ANDROMEDA

By ssebeuntinn

223K 36.9K 15.7K

β€’ T E L A H T E R B I T β€’ Andromeda? Andromeda... nama galaksi? Atau nama seorang putri dalam mitologi... More

Intro
[Jovi] Antara Singgah atau Pergi - 01
[Jovi] Antara Singgah atau Pergi - 02
[Jovi] Antara Singgah atau Pergi - 03
[Aksa] Pameran Motor - 01
[Aksa] Pameran Motor - 02
[Aksa] Pameran Motor - 03
[Mario] Polaroid - 01
[Mario] Polaroid - 02
[Mario] Polaroid - 03
[Ardika] Seirios - 01
[Ardika] Seirios - 02
[Zidan] Dua Puluh November - 01
[Zidan] Dua Puluh November - 02
[Zidan] Dua Puluh November - 03
[Juna] Kaca Potret - 01
[Juna] Kaca Potret - 02
[Juna] Kaca Potret - 03
[Chandra] Rumah Tanpa Tuan - 01
[Chandra] Rumah Tanpa Tuan - 02
[Chandra] Rumah Tanpa Tuan - 03
[Bastian] Sebuah Batas - 01
[Bastian] Sebuah Batas - 02
[Bastian] Sebuah Batas - 03
EDISI ROOM TOUR
[Bayu] Distraksi - 01
[Bayu] Distraksi - 02
[Bayu] Distraksi - 03
[Delvin] Garis Akhir - 01
[Delvin] Garis Akhir - 02
[Delvin] Garis Akhir - 03
[Ardanu] Bait Aksara - 01
[Ardanu] Bait Aksara - 02
[Ardanu] Bait Aksara - 03
[Haikal] Satu Sisi - 01
[Haikal] Satu Sisi - 02
[Haikal] Satu Sisi - 03
[Joshua] Enigma - 01
[Joshua] Enigma - 02
[Joshua] Enigma - 03
[+] Lintas Jejak; Retak
[+] Lintas Jejak; Kontradiksi
[+] Lintas Jejak; Memori
Epilog; Jovi
Epilog; Aksa
Epilog; Mario
Epilog; Ardika
Epilog; Zidan
Epilog; Juna
Epilog; Chandra
Epilog; Bastian
PEMBERITAHUAN
VOTING COVER
PRA-PESAN NOVEL ANDROMEDA

[Ardika] Seirios - 03

4.3K 901 271
By ssebeuntinn



Selayaknya manusia rantau pada umumnya, ada saat di mana Dika mengalami masa kangen rumah selama berhari-hari. Hal tersebut membuat pikirannya menjadi sakit, terbayang-bayang sosok ayah dan ibu dengan intensitas lebih sering sangat membebani kegiatannya sehari-hari. Dika rindu masakan rumah, bukan masakan ibu warung pojok gang yang rasanya begitu-begitu saja. Dika rindu tidur di kamar rumah, bukan kamar kontrakan meskipun ruangannya sedikit lebih luas. Dika rindu burung peliharaan ayah yang menemani paginya ketika bangun tidur, bukan suara penghuni kontrakan yang berebut teh celup atau kopi saset untuk diseduh.

"Abang, pulang yuk. Gue kangen ayah sama ibu." Dika berujar tepat ketika handuk Danu dilempar ke sembarang arah oleh si empunya selepas membersihkan diri di kamar mandi lantai dua. Awalnya Danu hanya diam karena fokus pada ponselnya di atas nakas yang cahaya layarnya terus berkedip, sehingga Dika memutuskan untuk mengulang kalimat yang sama untuk kedua kali. "Abang, gimana? Pulkam yuk?"

"Lo yakin mau pulang?"

"Iya, yakin." Dika bangkit, menampilkan senyumnya yang merekah bak mentari yang baru terbit. "Cuti dulu kuliah. Entar gue ambil akhir pekan aja supaya skip-nya gak terlalu banyak."

"Gue mau aja, asal lo bilang ke mereka kejadian di hari kemarin."

