RED [MARKHYUCK]

By Hirudinea_

76.4K 5.4K 3.5K

Merahmu adalah rayu yang tak bisa dibuat layu. Selalu membara, dan sangat membakar. Menggairahkan juga penuh... More

1. I DONT WANNA.....
3. YOU NEVER KNOW.....
4. YOU SEE THAT.....
5. AND YOU KNOW THAT
6. NOT A SECRET
PENGUMUMAN

2. BUT YOU SHOULD.....

11K 1K 935
By Hirudinea_







Warn : Untuk yang tidak suka cerita dengan terlalu banyak narasi, mending jangan dilanjut baca aja. Takutnya kalian malah bosen. Karena demi apapun, aku yakin kalian pasti bakal bosen baca ini eheheh







Happy Read

Jangan sungkan buat komen dan vote.

Kalau ada typo, jangan sungkan juga buat ingetin, karena aku yakin typonya pasti banyak. :)

Last...

Hope you like it 💕💕

---



Malam telah tiba. Haechan terlihat maju-mundur mau ikut Yuta pergi ke arena atau tidak. Mau ikut, takut ketemu Mark. Tidak mau ikutpun, ia tidak berani ditinggal sendirian di rumah. Semua jadi serba salah, dia merasa dilema.

"Tidak ikut? Sudah berani ditinggal sen-"

"Ssstt! Berisik!" Haechan berseru cepat. Memotong kalimat dari Yuta dan segera menyerobot helm di tangan pria itu. Memakainya, sebelum mendudukkan diri di boncengan.

Akhirnya malam itu Haechan memutuskan untuk ikut Yuta pergi ke arena. Tak mengapalah, jikalau nanti di arena ada si Mark itu, mungkin Haechan akan menyembunyikan diri saja, atau mungkin tetap setia berada di sisi sang kakak untuk mencari perlindungan. Pokoknya, Haechan akan berusaha keras untuk menghindari Mark, dia tak mau berinteraksi sedikitpun dengan pria itu.

Pria itu sangat menyebalkan, habis itu sudah menyebalkan, menyeramkan juga pula. Dasar, anjing!

Suasana keriuhan dan keramaian di arena masih terlihat sama. Bedanya, saat ini minibar di sudut ruangan sana terlihat lebih ramai. Kata Yuta, salah satu kelompok ada yang sedang membuat acara semacam perayaan karena mereka habis menang banyak.

"Malam ini, aku tidak ikut balapan sama sekali. Aku mau santai-santai dengan yang lain saja." Ucap Yuta turun dari sepeda motor disusul dengan Haechan setelahnya.

Haechan menyibukkan diri dengan memantau keadaan sekitar. Mewaspadai keberadaan Mark, fokusnya tertuju pada kumpulan orang yang ada di sisi jalur balap, wajah-wajah tak asing yang ia yakini sebagai anggota kelompok milik Mark kemarin.

Menelisik di sana, Haechan kedapatan langsung menghelakan napasnya dengan lega sebab ia tak mendapati keberadaan Mark. Lalu beralih ke sisi markas yang lain, menoleh ke sana-kemari dan rasanya ingin sekali segera bersorak dengan girang karena dia juga tidak mendapati keberadaan Mark sama sekali di manapun.

Aman.

Dia aman pada malam ini -setidaknya.

"Bagaimana jika kita ikut bergabung dengan mereka? Kelihatannya sangat seru sekali pestanya." Usul Haechan sambil mengekori Yuta yang kebetulan juga mengarahkan langkah ke tempat yang ia harapkan.

Btw, asal kalian ingin tahu saja, Haechan juga siap berpesta jika Yuta memang benar mau melangkahkan kaki ke sana.

Haechan sedang stress, dengan pesta itu, Haechan mungkin bisa melampiaskan semuanya dengan sepuas-puasnya.

"Aku memang ingin ke sana, kelompok mereka cukup dekat dengan kelompok kami, jika kau ingin tahu." Ucap Yuta dengan santai sambil merangkul Haechan, melangkah ke tempat teman-temannya yang lain sedang berkumpul.

Semua teman-teman Yuta terlihat sedang berkumpul di salah satu meja kosong di dekat minibar. Mereka asik mengobrol sambil minum-minum, Haechan yang menyaksikannya jadi merasa antusias sendiri, terlihat sangat menyenangkan juga seru. Dia akan bergabung dengan mereka, tak mau tahu apapun alasannya mereka pun harus menerima kedatangannya.

"Kalian sedang apa?!" Haechan bertanya dengan nada yang penuh seru. Tanpa permisi menyela tempat duduk orang lain, mendusal di antara Kihyun dan Hansol, sebelum menempatkan diri di tengah-tengah keduanya. Haechan hanya ingin mengusik mereka saja, balas dendam akan sikap mereka yang sering seenaknya menggoda dirinya.

"Minum-minum, anak manis." Kihyun berkata, mencolek dagu milik Haechan yang sekarang orangnya sudah duduk tepat di sebelahnya.

Haechan menepis tangan itu. Menatap Kihyun dengan sorot bengis.

"Dijaga, ya tangannya!" Sentaknya dengan keras.

Tapi bukannya takut, sentakan itu malah mengundang tawa milik semua yang ada di sana. Apalagi Kihyun sendiri. Ia tertawa dengan sangat menggelegar, bahkan sampai memukuli permukaan meja dengan anarkis.

"How cuuteee-Aw! Aakhhh!!" Kihyun mengerang sakit saat Haechan dengan brutal menginjak kakinya, menggilasnya dengan tanpa ampun.

Mengerikan!

"Rasakan! Rasakan! Rasakan!" Racau Haechan dengan sangat puas sambil memamerkan seringai.

Sekarang keadaan telah berubah, sudah tak menertawakan Haechan, tapi beralih menertawakan Kihyun yang sedang mengerang kesakitan itu dengan sangat puas.

"Jangan ke mana-mana, ya. Aku ada urusan sebentar." Yuta menyela tawa itu. Suasana yang tadi begitu riuh dan sangat ramai lambat laun telah berubah menjadi kondusif kembali.

Kihyun hanya mengaduh pelan sambil mengusap kakinya, sementara Haechan, terlihat ia mendongak sambil mengangguk patuh pada perintah dari Yuta.

Lagipula, Haechan juga sedang tidak mood beranjak ke mana-mana, di sini sudah terasa myaman. Dia hanya ingin ikut gabung main dengan teman-teman kakaknya saja.

Tangan milik Haechan terulur, mengambil sebungkus makanan kering yang tersaji di atas meja. Ia perhatikan sekeliling, kakaknya sedang bincang-bincang serius dengan dua orang temannya yang lain -entah membahas apa Haechan juga tak tahu, lalu alih pandang lagi, di sekitar jalur balap juga terlihat ramai, ada drag sengit yang sedang berlangsung.

Haechan menyantap makanan keringnya dengan santai, sepertinya arena pada malam ini terasa lebih ramai dari biasanya. Lihat saja minibar ini, karena yang katanya ada pesta, hampir setiap sudut terlihat penuh. Padahal di sekitar jalur balap pun sudah ada banyak orang.

Apa ada yang istimewa pada malam ini? Kenapa ia rasa mungkin jumlah pengunjungnya jadi meningkat dua kali lipat sendiri?

"Hei, kapan kau akan tanding dengan Mark?" Doyoung melontarkan pertanyaan dengan santai.

Pertanyaan yang sebenarnya tidak ingin Haechan dengar sama sekali.

-Karena Haechan sedang alergi jika ada yang menyebut nama Mark.

Dengan memasang muka malas, Haechan meletakkan kembali makanan ringannya ke atas meja, sedikit membantingnya dengan kesal. Pertanyaan dari Doyoung sangat merusak suasana hati saja.

"Entahlah. Tiga hari lagi mungkin. Katanya baru tiga hari ke depan ada jadwal race yang kosong." Acuh tak acuh sambil mengedikkan bahu masa bodoh.

"Jangan nangis, ya kalau kalah." Celetuk Hansol. Menggoda Haechan dengan senang karena dia tahu Haechan pasti akan langsung terpancing amarahnya jika sudah disinggung begini.

Haechan cemberut. Jahat sekali belum apa-apa sudah diledek akan kalah. Melirik Hansol, ia serudukkan kepalanya dengan keras ke dada milik pria tersebut, menyundulnya dengan membabi-buta menjadikannya sebagai pelampiasan rasa jengkel.

"Jangan meremehkan aku. Kalau aku menang, kalian bakal apa?" Ucap Haechan sambil mengangkat dagu, mendongak dan menatap Hansol dengan sangat penuh percaya diri.

Tak mengapa yang penting sombong dulu, urusan kalah-menang bisa dipikirkan nanti kalau ada waktu.

Meski kenyataannya hal ini hanyalah sebatas angan-angan menerawang langit belaka. Kesombongan Lee Haechan terhadap keinginan yang terlalu tinggi tanpa mau berkaca pada seberapa kecil sebenarnya kemampuan yang dimilikinya itu, namun Haechan selalu menolak untuk peduli. Sejak dulu dirinya sudah termasuk ke dalam tipikal anak yang menganggap anggukan sebagai tidak, dan gelengan sebagai iya. Yang artinya lain di ucapan dan lain pula pada kenyataaan yang ada.

Tidak termasuk golongan munafik, sih. Tapi, mau bagaimana lagi, sejak dulu memang beginilah cara ibunya mengajari bagaimana bertahan hidup itu dilakukan dengan semestinya.

Biar kelihatan superior meski kenyataannya nol.

***

Haechan tidak mengerti sama sekali dengan bagaimana aturan mainnya berjalan. Sejak tadi dia hanya berperan sebagai penonton setia belaka, hanya meliarkan tatapan ke masing-masing orang yang mengelilingi meja tempat mereka kumpul ini dengan tatapan antusias namun juga penuh selidik.

Jika ujung botolnya mengarah padamu, maka kau akan diberi pertanyaan, atau mungkin juga diberi tantangan. Satu jam berlalu, dan hanya itu yang dapat disimpulkannya.

Pertanyaan yang diutarakan begitu aneh dan sangat tidak wajar sama sekali menurutnya. Macam,

Lubang siapa yang paling enak yang pernah kau rasakan?

Pernah foursome tidak?

Pernah ketahuan tidur dengan cewek lain tidak?

Dan pertanyaan-pertanyaan aneh lainnya yang berkaitan dengan soal urusan hubungan asmara atau soal sex yang tidak jauh-jauh dari yang namanya lubang senggama.

Untuk tantangannya, itu juga tak jauh-jauh dari yang begituan. Cium orang yang ada di sebelahnya, ajak tidur musuhmu, dan lain-lain yang lebih ekstrem lagi yang tak bisa disebutkannya, karena teman-teman kakaknya ini memang begitu sinting.

Mau mengabaikan permainan sinting yang sedang dimainkan oleh mereka, Haechan memutuskan untuk sibuk sendiri dengan ponselnya, ponsel baru yang dibelikan oleh Yuta siang tadi. Tidak sulit juga saat memintanya, meski menyebalkannya dia harus memijiti badan Yuta hingga membuat tubuhnya malah jadi pegal sendiri.

"Haechan, tidak mau ikut main?" Hansol mencolek lengan milik Haechan pelan. Menawari hal yang sedikit berbahaya yang langsung mengundang lirikan terkejut dari semua orang yang duduk di sana.

Haechan sendiri yang awalnya sudah hanyut dengan ponselnya mendadak merasa terulik dengan tawaran itu. Menaikkan satu alisnya, nampak seperti dia sedang memikirkan tawaran dari Hansol dengan agak ragu. Hanya dengan mengamati saja dia sudah paham jika permainan ini sangatlah aneh, berbahaya, juga tidak benar.

Tapi entah mengapa, dari dalam lubuk hatinya yang terdalam, dia juga merasa sedikit penasaran dengan permainan ini. Melihat teman-teman kakaknya yang pada tertawa heboh saat mendapat giliran, juga ketika mereka menjawab atau melakukan tantangan yang diberikan, entah kenapa Haechan juga dapat merasakan euforia keseruannya. Ikut merasa terhibur, dan sedikit-sedikit mendapat bisikan lirih agar ikut gabung dengan mereka.

"Tidak mau, ah. Nanti kalian tanya yang aneh-aneh." Haechan mengerucutkan bibirnya sebentar, mengeluarkan kalimat penolakannya dengan gaya tak peduli lalu lanjut menunduk untuk memainkan ponselnya kembali.

Penasaran, sih, penasaran, tapi dia juga memikirkan nasibnya sendiri ke depannya jika dia mau berlagak hendak ikut main beginian. Bisa saja nanti saat dia pilih tantangan, teman-teman kakaknya ini akan mengusilinya dengan menyuruhnya melakukan hal yang aneh-aneh. Tidak, ah, malas. Dia belum ingin berakhir konyol di tangan mereka. Lebih baik sibuk main ponsel saja jika dibandingkan menjerumuskan diri ke dalam jebakan tak kasat mata yang dipasang oleh para manusia aneh ini.

"Ah, cemen, si Haechan ini." Ejek Sungjae yang langsung diiyakan oleh seluruh orang yang ada di sana dengan suara seruan keras.

Mengundang delikan tajam dari Haechan, enak saja masa dikata cemen hanya karena beginian. Haechan langsung mengangkat tangan, mengarahkan telunjuknya pada Sungjae, mulutnya terlihat komat-kamit sendiri siap untuk menyembur Sungjae dengan gerutuan sebal.

Ibarat kata, tidak mau bukan berarti dia takut, atau tak berani, hanya dia kan merasa jika permainan ini sangatlah tidak penting sama sekali, dan melakukannya juga terasa sangat kurang kerjaan. Jadi untuk apa dia harus meladeni ajakan kumpulan orang-orang menyebalkan ini?

Yang benar saja, cuma buang-buang waktu, tahu!

"Menantang Mark balapan saja berani, masa begini saja tidak?"

Oh! Haechan benci ini. Belum selesai urusannya dengan Sungjae, ada saja satu orang lagi yang main melempar provokasi padanya. Haechan tak mau buang waktu, langsung lempar mata pada Hyunjoon, oknum menyebalkan yang sok ikut campur, melempar makanan kering ke muka pria itu, akan Haechan maki dia dengan sekeras-kerasnya.

"Mulutmu itu, kalau bicara ada aturannya sedikitlah! Jangan main asal ucap begitu!" Kesal Haechan. Marah-marah di depan Hyunjoon sambil melemparinya makanan kering.

Yang lain yang ada di sana hanya bisa tertawa keras saja ketika menyaksikan aksi amukan yang ditampilkan oleh Haechan. Menggoda orang sampai marah itu pada dasarnya memang sangat menyenangkan, apalagi jika yang digodai mereka adalah seorang bocah dengan kontrol emosi yang sangat buruk, memiliki sifat yang begitu berapi-api dan mudah tersulut. Itu sangat menyenangkan, dan mereka merasa sangat puas ketika Haechan sungguhan langsung terprovokasi hanya dengan kalimat pancingan begitu.

"Dijaga bagaimana, kitakan bicara fakta. Kalau tidak cemen memangnya apa, heu?" Hyunjoon makin memanasi, mencoba menghindar dari lemparan snack yang dilayangkan oleh Haechan ke arahnya dengan brutal.

Suara tawa di sana terdengar semakin heboh, apalagi ketika Haechan bahkan sampai-sampai berdiri dari duduknya hendak menghampiri Hyunjoon karena ingin menghabisinya langsung, tapi beruntungnya Hansol yang ada di sebelahnya langsung menahan tangan milik Haechan, dan mencegahnya agar tidak bertindak makin anarki.

"Baiklah! Ayo, main kalau begitu!" Bentak Haechan dengan penuh amarah, sangat membara.

Terpancing juga dia.

