lizzy sempat tercengang sebentar ketika mendapati Anastasya menekan bel apartemen lalu mengaku datang ke sana atas undangan Javas. Untung saja Lizzy yang waktu itu bisa lebih galak dari siapa pun dapat mengusir Anastasya Keils tanpa adu jambak. Ariadna yang bertugas menelepon si keparat (baca: Javas Chatura Mavendra) dan menenangkan Nara.

Nara yang awalnya syok, mulai tenang karena segelas susu coklat dan tentu saja kedatangan Javas yang memberikan raut menyesal. Nara enggan menatap Javas, dia menunduk sembari membelai perut. Dalam hati Nara bicara, 'it's okay, Baby Bala-Bala. Kalau tidak ada Papi, mami akan merawat kamu sendiri'. Iya, pikiran Nara sedang dipenuhi prasangka. Setenang apa pun dirinya sekarang, Nara sudah lelah.

Nara capek hidup dalam insecure karena Javas itu too good to be true. Javas bisa menjadi suami yang sangat baik, dia berkecukupan secara finansial, dan rupanya menawan. Namun, dari segalanya ... Nara tidak tenang karena selalu takut pada suatu saat Javas akan sadar jika Nara tidak pantas memilikinya.

Nara takut ada lagi wanita lain yang ada di sekeliling Javas. Nara berusaha meyakinkan bahwa dirinya sudah cukup untuk Javas. Akan tetapi, kejadian seperti ini selalu meruntuhkan keyakinan yang Nara kira sudah kuat. Sekali lagi Nara ingin menyerah, sungguh.

Hanya saja ... Nara tidak dapat hidup tanpa pria yang kini menatapnya dengan cintanya. Nara tidak akan sanggup.

"Tidak masalah." Nara berkata begitu.

Nara memberikan suara datar. Apalagi, yang Javas harapkan. Nara tidak mengusirnya dan bersedia mendengarkan penjelasannya saja membuat Javas bersyukur. Sayangnya, Javas terlalu gelisah untuk menerangkan yang sebenarnya. Akhirnya, bibir itu terkunci.

"Aku ingin pindah dari apartemen ini," ujar Nara lagi. Nara menarik nafas panjang. Dia hanya ingin pergi dari sini. Menghindari mantan kekasih Javas yang kemungkinan datang kembali. Nara enggan membuat pertengkaran di antara dirinya dan sang suami.

'Aku ingin pergi jauh sekali, Javas.' Batin Nara melanjutkan.

"Aku ingin kita tinggal di mana masa lalu kamu tidak akan pernah datang ke aku lagi. Bisa?" Nara memejamkan matanya. Dia meraih tangan Javas. "Kamu tahu aku mudah capek. Kalau kamu terus membuatku begini, aku akan sangat capek. Aku ... aku akan memilih kita berpisah saja―"

"―Nayyara!" Javas memotong ucapan Nara, dia tidak suka mendengar kata berpisah dalam percakapan ini. "Jangan bicara begitu," lanjutnya lebih lembut.

Nara tersenyum. "Bicara apa?" Tanya Nara dengan suara pelan. "Kamu selalu berkata kepadaku jika aku harus bahagia. Kamu akan mengusahakan apa pun agar aku bahagia. Tapi, justru kamu satu-satunya yang membuatku sedih, Javas. Hanya kamu."

Nafas Javas tertahan. Javas dapat menghadapi kerasnya dunia. Javas bisa menaklukkan apa pun yang dia inginkan sejauh ini. Semua itu membuatnya merasa beruntung. Namun, mendengar Nara berkata demikian ... lantaran beruntung, Javas menjadi pecundang yang kehilangan dunia dan semua yang sudah dimilikinya.

Sederhana. Semuanya tidak berarti apa-apa lagi karena Javas justru menyakiti orang yang dia cintai. Dunianya. Segalanya. Naranya.

"Kita akan pindah dari sini," putus Javas. Ia berdiri dari kursinya, Javas memilih berlutut di depan Nara kemudian merangkum istrinya dalam satu pelukan. "I really sorry, Sayang. I'm sorry. I'll die if you leave me."