Lalu Dika bungkam lagi seiring senyumnya yang pudar. Buat apa ayah dan ibu tahu? Bagi Dika masalah di hari lalu sudah terselesaikan dengan baik meskipun melalui bantuan Raya, Danu dan teman-temannya yang lain. Namun, siapa sangka Danu justru beranggapan terbalik?

"Dek, ibu telepon gue semalem dan beliau nanyain lo."

"Bukannya itu udah biasa? Beliau juga tanya lo kalau gue lagi telepon."

"Kali ini beda situasinya," tukas Danu semakin serius. Dia menarik kursi dan duduk di hadapan Dika yang termenung di atas kasur. "Ibu bilang beliau nemuin catatan kecil yang keselip di tempat tidur lo pas mau ganti seprai baru."

"Catatan apa?"

"Catatan lo pas masih SMP. Tentang keinginan lo buat kabur dari rumah dan berdoa supaya mati lebih cepat."

Jantung Dika terasa jatuh meninggalkan rongga dada, membuatnya sesak karena rasa panik yang tiba-tiba melanda. Dika pikir dirinya sudah hebat dalam menjalankan peran di dunia menggunakan topeng andalan, tapi siapa sangka penyamarannya akan terbongkar dengan cara yang gak terduga?

"Ibu bilang apa?" Sekali lagi Dika bertanya. Nada suaranya berubah menjadi parau. "Tapi ibu gak ada telepon gue."

"Ibu takut ganggu lo, takut lo malah tertekan karena selama ini menyimpan banyak rahasia. Lo pikir insting seorang ibu itu beneran gak ada apa gimana? Lo skeptis hal-hal kayak gitu ada?"

Faktanya Dika bukannya menepis anggapan demikian. Realita bahwa ibunya menemukan kertas lusuh yang bahkan Dika sendiri lupa kapan tepatnya itu ditulis membuatnya sangat terkejut. Usai sudah kini hal-hal yang Dika simpan rapat selama ini. Meskipun telah menjauhi berbagai kegiatan yang bisa memicu stres, siapa sangka pula hanya dengan ucapan Danu seperti ini mengundang kekhawatirannya kembali?

Dika merasa pening dan panik karena tangannya mulai mengeluarkan keringat dingin. Untuk apa dia mati-matian berjuang untuk berubah jika pada akhirnya ayah dan ibu tahu sisi buruknya yang seperti ini?

"Dek, rileks. Gak apa-apa. Orang tua lo bukan orang asing. Mereka juga berhak tau keadaan lo."

"Bilang sama ibu gue udah berubah."

Rasanya kenapa sesak banget?

Lalu yang bisa Dika lakukan hanya menangis karena gak bisa menghadapi napasnya yang mulai memberat. Dari semua daftar hal yang Dika takuti, mengetahui ibunya sadar akan perilakunya yang seperti ini ada di urutan pertama. Dika takut ibunya akan menanggung kesalahan dirinya sendiri dengan merasa gagal telah mendidik anaknya selama ini. Dika gak mau ibunya khawatir di saat Dika pamit untuk mengejar mimpi, justru yang Dika lakukan hanya menyakiti diri.

Danu menepuk bahu adiknya dengan tujuan membantu untuk menormalkan napas. Tatapan ibanya gak bisa disembunyikan. "Maaf... gue gak seharusnya nekan lo dengan langsung cerita ke mereka, tapi mereka juga berhak tahu, kan?"

"Ini kelihatannya simpel, Abang. Mudah dimengerti dan gampang dilakuin. Tapi sejujurnya gak sama sekali."

"Maafㅡ"

"Ada banyak tekanan yang gue dapat waktu lo bilang ibu tahu tulisan gue pas SMP." Dika terisak. Sisi lemahnya muncul dalam sekejap dan itu membuat usahanya selama ini terasa mulai sia-sia. "Meskipun itu tulisan udah lama, gue semakin merasa gak berguna sekarang. Ibu pasti mikir susah-susah besarin anak, tapi anaknya malah pingin mati. Ibu pasti juga mikir ada yang salah sama keluarga kita sampai-sampai gue kepikiran buat kabur. Nyatanya bukan itu yang salah, tapi gue lah kesalahan itu sendiri. Gue adalah sebuah cela di dalam keluarga."