"Hoooo!!" Semua langsung bersorak dengan heboh. Hyunjoon dan Sungjae-lah yang paling gila dalam melakukannya. Apalagi Sungjae, dia bahkan sampai menepuk-nepuk paha milik orang yang ada di sebelahnya dengan kelewat kencang.

Selebrasi tanpa adab macam apa itu.

Hansol dan Kihyun yang ada di sebelah Haechan langsung mengerutkan dahinya dengan heran, merasa apakah Haechan yakin dengan ucapannya tersebut? Sementara Doyoung di sisi lain, yang sejak tadi hanya memerhatikan dalam diam belaka, langsung lempar pelototan tajam ke seluruh kawan-kawannya. Orang-orang ini, bisa-bisanya begitu senang menggodai anak kecil.

"Sudah, Haechan. Jangan dihiraukan." Doyoung menasihati, memperingati Haechan jika menuruti kalimat teman-temannya ini hanyalah akan membuatnya berakhir menjadi buruk. Mereka hanya ingin mempermainkan Haechan belaka, menjadikan Haechan sebagai hiburan tersendiri.

Tapi Haechan tetaplah Haechan, jika sudah berkata maka gengsi untuk menarik kalimatnya kembali. Membusung dada angkuh, mengangkat dagu tinggi-tinggi, dia setuju untuk ikut permainan konyol itu. Paling-paling pertanyaannya juga tidak akan seekstrem pertanyaan yang sudah-sudah, pun tantangannya, semoga saja mereka bisa memberinya sedikit keringanan.

"Yakin tuan putri mau ikut?" Jason ikut menggoda. Menaik-turunkan alisnya pada Haechan.

Haechan mengangguk yakin, penuh tekad, lidahnya ia julurkan pada Jason, tanda bahwa dia tidak merasa takut sama sekali dengan permainan tersebut.

Setelahnya Haechan pun sungguh ikut bermain dengan teman-teman kakaknya yang lain. Ikut aktif melemparkan pertanyaan, juga tantangan. Dan saat dapat giliran dia yang ditanyai atau ditantangi, dia cenderung lebih suka memilih pertanyaan, Haechan masih ragu-ragu untuk memilih tantangan karena dia yakin di otak teman-teman kakaknya ini pasti sudah tersimpan segala jenis ribu skenario buruk yang khusus mereka siapkan untuk dirinya.

Haechan tak bisa dibodohi, ya. Dia tahu alasan mereka menyeretnya ke dalam permainan ini tak lain dan tak bukan pasti karena ingin mengerjainya. Tak mungkin kan mereka memprovokasi dengan tanpa maksud dan tujuan tertentu, mereka pikir dia tidak akan paham apa.

"Yuta pernah bawa ceweknya ke rumah tidak?" Jungwoo bertanya, pertanyaan paling normal dan yang paling aman sejauh ini karena Jungwoo berada di garis yang sama dengan Doyoung, tak mau ikut-ikutan mengerjai Haechan.

"Heiii! Pertanyaan macam apa itu, tidak seru sekali! Yang seru sedikitlah seperti, apa pernah ketauan masturbasi di depan Yuta." Ini Jason dengan segala sifat kompor miliknya. Meledek Haechan dengan juluran lidahnya.

"Diam kau, yang berhak bertanya kan Jungwoo bukan kau!" Balas Haechan tak kalah sengit, ikut menjulurkan lidah sambil menggoyang-goyangkan kepalanya ke kanan dan ke kiri, senang dia karena Jungwoo sangat baik tak mau repot-repot memberinya pertanyaan ngawur macam yang biasa dilakakukan oleh orang-orang menyebalkan ini.

Masa, tadi saja ada yang menanyainya begini,

Penismu sudah pernah menyapa lubang surga belum?

Gila saja mereka ini, dia bahkan baru keluar dari masa pubernya dan bisa-bisanya sudah ditanyai soal nge-sex begituan.

"Yuta tak pernah bawa cewek. Dia lajang yang kesepian dari lahir, khekhekhe...." Haechan bohong. Dulu dia pernah sekali melihat Yuta membawa perempuan, tapi dia sengaja berbohong karena dia tahu jika selama ini sepertinya Jungwoo menyimpan sesuatu pada kakaknya. Makanya, demi menjaga perasaan pria itu, Haechan sengaja bohong.

Dan lagipula, sepertinya perempuan itu hanya teman sekali mainnya Yuta, buktinya setelahnya dia tak pernah liat penampakan perempuan itu lagi. Lebih-lebih saat dia tanya pada Yuta, siapa perempuan itu, Yuta malah menjawabnya begini,

'Kasian, butuh tempat bermalam katanya.'

Begitu, sambil mengendikkan bahu.

Meski sedikit ambigu tapi Haechan dapat menangkap maksud dari kakaknya, jika di antara mereka tidaklah ada sesuatu yang serius, yang bahkan bisa jadi mungkin mereka baru saja kenal.

Selanjutnya giliran Haechan yang dapat bagian untuk memutar botol. Ia putar dengan cukup kencang karena dia terlalu antusias untuk melempar tantangan atau pertanyaan. Dan akhirnya ujung botolnya berhenti dan mengarah tepat pada Hyunjoon.

Yes! Saat yang tepat untuk balas dendam.

"Dare." Jawab Hyunjoon tak merasa takut sama sekali.

"Cium Mark sana!" Haechan berseru heboh. Asal seru sambil bertepuk tangan heboh saat tak sengaja matanya menemukan eksistensi Mark yang baru muncul di arena, terlihat pria itu baru keluar dari mobilnya dengan memakai pakaian sederhana, kaos putih dan celana denim, tak lupa pria itu juga mengenakan topi.

Haechan berdecih pelan, buat apa dia sampai memerhatikan apa yang dikenakan oleh pria menyebalkan itu. Kurang kerjaan saja.

Haechan kembali mendongak dan langsung dihabisi oleh Hyunjoon dengan tatapan tajam miliknya. Mengacungkan jari tengahnya tidak terima dengan dare yang diberikan oleh Haechan kepadanya. Yang benar saja mencium ketua kelompok musuh bebuyutan mereka, najis sekali untuknya.

"Tak perlu melotot!" Haechan memperingati, merasa terganggu dengan mata bulat milik Hyunjoon yang terasa menyebalkan baginya. Mendengus pelan, dia mulai betopang dagu sambil memikirkan sesuatu.

"Ya sudah, ganti saja kalau begitu. Cekik Mark sana." Sekali lagi Haechan hanya asal berkata saja. Berpikir untuk menyalurkan hasrat ingin balas dendam miliknya kepada Mark melalui perintah-perintah konyol yang dilontarkannya kepada Hyunjoon. Ya, pokoknya dia ingin Hyunjoon melakukan apa saja pada Mark dan membuat pria itu jadi merasa kesal, karena Haechan akan merasa sangat senang sendiri jika nanti dia bisa melihat Mark mati meradang karena kesal.

"Haechan ganti saja, jangan melibatkan mereka. Bisa terjadi pertengkaran nanti." Doyoung menasihati karena yang diucapkannya itu memang benar. Mencekik Mark tepat di depan teman-temannya hanya akan mengundang pertengkaran belaka. Mereka tidak akan terima dan nanti bisa jadi permusuhan di antara mereka malah akan berlangsung semakin sengit.

Mendengar itu membuat Haechan segera mencebikkan bibirnya kesal. Merengut sebal pada Doyoung yang dengan teganya telah mengandaskan jalur kebahagiaannya.

"Ya sudah, belikan aku blue hawaiann saja kalau begitu." Mendengus sebal, Haechan terlihat enggan menatap Hyunjoon dan malah beralih tatap ke arah Mark. Tak tahu apa alasannya, tapi sekarang mata Haechan malah terpaku pada sosok tersebut, terus memerhatikan apa saja yang dilakukan oleh pria itu dengan tanpa sadar.

Haechan sedang bersikap ingin tahu, sebenarnya orang seperti apa Mark itu?

Jika dipikirkan, sebenarnya untuk apa juga dia harus repot-repot ingin tahu tentang seperti apa Mark itu sebenarnya, tapi entahlah, Haechan hanya merasa jika saat ini Mark terasa cukup menarik juga untuk diperhatikan.

Menopang dagu pelan, mengabaikan suara bising di sekitar, dia sudah mana peduli dengan celotehan serta kehebohan dari teman-teman kakaknya ini, berisiknya mereka sudah tak masuk ke dalam pendengarannya, fokusnya kini hanya tertuju pada Mark yang sedang mengeluarkan sesuatu dari bagasi mobilnya dengan seputung rokok yang terselip di kedua belah bibirnya.

Poin pertama, Mark itu perokok, maka tidak akan menjadi mengejutkan juga bagi Haechan kalau pria itu memang menyebalkan.

Stereotipe memang, tapi ya begitulah, itu hanya intuitifnya belaka untuk menyederhanakan hal-hal ribet yang tak mau diambil pusing olehnya. Jangan sembarang menilai orang, itu kata ibunya, tapi Haechan tak peduli. Haechan hanya melihat dari bagaimana kelompok mayoritas itu nampak. Dia mana sempat meluangkan waktu untuk memisahkan sebagian kecil yang sebenarnya tidaklah bersikap buruk dari kumpulan orang-orang brengsek, di matanya jika sebagian besar berperilaku buruk, maka semuanya saja dalam satu kelompok itu sikapnya buruk.

Lalu Haechan mengerucutkan bibirnya. Mark terlihat mengangkat box koper dari bagasi mobil itu. Haechan segera menegakkan punggung, matanya terlihat memicing dengan tajam, astaga Haechan sekarang sadar dengan kebodohannya sendiri!

Ini salahnya sendiri yang tidak mudah menghapal wajah milik orang.

Iya. Ternyata orang yang menggambar mural di tembok hampa yang diperhatikannya kemarin adalah Mark. Bisa dilihat dari box koper di tangan pria itu yang terasa tak asing baginya, dan hal yang lebih membuatnya lebih yakin lagi adalah karena sekarang Mark sedang berdiri di depan lukisan yang digambarnya waktu itu.

Haechan meringis pelan. Merasa miris sendiri dengan kenyataan yang ada.

Seharusnya, jika Haechan bisa menghapal betul muka milik orang ini, maka kejadian tumpahan tteobboki kemarin tidak akan terjadi. Dirinya tidak akan main kabur jika saja dia bisa menghapal wajah milik Mark, karena dia tahu konsekuensinya akan sangat buruk sekali kalau dia main kabur saja. Kemarin dia bisa leluasa kabur karena dia merasa tidak mengenal Mark jadi dia pikir setelahnya mereka tidak akan bertemu lagi. Tapi kenyataannya?

Mark bukanlah orang asing di tempat ini, dan sialnya lagi mereka malah dipertemukan kembali. Sial, andai dia saat itu segera meminta maaf dan bersikap sedikit lebih bertanggung jawab, pasti nasibnya tidak akan jadi seburuk ini! Sial, sial, sial, pokoknya sial sekali!!

"Cium Mark sana!"

Haechan kaget. Hyunjoon mendadak mengatakan sesuatu yang menarik atensinya. Beralih tatap dari Mark ke arah meja, dan matanya langsung tertuju pada ujung botol yang sekarang sudah mengarah tepat padanya. Haechan melotot, bagaimana bisa terjadi? Benarkah sekarang adalah gilirannya yang harus memilih tantangan atau pertanyaan? Apakah memang selama itu ia memerhatikan Mark sampai tidak menyadari jika biduk permainan mereka sudah berjalan seperti ini?

"Apa-apaan, aku saja belum memilih!" Sungut Haechan tidak terima karena Hyunjoon main memberinya tantangan yang terdengar sangat konyol baginya.

Hyunjoon mengendikkan bahu.

"Salahmu sendiri terus diam, kuhitung tiga kali tak menjawab maka kau dapat dare. Jadi, terima saja."

Haechan mendelik mendengarnya, peraturan dari mana dan siapa yang membuatnya. Menggeleng keras, Haechan tidak akan mau menerimanya. Lagipula, bukankah tadi kata Doyoung mereka tak boleh melibatkan kelompok milik Mark dalam permainan mereka, lalu kenapa Hyunjoon malah balas dendam padanya dengan cara begini. Enak saja!

"Katanya jangan libatkan mereka! Lalu kenapa kau begitu?!" Haechan menuding Hyunjoon tak terima.

Sementara yang ditunjuk malah memiringkan senyumannya, menghina Haechan dengan aksinya tersebut.

"Tak boleh melibatkan maksudnya dalam bentuk kekerasan. Kau kan tadi menyuruhku untuk mencekik mereka, jelas itu kekerasan. Kalau cium beda per-"

"Mana ada yang begitu!! Terus kenapa tadi pas kusuruh untuk menciumnya kau tidak mau?!" Haechan memekik tidak suka. Merasa tidak adil dengan perkataan yang diucapkan oleh Hyunjoon. Matanya mendelik tajam dan tangannya meraup kacang di atas meja lalu melemparkannya dengan brutal ke muka Hyunjoon.

Haechan sedang menjelma jadi manusia anarkis.

Dia kesal setengah mati, mana ada alasan seperti itu, Hyunjoon hanya membuat-buatnya sendiri untuk mengerjainya. Menyebalkan sekali!

"Euhm, sebenarnya Haechan yang dikatakan oleh Hyunjoon itu ada benarnya juga. Kita tak bisa melakukan kekerasan pada mereka, tapi kalau kau mau menjalin hubungan asmara atau yang sejenisnya itu bukan masalah. Jadi, kalau kau ingin mencium salah satu dari mereka, ya, silakan saja asal mereka juga tak menolaknya." Hansol bersuara, mengundang banyak pertanyaan di benak milik Haechan.

Haechan menaikkan satu alisnya tajam. Menoleh ke kiri, memiringkan kepalanya sambil menatap lekat ke arah Hansol.

"Dan salahmu sendiri tadi langsung mengubah perintahmu, andai saja kau mau memaksa Hyunjoon untuk mencium Mark, itu bukan masalah, boleh-boleh saja dan Hyunjoon harus menjalankan perintahmu. Tapi kau malah kepalang langsung menggantinya sendiri." Tutup Hansol di akhir penjelasannya sambil menampilkan senyuman miris miliknya.

Haechan? Dia makin melotot dengan kesal, sementara Hyunjoon? Sudah jangan dibayangkan lagi, orangnya sedang senyum-senyum tak jelas sendiri, merayakan kemenangannya dari Haechan. Membayangkan bisa saja Haechan akan langsung didamprat oleh Mark karena mencoba untuk menciumnya.

Oh, itu akan menjadi sangat menyenangkan sekali bagi Hyunjoon.

"Sudah, datangi dan cium saja dia sekarang." Pancing Kihyun. Dia juga merasa senang sendiri karena akhirnya permainan yang sesungguhnya datang juga. Sejak tadi permainannya tidak seru sama sekali karena Haechan terus-terusan memilih truth, dan lagipula siapa yang bisa menjamin jika jawaban yang diberikan Haechan sejak tadi adalah sebuah kebenaran? Tidak ada kan? Bisa saja anak itu sejak tadi hanya mengumbar bualan saja dan terus ambil aman, kan licik sekali jika begitu.

Jadi, sebagai sebuah bukti nyata keikutsertaan Haechan dalam permainan ini maka Haechan harus melalukan sesuatu, semacam aksi nyata yang akan membuktikan kesungguhannya dalam menyanggupi perintah atau pertanyaan yang diberikan.

Haechan meremat tangannya sendiri. Nah, benarkan, semua orang yang ada di sini memang memiliki maksud sendiri saat mengajaknya bermain, mereka pasti ingin mengerjainya, dan lihat? Lengah sedikit saja dia langsung jadi apes begini.

Haechan memicingkan matanya dengan tajam ke arah Doyoung. Kenapa tadi pria itu tidak menjelaskan dengan lebih detail lagi! Kenapa info yang diberikannya hanya setengah-setengah belaka?! Menyebalkan sekali!