Terdengar murahan. Hanya saja ... hanya saja Javas sungguhan akan mati apabila Nara tidak ada. Hidupnya kini hanya sebatas Nara. Ini salah, manusia tidak berhak mencintai begitu besar karena tidak ada yang mengetahui takdir. Seberapa jauh takdir mereka bersama akan berlanjut.

Hanya saja ... Javas tidak bisa.

"I love you, Nayyara. Please, forgive me."

"Mencintai itu perihal melepaskan, Javas. Mencintai itu perihal mengerti kapan harus berhenti, Javas."

Oke, Nara tidak seharusnya mengatakan ini. Nara terlampau berlebihan ini pertengkaran kecil. Hanya saja, Nara sedang sensitif, ia ingin berhenti sebentar. Iya, Nara perlu beristirahat dari rasa selalu cemburu yang menguras energinya.

"Aku tidak ingin berhenti." Javas mengeratkan pelukannya. "Bayi ini membutuhkan kita," gumam Javas.

Bayi, anak ini. Apa hubungan antara Javas hanya sebatas komitmen untuk membesarkan anak bersama? Pikiran itu kian menyakiti Nara.

Nara diam. Tubuhnya bergerak, memaksa Javas melepaskan dekapan yang tak lagi membuat jantungnya berdebar.

Javas yang mengerti pun memberikan spasi. Walaupun berat hati.

"Aku ingin istirahat, Javas."

"Aku temani."

Nara melihat Javas. "Kita bicara besok. Aku akan tidur di apartemen Kak Damar," ujar Nara.

Iya, Nara enggan tinggal di apartemen yang entah sudah berapa wanita yang pernah Javas ajak menginap di sini. Nara tidak sudi membayangkan.

-oOo-

"Lagi marahan sama Javas?" Damar langsung memberikan pertanyaan itu tepat setelah menutup pintu apartemennya.

Damar baru pulang dari rumah sakit saat Nara datang ke sini diantar oleh Javas. Katanya Javas titip istrinya sebentar, terus Nara langsung masuk apartemen Damar tanpa memberikan kiss bye atau salam sayang untuk Javas. Jelas aneh.

Javas yang mengizinkan Nara menginap di sini tanpa ikut serta, memberikan jawaban yang jelas kalau mereka sedang bertengkar. Biasanya, Javas tidak akan merelakan Nara menginap di luar sendirian. Kalau Nara sedang kangen Damar, Javas bakalan ikut tidur di apartemen ini selama istrinya puas melepas rindu dengan si kakak.

"Kalau mau nangis, nangis aja." Damar berkata lagi sambil menyerahkan kaleng susu beruang pada adiknya.

"Gak apa-apa." Nara menjawab singkat, tapi dia duduk di sofa ruang menonton lantaran langsung masuk ke kamar lamanya. Itu artinya Nara ragu mau cerita atau tidak.

"Mau Kak Damar buatin bubur?"

Nara menggeleng. Dia hanya menatap kaleng susunya, tanpa berniat membuka.

"Kata Javas tadi kamu belum makan."

"Lagi enggak lapar."

Damar menghela nafas panjang. "Bayi kamu lapar, Nayyara. Kamu lagi hamil." Damar mengusap puncak kepala adiknya sebelum beranjak. "Tunggu ya, buburnya cepat kok."

Nara mengangguk. Nara bahkan masih di posisinya saat Damar kembali dengan semangkuk bubur suwir ayam. Memang sih rasanya biasa, tapi bubur itu salah satu makanan kesukaan Nara. Jadi, Damar berharap adiknya bisa sedikit 'sembuh'.

"Makan, Nayyara." Damar mengangsurkan sendok ke adiknya. "Kak Damar enggak mau keponakan kakak kelaparan," rayu Damar.