Akan ada banyak orang yang mungkin akan menentang pemikiran Dika sekarang, termasuk Danu. "Gue capek banget sebenernya ngadepin tingkah lo."

Lihat, kan? Bahkan abang mulai lelah sama gue.

"Tapi balik lagi, ini juga tanggung jawab gue buat rangkul saudara gue sendiri di saat dia butuh. Gue tahu pikiran orang kayak lo complicated banget dan gue gak bisa mengeluh tentang itu. Tugas gue buat nuntun lo ke jalan semula, di mana lo bisa bebas dari bayang-bayang pemikiran negatif yang gak ada habisnya."

Hari ini Dika gak mau berdebat. Semua orang selalu mengatakan hal yang sama bahwa dirinya gak pernah sendiri, selalu ada mereka yang mendukung di segala sisi. Namun, mereka gak pernah mengerti situasi di mana Dika merasa selalu sendirian meskipun dia gak sendiri. Ketika ada orang yang memiliki anggapan berbeda, maka Dika akan kembali merasa kecil. Merasa seolah dunia gak pernah sejalan dan setuju untuk semua rencana yang sudah disusun.

Danu ingin Dika menjelaskan segalanya kepada ibu dan ayah, sedangkan Dika gak pernah mau melakukan itu.

Pertentangan batin sepele seperti inilah yang terkadang menjadi pemicu stres datang kembali.

Gue butuh waktu.

Gue gak bisa melakukan semuanya dengan instanㅡberubah menjadi sosok yang diharapkan dalam sekejap. Bagaimanapun psikis gue udah cacat, gak bisa kembali seperti semua dengan cepat.

Dika baru sadar, pengakuannya kemarin masih belum memuaskan untuk Danu. Padahal Dika butuh waktu untuk proses membuka diri secara penuh.

Dika melepas tangan Danu yang menggantung di pundaknya. "Lo tau? Dengan memberitahu seisi dunia pun gak akan pernah membantu gue berubah kalau gue gak dikasih waktu. Kenapa harus buru-buru kasih tau ibu? Gue bisa kokㅡ"

"Kok lo kesannya marah sama gue?"

"Lo maksa gue buat cerita ke ibu, Bang."

"Gue menyarankan itu juga buat kepentingan lo!" Danu mulai emosi. Baginya Dika kini bertingkah seperti anak kecil yang susah untuk diatur. "Dengan ibu tahu, lo akan semakin terbantu."

Bukan. Caranya gak gitu.

Pada akhirnya memang anggapan bahwa orang lain gak akan pernah mengerti itu benar adanya. Sejelas apapun kita menjelaskan apa yang kita pikirkan, selalu ada kontra. Mereka gak akan pernah memahami karena mereka gak ada di posisi yang sama. Jatuhnya sesi membuka diri seperti ini terkadang dianggap sebagai jalan buntu, bukan semakin membantu.

Danu meninggalkan Dika di dalam kamar setelahnya, membawa selimut lalu memilih tidur bersama Aksa di kamar paling ujung. Kini opini mereka tidak saling terkoneksi. Daripada menimbulkan keributan, lebih baik Danu menjauhi Dika sementara waktu supaya kembarannya itu bisa berpikir jernih. Danu ingin Dika totalitas dan mendapat bantuan sebanyak yang dia bisa dalam waktu sedekat mungkin, sedangkan Dika pikir semua yang berjalan membutuhkan waktu dan seharusnya gak perlu terburu-buru.

Dari pihak Dika sendiri juga diam, membiarkan Danu pergi tanpa perlu memintanya untuk tetap tinggal di kamar. Mereka terpisah sekat karena perbedaan pendapat. Awalnya hanya berlangsung satu malam di mana Dika tidur sendiri sembari menangisi kebimbangan hatinya, tetapi hingga satu pekan kemudian Danu tak kunjung kembali ke kamar. Mungkin sekali atau dua kali, itupun hanya untuk mengambil baju dan menyiapkan buku-buku kuliah. Setelah itu Danu akan pergi tanpa repot menyapa Dika yang ada di sana.