"Ganti perintahnya! Tidak mau tau, pokoknya aku tidak mau!!" Sentak Haechan marah yang malah langsung ditertawakan oleh semua orang yang di sana. Menjengkelkannya lagi Doyoung malah juga ikutan tertawa dengan yang lain. Haechan murka melihat itu, apa selama ini Doyoung itu hanya musuh di dalam selimut? Serigala berbulu domba? Orang menyebalkan yang ingin menusuknya dari belakang?!

"Menyebalkan! Pokoknya tidak mau!" Haechan mendengus marah, melipat tangan sambil membuang muka ke samping.

"Harus mau! Apa-apaan, cemen sekali sejak tadi cuma pilih truth, dasar tak ada nyali!" Ejek Sungjae. Akhirnya momen untuk mengejek dan menggoda Haechan kini telah kembali. Dan mulut kompornya yang sudah sangat siap untuk memanasi anak ini, akhirnya kini bisa ia pakai juga untuk membakar dan menyulut api amarahnya.

"Kalau kubilang tak mau, ya, tak mau!" Sungut Haechan. "Dan aku bukan cemen, ya!" Sanggah Haechan meski kenyataannya sangat bertolak-belakang dengan realita yang ada.

"Cemeeeen!" Sorak beberapa orang yang ada di sana dengan serempak, mengolok Haechan dengan sangat puas.

"Tidaak!" Elak Haechan tidak terima karena dia merasa teman-teman kakaknya ini sedang mengeroyoknya. Mana ada satu lawan lima orang, itu pengeroyokan namanya! Haechan tak terima!

Haechan mengedarkan matanya, lalu tatapannya jatuh pada Jungwoo, menatapnya sendu seakan sedang meminta pertolongan padanya. Haechan harus mencari sekutu agar dia bisa menang dari orang-orang menyebalkan ini, dan berharap Jungwoo mau membantunya.

Sadar jika sedang ditatapi oleh Haechan di saat hampir semua orang yang ada di sana tengah mengoloknya, membuat Jungwoo jujur jadi merasa bingung harus membantu Haechan bagaimana. Konsekuensi ikut permainan ini dengan mereka memang begitu, karena teman-temannya ini memang sinting, jika memberikan perintah suka tidak dipikir-pikir dulu. Dulu saja dia pernah disuruh untuk mengajak Yuta tidur bersama oleh mereka, padahal semua juga tahu Yuta itu lurus, tapi kenapa tega-teganya mereka menyuruhnya melakukan itu, menyebalkan sekali memang.

Untung saja saat itu Yuta menolaknya dengan halus, jadi dia tak perlu merasa terlalu patah hati setelahnya.

"Bagaimana, ya. Sepertinya kau memang harus mencium pria itu." Jungwoo berkata dengan apa adanya karena kenyataannya dia memang tak bisa membantu Haechan.

Haechan langsung pasang muka keruh. Menatap semua orang yang ada di sekelilingnya dengan jengkel. Tak ada yang bisa membantunya sama sekali dalam keadaan mendesak ini, dia menoleh ke sana kemari mencari keberadaan sang kakak, dia akan meminta bantun dan perlindungan dari Yuta saja jika mereka semua masih akan mendesaknya begini.

Menyebalkan sekali! Didesak dan disudutkan, orang-orang menyebalkan ini pasti senang melihatnya menderita.

"YUTAAA!!" Teriak Haechan dengan suara lengkingan hebat, senang sekali dia akhirnya bisa menemukan sang kakak yang sekarang sedang melangkah ke arah mereka sambil membawa beberapa gepok uang, terlihat begitu tebal dan banyak. Jadi urusan yang dimaksudnya sebelum pergi tadi itu soal uang? Pantas saja perginya lama sekali.

Semua orang yang ada di sana segera memutar bola matanya malas, mereka menebak jika Haechan pasti akan meminta perlindungan dari kakaknya, dan menyebalkannya lagi Haechan pasti akan mangkir dari tanggung jawabnya yang harus mencium Mark.

Ck! Menyebalkan sekali, kandas sudah hiburan mereka.

"Ada apa?" Tanya Yuta heran karena tak ada angin apalagi badai mendadak Haechan beranjak dari posisinya, lalu segera berlari dengan terburu-buru ke arahnya sambil merentangkan tangan lebar.

Kekanakan sekali, tapi Yuta juga tidak sungkan untuk ikut merentangkan tangannya, menerima pelukan dari anak itu.

"Mereka mengerjaiku! Teman-temanmu itu sinting semua!" Adu Haechan setelah melepaskan pelukannya lalu segera bergerak untuk menyembunyikan diri di balik punggung kakaknya. Menjadikan pria itu sebagai tameng dari serangan ejekan yang akan diterimanya dari semua teman-teman kakaknya.

Yuta mengerutkan dahi heran. Melangkah mendekati teman-temannya yang sedang berkumpul dan hanya membiarkan Haechan tetap menyembunyikan diri di balik punggungnya.

Cupu sekali memang, sih. Tak pernah berani menghadapi semuanya sendiri, tukang mengadu, dan selalu mencari perlindungan ke orang lain.

Yuta heran, sebenarnya Haechan dapat ilmu seperti itu dari siapa, sih? Cemen sekali.

"Dia dapat dare untuk mencium Mark tapi tidak mau dan malah mengadu. Dasar cemen!" Ejek Jason.

"Hei! Aku tidak cemen, ya!" Sanggah Haechan dengan sedikit mengintip dari lengan kakaknya.

"Ya, sudah. Kalau tidak cemen, ya cium sana." Ucap Yuta dengan santai, sambil mengangkat dagu menunjuk ke arah Mark yang saat ini orangnya terlihat sedang membuat lukisan baru di atas lukisan lamanya yang telah ditindih dengan cat hitam secara merata.

Haechan tertegun. Tak menyangka jika Yuta malah main ucap dan terkesan sedang mengumpankannya pada olok-olokkan yang dilayangkan oleh kumpulan manusia teri ini. Haechan memukul punggung milik Yuta keras-keras.

"Kok begitu, sih?!" Cerca Haechan mengikuti Yuta yang sekarang memilih untuk ikut duduk dan bergabung dengan yang lain. Ia duduk di sebelah pria itu, lalu menyuruh kakaknya untuk membalas tatapannya, karena Haechan kesal jika Yuta tidak membelanya seperti ini.

"Salahmu ikut main beginian?" Jawab Yuta dengan ringan, mengendikkan bahu, Yuta tak mau ambil pusing dengan apa yang terjadi pada Haechan, itu adalah konsekuensinya jadi mau tak mau, Haechan memang harus menerimanya.

Sementara yang lain, yang sejak tadi memang begitu heboh mengerjai Haechan, mendengar bahwa Yuta ternyata malah mendukung mereka, maka pada detik itu juga meja mereka sudah langsung dipenuhi dengan tepuk tangan dan sorakan heboh. Tak ada yang membela Haechan dan itu semua membuat mereka jadi senang.

Terlihat mata milik Haechan langsung berpendar dengan gelisah. Merasa terhakimi, karena semua orang kini menuntutnya untuk melakukan tantangan itu. Melirik ke sana-sini, dan tidak ada satupun yang mau membantunya. Kegugupan itu jelas mendera, siapa orang yang tidak akan gugup jika dipaksa untuk mencium musuh menyebalkannya. Lebih-lebih lagi, musuhnya itu sangat menyeramkan. Suka bersikap semena-mena dan semaunya sendiri.

Jelas Haechan langsung ciut nyali dengan semua ini.

"Cium! Cium! Pergi sana, cepat cium dia!" Sorak mereka penuh kemenangan.

Haechan cemberut. Jika dikeroyok begini, jelas Haechan kalah dengan telak. Menunduk geram, ia mulai mengepalkan tangannya sendiri dengan erat, sedang mengumpulkan tenaga, kekuatan, dan keberanian untuk melangkah mengampiri Mark dan mengajak pria itu berciuman, tapi-

"Aargh! Aku tidak mau!!"

Tapi Haechan tidak sanggup melakukannya! Mengerang keras sambil menggelengkan kepalanya brutal, Haechan menolak dengan sangat keras seluruh paksaan dari para manusia bedebah ini.

"Cemeeenn!!!"

Mereka tidak akan berhenti menghina Haechan cemen sampai Haechan benar-benar mau menjalankan tantangan yang diberikan. Menggoda anak kecil itu menyenangkan, lebih lagi jika anak kecilnya cerewet, berisik, judes, galak, dan menyebalkan seperti Haechan. Jelas itu akan menjadi kesenangan yang luar biasa bagi mereka.

"Kalau tak mau dikata cemen, ya sudah, cium saja sana." Komentar Yuta yang sudah menebak jika Haechan sebentar lagi pasti akan merengek tak terima sudah dikatai cemen. Lihat saja muka keruh bersungut-sungutnya yang sudah nampak akan meledak itu, yakinlah jika sebentar lagi pasti keluar kalimat-kalimat tak pentingnya.

Sementara itu Haechan yang sepertinya sudah nampak geram karena sejak tadi terus dijadikan sebagai bulan-bulan oleh semua orang akhirnya memilih untuk beranjak dari duduknya. Berkacak pinggang penuh emosi, menatap semua yang ada di sana dengan tatapan garang miliknya. Akan ia putuskan untuk ambil langkah, dia akan beraksi, membuktikan sesuatu pada mereka bahwa dia bukanlah anak yang cemen.

Enak saja! Dia ini pemberani, ya!

"Kata siapa aku cemen! Aku akan menciumnya!!"

***

Meski sebenarnya ragu-ragu dan nyalinya hanya sebesar biji kacang merah, tapi Haechan tetap memaksakan kehendak. Ingin membuktikan kepada para brengsek itu kalau dia ini pemberani, bukan pengecut ataupun pencundang.

Melangkah dengan penuh percaya diri, mengepalkan tangan dengan erat, tidak sungkan dia juga harus mengangkat dagunya tinggi-tinggi agar tidak ada yang meliriknya sebelah mata. Melangkah melewati kerumunan, beberapa ada yang langsung menoleh padanya karena dia dengan berani-berani melangkah menuju ke tempat kelompok elit milik Mark berkumpul. Hanya orang-orang tertentu saja yang berani menjangkau tempat itu, jadi tak heran jika aksinya ini langsung menarik banyak atensi dari mereka.
Haechan gugup sih, tapi mau bagaimana lagi? Sudah kepalang basah begini, tanggung jika tidak sekalian menceburkan diri ke dalamnya.

Menutupi rasa gugup juga ragu-ragunya, Haechan abaikan semua siulan dan sorakkan yang dilayangkan para anggota kelompok milik Mark saat dia sudah mulai memasuki kawasan mereka.

Dasar orang sinting semua! Haechan merasa sangat terganggu dengan suara siulan tak jelas itu. Rasanya ingin sekali Haechan sumpal mulut mereka dengan rapat menggunakan sepatu miliknya.

"Wah, ada apa ini? Anak kecil mau main, ya?" Tanya salah satu dari mereka sambil mencoba mencolek Haechan yang mana hal tersebut langsung ditepis oleh orangnya dengan kasar.

Haechan mendelik tajam padanya, tangan pria itu ia cengkeram dengan erat. Astaga, apa semua penghuni tempat ini, itu satu spesimen? Sama-sama ganjen dan tukang goda? Tidak anggota kepompok kakaknya ataupun Mark, semuanya sama saja! Ganjen tak tahu diri!

"Jangan pegang-pegang, najis!" Ketusnya, kalimatnya begitu judes dan sinis, terdengar sangat pedas tapi sayangnya tak mempan untuk membuat mereka yang ada di sana terbungkam. Yang ada malah makin menjadi saja tingkah mereka dalam menggodanya.

Brengsek!

"Mark! Ada anak kecil mau minta perme-Arg!"

Kesal dan akhirnya Haechan tendang saja tulang kering pria itu keras. Banyak omong sekali, sih! Menyebalkan memang.

Mengabaikan pria itu yang sepertinya hendak akan mengamuk dan membalas perbuatannya, akhirnya Haechan memilih untuk kabur dari hadapan pria itu, berlari terbirit ke arah Mark, menghampirinya untuk cari aman.

"Sini tangkap saja!"

Haechan sedikit menoleh, lalu memamerkan juluran lidahnya puas pada orang itu. Rasakan!

"Aaa! Aduh!"

Ternyata kharma itu datangnya cepat sekali, ya?

Haechan mengaduh sakit, kepalanya menubruk punggung milik Mark dengan keras, terpental sampai tubuhnya ikut terhuyung mundur. Ini salahnya sendiri karena lari sambil menoleh ke belakang, tidak lihat-lihat ke depan ketika bahkan punggung Mark sudah berada dua jangkah darinya.

Mengaduh sakit sambil mengusap-usap dahinya sendiri, ia menoleh dan melihat seluruh teman-teman Mark sedang menertawakannya. Makin kesal saja rasa di hati ini, bersungut geram, ia tatapi semua bededah itu dengan pelototan tajam miliknya.

"Mau apa kau?" Suara Mark. Membuka maskernya, menghentikan sejenak kegiatan menggambarnya, menatap Haechan dengan tatapan sedikit tidak suka.

Haechan yang tadi ingin lempar cacian pada para bedebah itu mendadak memilih untuk diam karena suara milik Mark telah menginterupsinya. Mengurungkan niatan balas dendamnya tersebut, Haechan terpaksa mulai membalik tubuhnya kembali, menghadap ke arah Mark, dan menatap pria yang sedang menatapnya tajam itu dengan sorot ragu-ragu.

Hal itu jelas saja langsung membuat Haechan jadi bingung harus berbuat apa, dia juga tidak tahu harus memulainya bagaimana dan dari mana. Sejak tadi yang ada dia malah hanya berdiri kaku di tempat, bersikap kikuk, dan tidak berani melayangkan tatapannya kepada Mark. Mulutnya pun terus terbungkam dengan rapat, dan matanya sejak tadi hanya menatap ke sana-sini dengan sorot liar.

Dia salah tingkah.

Menggaruk belakang kepalanya sendiri pelan, menimang bagaimana cara memulainya dengan baik? Basa-basi dulu? Atau malah langsung bicara pada intinya saja?

'Mark, ayo ciuman?'

Begitukah? Tapi apa itu tidak memalukan?! Memukul dahinya sendiri pelan, merutuki kinerja otaknya yang begitu lambat dan kadang tak masuk akal itu.

'Hai, Mark? Bagaimana kabarm-'

Ini lebih bodoh lagi Haechan! Mengusak rambutnya kacau, buat apa tanya soal kabar segala, seperti mereka ini sudah berteman dengan sangat dekat dan sudah lama tidak bertemu.

'CTAAK!!'

"Aaaw!" Haechan mengaduh sakit, tiba-tiba saja Mark menyentil dahinya dengan keras sampai kepalanya terdorong ke belakang. Mengusap dahinya sendiri sedih, Haechan tatap Mark dengan sorot sebal.

"Pergi kalau tak ada urusan." Usir Mark pada Haechan yang sejak tadi hanya diam saja di tempatnya. Seakan anak itu menemuinya dengan tujuan dan maksud yang tidak jelas.

Mark kembali memakai maskernya, membalik tubuhnya menghadap ke tembok untuk melanjutkan kegiatannya.

Haechan menatap punggung Mark dengan lekat. Memiringkan kepala karena dia sedang berpikir, menilai tentang orang seperti apa Mark itu. Hm, Haechan pikir Mark ini tipikal orang yang santai dan masa bodoh, buktinya pria itu tidak terlihat berapi-api saat melihatnya padahal mereka ini musuh, pria itu juga tidak kelihatan ingin mencercanya padahal dia sudah menabrak punggungnya.

Hmm.... Sepertinya Mark ini pemaaf, iya masih sepertinya, hanya dugaannya semata, Haechan juga belum tahu aslinya.