"Makasih, Kak," gumam Nara. Dia menyendok bubur itu. Baru beberapa suap perlahan-lahan Nara terisak. Buburnya jadi terkena tetesan air mata Nara. "Kak Damar, apa kakak pernah ngerasa capek banget sampai enggak bisa marah?" tanya Nara, dia mulai sesenggukan.

"Apa kamu lagi merasa kayak gitu sekarang?" Lantaran menjawab Damar justru memberikan pertanyaan. Damar meraih tisu untuk Nara membantu si adik membasuh kesedihannya. Damar tentu saja panik, marah, dan sedih melihat Nara begini. Hanya saja, Damar kini adalah orang luar dalam keluarga baru Nara. Jika Damar ikut tersulut api, maka masalah mereka akan semakin besar.

Nara mengangguk. Dia tersedak air matanya sendiri. Untungnya, Damar segera memberikan minum. "Aku capek sama diriku sendiri. Aku capek cemburu. Aku capek cinta sama Javas."

"Kamu gak ingin lihat Javas?"

"Iya."

"Kalau begitu, kamu tinggal di sini sampai tidak merasa capek."

Nara berusaha menenangkan diri. Dia meyakinkan pikirannya tetap kuat. Sudah terlalu tua bagi Nara untuk meraung serupa balita. Sebentar lagi Nara akan menjadi ibu, tentunya seorang ibu tidak boleh menangis lebih keras daripada anaknya.

"Boleh?"

Damar mengangguk.

"Kak Damar tidak memaksa aku kembali ke Javas?"

Damar tersenyum. "Cinta itu tidak memaksa, Nara. Perihal perasaan harus tulus. Semuanya akan jauh lebih berantakan apabila ada paksaan."

Nara kini tersenyum simpul. "Makasih, Kak."

"Untuk?"

"Selalu menjaga aku."

Damar tersenyum, hatinya jadi sendu kalau Nara bersikap sekalem ini karena biasanya si adik kan tar tar tar prang prang. Galak maksudnya.

"Ya sudah kamu istirahat ya, Kak Damar selalu bersihkan kamar kamu setiap hari." Damar berdiri dari duduknya. "Kak Damar mandi dulu," sambungnya kemudian masuk ke kamarnya.

Damar lekas mengambil ponsel saat sudah berada di ruang tidur. Dengan agak emosi Damar menghubungi si adik ipar jelmaan roti kukus.

"Halo, apa Nara sakit? Gue siaga di depan." Itu sambutan Javas ketika mengangkat telepon.

"Pulang lo. Adik gue sampai nangis gitu. Gue gak bakal tanya alasan kalian bertengkar dan siapa yang salah. Karena gue pasti bela Nara. Karena di sini lo pasti yang salah."

Damar bisa mendengar helaan nafas dari Javas. Dia dapat membayangkan betapa putus asanya Javas Chatura Mavendra mengingat secinta apa laki-laki itu pada Nara. Jauh dalam diri Damar, dia punya keyakinan apabila Javas tidak sengaja menyakiti Nara.

"Mantan gue tadi datang ke apartemen."

"Sinting ya lu?" Damar langsung ngegas.

"Gue gak sengaja. Dia datang tanpa undangan." Javas diam sebentar kemudian berkata, "Gue tahu itu salah. Tapi beneran ini kejadian yang tidak disengaja. Gue bahkan lupa siapa Anastasya―"

"―Jav, lo salah kalau berusaha jelasin ke gue."

"Nara sama sekali gak mau dengar."

'Berarti Nayyara sudah secapek itu sama Javas' batin Damar.

"Tolong bantu jaga Nara dan anak gue." Javas berkata dengan putus asa, seolah Nara sungguhan meninggalkannya dan tidak akan pernah kembali.

Damar memijat pelipis karena kepalanya pusing memikirkan sepasang suami dan istri ini. Well, dari dulu Damar menjadi penengah, serba salah.

"Lo gak bakal nyerah gitu aja kan, Jav?"

"Gak. Gak akan pernah kalau itu menyangkut Nara." Javas menjawab tegas. "Nara kelihatan terpukul, gue berharap dengan Nara ketemu kakaknya, dia bisa lebih tenang."