Dika merasa sakit lagi hingga mendorong kemauannya untuk menyakiti diri sendiri mulai kambuh.

Lucunya, tak ada satupun benda tajam yang ada di kamar.

"Abang masih peduli sama gue, ya?" Dika bermonolog dengan tatapan kosong ke arah langit-langit kamar. "Kenapa dia ambil semuanya, hm? Kenapa dia bersihin semua teman gue?"

Bibir Dika mulai meracau. Merasa gak ada lagi gunanya dia keluar kamar untuk menghabiskan hari seperti biasa. Dia gak pingin makan, apalagi pergi ke studio untuk rekaman Podcast bersama Raya. Minggu ini gak ada episode terbaru untuk Kisah Sang Sirius. Kosong dan mungkin ada di ambang batas untuk tutup akun. Dika berpikir dirinya gak sama seperti filosofi bintang sirius. Persetan dengan bersinar paling terang, Dika kehilangan lagi alasannya untuk terus bertahan hidup.



"Dek, turun."

Gak ada sapaan apapun dari Danu selama seminggu, kini suara saudaranya itu ada di balik pintu. Berbicara tanpa basa-basi dengan nada datar namun mengintimidasi. Dika bangkit dengan lesu meskipun hatinya menghangat seketika.

"Kalau lo nyuruh gue makan, gue gak mau."

"Turun."

Suara Danu penuh dengan tekanan. Selama ini selalu ada makanan di depan pintu kamar sejak Dika mengurung diri. Entah siapa yang menaruhnya di sana, Dika hanya akan memakannya sesuap sebagai bentuk menghargai usaha siapapun yang peduli padanya. Sisanya akan dibiarkan hingga makanan itu berganti yang baru sebanyak tiga kali setiap hari.

Dika mengusap wajahnya sesaat untuk menghilangkan sisa-sisa air matanya lalu membuka pintu. Danu sudah turun terlebih dahulu. Langkah demi langkah Dika lalui dengan berat hingga dia melihat sosok orang tuanya duduk di atas karpet bersama penghuni yang lain.

Raya juga ada di sanaㅡentah bagaimana caranya.

"Ibu?"

"Ardi sayang... anak ibu."

Ardi...

Bibir ibu Dika mulai bergetar seiring tangisan Dika semakin membuncah, namun Dika enggan mendekat. Memilih duduk di anak tangga terakhir dan menunduk, menenggelamkan kepalanya di antara sela kakinya yang tertekuk.

Dika malu. Kelemahannya dilihat oleh semua orang yang dia sayangi.

"Ibu sudah ke sini jauh-jauh. Kok Ardi gak mau ke sini?"

"Ibu gak tahu... gimana... Ardi kangen banget sama sebutan itu." Dika menegakkan kepalanya, melihat sosok ibunya semakin mendekat. "Ardi di sini sama abang... tapi rasanya kayak sendirian."

"Ardan gak benar-benar marah sama kamu, dia yang nyuruh ibu datang. Ardan yang jemput ibu di terminal."

"Abang gak bilang apa-apa."

"Gimana Ardan mau bilang? Kamu uring-uringan sama diri kamu sendiri tanpa ibu tahu selama ini kamu kesusahan seperti ini."

Rasanya sudah lama sekali sejak panggilan itu didengar oleh Dika. Gak ada orang lain yang memanggilnya dengan sebutan Ardi selain ibunya. Ini kali kedua pula semua penghuni kontrakan berkumpul hanya karena satu alasan; membantu Dika supaya lebih semangat menjalani hari.