Tapi sepertinya jika saja dulu, ketika insiden lemparan tteobboki itu dia segera mengakui kesalahannya pada Mark lalu cepat-cepat minta maaf, bisa jadi pasti masalahnya tidak akan sampai sepanjang dan seruyam ini. Mungkin saja pada saat itu Mark akan langsung memaafkannya, dan tidak perlu sampai ada dendam begini.

Haechan langsung pasang muka cemberut. Sedih sekali, dia jadi merasa menyesal sudah melakukan hal kekanakan seperti itu.

Tapi ya, mau bagaimana lagi! Semua itu kan karena efek terkejut! Dia shock setengah mati pada saat itu, jadi wajar kan jika saat itu dia langsung main kabur begitu?

Halah, banyak alasan! Ibu maafkan Haechan, ya. Sudah tumbuh jadi anak nakal dan tak tahu rasa tanggung jawab begini.

Haechan merasakan ponselnya berbunyi. Satu pesan baru ia terima, malas-malasan saat membacanya dan ternyata pesan itu berasal dari si menyebalkan Hyunjoon.

'Cepat cium sana, jangan mendadak berubah jadi patung badut begitu!'

Haechan menggeram pelan, meremat ponselnya kesal. Ia menoleh ke tempat Hyunjoon berada, menatap geram padanya lalu langsung mengacungkan jari tengahnya pada pria menyebalkan tersebut.

"Fuck you, brengsek!" Begitu desis Haechan pada Hyunjoon, yang mana Hyunjoon di seberang sana malah bereaksi dengan tertawa-tawa heboh macam orang sinting, memang sinting! Mana menjengkelkannya lagi, seluruh orang yang ada di sana juga ikut-ikutan tertawa untuk mengejeknya, benar-benar menyebalkan sekali!

Tapi sudahlah, abaikan saja. Lebih baik hanya fokus pada hal ini saja, jika ini cepat selesai juga mereka akan berhenti sendiri untuk menggodai dan menjadikannya sebagai bulan-bulanan.

Kau pasti bisa Haechan, kau pasti bisa mengalahkan semua ejekan menyebalkan dari mereka.

"Huft!" Haechan mengeluarkan napasnya dengan berat dan mantap. Mengepalkan tangannya erat, dia sedang menyemangati diri sendiri. Pasti bisa, Haechan harus yakin jika dia pasti bisa!

Pertama, karena Mark terlihat tidak peduli padanya, maka yang namanya cari perhatian pada pria itu adalah sebuah hal wajib yang harus Haechan lakukan. Haechan sengaja menyenggol beberapa tabung cat spray milik Mark yang ada di bawah kakinya dekat box koper itu pelan, membuat beberapa di antaranya langsung jatuh mengguling, menggelinding, dan menimbulkan bunyi yang sedikit cukup nyaring.

Usahanya ini cukup berhasil ketika ia lihat akhirnya Mark mau membalikkan tubuhnya kembali. Melihat ini membuat Haechan langsung menyunggingkan senyuman tipisnya kepada Mark.

Haechan sudah tidak ada ragu-ragu lagi sekarang. Sudah sampai sejauh ini, jadi lebih baik segera ia eksekusi saja biar semua cepat selesai. Hanya mencium Mark, itu bukan masalah besar; hanya tarik kerahnya maju, dekatkan wajah mereka, lalu kecup bibir pria itu cepat, dan segera kabur setelah itu.

Lagian kan, Hyunjoon tidak bilang secara spesifik ciumannya harus yang seperti apa dan berapa lama. Jadi semua terserah dia kan mau melakukannya bagaimana.

"Apa ini?" Tanya Mark dengan nada dingin, menunjuk pada peralatan menggambarnya yang telah diberantaki oleh Haechan. Seluruh cat spray yang telah dikeluarkannya dari box dan telah ia tata dengan rapi di sebelahnya kini telah berubah jadi sangat berantakan, acak-acakkan tak karuan, menggelinding ke sana kemari, dan tak lupa bahkan beberapa caps koleksinya juga tercecer di bawah sana karena ulah anak itu.

Mark sebenarnya malas meladeni Haechan, dia tak mau diganggu sama sekali jika dia sudah fokus pada dunia menggambarnya. Lebih memilih untuk berkutat dengan konsenstrasinya, pada setiap detail goresan kecil kuasnya, dan tak mau lengah sama sekali pada setiap hasil dari cat yang telah disemprotkannya; dengan cara paling hati-hati yang selalu ia lakukan.

Menikmati hasil karyanya sendiri, semua itu terasa lebih menarik, lebih nikmat dan lebih membuat hatinya terpuaskan jika dibandingkan dengan apapun.

Dan kemunculan Haechan kali ini hanya mengacaukan segalanya. Mengusik dunianya, menginterupsi konsentrasinya, dan mengacaukan perasaan tenang dan damai yang selalu dirasakannya jika dia sedang sibuk berkarya.

Jika itu bukanlah sebuah hal yang penting, maka bisa Mark pastikan bagaimana nasib anak ini akan berakhir hancur di pertandingan mereka nanti. Mark tidak akan memberinya ampun sama sekali, dia akan menghabisi anak ini hingga sehancur-hancurnya di tangannya. Itu sebagai imbalan karena anak ini begitu berani mengusiknya, mengganggu, dan merusak suana hatinya.

"Habis kau mengabaikanku." Haechan berkata seadanya, memajukan langkah, mengikis jarak mereka hingga posisi mereka jadi begitu dekat, dua langkah lagi pasti tubuh mereka sudah bisa saling menempel.

Ayo, Haechan sedikit lagi kau pasti bisa!

Haechan mendongak, membusung dada sambil mengangkat dagunya tinggi. Membalas tatapan dingin dari Mark dengan berani, tanpa merasa takut atau terintimidasi sama sekali. Tahap pertama telah dilaluinya, dan keyakinannya untuk bisa menjalakan dare menyebalkan ini dengan lancar dan cepat itu kini makin menguasai diri.

Sementara Mark, berbeda dengan Haechan yang sejak tadi hanya bertingkah seenaknya tanpa tahu malu, kini sebaliknya Mark malah terlihat begitu marah dan geram pada apa yang dilakukan oleh Haechan. Pengganggu, cerewet, merepotkan dan rasanya ingin sekali Mark tempeleng muka milik anak ini keras hingga kepalanya itu lepas dari badannya.

Sadis, tapi kenyataannya memang sekesal itu Mark pada muka songong milik Haechan.

"Kau hanya mematung bagai orang bodoh, jadi apa yang harus dihiraukan." Ucap Mark dingin, menyinggung soal sikap Haechan yang sebelumnya hanya berdiri kaku di tempatnya, mematung dan diam saja seperti badut tak berotak.

Mark masih memertahankan tatapan dingin juga sorot tajamnya pada Haechan. Memberikan aura paling mengintimidasi yang dimilikinya pada bocah itu -menginginkan supaya bocah itu gentar dan bagusnya segera enyah dari hadapannya. Sebab akan menjadi buruk bila nanti emosi miliknya malah semakin terpancing, dan berkahir dengan dia yang bisa saja langsung mengeluarkan amukannya dengan kesal pada anak itu. Ia akui, ia bukanlah orang yang sabaran jika itu terhadap orang tak tahu diri seperti Haechan. Sudah mengganggu dan bukannya sadar diri tapi malah makin banyak tingkah.

Mark mengusap tabung kaleng cat dalam genggamannya pelan, dagunya juga sama terangkat, membalas tatapan dari Haechan yang sepertinya anak itu tidak ada rasa gentar dan takut sama sekali terhadap dirinya. Menyeringai tipis, sebesar apa nyali yang dimiliki Haechan, membuat Mark merasa cukup penasaran. Apakah anak ini hanya tipe yang mudah terbakar di awal dan akan ciut dengan sendirinya jika sudah diberi sedikit gertakan.

Memerhitungkannya dalam hati, Mark sedikit tidak mengerti ketika anak itu malah melangkah semakin maju padanya dan repot-repot mengikis jarak mereka.

Apa ini? Bukankah jarak mereka sudah cukup dekat? Lalu apa yang masih diinginkan oleh anak tak tahu diri itu?

'SREET!'

Mark sedikit terkejut, Haechan tahu itu, dilihat dari pria itu yang secara reflek memundurkan mukanya defensif. Haechan berseringai. Setelah mengikis jarak mereka hingga setipis mungkin, kini dia sudah berhasil sampai pada tahap menarik kerah baju milik Mark. Kesenangan itu muncul dengan tiada tara, hanya tinggal satu tahap lagi.

Mendekatkan wajah dan mengecup bibirnya.

"Aahk!"

Atau semua malah tidak sesuai dengan rencana yang sudah disiapkannya?

Haechan memekik kesakitan, tangannya yang memegang kerah milik Mark malah ditangkap oleh Mark, dicengkeram dengan erat saat dia bahkan belum sempat memajukan wajah untuk mencecap rasa bibir pria itu.

Haechan sempat bingung pada keadaan yang terjadi, Mark menatapnya dengan begitu tajam. Lalu ketika bunyi tabung cat yang dibanting di atas tanah terdengar olehnya, maka detik itu juga Haechan segera memejamkan matanya erat dengan ketakutan. Entah ini bisa disebut sebagai kesimpulan atau tidak, Haechan pikir sepertinya Mark sedang mengamuk. Main membanting tabung catnya dan menimbulkan suara bunyi nyaring, dan jangan lupakan cengkeraman di tangan kanannya yang terasa semakin mengencang.

Degup jantungnya mulai berdetak tanpa kendali. Haechan jelas mulai merasa takut, mati-matian menahan suara pekikkan sakit, dan sebisa mungkin berusaha menyembunyikan perasaan gugup serta takut miliknya yang mulai muncul. Haechan bingung, kalut setengah mati, dan tidak menduga jika akan ada skenario buruk seperti ini yang terjadi padanya.

Dia tidak akan menduga jika Mark akan marah, secepat itu, bahkan dia saja sudah bergerak begitu cepat untuk mendekatkan wajah mereka, tapi bisa-bisanya dengan mudahnya Mark malah telah mendahului langkahnya dengan cara mencengkeram pergelangan tangannya itu erat. Rasanya begitu sakit, pasti akan meninggalkan bekas kemerahan. Dan semua tidak berhenti di situ saja, sorot mata tajam milik Mark terasa begitu mengintimidasinya, menggiling habis seluruh keberaniannya, menghancurkannya hingga lebur sebelum sukses memusnahkannya.

Haechan sudah tak bernyali lagi sekarang.

Hanya terus berusaha menarik dan melepaskan diri dari jeratan pria itu. Haechan takut, tidak bohong, Mark terlihat sangat mengancam, beribu kali lebih menyeramkan, dan itu membuat dirinya begitu kepayahan untuk membangun dinding keberaniannya yang telah runtuh kembali. Tatapan mata pria itu juga sangat menakutkan, begitu menusuk dan menembus retinanya tepat, membuat dirinya sama sekali tak sanggup untuk berkutik lagi pada tempatnya.

"Apa yang kau inginkan?"

Suara milik Mark terdengar begitu rendah dan dalam, terasa sangat dingin hingga berhasil untuk membuat tubuh milik Haechan semakin terbeku dalam tempatnya. Haechan tak mampu menjawabnya, tatapan mata milik Mark terlebih dahulu sudah membisukan bibirnya, ia kelu, menyerah untuk berusaha bersuara demi menjawab pertanyaan dari pria itu.

Haechan menggeleng pelan, mukanya nampak melas, ia tidak bisa. Sudah tak sanggup lagi. Yang ia inginkan hanyalah lepas dari Mark lalu segera kabur dan lari darinya, Haechan tak bisa terus bertahan pada posisi ini. Tatapan milik Mark lambat-laun sanggup untuk membunuhnya hidup-hidup, Haechan tak bohong soal itu.

Haechan berusaha menoleh, mencoba menengok pada tempat kakaknya berada, mengharapkan pertolongan dari sang kakak kesayangannya itu. Tapi naas, keinginannya itu tidak akan sanggup untuk terusahakan sama sekali jika nyata-nyata sekarang tengkuknya sedang ditahan dengan kuat oleh satu tangan milik Mark yang lain. Haechan ingin mengerang frustasi, dirinya merasa telah menceburkan diri ke dalam kolam yang salah, yang mana kolam itu hanya terasa seperti menjebak dan memerangkapnya saja.

Ia tak bisa lepas dari Mark. Pria itu membelenggunya, manahan dirinya dan tidak mengizinkannya untuk lepas.

Haechan ingin lenyap saja dari dunia sekarang juga!

"Sekali lagi, apa maumu?" Ulang Mark ketika ia tidak mendapatkan jawaban dari Haechan. Dan yang ada anak itu malah terus menggelengkan kepala takut.

Mark berseringai lebar untuk itu. Beberapa menit yang lalu saja bocah ini begitu angkuh mengangkat dagu di hadapnnya, bergaya menarik kerahnya dengan tanpa tahu diri, dan sekarang? Lihatlah apa yang malah sedang terjadi pada bocah mengenaskan ini.

Selain hanya mengerung takut, anak ini bahkan berusaha keras untuk terus menghindari tatapannya. Tentu saja Mark terhibur dengan ketakutan milik Haechan yang begitu kentara dan sangat menonjol ini, Mark puas pada dirinya sendiri yang mampu mengambil alih keadaan, berbalik untuk mengendalikan anak ini di bawah pengaruh kuasanya, dan tak sedikitpun membiarkannya untuk mampu berkutik sama sekali.

"Pergi saj-"

"C-cium..."

Lama Mark menanti agar Haechan mau buka suara, dan secara tak teduga malah jawaban ini yang didapatkannya. Mark hanya menggantungkan kalimatnya, segera mengerutkan dahi dengan tajam, terheran sekaligus terkejut. Apa anak ini sudah gila? Sinting atau separuh gila? Datang kemari mengganggu dan mengusiknya, mencari perhatian darinya dengan cara yang paling menjengkelkan, lalu sekarang?

Minta cium?

Permisi, apakah ini masih di bumi atau tidak?

Mark bahkan tidak pernah menduga dan membayangkannya sama sekali, tapi yang benar saja tingkah tak masuk akal yang dilakukan oleh anak ini.

"Bi-biarkan aku mengecupmu sekali! Sek-sekali saja! Ya, ya!"

Mark terkejut ketika tiba-tiba Haechan berseru kencang dengan suara tergagap tepat di depan mukanya.

Haechan Menatap Mark takut-takut dan berusaha memajukan wajahnya, nekat berniat untuk mempertemukan bibirnya dengan bibir milik Mark.

Jelas Mark menahan tengkuk milik Haechan, menghalau kepala milik anak itu agar tidak semakin mendekat padanya. Mark hanya merasa terkejut, masih merasa butuh waktu untuk bisa menalarkan perilaku tak masuk akal yang didapatnya dari Haechan.

Sementara Haechan sendiri, dia masih keras kepala, bersikap batu dan tetap berusaha merealisasikan keinginannya. Kepala milik Haechan kosong. Yang diinginkannya saat ini hanyalah masalahnya dengan dare sialan ini bisa cepat selesai dan dia bisa kabur dari Mark sesegera mungkin.

"Suruhan siapa-Brengsek!" Mark terpaksa mengumpat dengan kasar ketika Haechan mendadak memajukan bibirnya yang mengerucut itu padanya, main menyosor yang membuatnya merasa begitu terkejut. Ini begitu gila dan sudah cukup di luar batas, tapi untungnya Mark berhasil menghalau pergerakan anak ini dengan telapak tangannya.

Membekap rapat mulut milik Haechan, Mark tatap Haechan dengan tatapan marah miliknya.

"Apa kau kucing betina yang sedang birahi?" Mark bertanya tak menyangka dan kalimatnya ini langsung mengundang tawa heboh dari kawan-kawannya yang sejak tadi memerhatikan mereka dari kejauhan.