Javas tidak akan tahu yang terjadi nanti, dia punya satu keyakinan apabila dirinya akan mengusahakan segalanya untuk membuat Nara tetap berada di sisinya.

"Oke, maksimal dua hari. Kalau lo gak bisa mendapatkan maaf dari Nara. Gue bakal bawa adik gue pergi dari Jakarta," ancam Damar.

Damar tidak main-main jika itu menyangkut adiknya. Damar bisa melawan siapa saja, bahkan takdir buruk sekali pun apabila itu perihal Nara. Adiknya adalah satu-satunya keluarga yang Damar miliki. Siapa lagi yang harus Damar jaga, kalau bukan Nara?

-oOo-

"Bumilkuuuu," panggil Lizzy.

Nara langsung menoleh ke arah suara Lizzy yang melambaikan tangan dengan ceria. Sepupu Ariadna ini seperti tidak punya beban hidup. Lizzy melangkah dengan cantik mendekati Nara dan Aria yang sampai lebih dulu di restoran Pawon Mbok Darmi.

Nara lagi rindu sambal dan lalapan Malang, makanya dia mencari tempat makan yang punya rasa mendekati kudapan khas kota itu. Nara yang awalnya sedih karena harus pergi sendiri, langsung senang saat Damar menelepon Aria dan Lizzy untuk menemani makan. Agak terharu sih karena Aria juga sedang hamil besar dan Lizzy lagi repot mengurusi pernikahannya yang berlangsung sebentar lagi.

Nara refleks memberikan cipika-cipiki. Ia tersenyum karena tertular cara tertawa Lizzy. "Kamu telat loh masih sempat ketawa."

"Maaf, aku kemarin menginap di apartemen Mas Tala," jelasnya. Nara dapat melihat pipi Lizzy merona merah. "Tahu kan kalau sudah berduaan sama dia, aku jadi suka lupa kalau dunia itu berputar," lanjutnya genit.

Lizzy mengingatkan diri Nara yang dulu―saat dia masih begitu cinta dengan Javas. Ketika dunia hanya terasa dimiliki Javas serta Nara. Dua orang yang begitu jatuh cinta.

Aria menyipitkan mata. "Itu leher lo kenapa merah?" tanya Aria, Nara ikut melihat.

Ah, Nara tahu itu apa sebab Javas sering melakukan juga padanya.

"Digigit tikus," jawab Lizzy seadanya sambil memilih menu. "Tadi ngobrolin apa aja sebelum aku datang?" Lizzy malah mengalihkan topik.

"Ngobrol soal Aria ingin lahiran di air."

"Oh, konsultasi aja sama Calister. Adiknya Mas Tala. Dia jago ngurusin orang lahiran."

Nara jadi tertarik. "Dr. Calister itu yang menangani aku waktu jatuh dari tangga."

Lizzy hanya mengangguk karena dia sibuk makan sate ayam milik Aria yang barusan datang. Sementara Ariadna memegangi perut tampak terganggu dengan sesuatu. Sebenarnya, Aria merasa tidak nyaman karena bayinya lebih aktif dan perutnya terasa kaku. Hanya saja Aria tetap ingin bertemu Nara dan menghiburnya. Lantaran bisa ngobrol dengan Nara Aria justru lebih banyak bercakap bersama Lizzy.

"Kalau Calister sepupu Tala, berarti ganteng dong?"

Lizzy mengangguk. "Yuhuuu tapi dia sukanya sama yang lebih tua."

"Umurnya berapa?"

"Dua delapan. Dia teman aku dulu satu bimbel. Makanya akrab. Tapi, Mas Tala gak bolehin aku dekat lagi sama dia soalnya Calister ngerokok."

Ariadna tersenyum. "Tala itu cemburu."

"No no no. Mas Tala sukanya yang berewokan dan berotot."

"Kalau dia suka laki-laki enggak mungkin Tala bikin kiss mark di leher lu. Lizzy, astaga bego." Ariadna ngegas.