"Kamu terlalu sibuk memikirkan reaksi orang lain ketika mereka tahu tentang kamu, tanpa pernah kamu coba memberitahu mereka terlebih dahulu." Ibu membelai wajah Dika yang kini terlihat lebih kurus. Jemari Dika yang panjang terlihat semakin panjang, ada kantong mata pula yang menghiasi wajahnya. "Kamu boleh ngeluh sama ibu. Apa yang kamu pingin, bilang sama ibu. Gak perlu ada acara kabur atau bikin diri kamu sendiri menderita kayak gini. Apa dengan kabur kamu pikir ibu akan baik-baik saja? Apalagi kalau kamu sampai... ibu gak bisa bayangin hidup ibu tanpa Ardi."

Mungkin selain egois, Dika menyadari bahwa dirinya begitu labil. Mudah terombang-ambing dengan berbagai macam situasi. Lagi, entah sudah yang berapa kali Danu membantunya untuk bangkit didukung dengan kehadiran teman-temannya yang lain.

Mau sampai kapan?

Mau sampai kapan Dika akan terus mengorbankan kepedulian teman-temannya?

Mau sampai kapan Dika berniat untuk berubah menjadi lebih baik tanpa dilandasi tekad yang kuat?

Bahkan hanya dengan berbeda pendapat dengan saudaranya sendiri bisa menimbulkan kekhawatirannya kembali, apalagi menghadapi masalah yang jauh lebih besar.

Faktanya, dunia berputar dengan cara yang kejam. Kamu lemah maka akan tertindas dan begitu pula sebaliknya. Dika ditindas oleh ketakutan akan anggapan orang lain, padahal menjadi sempurna di mata orang lain merupakan hal yang mustahil.

"Ibu sayang sama Ardi. Sayaaang banget sampai-sampai dulu ibu harus minum pil tidur waktu Ardi mulai merantau." Ibu semakin menguatkan pelukannya pada Dika, hingga si putra terisak dalam diam. "Bahkan walau Ardi sudah sebesar ini, kamu datang ke ibu dan minta ditemani tidur buat cerita banyak hal bakalan ibu turutin. Ardan kasihan sama kamu, nak. Kamu terus berjuang sendirian."

"Dika, lihat sini deh gue bawa apaan." Raya menginterupsi dengan cara yang gak biasa. Gadis itu menarik tangan Dika ketika bahkan pelukan dengan ibunya belum berakhir. Terlihat gak sopan, tapi memang pada dasarnya sudah cukup waktu sepekan untuk Dika merasa sedih. "Gue belajar nyanyi, nih. Dengerin dong, tapi jangan komentar apa-apa karena suara gue sumbang."

Gak hanya Raya, Zidan juga tiba-tiba sudah siap dengan gitarnya. Kaki Dika melangkah pelan, meninggalkan ibunya yang mengangguk dan masih duduk di anak tangga. Penghuni lainnya mulai mengeluarkan kertas gulungan yang jumlahnya sangat banyak. Mereka duduk secara berjajar sedangkan Danu berdiri di bagian belakang, masih diam seribu bahasa.

"Dika," panggil Raya sejenak. "Lo tau gak? Tiga hari yang lalu ayah gue meninggal."

"Rayㅡ"

"Gue jadi ngerasain gimana rasanya lo ada di titik terendah dalam hidup lo. Konteks masalah kita emang beda, tapi saat itu rasa-rasanya gue gak punya lagi alasan untuk hidup, seperti yang selalu lo bilang di hari lalu."

"Dik, dengan lagu ini gue harap lo bisa lihat ketulusan kita ke lo kayak apa. So, please stop... berhenti jadi orang lemah." Zidan tersenyum simpul lalu mulai menyiapkan penampilan perdananya bersama Raya.

Awalnya Dika kira ini hanya hiburan biasa dari mereka, tetapi ketika Aksa mulai membuka gulungan salah satu kertas, matanya mulai memanas. Di bagian tengah ada Chandra pula yang mengangkat kertas bertuliskan lirik lagu yang benar-benar membuat Dika membisu.



At some point in my life, I used to wish that I could disappear from this world.
The whole world seemed so dark, I cried every night.
Will my mind feel at ease if I just disappeared?
I was so afraid of everyone's eyes on me.