Mark tahu sebenarnya sejak tadi teman-temannya sedang memerhatikan dirinya dan Haechan, tidak heran sih, karena kelakuan milik Haechan ini memang sangat menarik perhatian. Pasalnya hampir tak ada satupun orang yang ada di arena ini yang berani mengusiknya jika dia sedang sibuk berkarya. Beda halnya dengan apa yang dilakukan oleh Haechan sekarang, begitu berani menghampirinya dengan tanpa tahu malu, seakan memang tak punya muka saja, sehingga sangat tak mengherankan jika setelahnya mereka langsung jadi pusat perhatian semua orang.

"Mmmppp!!"

Mark berseringai tipis pada Haechan yang tak sanggup bersuara karena mulutnya ia bekap dengan erat. Senang melihat Haechan nampak kesal begini, Mark merasa seakan dia berhasil membalas dendam padanya yang sudah berani mengganggunya.

"Kau siapa? Memangnya semudah itu?" Ucap Mark dengan nada menghina.

Tatapan milik Mark terasa begitu mencemooh, dan seringai lebar yang diberikan pria itu kepada Haechan seakan menjadi pertanda jika ia terlihat mulai ingin membalas Haechan, pria itu ingin melakukan sesuatu semacam balas dendam, sedikit mempermainkannya atau entah bagaimana, intinya Mark akan membuat perhitungan pada Haechan.

Berganti pada Haechan, mendengar Mark berkata demikian sontak langsung membuat Haechan jadi bingung dan kalang-kabut. Menatap liar ke segala arah, bahkan mencoba untuk melirik keberadaan sang kakak yang ternyata sudah tidak ada, sudah tak bersama teman-temannya lagi, Haechan makin bingung ketika tahu jika kakaknya tidak ada.

Haechan ingin merengek kencang meratapi nasibnya. Kakaknya di mana, mengapa tak ada di tempatnya dan malah tega membiarkannya terjebak dalam situasi yang begitu sulit ini. Haechan menggelengkan kepalanya kacau, mencoba melepaskan bekapan Mark dari bibirnya tapi tidak bisa, Mark menahannya terlalu erat, terasa sekali jika pria itu tak ingin melepaskannya.

Siapa pun, tak adakah yang berniat ingin menolong Haechan sekarang? Atau mungkin setidaknya bertukar nyawa dengannya, Haechan sudah sangat pusing sekarang bingung harus menghadapi Mark bagaimana. Dia sama sekali tak bisa lepas dari pria itu.

Mark memang terlihat tidak mau menerima ciumannya, dan itu bisa saja jadi kabar baik untuknya. Dia bisa pergi setelah itu karena dia tak berhak memaksa Mark untuk menurutinya.

Tapi masalahnya bukanlah itu.

Masalahnya adalah, sepertinya Mark tidak mau melepaskannya! Pria itu terlihat ingin balas dendam padanya! Semua karena Haechan sadar, dia sudah membuat Mark marah!

Jelek sekali, sih nasib Haechan!

"Kau sangat penakut, ya? Mengenaskan sekali." Komentar Mark, masih tak mau melepaskan bekapannya dan makin ingin mempermainkan Haechan saat wajah panik yang tersuguh begitu dekat di depannya itu terasa cukup menarik untuk diperhatikan.

Mark tak bisa menjelaskan bagaimana konotasi menarik yang habis diucapkannya tadi bekerja, namun yang jelas satu kesimpulan yang ada, Mark merasa begitu puas melihatnya dan makin ingin membuat anak ingusan ini makin berdiri ketakutan dan gugup di depannya. Mempermainkannya hingga rasa kesalnya ini sedikit teredakan.

"Hmmpp!" Gumam Haechan kencang, makin berontak dalam posisinya, mencoba untuk bisa lepas dari Mark.

Tapi jelas saja Mark tidak akan semudah itu untuk menurutinya. Ini bahkan belum berjalan sama sekali, rencananya untuk membuat Haechan makin kalut, takut, dan uring-uringan.

"Aku bisa saja menciummu..." Mark berbisik pelan tepat di depan tangannya sendiri yang ia pakai untuk membekap mulut Haechan. Menatap Haechan dengan satu alis terangkat, seringainya terlihat cukup menyeramkan, ia pikir.

Satu tangan milik Mark yang tadi menahan tengkuk milik Haechan ia tarik turun, ia gerakkan dengan gerakan yang begitu halus, melewati punggung sempit itu, dan berputar ke dalam, ke arah pinggang yang ternyata cukup berlekuk milik anak itu.

Mark makin merasa menang atas ini saat wajah di depannya itu hanya mampu menunjukkan raut kepanikan yang luar biasa tanpa bisa melakukan perlawanan berarti sama sekali.

Mark mengusap-usap halus pinggang milik Haechan, menahannya cukup keras sebagai gerakan ancaman agar nyali milik Haechan makin menciut, dan anak itu tidak akan berani-berani lagi padanya.

"Tapi setelah dipikirkan, memangnya akan dapat apa jika aku mau menerima ciumanmu?"

"Aahmm!" Teriak Haechan dalam bekapannya. Mukanya meringis, dan dirinya sedang menahan sakit.

Mark baru saja meremat pinggul itu, merematnya kencang sebelum menghempaskannya kasar hingga membuat Haechan merasa kesakitan.

Mark mendongak tinggi. Menatap Haechan dengan sorot paling merendahkan yang pernah dikeluarkannya. Tangannya masih membekap mulut milik Haechan erat. Seringaiannya tidak nampak luntur sama sekali. Ia ingin menunjukkan kepada Haechan tentang betapa sangat berkuasanya dirinya di sini, dan tentang betapa tak boleh ada satupun orang di sini yang bisa mencari perkara dengannya. Apalagi sampai berani mengusiknya.

Orang itu akan habis di tangannya.

"Lihat pada siapa kau membuat masalah..."

Mark berkata dengan penuh penekanan, menatap tepat pada netra milik Haechan.

Ia lalu melepaskan bekapannya pada Haechan. Dan menggantinya dengan cengkeram erat di kerah baju milik Haechan.

Haechan sendiri, dia merasakan tubuhnya mulai bergetar. Mark sangat menakutkan. Ini valid, Haechan tidak mengada-ada di saat rasanya dia sudah ingin kencing saja di celana pada saat itu.

Tak sanggup berbicara meski mulutnya sudah terlepas dari bekapan pria itu, Haechan telah membisu, sama sekali tak sanggup berkutik barang sedikitpun karena rasa takut itu telah terlanjur menguasai diri. Sejak tadi hanya bungkam dengan sorot mata yang hanya terpaku pada Mark, tunduk padanya tak sanggup berpaling kemanapun karena terlalu takut melawannya.

"Hari ini kau masih bisa banyak tingkah, tapi...."

Seringai milik Mark telah hilang. Tergantikan menjadi senyum paling menyeramkan yang pernah Haechan lihat semasa hidupnya.

Mark memiringkan kepalanya, menatap Haechan begitu intens. Masih menangkup kepala milik Haechan, ibu jarinya ia gerakkan untuk menyentuh dan mengelus cuping telinga milik Haechan, mempermainkannya dengan gerakan yang cukup berbahaya.

"Tak ada yang tahu dengan hari esok, jadi berhati-hatilah."

Haechan membulatkan kedua netra miliknya yang telah berkaca itu lebar. Merasa cukup terkejut dengan apa yang dilakukan oleh Mark. Pria itu menarik tengkuk miliknya, mendekatkan wajah mereka hingga bahkan deru napas mereka saling bertabrakan.

Bibir milik Mark berada tepat di depan bibir milik Haechan.

"Setelah hari pertandingan kita, kupastikan kau akan benar-benar habis setelah itu. Ingat terus ini."

Setelah Mark mengucapkan kalimat penuh ancamannya tersebut, tanpa terduga Mark memajukan wajahnya, untuk mencuri satu kecupan tipis di bibir milik Haechan. Kejadian itu berjalan begitu cepat. Haechan bahkan tidak tahu harus bereaksi bagaimana karena otaknya sibuk menghalau seluruh kalimat milik Mark agar tak terpatri dengan sempurna di sana. Haechan tak mau mengingat-ingat ancaman dari Mark, Haechan ingin melupakan semuanya, yang sudah terjadi hari ini dan tak mau menerka-nerka apa yang akan terjadi padanya saat kedepannya nanti.

Haechan terlalu takut.

Namun sialnya, kecupan dari Mark itu terasa telah meninggalkan bekas. Otaknya seakan berhenti bekerja dan hanya bertahan di sana untuk sibuk mencerna apa yang baru saja dilakukan oleh Mark kepadanya. Mark mengecup bibirnya, bibir orang asing pertama yang melakukan sentuhan dengan bibirnya. Dunianya terasa seakan berhenti berputar.

"Kau tidak akan bisa lepas dariku. Kujamin itu."

Setelah ini Haechan pasti akan bermimpi buruk. Dan sosok Mark pasti akan sering menyapa mimpinya. Membuat hidupnya tak tenang, dan akan terus menghantuinya.





Sebagai penutup, Haechan ingin tamasya saja ke pluto setelah ini. Mau kabur dari masalah, dan sirna saja dari muka bumi. Menghilang dari Mark hingga sejauh-jauhnya.

Doakan saja.

***

Pagi itu hujan mengguyur, menghantarkan rasa dingin yang hanya menjadikan perasaan malas di dalam diri itu kian terasa makin membuncah. Baik Haechan maupun Yuta, keduanya nampak malas untuk beranjak dari posisinya. Tertidur bersama di ruang tengah, di atas kasur lantai bulu tebal dan mahal, keduanya nampak tak terusik sama sekali dengan suara derasnya air hujan yang mengguyur di luar sana. Mungkin terlalu nyenyak, bantal mereka saja yang posisinya sudah entah kemana tak mereka pedulikan lagi.

Posisi tidur mereka cukup unik, Haechan menimpakan kakinya di atas paha milik Yuta, sementara Yuta membalasnya dengan menimpakan tangannya di atas dahi milik Haechan. Mereka mungkin tak sadar dengan posisi tersebut, karena yang jelas mereka terlihat begitu tenang, suara deru napas keduanya terdengar cukup halus dan lembut, dan bahkan tak jarang keduanya juga mengeluarkan suara dengkuran tipis karena saking nyenyaknya.

Oh, pagi yang damai. Seakan keduanya begitu menikmati tidur dan waktu istirahat mereka yang selalu menjadi hal berharga tersebut.

Detik berganti menit, dan menit terus bertambah hingga akhirnya tak terasa mereka telah tertidur selama kurang lebih lima jam. Sekitar pukul sebelas mereka akhirnya bangun, yang pertama bangun adalah Haechan. Haechan bangun dengan keadaan cukup mengenaskan. Dia habis bermimpi buruk, dia bangun dengan muka basah penuh keringat, serta rambut yang acak-acakkan.

Baru beberapa menit setelahnya Yuta akhirnya menyusul bangun.

Yuta bangun langsung mengecek ponselnya, sementara Haechan sejak pertama kali bangun sampai sekarang, orangnya dengan bodohnya masih saja terus melamun dengan tatapan kosong. Duduk dengan punggung dan bahu yang jatuh meluruh, terlihat sekali jika dirinya sedang berada dalam kondisi yang tidak baik. Bisa jadi pikirannya sedang kacau.

'PRAANG!'

Yuta kaget, tubuhnya sedikit terlunjak karena mendengar suara bantingan keras tersebut. Menoleh ke arah sumber suara, dilihatnya Haechan di sampingnya sedang melamun bodoh sambil menatap kosong ke arah remot tv yang habis dibantingnya.

Yuta mengelus dada sambil menatap Haechan dengan tidak percaya.

Haechan habis kesurupan apa? Kenapa mendadak membanting remot tv dengan tanpa sebab begitu?

"Kau itu bodoh apa setengah sinting, sih? Untuk apa banting-banting remot begitu?" Tanya Yuta tak habis pikir dengan sambil merenggangkan tubuhnya yang terasa kaku karena habis bangun tidur.

Meski Haechan mendengar pertanyaan itu tapi dia lebih memilih untuk tidak menjawabnya terlebih dahulu. Dia hanya masih diam sambil melamun dalam posisinya, mengumpulkan seluruh nyawa miliknya yang ia pikir masih berkelana ke mana-mana -karena sampai sekarang dia merasa jika dirinya masihlah belum sadar secara sepenuhnya.

"Yuta!"

Baru setelah dia merasa jika kini akhirnya kesadarannya telah pulih secara seutuhnya, dia dengan suara nyaringnya menyebut nama Yuta dengan menggebu. Menoleh ke arah sang kakak, lalu segera memukuli lengan kakaknya keras dan brutal dengan tanpa sebab.

"Kenapa semalam tidak menolongku! Kau ke mana saja! Dasar pria sialan!" Amuk Haechan dengan menjadikan lengan kakaknya sebagai samsak.

Yuta meringis kesakitan. Ia pikir Haechan sudah bukan hanya setengah sinting saja, tapi sudah sepenuhnya sinting dan hampir mendekati gila tak tertolong.

Salahnya apa? Kenapa mendadak dia diamuki begini? Apa begitu masih bisa disebut sebagai waras?

"Salahku apa-Arg!" Yuta meringis sakit, menampik tangan milik Haechan dan terus berusaha menghindar darinya. Yuta pikir Haechan sudah kesurupan.

"Semalam kau di mana!!" Teriak Haechan penuh amarah karena melihat semalam kakaknya malah menghilang di saat dirinya sedang terdesak dan tengah berada di ambang antara hidup dan matinya.

Tega sekali kakaknya, tega-teganya tidak mau mengawasi dan memantaunya, tidak memerhitungkan jika dirinya bisa saja akan celaka jika berhadapan dengan si sinting Mark itu!

"Tega-teganya!" Seru Haechan dengan kencang tepat di samping telinga milik Yuta.

Membuat Yuta langsung meringis sakit karena suara milik Haechan begitu memekakkan telinganya.

"Memangnya semalam kau diapakan pria itu?" Tanya Yuta ketika akhirnya Haechan sudah tak memukulinya lagi.

Semalam Yuta memang hanya menonton sampai ketika Haechan menarik kerah milik Mark saja karena ia pikir semua telah selesai sampai di situ saja, Haechan sudah berhasil menarik kerahnya jadi otomatis hanya tinggal menciumnya saja kan? Maka dari itu dia sudah tak tertarik lagi dan memutuskan untuk pergi ke minibar, menemui gebetannya yang katanya sudah menunggu di sana.

Tapi tak tahunya, ternyata semalam masih belum berakhir sampai di sana saja dan nampaknya dia sudah ketinggalan sesuatu yang menarik di sini.

"Pria itu psikopat! Dia hampir membunuhku!" Ucap Haechan dengan asal, menendang kesal pada remot yang tadi sudah hancur berkat bantingannya dan sekarang malah jadi makin remuk setelah itu.

"Kenapa remotnya pakai dihancurkan begitu?" Yuta mengambil remotnya. Menjauhkannya dari Haechan agar anak itu bisa berhenti bersikap gila.

Yuta geleng-geleng kepala, sebenarnya apa lagi masalah yang tengah dihadapi oleh Haechan ini? Baru bangun tidur sudah banyak berulah, mana segala memakai dirinya sebagai pelampiasan pula. Dipikirnya lengannya tidak sakit apa dijadikan samsak.

Yuta hanya bersandar pada sofa yang ada di belakangnya, duduk bersila sambil memainkan ponsel dan ia masih sangat malas untuk beranjak dari atas kasur bulunya yang kelwat nyaman ini.

Haechan menghela napas.