"Ini aku yang minta dan paksa. Hehehe." Lizzy tersenyum malu-malu kucing.

Nara menyimak mereka, dia tidak memiliki banyak hal yang bisa diobrolkan. Nara cuma ingin ditemani agar tidak terlalu memikirkan Javas. Jadi, dia hanya mendengarkan Ariadna dan Lizzy yang bertukar pikiran tentang kehidupan mereka.

"Belum berdamai dengan Javas?" Ariadna langsung memberikan pertanyaan menohok hati Nara. "Kami di sini bisa dijadikan teman curhat. Bukannya lo yang malah bengong dan mendengarkan ocehan Lizzy," omel Aria.

Mungkin Ariadna capek memancing Nara agar bercerita sendiri. Tapi, Nara yang tidak peka justru melamun.

Aku menggeleng. "Lagi jauhan sama Javas."

"Nara, Javas kan tidak selingkuh. Dia hanya lupa pernah menjanjikan sesuatu sama mantan pacarnya. Apa menjadi lupa itu salah?" Lizzy melihat Nara dengan tajam.

"Apa bisa kita tidak membicarakan Javas hari ini?" Nara ganti bertanya kini dengan nada yang terasa dingin bahkan untuk dia dengarkan sendiri. Nara menggigit bibir. "Aku tidak menginginkan Javas saat ini. Bayiku juga," sambungnya.

"Oke, gue paham." Ariadna menyela. "Bagaimana kalau kita karaoke saja?" tawar Aria bersemangat. Dia membangun mood lagi. Tugasnya di sini untuk membuat Nara senang. Kalau Nara tidak ingin cerita atau mendengarka it's okay.

Aria bersikap tidak selayaknya wanita yang hamil tua mengenakan dress bunga-bunga lebih mirip daster.  Dia mengangkat tangan tinggi-tinggi.

Nara tertawa kecil. "Yakin? Kita lagi hamil, Aria."

"Memangnya kenapa? Apa wanita hamil tidak boleh karaoke? Yang penting kan gak mabok ganja."

Lizzy mengangguk. Lizzy ini memang yang paling tua dari segi umur tapi dia mempunyai pemikiran lebih bayi daripada Nara dan Ariadna.

"Eh, tapi nanti aku dimarahin Wira sama Bang Ampas. Dikiranya aku ngajak kalian ikut sekte sesat."

"Bodo amat sama mereka!" Seru Aria.

Lantaran mendengarkan ucapan Lizzy, Ariadna justru menarik teman satu gengnya itu untuk beranjak ke salah satu tempat langganannya. Ariadna memilih ruangan yang paling besar dan beberapa cemilan untuk mereka.

"Aku mau nyanyi jaran goyang," Lizzy sudah lebih dulu memilih lagu.

Nara duduk diam di pojokkan. Well, dia memasang senyum simpul karena Lizzy tidak menyanyi sendiri―bodyguard Lizzy ikut karaoke juga, soalnya kalau Jasper tidak ikut, Tala tidak memberikan ijin Lizzy karaoke. Lizzy sedang berdebat dengan Jasper karena mereka berdua, ingin menyanyikan lagu Jaran Goyang dalam versi yang berbeda.

"Ckckck heran gak sih manusia anteng kayak Tala mau menikah sama Lizzy yang pecicilan," Ariadna berkata begitu sambil memperhatikan Lizzy.

"Yang namanya cinta itu buta." Nara melirik sekilas kepada Aria. "Siapa yang menyangka Wira dan kamu menikah? Kalian kalau ketemu selalu berantem."

Aria langsung merona. Astaga, wanita segarang Ariadna bisa berubah manis hanya karena Nara menyebut nama Wira. "Kalau itu karena si Melon."

"Melon?" Nara menaikkan alis.

Ariadna membusungkan dada. "Ini gara-gara gue hamil. Kami menamakan calon bayi kami Melon. Wira suka melon. Gue juga jadi suka melon karena Wira."