Dika menutup mata karena gak sanggup melihat teman-temannya memperlihatkan gulungan kertas yang di sana tertempel foto-foto kegiatan mereka di kontrakan. Bahkan ada foto-foto masa kecil Dika bersama Danu yang entah dapat dari mana. Semuanya disusun rapi memanjang dan jumlahnya ada puluhan lembar.

During those beautifully beautiful days, I was in pain.
I hate myself for not being able receive love.

My mom and dad, they're only looking at me.
This is not how I really feel, but I keep getting further away.

What should I do?

Tubuh Dika terasa menegang lantaran ada Danu yang mendadak memeluknya dari belakang. Seolah menekankan pernyataan mau sebesar apa lagi kasih sayang yang Dika ingin terima? Mau sejauh apa Dika terus menganggap dirinya tidak spesial?

The saying that time is medicine was really true for me.
As the days went by, I really did get better.
But sometimes when I'm too happy, I'm afraid I'll be in pain again.
I'm afraid that someone will take away my happiness.

Segalanya memburam bersamaan air mata Dika yang gak bisa ditahan. Lagu yang merepresentasikan masa peralihannya dari remaja menuju dewasa dinyanyikan oleh Raya yang juga sebenarnya ada di fase tidak baik-baik saja. Belum lagi teman-temannya yang masih memperlihatkan foto-foto berisi kenangan yang bahagia. Dika tertawa di sana dan hal ini menyadarkan Dika akan satu hal: gue yang menjauhkan diri dari mereka, gue lah yang menganggap mereka gak bakalan ngerti gue.

But still maybe I could be a bright light in this world.
Maybe after all of that pain, I could shine a light even it's short.
So I couldn't give up.
Because if I keep trying to stand up like this, I might be able to find myself.
How painful must it have been.
How much did I hope for it.

Tepuk tangan riuh memenuhi ruangan kontrakan yang berasal dari sorakan penghuni lain. Project yang katanya mendadak persiapannya dibuat sampai tengah malam akhirnya selesai. Bukan tentang hadiah yang mahal, penghuni kontrakan hanya ingin menunjukkan betapa mereka peduli satu sama lain dengan cara yang sederhana.

"Tanggung jawab lo, Dik, gue sampai diare gara-gara makan seblak tengah malem karena gak ada kedai makanan yang buka!" Haikal langsung tancap gas dengan mengomentari hasil jeri payahnya. "Sampai lo ngurung diri di kamar lagi, gue jamin kamar lo bakal gue kunci dari luar."

"Ah, Mas Haikal bisa diem gak, sih?" Chandra kini berucap, menutup mulut Haikal dengan lembaran kertas yang tersisa. "Ada ibunya Mas Dika, apa gak malu?"

"Ubi rebus tadi mana, ya?" Gantian Delvin yang menyela sambil mencari-cari sesuatu.

"Buat apaan, Vin?"

"Buat nyumpel mulut lo biar diem dikit. Berisik kayak gas bocor."

Lalu Haikal nyaris adu gulat bersama Delvin.

Dika mendekat ke arah Raya, memberikan satu sentuhan hangat pada telapak tangan gadis itu supaya mampu menghadapi peristiwa duka yang dialaminya. Raya gak banyak bicara hari itu. "Ray, mumpung ada ibu gue, nih. Gueㅡ"

"Heh? Apa ini lamaran?!"

"Sial gaspol amat!"

"Marahin, Bang Jov! Masa lo disalip!"

"Aksa aja belum apa-apa, masih gamon. Lo masih piyik udah minta restu?"

Haikal dan Jovi jadi melayangkan protes yang disambut dengan tatapan tajam dari Aksa. "Kok gue, sih?" Aksa jadi sedikit gak nyaman karena bahasan mantan bukanlah topik yang menyenangkan untuk dibahas.

"Ya, lo kan ditinggal kawin kemarin, kan?"

Bayu ikut menimpali. "Wow! Ada yang menusuk, tapi bukan jarum."