"Semalam aku mimpi buruk. Mendadak Mark menjelma jadi remot tv di rumah kita lalu terus-menerus mengawasi tidurku, itu menyeramkan Yuta!! Jadi aku harus mengenyahkan remot tv itu!" Terang Haechan dengan suara setengah ketakutan miliknya. Semalam Mark mampir di mimpinya, pria itu menjelma menjadi berbagai rupa perabotan rumahnya. Bisa berubah jadi remot, jadi lampu tidur, jadi cangkir, jadi tv yang punya mata, hidung, dan pipi, pokoknya itu menyeramkan dan sebuah pertanda buruk baginya!

Haechan memeluk dirinya sendiri, mendekat dan merapatkan diri pada Yuta yang sayangnya langsung didorong malas oleh Yuta hingga membuat tubuh gembul milik Haechan langsung mengguling ke samping, dan menggelinding pelan di atas permukaan lembut kasur.

"Ada-ada saja kau. Cepat pijiti aku, kemarin perjanjiannya kau akan memijatiku sampai seminggu jika aku sudah membelikanmu ponsel. Jadi cepat, sekarang aku bosmu, Haechan." Perintah Yuta sambil menendang-nendang pantat milik Haechan menggunakan kakinya.

"Jangan tendang-tendang!" Kesal Haechan pada perlakuan Yuta. Dia baru saja berbaring dan ingin tidur kembali tapi kakak tiri stressnya itu malah mengusik ketenangannya. Menyebalkan!

Haechan terpaksa bangun kembali. Meninggalkan tempat duduknya, dan melompat ke sofa, duduk di sana, di belakang punggung milik Yuta dengan muka cemberut. Rela tak rela, mau tidak mau terpaksa dia mulai memijiti bahu dan badan pria itu telaten. Meski dalam hati sebenarnya menyimpan perasaan jengkel, tapi ya, mau bagaimana lagi, memang ini perjanjian yang sudah mereka buat kemarin. Haechan harus mau memijiti Yuta selama seminggu penuh untuk bisa mendapatkan ponsel.

Dan berhubung ponselnya kemarin sudah dapat, maka sekarang tinggal tugas Haechan untuk memenuhi tanggung jawabnya.

"Yuta, Mark itu orang yang seperti apa, sih?" Tanya Haechan pelan.

"Biasa-biasa saja. Hanya kalau kau sudah berurusan dengannya, maka masalahmu akan panjang." Ucap Yuta sesuai dengan pengalaman yang ada. Alasan kelompoknya dengan kelompok milik Mark jadi saling bermusuhan adalah karena ini.

Dulu temannya ada yang bertengkar dengan anggota kelompok Mark hingga menyebabkan temannya si Mark itu masuk rumah sakit, dan Mark jelas tak terima akan itu, sehingga setelahnya Mark dengan serius membuat perhitungan padanya dan memulai awal permusuhan mereka dari sana. Mark tak pernah membalas dendam pada kelompoknya secara terbuka, tapi sebaliknya pria itu selalu bersikap apatis dan dingin jika di depannya tapi tak pernah ada ampun jika salah satu anggota kelompok mereka ada yang bertemu di arena.

Terhitung dari sejak saat itu angka kemenangan kelompoknya terhadap kelompok milik Mark di seluruh pertandingan yang pernah mereka lakukan adalah nol, alias kelompoknya sudah tak pernah menang lagi dari kelompok orang itu.

Awet sekali kan Mark memusuhi kelompoknya, ini bahkan sudah ada dua tahun lamanya, mungkin atau hampir.

"Benarkah, pantas saja dia bilang begitu..." Gumam Haechan dengan suara pelan miliknya. Menunduk merenungi nasib. Mark pasti tipe yang sangat pendendam jika begitu. Mengancam penuh dengan peringatan, dan tak pernah main-main dengan ucapannya.

Sekarang Haechan jadi menyesal sendiri, kenapa dia bisa berurusan dengan Mark? Kenapa dia bodoh sekali? Kenapa bisa-bisanya bicara sebelum berpikir? Harusnya ia gunakan otaknya dulu sebelum mulut bodohnya ini beraksi.

Dasar, mulutmu memang harimaumu ini jadinya.

"Menurutmu, apa aku bisa menang darin-"

"Tidak. Selamat atas kekalahanmu, aku jadi yang paling pertama mengucapkan, ya?" Goda Yuta sambil terkekeh pelan. Ia mendongak sejenak untuk menengok Haechan tapi yang didapatnya malah toyoran kepala kasar dari jari telunjuk lentik milik anak itu.

Yuta meringis pelan, mengusap dahinya yang sakit akibat toyoran semena-mena tadi.

"Hei, aku ini bosmu Haechan, perhatikan sikapmu itu, ya." Canda Yuta, bersuara dengan nada rendah dan serius miliknya tapi malah hanya direspon oleh Haechan dengan decakan tak peduli.

Repot-repot Haechan bahkan masih sempat mengejeknya dengan menggerakkan bibir menirukan perkataan pria itu. Tapi Yuta tidak melihatnya, andai saja Yuta tahu, maka mungkin sudah habis Haechan dipiting olehnya.

"Iya-iya, bos. Maafkan aku, ya!"

Tapi lagaknya Haechan sok meminta maaf sambil menambahkan tenaganya dalam memijat Yuta.

"Memang sehebat itu, ya si Mark?"

Kembali, sekali lagi, Haechan menanyakan soal Mark lagi pada Yuta.

Katanya benci pria itu, katanya malas pada pria itu, katanya pria itu sangat menyebalkan, katanya ingin mengenyahkan pria itu, memusnahkannya dan tak mau melihat lagi eksistensinya, lalu kenapa sejak tadi malah bersikap seperti itu?

Benci, kok ingin tahu sekali. Apa tidak malu?

Mungkin jawabannya tidak. Buktinya, lihat sendiri kan? Haechan hampir seperti tidak punya malu dari sejak pertama bertemu Mark. Mukanya saja sudah kelewat tebal, sudah tahu kemampuannya nol tapi belagak menerima tantangan dari Mark, sudah tahu Mark itu bukan tandingannya masih saja belaga cari gara-gara dengannya.

Itu muka miliknya jika tidak tebal setebal kerak bumi maka apa lagi namanya?

"Sudah setahun belakangan ini dia tak pernah kalah di arena. Benar sih, dia jarang bermain, dan jam tayangnya sedikit berkurang, tapi tetap saja sekalinya sudah terjun kembali, dalam semalam dia bisa ikut balapan sampai empat kali, dan semua kemenangan selalu jatuh di tangannya."

"Pokoknya, dia bukan tandinganmu sekali, Haechan. Bahkan meski dia balapan sambil mengantuk, aku yakin dia bakal tetap menang darimu. Kau sendiri saja tidak becus menyetir, benar?" Imbuh Yuta sambil memejamkan matanya kembali, sedikit-sedikit mengantuk karena mulai merasa hanyut dalam nyamannya pijatan dari Haechan.

Ternyata pintar memijat juga anak itu, jangan bilang jika selain jadi cleaning service anak itu juga kerja jadi tukang pijat spa sebagai kerja sampingannya selama di Vatikan sana. Tak main-main juga hasil dari pengalamannya itu.

"Aku bisa menyetir kok. Tapi, ya, begitu. Tidak ahli. Hanya bisa-bisaan saja." Ucap Haechan dengan nada lesu. Dia sedang memperhitungkan akan seburuk apa nasibnya setelah kalah dari Mark nanti.

Pasti sangat buruk. Ibarat kata hidup di dalam neraka mungkin akan cocok untuk dijadikan sebagai sinonim nasibnya sendiri. Kalah dari Mark merupakan awal dan gerbang dari neraka dunianya.

Ayo, ucapkan selamat padanya, agar dia makin sadar dan tahu diri kalau omongan atau tindakan itu baiknya dilakukan setelah berpikir. Jangan asal-asalan dan sembrono begini. Sekarang mampuslah dia.

"Sudahlah lupakan, jika kau kalah nanti dan pria itu langsung berniat melakukan hal buruk padamu, cobalah untuk buat kesepakatan saja. Kalau pria itu ada dendam pribadi, coba selesaikan dengan benar, jangan takut mengajaknya bernego, barangkali nanti akan tercipta kesepakatan yang baik di antara kalian."

Haechan hanya menggelengkan kepalanya pelan mendengarkan nasihat dari Yuta. Hal itu terasa mustahil, sangat mustahil. Dendam yang dimiliki Mark padanya pasti sudah mengakar di dalam hati dan sulit untuk diselesaikan dengan jalur damai. Pria itu pasti akan menghabisinya dengan sehabis-habisnya.

"Mustahil. Pria itu tak membunuhku mungkin itu sudah akan menjadi yang terbaik." Ucap Haechan sedih seakan sudah pasrah pada keadaan.

Yuta yang mendengar itu jadi merasa kasihan tapi juga ingin menertawakannya. Karena mau kasihanpun, ini semua juga buah dari kelakuan milik anak itu sendiri, jadi setelah mendengar kesedihan dari Haechan tadi, jelas saja hasrat untuk menertawakan dan merutukkan kharma padanya jadi makin membuncah dengan tinggi.

Astaga, semua juga salah siapa? Tuah-tuah milik anak itu sendiri, jadi jelas Yuta tak bisa membantu ataupun ikut campur. Menyuruh Haechan untuk mundur dari tantangan Mark pun terasa percuma, bocah tengil dengan harga diri tinggi semenjulang Himalaya itu pasti akan menolak untuk melakukannya. Akan kembali berlagak dan bersikap paling bisa yang ada.

Dasar kekanakan.

"Tapi kalau kau mau memberikan uangmu padaku, mungkin aku bisa memikirkannya, untuk membantumu." Goda Yuta pada Haechan, mengingat kemarin anak itu habis dikirimi uang oleh ayah mereka dalam jumlah nominal yang cukup besar.

Haechan mendengus.

"Tidak mau! Enak saja itukan uangku!"

"Itu banyak sekali Haechan, bahkan untuk uang jajan selama sebulan pun bakal sisa. Bagilah, kau enak sekali bisa dapat segitu dari ayah."

"Jelaslah. Akukan anak kandung yang habis ditelantarkannya selama bertahun-tahun, jadi wajar jika dia begitu, bermaksud untuk menebus dosa barangkali." Sombong Haechan.

"Tapi jika dipikir-pikir, uang itu tak ada seberapanya jika dibandingkan dengan uang yang sudah dikeluarkannya untukku dari sejak aku resmi jadi anaknya sampai sekarang."

"Masa bodoh! Intinya sekarang uangku tetap lebih banyak darimu!" Haechan membela diri dengan tak mau kalah. Bersungut-sungut sambil mencubiti pundak milik Yuta keras.

"Dasar sombong, tengil pula." Ejek Yuta.

"Halah, iri bilang, bos!" Lalu Haechan menjambak rambut milik Yuta kasar sebelum akhirnya melakukan langkah seribunya kabur ke kamar. Berlari terbirit menghindari kejaran dan auman menyeramkan dari Yuta yang seperti ingin memutilasinya hidup-hidup.

***

Yuta dan Haechan pergi ke pusat perbelanjaan, katanya sebagai healing time. Ini ajakan Yuta yang sekalian ingin membeli kado untuk temannya. Haechan jelas mau-mau saja karena mumpung dia sedang bosan dan malas, sekalian ingin melupakan masalahnya dengan Mark.

Haechan sudah ambil keputusan, mau pasrah saja pada keadaan. Dan akan siap menerima segala risiko kalau dia nanti kalah dari Mark. Lagipula, sedendam Mark padanya, pria itu tak akan melakukan tindakan kriminal padanya kan? Setidaknya tak akan membunuh atau melukainya, kan?

Semoga saja tidak. Karena jika, iya, maka Haechan pastikan dia akan merengek kencang pada ayahnya untuk dibawa kembali saja ke Vatikan. Dia mau mengabdi pada Tuhan saja, sering-sering mendekatkan diri padanya tak peduli meski sebenarnya dia adalah ateis -biar ada alasan saja untuk kembali ke Vatikan.

"Yuta, aku masih ingin beli baju." Ucap Haechan sambil memerhatikan beberapa outlet pakaian bermerk yang mereka lewati. Tak peduli meski tentengan di tangannya sudah banyak, tapi Haechan masih merasa belum puas tiap kali ada outlet lain yang mereka jumpai.

Yuta hanya mengiyakan tanpa sudi membantu Haechan yang nampak kesulitan dengan barang bawaannya.

Si apatis memang, apalagi jika pada adik tirinya tersebut.

"Tapi makan dulu. Baru lanjut belanja."

"Siap, bos!" Ucap Haechan penuh semangat.

Jelas Haechan semangat, tumben-tumbenan Yuta mau mengajaknya keluar bersama, repot-repot pakai mengajaknya belanja segala. Beberapa pakaian yang sudah dibelinya ini tak sedikit yang bayarnya pakai uang milik Yuta. Kata Yuta itu sebagai hadiah karena selama mereka tinggal bersama, sejauh ini dia tak pernah bertingkah nakal yang sampai membuat repot Yuta, dan juga sangat sering menurut pada apa yang dikatakan oleh Yuta.

Makanya Yuta mau mentraktirnya begini. Tak mungkinkan Yuta mau berbuat baik padanya jika dia tak bisa memberikan apa-apa padanya. Harus selalu ada timbal-balik pokoknya kalau dengan Yuta itu.

Mereka memilih untuk makan di salah satu restoran makanan Jepang, Yuta yang merekomendasikannya. Haechan, sih, hanya manut saja, mengingat yang bayar makanan mereka nanti juga pria itu jadi tak ada yang namanya protes atau apapun yang hendak dilayangkannya.

Haechan mendudukan dirinya dengan lelah, meletakkan seluruh barang bawaannya kecuali boneka beruang cokelat kecil yang ada dalam apitan lengannya. Boneka dari hasil menang di mesin capit tadi, Yuta sih yang mendapatkannya, tapi pria itu memberikannya padanya sebagai hadiah. Jelas saja dia yang dari awal menjaja mesin capit itu selalu gagal langsung merasa senang ketika Yuta memberikan boneka tersebut padanya. Saking senangnya dia bahkan sampai enggan melepaskan benda itu dari pelukannya.

"Haechan kau bawa plester buat ganti, kan?"

Haechan mendongak pada pertanyaan yang diucapkan oleh Yuta lalu matanya segera beralih pada jari telunjuk milik Yuta yang berbalut plester. Ceritanya ini karena keteledoran dan kesombongan mereka tadi siang, sudah paham kedua-duanya tak becus masak tapi Yuta tetap memaksakan diri untuk memasak, tapi baru saja pegang pisau untuk potong bawang tangan pria itu sudah terluka terlebih dahulu.

Makanya sekarang dia ke mana-mana disuruh bawa plester, obat merah, kapas, serta tissue basah oleh pria itu. Yuta sebenarnya agak berlebihan menurut Haechan, orang lukanya saja tidak lebar dan parah, tapi pria itu terus memaksanya untuk membawa seluruh benda itu untuk berjaga-jaga. Dasar paranoid.

"Bawa, kok. Tenang saja." Ucap Haechan sambil mengangkat tas selempang kecil yang dibawanya dan didalamnya berisikan seluruh benda-benda tadi pada Yuta.

Yuta mengacungkan ibu jarinya.

"Bagus!"

Haechan hanya tersenyum singkat saja pada sang kakak sebelum setelah itu dia berdiri dari duduknya untuk pamit ke kamar mandi.

Melangkah ke kamar mandi dengan langkah riang, bersama dengan boneka beruang kecilnya. Dia tak sadar saat membawanya, niatnya tadi hendak ia titipkan pada sang kakak tapi tau-tau malah masih terbawa. Menenteng tangan bonekanya ringan sambil menyandungkan beberapa lirik lagu di sepanjang jalan.

Baru masuk ke dalam kamar mandi, belum apa-apa dia sudah mendengar ada keributan. Ada orang yang sedang bertengkar. Dua orang pria dewasa dengan badan yang besar dan sangat kekar .