Nara tertawa kecil. Dia melihat sisi kekanakan seorang Ariadna Arkadewi saat membicarakan Wira. Nara jadi bertanya-tanya, apa Nara berubah lebih cute saat membahas Javas? Ah. Javas lagi. Susah sekali sih menghilangkan Javas dari pikirannya.

"OKE KITA MULAI PESTA HARI INI!" Lizzy tiba-tiba berseru dengan mic yang digenggamnya.

"Nona Muda, telinga saya bisa copot kalau begini. Jangan keras-keras. "

"Berisik. Nyalakan musiknya, Cebong!" Perintah Lizzy yang langsung mendapat anggukan dari bodyguardnya. "Karena karaoke bersama bumil-bumil yang mau melahirkan. Aku enggak jadi nyanyi jaran goyang. Aku pilih lagu yang lebih keanak kecilan."

Lizzy mrnghela nafas banyak-banya sebelum sungguhan bernyanyi. "BALONKU ADA LIMA, RUPA-RUPA WARNANYA. HIJAU KUNING ABU-ABU―"

"―Salah Nona Muda yang benar hijau, kuning, toska."

"Mana ada toska!"

"Ada Nona Muda, saya suka toska jadi saya tambahkan sendiri ke dalam lagunya."

Lizzy dan Jasper tidak jadi bernyanyi malah berdebat soal warna balon. Nara pun melihat ke arah Aria yang mengusap-usap perutnya yang sudah besar. Usia kandungan Aria kira-kira jalan sembilan bulan.

"Bayi Melon, kamu boleh seganteng Jasper tapi jangan sampai sebodoh dia," gumam Aria keras-keras. Aria menghela nafas kasar. "Kita bisa ngelahirin di sini kalau dengar cemprengnya mereka."

"Hush! Jangan sampai melahirkan di sini. HPL kamu kapan, Aria?"

"Dalam minggu ini," jawab Aria santai.

"Hah, apa?"

"Ini tadi kabur dari Wira. Habisnya dia cerewet banget. Malah pengen ikut ke sini menghibur kamu yang lagi sedih. Ini kan waktunya para perempuan bersenang-senang―Aduh!" Ocehan Ariadna yang panjang dan lebar beralih menjadi pekik ke sakitan.

"Aria kamu kenapa?"

Ariadna berusaha berdiri. Dia memegangi perut. Nara berniat membantu tapi anaknya yang ada di kandungannya juga ikut menendang.

"Ah, Baby bala-bala." Nara kembali duduk. Tak bisa dipungkiri tendangan anaknya Javas ini sungguhan bikin sakit.

Lantaran begitu ada yang lebih parah dari Nara. Ariadna sudah terduduk di lantai. Dia mencengkram pegangan sofa ruang karaoke.

"Awww!!!" Ariadna menjerit. "Sakit."

"LIZZY JASPER BERHENTI BERNYANYI."

Jasper dan Lizzy menghampiri kami. Lizzy membantuku minum karena aku juga kesakitan dan Jasper memeriksa wajah Ariadna dan denyut nadinya.

"Sepertinya, Nona Aria mulai merasakan kontraksi," Jasper menyimpulkan. "Tarik nafas, hembuskan," dia memberikan contoh cara bernafas yang baik.

"Kamu gak apa-apa, Nara?" tanya Lizzy memastikan.

"Gak apa-apa. Bisa tolong telepon Wira atau Javas?"

"Astaga, Nona Aria ngompol?!" Jasper panik karena ada air merembes dari sela kaki. Tanpa banyak kata Jasper mengangkat tubuh Ariadna yang tidak bisa diam, bahkan wanita Adyasta itu sudah menjambak surai Jasper. "Kita bawa ke rumah sakit."

Keadaan bertambah kacau karena Felicia ikut menjerit kegirangan sekaligus panik maksimal. Bukannya, segera menelepon Wira, Lizzy justru menuntun Nara untuk mengikuti Jasper.