"Ada yang patah jadi remahan, tapi bukan wafer kalengan." Haikal tertawa dengan niatan mengolok-olok, tapi dia mendapat satu sentakan di kepalanya kemudian.

"Minggir kalian, jangan buka tontonan di sini." Ada kalanya Danu suka ketika Haikal dan kawan-kawannya bercanda, tetapi kalau bikin malu di depan orang tua beda lagi ceritanya.

"Kaku amat kek mi lidi." Haikal menggerakkan alisnya sendiri. "Ternyata ada yang mulai meledak-ledak, tapi bukan bom nuklir."

Akhirnya candaan Haikal berakhir saat Zidan mengambil alih. Muka Haikal mendapat sentuhan kantong plastik bekas wadah alat tulis.

"Aduh, kalian ribut jangan sampai pukul-pukulan, ya. Sana ke dapur, ibu ada bingkisan buat kalian satu-satu."

Sudah, jangan ditanya lagi. Semuanya memilih kabur ke arah dapur meninggalkan Dika, Danu, Raya dan ibu. Alih-alih beralasan rebutan makanan, sebenarnya mereka hanya melarikan diri supaya Dika bisa berbicara lebih terbuka antar sesama anggota keluarga.

Maka Dika melanjutkan kalimat. "Jangan dengerin kata anak-anak. Mereka cuman iseng."

"Tahu kok, Di."

"Mumpung ada ibu gue, noh sana. Katanya lo pingin ngerasain ngobrol sama ibu, jadi mumpung beliau ada di sini ngobrolnya sekarang aja, gak perlu nunggu gue ajak lo pulkam."

"Loh, beneran mau dikenalin, Dek?"

"Ibu Raya udah gak ada, Bang. Sekarang ayahnya juga gak ada. Dia pingin punya tempat cerita untuk ukuran orang tua dan anak."

Bagai dihantam oleh sesuatu, Danu langsung mengatupkan bibirnya. Dia kira pertemanan Dika dan Raya hanya sebatas itu-itu saja, tetapi ternyata jauh lebih dari itu. Melihat ibunya yang tersenyum samar, Danu tahu mungkin saja ada sinyal pertanda yang memancar.

Dika gak nyangka, ternyata ibunya membalas dengan ucapan yang terdengar melantur. Sepertinya Haikal telah menyebarkan virus kebobrokannya hanya dengan sekali bertemu.

"Kalau jadi mantu juga... Ardi mau gak?"

"Ibuuu!"

"Wooo! Gaslah, Dik! Jakendor!" Haikal sayup-sayup mendengar pembicaraan itu dari dapur menyahut dengan lantang.

Sumpah, Haikal kenapa, sih?!

Tanpa Dika sadari, meskipun ada banyak hal kecil yang membuatnya tersandung di tengah jalan yang ia tempuh, tapi juga ada banyak kebahagiaan kecil yang mampu membuat Dika mengukir senyum.

ㅡㅡㅡ














Fyi, di atas itu judul lagunya To My Youth cuman versi terjemahan inggrisnya ya hehe.

Continue Reading

You'll Also Like

35K 5.3K 12
[Completed] Ada alasan di balik semua keputusan yang seseorang ambil, termasuk keputusan seseorang untuk pergi. Ini kisah tentang sembilan pemuda yan...
Partiture By Ren

Fanfiction

44.6K 5.8K 60
Suatu hal yang tak ingin ku tau, tapi harus ku kuasai. Suatu hal yang tak ku suka, tapi terpaksa ku suka. Suatu hal yang mengubah kehidupanku dan sua...
46.2K 9.5K 35
Masalah bermula saat Pangeran Taehyun diculik tepat di hari besar perayaan ulang tahunnya yang ke-20. Ia lalu dibawa ke tempat terjauh dari Kerajaan...
3.4K 617 10
[i] perihal esksistensi rasa dalam saujana, ketika bumi raya terus melaju pada porosnya. ✧ NCT local au ft. κΉ€λ„μ˜ 'ΛŽΛ— ━©justaprtm 2O22 1 in #frasa [9/2...