Haechan menatap ngeri pada bertengkaran itu, menoleh ke sana-sini dan tidak ada orang lain selain dirinya. Haechan gugup, ingin melerai tapi takut dikata ikut campur dan bisa jadi nanti dia malah terluka saat berusaha memisahkan mereka.

Hal itu jelas langsung membuatnya dilema. Ia melangkah mundur, tersudut di salah satu sudut ruangan dan hanya mampu menatap pertengkaran itu dengan perasaan takut. Merogoh tas selempangnya, dia hendak menghubungi Yuta, meminta bantuan pada sang kakak untuk melerai dua orang ini.

"Waaa!!!" Teriak Haechan dengan ngeri saat melihat tubuh itu dibanting dengan keras ke lantai dan dipukuli dengan habis-habisan oleh lawannya.

Haechan makin panik, mulai berteriak minta tolong dengan histeris namun sayangnya belum ada juga orang yang datang atau sekedar lewat. Menghubungi kakaknya pun masih belum mendapatkan jawaban.

"Sudah! Hei! Sudah-sudah jangan berteng-Waa!! Mommy!!" Haechan berteriak takut saat kedua orang itu akhirnya berhenti bertengkar tapi malah alih atensi kepada dirinya, menatap ke arahnya dengan sorot tajam dan dingin.

Haechan takut tentu saja, ditatap dengan setajam itu oleh orang asing yang tak dikenal, dengan penampilan mereka yang sangat menakutkan.

"Jangan bertengkar! Apa lihat-lihat!" Teriak Haechan mulai risih dengan tatapan yang diterimanya dari kedua orang tersebut. Takut sih, tapi ya mau bagaimana lagi, tatapan mereka sangat menyeramkan dan membuatnya merasa begitu terganggu, jadi mau tak mau Haechan terpaksa menggertak pada mereka.

"Anak kecil cerewet, keluar saja sana tak usah ikut campur!" Ucap salah satu dari mereka dan lanjut mencekik lawannya dengan penuh emosi.

Pertengkaran hebat yang penuh dengan tonjokkan dan tendangan kasar pun akhirnya kembali terjadi di antara keduanya. Membuat Haechan jadi merinding gila, dan hampir kembali menjerit dengan histetis andai saja tidak ada yang menarik kerah belakang bajunya dengan kasar.

"Aw-aw!" Rintih Haechan merasakan lehernya agak tercekik karena tarikan di kerahnya terlalu keras dan sangat kasar. Rasa panik jelas muncul, jangan bilang jika yang sedang menariknya ini adalah salah satu komplotan dari orang-orang kurang kerjaan yang sedang bertengkar ini. Yang tak terima dengan kedatangannya dan ingin memberinya pelajaran karena sudah mengganggu pertengkaran mereka.

Itu bisa saja terjadi, dan kemungkinan kebenarannya pasti sangat besar. Tak mungkin kan orang main menariknya begini jika tak ada motif dan alasannya sendiri?

Ya, Tuhan! Masalah baru apa lagi ini? Kenapa sih, hidupnya ini selalu dipenuhi dengan masalah! Lelah Haechan lama-lama. Tidak di sini, tidak di sana, selalu saja terlibat masalah! Memang sudah yang paling benar bagi dirinya itu berada di rumah saja! Habis ini dia akan mengajukan permohonan pada Yuta untuk lebih baik tetap berada di rumah saja tak usah keluyuran, karena tiap keluar rumah pasti ada saja masalah yang menimpa dirinya

"Kau itu setan, ya? Di mana-mana selalu ada."

Haechan mengerutkan dahinya, merasa tak asing dengan suara yang habis didengarnya. Menggerakkan lehernya susah payah, dia berusaha menoleh dan jangan bilang jika yang sedang mencengkeram kerah lehernya ini adalah Mark?

Mark?!

Si Mark yang itu?! Yang menyebalkan itu?!

"Kau yang setan!" Teriak Haechan. Melepaskan cengkeram dari Mark dan mendorong dada pria itu sebal. Enak saja dikata setan hanya karena mereka sering dipertemukan kembali di tempat-tempat tak terduga. Jika Mark menganggapnya setan, maka Haechan pikir Mark juga tak ada bedanya, pria itu juga sama setannya. Di mana-mana selalu ada, dan sering muncul di depan mukanya dengan tanpa terduga.

Mendengus sebal. "Cepat pisahkan mereka sebelum ada yang mati!" Perintah Haechan sambil mendorong bahu milik Mark kasar ke depan.

Haechan mencoba mengabaikan pertengkaran pribadinya dengan Mark dan lebih memilih untuk alih atensi pada pertengkaran menyeramkan yang sedang terjadi di antara kedua orang yang ada di depannya itu. Ia khawatir dan takut akan terjadi pertumpahan darah di antara kedua orang itu atau parahnya bahkan ada yang meregang nyawa di antaranya. Tidak bisa, menyeramkan, bencana, itu tak boleh terjadi.

"Mark, ayo lupakan masalah kita sebentar, jadilah baik dan tolonglah sesama! Pisahkan mereka, sana cepat!" Penik Haechan sambil masih mendorong-dorong bahu milik Mark dan memukuli pria itu dengan menggunakan boneka beruang kecil yang masih dibawanya.

Mark menampik tangan milik Haechan kasar, menatap anak itu tajam.

"Ini bukan urusanmu, lebih baik kau keluar saja sana." Ucap Mark abai, tak memedulikan perintah Haechan sama sekali, karena memangnya anak itu siapa berhak memerintahnya?

Haechan melotot tajam pada reaksi yang diberikan oleh Mark. Bisa-bisanya Mark terlihat tidak peduli dan acuh tak acuh begitu pada sebuah pertengkaran hebat yang sedang terjadi tepat di depan mata mereka. Menganga sedikit, dan agak terkjut, apa Mark seapatis itu? Atau malahan, bisa jadi Mark adalah dalang dari pertengkaran ini bisa terjadi?

"Hei! Jangan bilang kau komplotan mereka?" Tuduh Haechan sambil menunjuk Mark penuh selidik.

Mark hanya mengendikkan bahu, terlihat acuh tak acuh lalu kembali ke posisinya, bersandar santai sambil melipat tangan. Memerhatikan pertengkaran dua orang itu dengan sorot tak peduli sama sekali.

Haechan makin menganga dengan ini, tak percaya dengan sikap yang ditunjukkan oleh Mark. Maksudnya adalah, apa masalah yang terjadi di antara Mark dan orang-orang ini, mengapa Mark nampak begitu kejam dan cukup diktator? Sikapnya begitu dingin, arogan, bisa dilihat dari ketidak acuhannya pada salah satu di antara dua orang itu yang mulai memuntahkan darah.

Pertengkaran itu sudah sangat parah. Sudah bukan pertengkaran biasa yang bisa diabaikannya lagi. Haechan masih punya nurani, masih punya hati dan perasaan, jadi tidak mungkin dia akan membiarkan terjadi pertumpahan darah di sini. Dia akan melerai kedua orang ini tak peduli apapun alasannya.

"Mau apa kau?" Tanya Mark dingin saat melihat Haechan sudah akan berulah kembali di hadapannya.

"Apa lagi?! Menolong mereka tentu saja!" Sentak Haechan kesal dengan memukul dada Mark benci menggunakan boneka beruangnya. Haechan kesal pada Mark, sudah tak ada peri kemanusiaan, dan cueknya minta ampun pula.

"Kubilang jangan ikut campur." Sahut Mark pelan, menatap Haechan tajam dan merebut boneka bodoh nan kekanakan dari tangan Haechan cepat. Merebut dan menyembunyikannya di balik punggung.

Jelas Haechan terpancing dengan itu, boneka yang diambil oleh Mark adalah barang kesayangannya yang baru, dan bisa-bisanya pria itu merebut juga hendak mengambilnya dengan begitu saja. Haechan mengulurkan tangannya, berniat untuk merebut kembali boneka itu dari tangan milik Mark tapi sudah terlanjur gagal duluan saat Mark dengan kasarnya malah memiting lehernya.

Haechan merintih sakit tapi Mark mengabaikannya dan malah menyeret Haechan dengan santai.

"Tae Oh, terus pukuli dia sampai dia mau buka mulut. Kutinggal sebentar karena aku ada urusan dengan manusia tengil ini."

Haechan terpaksa mengikuti langkah milik Mark saat pria itu menyeretnya menuju ke salah satu bilik kamar mandi. Haechan merasa sangat panik, takut dan gugup, khawatir jika Mark akan melakukan sesuatu yang buruk padanya. Dia tak mau diapa-apakan oleh pria ini.

"Akh!" Haechan memekik sakit, Mark membanting punggungnya dengan begitu saja ketika mereka baru masuk ke dalam bilik kamar mandi. Dapat Haechan lihat Mark langsung bergerak untuk mengunci pintu tersebut dan hal itu jelas semakin memancing kepanikan milik Haechan. Apa yang hendak Mark lakukan padanya di ruangan sempit seperti ini?

"Kau mau apa?!" Sergah Haechan cepat, mengulurkan tangan berusaha mencegah Mark mengunci diri mereka di dalam bilik sempit yang memiliki keterbatasan ruang gerak ini.

Namun Mark tak menggubris pertanyaannya. Sebaliknya, Mark tangkap tangan milik Haechan cepat lalu segera membalik dan membanting tubuh itu kasar pada pintu yang habis dikuncinya, menghimpitnya penuh ancaman dengan satu tangan lain menahan leher milik anak itu agar tak bisa banyak berkutik lagi.

"Kubilang jangan ikut campur." Ucap Mark dengan serius, sorot matanya menatap Haechan dengan begitu dingin dan tajam. Seakan jika tatapan itu adalah belati maka sudah pasti mampu mencabik-cabik dan membuat tubuh orang yang ditatapnya jadi koyak.

Sekedip mata, dan tak butuh waktu lama, hanya dengan kalimat bernada penuh ancaman dan sorot yang begitu membunuh, hal itu sudah mampu untuk membuat Haechan mematung di tempat. Terpaku, dengan getaran gugup yang mulai tumbuh dengan gila di dalam benak. Haechan merasa sangat terdesak dan takut, setiap kali Mark mulai mengeluarkan aura penuh dominasinya seperti ini, entah mengapa dadanya langsung terasa sesak. Pernapasannya tercekik, dan seakan tubuhnya langsung membeku di tempat tak mampu banyak berkutik dan bergerak lagi.

Mark menyeringai tipis melihat Haechan langsung merunduk patuh padanya hanya dengan sekali sentak saja. Satu tangannya yang tidak menahan leher milik Haechan ia ulurkan, menyerahkan kembali boneka beruang konyol itu kepada Haechan, yang mana langsung diterima oleh orangnya dengan ragu-ragu dan gugup.

Cukup lama mereka berada dalam posisi itu sampai Haechan mulai merasakan sakit pada lehernya, saking sakitnya hal itu bahkan sampai membuatnya kesulitan bernapas hingga membuat mukanya jadi memerah. Dengan bergetar takut, Haechan mengulurkan tangannya untuk menyentuh pergelangan tangan milik Mark yang masih setia menahan lehernya itu, Haechan menyentuhnya pelan sambil kepalanya mulai mendongak dan melayangkan sorot mata melas pada Mark.

"Sa-sakit..." Ungkapnya terbata. Bibirnya nampak pucat tapi kedua pipinya memerah dan basah akan keringat, pun dahinya yang mulai terus meneteskan bulir keringat dingin. Haechan mulai merasa sumpek, begitu sesak sampai berpikir jika saja Mark tak segera melepaskan pergelangan tangannya dari leher miliknya itu, mungkin bisa saja tak lama lagi dia akan kehilangan nyawanya karena kesulitan bernapas.

Mark akhirnya melepaskan tangannya dari Haechan, sedikit melangkah mundur untuk memberi jarak pada mereka. Mark tidak ada niatan untuk memerhatikannya, namun Haechan yang tengah mengatur napas dengan muka memerah penuh keringatnya terasa cukup menarik juga untuk diperhatikan.

Mark menyebut itu menarik bukan karena tanpa alasan, kedua pipi milik Haechan sangat bulat, merona hebat dengan warna merah yang begitu kentara. Bibir tebal dengan bentuk hati sempurna itu juga nampak terbuka, mengeluarkan suara deru napas yang terdengar sedikit kasar. Itu jelas secara tak sadar menarik perhatian dari Mark, pemandangan sedikit erotis juga sekaligus memancing.

Bukan Mark yang gemar berpikiran keruh ataupun kotor. Tapi mata sayu milik Haechan yang sekarang sedang menatapnya dengan guguplah yang telah lancang berani-berani memancingnya untuk melakukan itu. Mata itu terasa seperti menjeratnya. Sorotnya begitu dalam, seakan ingin mengajaknya untuk ikut tenggelam dan menyelam bersamanya.

Tidak jadi memberi jarak lebih di antara mereka, secara tak sadar Mark malah melangkahkan kakinya ke depan. Menaruh tangangannya di atas kepala milik Haechan, sambil merunduk untuk memerhatikan muka milik anak itu dengan lebih intens.

Mark angkat dagu milik Haechan. Tatapan mata mereka makin beradu dengan serius pada momen itu. Haechan hanya mampu menurut belaka. Belum ingin melakukan perlawanan karena dia sedang melakukam analisa pada apa yang hendak dilakukan oleh Mark kepadanya.

"Suara napasmu terdengar sangat mengusik." Itu bisik Mark, tepat di depan muka milik Haechan, bibirnya lebih tepatnya. Menyerukan protes pada suara napas tersengal sarat akan desahan ringan yang sejak tadi dikeluarkan oleh Haechan -dengan merdunya.

Mark menyebut itu merdu sebab suara itu terasa begitu menggelitik indera pendengarannya, menyelubung masuk, menerpakan esksistensinya dengan begitu lancang ke seluruh isi pikirannya.

"Aku ingin keluar." Abai Haechan pada apa yang dikatakan oleh Mark. Menatap Mark dengan lamat sambil tangannya pelan-pelan mulai meraih ponsel yang ada di dalam tas selempang kecilnya.

"Jika aku tak izinkan?" Balas tolak Mark. Memiringkan kepalanya, menatap Haechan dengan sorot main-main. Mark sudah terlanjur berpikiran keruh dengan pemandangan yang diberikan Haechan padanya, jadi untuk melepaskan anak ini dengan sebegitu mudahnya -setelah sejauh ini, jelas tidak akan dilakukannya dengan seringan hati itu.

Mark masih ingin bermain-main dengannya.

"Kakakku akan panik nanti."

Mendengar ungkapan itu langsung memancing tawa ringan dari Mark keluar.

Menatap Haechan remeh

"Siapa yang peduli, hum?" Gumam Mark di akhir kalimatnya. Menyeringai tipis, tangannya di bawah sana mulai bergerak nakal sesuai dengan naluri dan perintahnya. Terulur menyapa pinggang milik Haechan dan memerangkapnya dalam satu dekapan yang ia lakukan dalam sekali sentak.

Haechan memekik terkejut karena itu.

"Akh!"

Raut panik makin nampak kentara di wajah milik Haechan. Mark menarik pinggangnya dan itu membuat sesuatu di selangkangan mereka jadi saling beradu dengan begitu sensual. Membuat Haechan yang merasakannya langsung menggigit bibir bawahnya resah. Sinyal buruk datang. Ini jelas asusila, apa yang dilakukan oleh Mark, salah.

"Alih-alih melakukan kekerasan, kau ingin melecehkanku?" Ucap Haechan menebak. Tangannya sudah berhasil meraih ponselnya dan diam-diam dia menakan angka satu, hendak menghubungi Yuta.

Tak ada orang lain selain kakaknya yang terlintas di benaknya untuk dimintainya tolong saat ini.