"Lizzy aku bisa jalan sendiri. Kamu mending ngejar Jasper." Nara melepas pegangan Lizzy padanya.

"Sungguhan gak apa-apa?"

"Iya, aku bakal telepon Javas buat nyusulin kalian."

Lizzy mengangguk. Dia membantu Nara duduk di depan lobi tempat karaoke yang masih terletak di dalam mall. Lizzy pun berlalu keluar lari tunggang langgang mengejar Jasper dan Ariadna.

"Oke, Nara kamu harus tenang." Nara bermonolog. Dia mengambil ponsel, tangannya ragu untuk menekan nomor tiga sebagai panggilan cepat ke Javas. Namun, pikiran Nara juga terlalu buntu.

Nara bisa saja pulang dengan memesan taksi online atau meminta orang lain untuk menjemputnya di sini. Hanya saja, tendangan pelan dari bayinya membuat Nara merindukan Javas.

Javasnya selalu bahagia saat Nara memberitahu jika bayi mereka bergerak, hidup, dan sehat. Nara kerap melihat mata Javas yang berkaca-kaca ketika menyentuh perut Nara. Tak absen sekali pun Javas menggumamkan kata syukur karena mereka akan menjadi orang tua. Semua hal tersebut yang membuat Nara luluh.

Mungkin rasa lelah Nara terhadap masa lalu Javas tidak sebanding dengan kebahagiaan mereka nanti. Rasa gembira ketika bersama.

... dan bukan kah dibalik kebahagiaan ada sesuatu yang harus dikorbankan?

Nara mengorbankan keegoisannya.

Percuma Nara memulai drama melankolis kemarin kalau pada akhirnya dia yang kangen duluan begini. 'Baby bala-bala jangan bikin mami kehilangan harga diri begini dong'.

Huh. Nara meremas ujung kemeja karena bayinya menendang lagi. Apa ini semacam protes dari baby bala-bala karena orang tuanya bertengkar?

Entah lah. Yang pasti, hal itu membuat Nara menekan angka tiga pada ponsel.

Cukup satu nada dering, Nara sudah mendengar suara Javas di sana.

"Sayang, apa ada masalah?" itu sapaan dari Javas.

Well. Iya. Masalahnya Nara rindu. Nara panik. Nara takut.

"C―Chatu, aku butuh kamu. Aku ... aku ...." Nara tidak dapat melanjutkan.

"Oke, aku ke sana."

Begitulah Javas. Javas tak memerlukan Nara mengungkapkan betapa dirinya membutuhkan Javas. Javas akan datang dalam satu kali kesempatan kepada Naranya. Tanpa peduli sebabnya penting atau tidak.

Hanya butuh dua belas menit menit. Dua belas menit bagi Javas untuk menemui Nara. Dua belas menit yang membuat pria itu lari pontang-panting. Dua belas menit yang panjang menarik Javas panik setengah mati karena Nara menginginkan kehadirannya.

"Aku sudah di sini, Sayang. Kamu aman." Itu yang dikatakan Javas saat dia berada di hadapan Nara dan merengkuhnya erat sekali.

-oOo-

"Apa Ariadna sungguhan baik-baik saja?" Nara sudah bertanya seperti itu kepada Javas yang duduk di sampingnya―di kursi penumpang.

Mereka sedang dalam perjalanan ke rumah besar Keluarga Mavendra. Javas tidak melepaskan Nara barang satu detik pun, ia tetap memeluk Nara. Awalnya, Nara merengek bercerita perutnya kram, tapi justru sembuh saat Javas datang. Nara tidak memerlukan dokter lagi, dia hanya ingin pergi ke rumah sakit dan menemani Ariadna. Tentu saja, Javas tidak setuju.

"Kamu kelihatan sama pucatnya dengan Aria, Sayang." Javas membelai surai Nara yang bersandar di dadanya. Javas sedari tadi bersyukur karena perang dingin mereka berakhir sampai di sini. Thank to Ariadna melahirkan di waktu yang tepat. "Bisa-bisa nanti kamu pingsan. Kita ke rumah besar, kamu harus diperiksa sama dokter keluarga. Kamu kelihatan terkejut sekali tadi."