Haechan bersyukur ketika panggilannya tersambung dan sang kakak langsung mengangkatnya. Menatap Mark dengan tajam, dan mencoba mengabaikan tangan bajingan yang mulai merabai bokongnya, Haechan akan langsung berteriak minta tolong pada sang kakak sekarang juga.

"Yutaa!! Kamar mand-anghhh!!"

Oh, sialan! Haechan terpaksa membekap mulutnya sendiri dan menjauhkan ponselnya sejauh mungkin saat dia merasakan ada tangan biadab yang tengah mengusap-usap puncak putingnya kasar dari atas kemeja hitam yang masih membalutnya. Satu desahan resah itu lolos dengan sangat memalukan.

Haechan menggila dalam posisi berdirinya. Kakinya terasa seperti agar-agar, lembek juga menjijikkan, tak sanggup menopang tubuh diri sendiri. Tangannya bergetar memegang ponsel sementara satu tangannya yang lain terpaksa harus menjatuhkan beruang kecilnya ke lantai kamar mandi dengan cuma-cuma. Sebab basah itu mulai menggerayangi daun telinganya.

Haechan geli. Mark sedang melecehkannya. Tapi dia kesulitan untuk melawan karena tubuh pria itu membelenggunya dengan erat.

"Kau sensitif sekali. Pengalaman pertama?" Bisik Mark tepat di samping telinga milik Haechan. Suaranya terdengar berat dan dalam, berakhiran dengan satu hembusan napas panas yang Mark berikan di sana untuk menggoda Haechan.

Sembari Haechan tak mampu memberikan banyak perlawanan padanya, maka Mark angkat kepalanya dari sisi telinga milik Haechan dan menghadapkan wajah mereka. Satu tatapan nyalang Mark dapatkan dari Haechan, tapi Mark tak menggubrisnya dan malah lebih tertarik untuk merebut ponsel milik Haechan dari tangannya kasar.

Sambungan itu masih belum terputus, samar-samar Mark dapat menangkap lontaran suara khawatir dari Yuta. Mark menyeringai tipis, dia belum tahu banyak tentang hubungan Haechan dan Yuta, namun dari kabar yang pernah hinggap di telinganya banyak yang bilang jika Haechan adalah adik dari pria itu.

"Kembalikan-akh!"

Haechan memekik sakit. Mark baru saja menyentak tangannya kasar pada permukaan daun pintu yang keras. Tangannya di tahan oleh pria itu dengan cengkeraman eratnya. Membuat dia jelas semakin kesulitan untuk melakukan perlawanan.

"Diam, atau kau akan berakhir di ranjang... Telanjang... Bersamaku..." Ancam Mark dengan serius agar Haechan tak lagi melakukan perlawanan padanya.

Dan Mark tersenyum miring saat melihat wajah milik Haechan langsung pasi di tempatnya.

Mark menatap layar ponsel milik Haechan, ingin bermain-main dan mengerjai si anak tengil ini. Dan hebat sekali anak ini sudah dapat ponsel baru tak lebih dari sehari, tidak seru sama sekali padahal dia berharapnya anak ini akan merasa sangat kehilangan sekali dengan ponselnya yang ia tawan itu.

Nyatanya? Anak ini memang lain, dan sedikit lebih merepotkan, nampaknya.

"Yuta, adikmu..."

Mark yang berbicara pada Yuta. Tangan milik Haechan masih ia cengkeram, ia tahan di atas kepala milik anak itu. Mark merunduk untuk menatap Haechan dengan sorot serius, memberinya ancaman bukan main dan mewantinya jika sampai berani bersuara.

"Siapa kau?"

Mark tidak heran jika itu yang akan dikatakan oleh Yuta. Mereka tidak cukup dekat untuk bisa saling menebak suara satu sama lain dalam percakapan telepon.

"Bukan siapa-siapa..." Mark menjeda kalimatnya. Satu tatapan paling menyalak ia terima dari Haechan. Haechan pasti juga sedang mewantinya agar tidak bicara yang sembarangan pada kakaknya tersebut.

Tapi, memangnya Haechan itu siapa? Sampai perlu, ya, Mark untuk peduli dengan apa yang diinginkannya?

"Satu juta won, dua jam main, pakai kondom, tapi satu kali keluar di dal-"

"Brengsek!"


Mark segera memutus sambungan telepon itu setelah selesai mendengarkan satu umpatan kasar dikeluarkan oleh Yuta dengan penuh emosi. Terkekeh pelan, seringaian miliknya terasa makin melebar saat dilihatnya Haechan juga semakin terlihat emosi setelah mendengar ucapannya tadi.

"Marah, ya? Karena aku menawar dengan harga murah?" Ejek Mark, segera merundukkan kepala saat dilihatnya Haechan akan membalas kalimatnya.

Ia bungkam bibir tebal berbentuk hati sempurna yang nampaknya menawarkan kelembutan itu dengan gerakan cepat. Tak ingin memberikan Haechan kesempatan untuk bersuara sama sekali. Mark enggan mendengarnya berkata, Mark tak mau menerima argumennya, tujuannya hanyalah mempermainkannya, mempermainkannya hingga Haechan merasa kesal dan marah setengah mati padanya. Sekaligus menjadikan ini sebagai sarana balas dendamnya kepada Haechan, terhadap seluruh tingkah menyebalkan yang pernah diberikan Haechan padanya.

"Eumh!"

Jelas Haechan mengerang dengan kalut karena ciuman ini adalah ciuman yang sangat berbeda dari yang pernah diterimanya dari Mark semalam. Jika semalam hanya sekedar sebuah kecupan tipis yang halus, maka kali ini?

Ini adalah yang versi beribu-ribu kali lebih liarnya.

Ini sama seperti dengan yang pernah dilihatnya di gang sempit beberapa malam lalu. Di mana sebuah gigitan, lumatan dan peran lidah juga ikut dilibatkan dalam ciuman ini. Dan jujur Haechan merasa sangat kesulitan untuk menghadapinya, karena hal ini adalah sebuah hal yang asing baginya. Haechan belum pernah berpengalaman sama sekali, menonton adegan ciumanpun baru yang kemarin itu.

Sehingga ketika dia langsung dihadapkan pada situasi yang seperti ini, maka hal apa lagi yang bisa dilakukannya selain berontak atau mungkin malah pasrah dan menuruti alurnya saja?

Tapi karena malam ini Haechan sedang benci dan marah, dan tersinggung dengan bercandaan keterlaluan dari Mark, maka Haechan putuskan saja untuk berontak darinya. Menggerakkan kepalanya brutal, mendorong-dorong dada milik Mark susah-payah dengan satu tangan, berusaha keras Haechan menolak seluruh pergerakan bibir yang dilakukan Mark padanya.

Mana sudi Haechan menerima ciuman dari manusia menyebalkan dan menjengkelkan seperti Mark ini! Enak saja, bibirnya terlalu berharga untuk diserahkan pada Mark. Setidaknya jika berciuman, Haechan ingin melakukannya dengan seorang wanita cantik yang baik hati, bukan pria brengsek macam Mark yang kelakuannya ternyata tak jauh beda dengan teman-teman kakaknya, sama-sama suka bertingkah homo.

Tapi sayangnya, perlawanan dari Haechan ini bukanlah sebuah hal yang berarti bagi Mark yang merupakan seorang dewanya dalam hal berciuman. Mark jelas mampu menghadapi segala pemberontakan tak berarti itu dengan mudah. Menahan tengkuk milik Haechan dan tetap melanjutkan aksinya dalam menggarap bibir lembut penuh goda milik Haechan itu dengan lebih jauh.

Haechan langsung merasa terkunci. Ujung-ujung saraf pada bibirnya terasa tergoda hebat saat sapuan permukaan lidah milik Mark yang lembut namun juga panas itu menyapanya. Matanya terpejam erat, tidak bohong jika Haechan merasakan darahnya berdesir dan jantungnya berdegup dengan hebat. Haechan tak tahu pasti mengapa ini bisa terjadi, namun setiap sapuan juga lumatan demi lumatan yang diterimanya dari Mark, entah mengapa itu terasa sangat gila.

Haechan memiringkan kepala untuk mencuri sedikit udara, dia sudah tak bisa bergerak sama sekali. Mark menawan seluruh pergerakannya. Mencuri-curi singkat aroma tubuh milik Mark melalui celah tipis hidungnya, dalam keterpejamannya dapat Haechan tangkap aroma khas nikotin dari rokok yang sudah pasti sering dikonsumsi oleh Mark itu hinggap pada penciumannya. Awalnya Haechan merasa ragu, namun aroma zat kimia itu malah membuatnya jadi merasa candu, ikut makin merapatkan diri pada Mark, bodohnya Haechan malah mulai semakin tertarik untuk meladeni ciuman dari Mark.

Bibir tipis nakal itu mempermainkannya dengan berani dan sangat agresif, membuat terkadang adrenalin di dalam diri Haechan langsung merasa tersentak. Fungsi otak milik Haechan terkadang juga sulit untuk bisa diaturnya, sering tak sejalan dengan apa yang diinginkannya hingga akhirnya membuatnya berkahir dengan pasrah begini padanya.

Mau munafik tapi sulit, Haechan sudah terlanjur mabuk kepayang, bahkan dia sudah tak peduli lagi saat saliva milik mereka saling bersua, dan sebagian jatuh membasahi dagu miliknya.

Ini luar biasa. Begitu kesimpulannya.

Apalagi saat ujung lidah mereka saling beradu, dan Mark langsung menarik lidahnya yang ragu-ragu itu dengan gerakan jantannya yang menggertak.

"Uhmm!!" Suara Haechan karena mulai merasa kesulitan bernapas. Meremat keras bahu milik Mark, Haechan harap Mark mau mengerti sinyal yang diberikannya.

"HAECHAN!!"


Haechan segera membuka matanya. Memebalalakkan mata dengan lebar lalu mulai mendorong bahu milik Mark kasar. Dia mendengar suara Yuta sudah muncul. Buru-buru ingin melepaskan diri, dalam sekejab euforia gila yang dirasakannya saat berciuman dengan Mark tadi telah sirna, tergantikan dengan perasaan panik dan takut, ingin segera berlindung dan menyembunyikan diri di belakang Yuta.

Yang ia lakukan dengan Mark ini salah. Dan jika ia terus terlena, Haechan takut nanti sesuatu yang buruk akan terjadi padanya, maka dari itu dia harus segera menghentikan semua ini cukup sampai di sini dan segera berlari mencari perlindungan pada kakaknya.

"Rapikan penampilanmu sebelum keluar." Ucap Mark dengan masih menahan tengkuk milik Haechan dalam cengkeramannya.

Tangan milik Mark terulur untuk membersihkan seluruh kekacauan di sekitar bibir menggoda penuh dosa milik Haechan, menyeka percampuran saliva mereka dan sempat menyentuh sensual bibir bawah milik Haechan, menggodanya.


"Hei! Kalian berhenti berkelahi, lihat adikku tidak!"


Suara Yuta kembali menginterupsi mereka. Ternyata pertengkaran dua orang bodoh tadi masih berlangsung.

Haechan segera mendorong tubuh milik Mark menjauh darinya. Menatap sengit pada pria itu sambil menggigit bibir bawahnya sendiri kesal. Sialan, ciuman pertamanya berakhir dengan orang brengsek seperti Mark.

"Aku benci kau!" Tuding Haechan dengan penuh amarah. Membenahi penampilannya, Haechan sudah tak mau lebih berlama lagi di dalam sini. Dia akan segera keluar dan pergi menemui kakaknya.

"Ucap seseorang yang mendesah pasrah dalam tiap lumatanku." Goda Mark tak peduli. Melepaskan tubuh Haechan secara sepenuhnya, Mark senang setidaknya dia ada sedikit hiburan sore ini.

"Cerewet! Dasar jelek kau!" Ucap Haechan untuk yang terakhir kalinya sebelum akhirnya berbalik membuka kuncian pintu kasar dan segera bergegas pergi meninggalkan Mark dengan muka bersungut marah.

Sementara Mark sendiri, dia hanya mengendikkan bahunya cuek dan sangat acuh tak acuh. Mendudukkan diri di kloset belakangnya, Mark usap bibir bawahnya yang masih basah karena kegiatan ciumannya dengan Haechan tadi pelan. Sedikit menerawang, jika ia pikirkan, rasa bibir milik Haechan tidak buruk juga.

Lembut, juga manis. Seperti rasa chocolate cake yang selalu menjadi favoritnya. Saat mencecap bibir Haechan, Mark mampu merasakan ada getaran manis yang sama di sana.

"Lumayan." Gumam Mark pelan. Mark melirik ke bawah, oh, si beruang cokelat kecil yang konyol milik anak itu tertinggal. Jatuh tergeletak dengan menyedihkannya di sebelah kakinya. Mark memungutnya, lalu memerhatikannya dengan tatapan tak tertarik sama sekali.

"Mark! Akhirnya dia buka suara." Teriak Tae Oh, pengawalnya dari luar dengan suara berisik miliknya.

Mark segera berdiri dari duduknya, membawa si beruang cokelat kecil dalam genggaman ringannya, lumayan juga untuk kenang-kenangan. Mark keluar, menghampiri Tae Oh yang mukanya nampak babak belur, namun tidak separah Jae Hyuk yang sekarang sudah terkapar tak berdaya di atas lantai kamar mandi.

Mark berjongkok di depan Jae Hyuk, tersenyum tipis pada Jae Hyuk yang nampaknya sudah dalam keadaan setengah sadar itu.

"Kenapa harus menunggu sekarat dulu baru mau buka suara?" Ucap Mark pelan, dengan nada mendesis yang terdengar begitu tajam. Ia pukul kepala milik Jae Hyuk ringan. Menambah pekerjaan saja, harusnya jika sejak awal pria merepotkan ini mau buka mulut, maka Mark tak perlu repot-repot menyuruh pengawalnya untuk menghajarnya.

"Di mana barangnya?" Tanya Mark pada Tae Oh. Berdiri kembali dari posisinya, Mark injak telapak tangan milik Jae Hyuk yang ada di bawahnya dengan keras.

Terlihat Tae Oh melemparkan senyuman lebarnya pada Mark.

"Seluruh box montana itu ada di gudang penyimpanan wine milik tuan besar, di kediaman utama! Dia bilang, dia masih belum membuka isinya, jadi semuanya aman!" Terang Tae Oh sambil mengacungkan ibu jarinya puas kepada Mark.

Tapi sebaliknya. Mark malah memutar bola matanya malas saat mendengar eksistensi ayahnya disebutkan. Ini lebih merepotkan dari yang pernah Mark bayangkan.

Bagaimana, kemungkinan terburuk saja, bayangkan jika ayahnya membuka seluruh kardus kaleng montana-nya dan...

Menemukan ada bertumpuk-tumpuk ganja di dalam box itu.

Dan kira-kira, hal menyeramkan apa yang akan dilakukan oleh sang ayah saat tahu jika anak bungsu kebanggaannya ini ternyata diam-diam adalah seorang bandar narkoba?


Bisa kiamat dunia.

TBC

Terima kasih uda baca.

I love you 💕




























































































Continue Reading

You'll Also Like

72.8K 6.9K 30
Marsha Ravena baru saja diterima di salah satu perusahaan ternama, ia jelas sangat senang karena memang dari dulu itulah yang ia inginkan. tetapi kes...
37.5K 3.2K 69
#taekook #GS #enkook "Huwaaaa,,,Sean ingin daddy mommy. Kenapa Sean tidak punya daddy??" Hampir setiap hari Jeon dibuat pusing oleh sang putra yang...
35.5K 5.3K 34
Cerita tentang perjodohan konyol antara christian dan chika. mereka saling mengenal tapi tidak akrab, bahkan mereka tidak saling sapa, jangankan sali...
124K 1K 6
isinya jimin dan kelakuan gilanya