Nara melepaskan pelukan Javas. "Aku sudah gak apa-apa. Tadi baby bala-bala berulah karena pengen ketemu papinya." Nara melihat Javas. Dia mencium pipi suaminya. "Please, Chatu. Aku ingin lihat keponakanku. Aku ingin lihat mini Aria dan Wira."

Javas sih biasanya murahan, disogok dikit sama kiss sudah luluh. Tapi, kali ini dia menguatkan hati. Nara sudah hamil besar. Terlalu banyak kegiatan hanya akan membuat Nara lelah.

"Sekali tidak tetap tidak."

Nara langsung mendengus. Dia kembali menyembunyikan wajahnya ke dada Javas. Pikiran Nara terbelah jadi dua. Pertama, Nara marah karena Javas melarangnya menemani Aria melahirkan. Kedua, Nara mencium wangi parfum Javas yang membuatnya mengantuk setengah mati. Sedari malam Nara terlalu memikirkan Javas, jadi dia tidak bisa tidur. Apalagi, Nara sudah terbiasa tidur dengan Javas berada di sampingnya.

"Kalau aku nggak ngantuk, aku bakal protes keras karena kamu jahat."

"Nina bobo oh nina bobo kalau tidak bobo ..." Javas mulai bersenandung.

"Aku juga masih marah sama kamu, Chatu."

" ... kalau tidak bobo digigit nyamuk. Nina bobo ohh nina bobo ...." Javas terus bernyanyi lembut tanpa mendengarkan protes Nara.

"Ini gak adil karena aku enggak bisa marah sama kamu." Nara mengoceh lagi meskipun matanya sudah tertutup rapat. Nara merasa nyaman dan aman.

"I love you too." Javas membalas pernyataan Nara.

"Aku nggak bilang cinta kamu. Aku lagi marah."

"I love you, Sayang." Javas tidak peduli, dia hanya ingin Nara tahu betapa dirinya mencintai Nara.

"Javas."

"Yes, Love?"

"Aku begini bukan karena aku sudah memaafkan kamu. Aku ... aku membutuhkan kamu."

"I need you too, for life and breath."

Nara tidak menimpali lagi karena dia sangat mengantuk. Capek sekali. Nara ingin tidur panjang. Semoga dia tidak lupa cara bangun dan hidup.

"Tidur yang nyenyak, Sugar. Kita akan bicara lagi besok."

-oOo-

a/n:

haloooo, sudah hampir satu bulan tidak menulis cerita ini rasanya ... kaku. Tapi aku tetap sayang sama Javas dan Nara hanya saja sempat down karena masih ada silent reader. Jadi kayak nggak semangat buat melanjutkan.

Dan ... terima kasih sudah membaca sampai part 31. Cerita ini menjadi sangat panjang, semoga tidak bosan ya. Rencananya aku bakal tamatin cerita ini di angka 33. Angka favorit hehehe.

Sampai jumpa di part selanjutnya. Jaga kesehatan ya.

P.s: bocoran cerita atau draft biasanya aku posting di twitter yang mau tahu bisa intip twitterku dan ig twelveblossom.

Continue Reading

You'll Also Like

262K 20.8K 100
"Jadi, saya jatuh dan cinta sendirian ya?" Disclaimer! Ini fiksi nggak ada sangkut pautnya di dunia nyata, tolong bijak dalam membaca dan berkomentar...
727K 34.7K 39
Alzan Anendra. Pemuda SMA imut nan nakal yang harus menikah dengan seorang CEO karena paksaan orang tuanya. Alzan kira yang akan menikah adalah kakek...
76.4K 3.5K 7
meskipun kau mantan kekasih ibuku Lisa😸 (GirlxFuta)🔞+++
266K 22.8K 34
"I think ... I like you." - Kathrina. "You make me hate you the most." - Gita. Pernahkah kalian membayangkan kehidupan kalian yang mulanya sederhana...