Tanah Airku [SUMPAH PEMUDA]

By shanertaja

182K 33K 4.4K

[Dream World] 15+ Jika semesta membawamu kembali untuk melihat sejarah perjuangan bangsamu, lantas perubahan... More

Prakata
Prolog
2. Suasana Pagi
3. Tas Hitam
4. Kotapraja Batavia
5. Penyuka Sajak
6. Jong Java
7. Malang Raya
8. Keinginan Mas Arif
9. Kamu Percaya?
10. Mas Arif Kenapa?
11. Am I Wrong?
12. Bir Pletok Engkong Badar
13. Merdeka, Kata Terlarang
14. The Congress
15. Indonesia Raya
16. Bioscoop
17. Mijn Schatje
18. Believe Me, Please
19. Apa Wetonmu?
20. Perempuan Lain
21. First Love
22. Pergundikan Hindia Belanda
23. Everything Has Changed
24. Aku Mencintaimu!
25. Kekhawatiran di Kala Senja
26. Gugur Bunga
27. Bittersweet Memories
28. Kamu dan Kenangan
Epilog
[extra+] Gadis dari Masa Depan (Mas Arif's POV)
[extra+] Is It Real?
[special chapter] On The Wedding Day
Acknowledgements & QnA
Hey! Mind To Open It?
Kamu Mau Jadi Penulis?

1. Satu ... Dua ... Lari!

10.2K 1.4K 161
By shanertaja

Batavia, 1928.

Dengan perasaan terheran-heran, aku ikut berlari mengikuti laki-laki itu karena tanganku masih ditarik olehnya. Kami bersembunyi dibalik sebuah gedung tua berwarna putih. Menurut perkiraanku, tempat ini adalah sebuah gereja.

"Kenapa kita ke sini?" tanyaku pada laki-laki itu.

Ia menempelkan jari telunjuknya di mulutku, menyuruhku untuk diam. Aku pun mengangguk dan memilih untuk menuruti perintahnya.

Tak lama kemudian, sebuah suara menggema. Laki-laki di sebelahku itu berdecak, raut wajahnya terlihat kesal. Tiada hentinya ia mengucapkan kata-kata umpatan. Hingga akhirnya, suara yang menggema tadi tidak lagi terdengar olehku.

"Itu tadi suara apa?" tanyaku kepadanya.

"Itu tanda kalau Belanda akan mengadakan patroli yang dilakukan tiap bulan."

"Patroli? Belanda? Apa maksudnya?" Aku memandanginya kebingungan.

"Iya, Belanda selalu mengadakan patroli tiap bulan untuk menekan perlawanan dari kami. Mereka sengaja melakukan patroli untuk menunjukkan kekuasaanya di Batavia ini," terang laki-laki itu.

"Oh ya, omong-omong, namamu siapa?" lanjut laki-laki itu.

"Namaku Lana Dian Puspita, panggil saja Lana. Usiaku 17 tahun," jawabku sembari mengulurkan tanganku.

Ia menerima uluran tanganku dengan menggunakan tangan kanannya. "Aku Arif Surata. Umurku 22 tahun. Kamu berasal dari mana? Sepertinya kamu bukan penduduk asli sini, ya?"

Aku menelan ludahku, tak tau harus menjawab pertanyaannya bagaimana. "Aku ... aku gak tau harus menjawab apa."

Laki-laki bernama Arif itu menatap bingung ke arahku. Alisnya bertautan. "Kamu bukan centeng, kan?!"

"Hah? Centeng itu apa?" balasku yang tak tahu-menahu tentang centeng.

"Centeng itu mata-mata Belanda. Masa kamu gak tau?" jawabnya.

Aku menggeleng. "Aku gak tau, dan aku baru tau setelah kamu menjelaskannya. Oh iya, ini beneran tahun 1928?" tanyaku memastikannya lagi.

"Iya, tahun 1928. Kamu baru saja jatuh dari langit, ya? Kok kamu bisa-bisanya tidak tau ini tahun berapa? Dan kamu pun tidak tau sekarang kamu ada di mana?"

Aku kembali menggeleng atas ucapannya. "Aku beneran gak tau. Tapi, tadi kamu bilang ini di Batavia tahun 1928? Berarti aku masih di Jakarta, kan?"

Wajahnya jadi terlihat semakin kebingungan. "Kamu bicara apa sih? Aku gak paham dengan ucapanmu."

Lagi-lagi aku menggelengkan kepalaku, memilih untuk mengakhiri obrolan ini dengan mengalah. "Gak, lupakan aja."

Aku mengedarkan pandanganku, melihat-lihat situasi dan kondisi yang ada di sini. Bangunan di sini terlihat sangat mirip dengan bangunan pada masa kolonial. Oh tunggu--  apa aku baru saja terlempar ke masa lalu?

"Mas Arif, aku boleh tanya?"

Mas Arif menolehkan kepalanya ke arahku. Matanya memicing, mungkin karena aku baru saja memanggilnya dengan sebutan 'Mas'. "Tanya apa?"

"Aku lagi mimpi atau enggak, sih?"

Tangan Mas Arif bergerak menyentuh kepalaku, ia menempelkan tangannya di dahiku, kemudian mengangguk-angguk. "Suhunya normal, ku pikir kamu sedang sakit makanya jadi bersikap aneh."

"Hah? Maksudnya?" tanyaku yang tak paham dengan ucapannya.

"Gak, lupakan saja."

IHHH APA SIH???

Sebuah derap langkah terdengar, Mas Arif memasang wajah was-wasnya. Dalam hitungan tiga detik, tanganku kembali ditarik olehnya. Kami berlari memutari gereja ini, dan dapat aku dengar derap langkah seseorang tengah mengikuti kami.

"Mas! Itu siapa yang mengejar kita?" ucapku sambil berlari.

"Nanti aku jelaskan, sekarang kita lari dulu!"

Masih dengan posisi tangan yang ditarik olehnya, aku memaksakan kakiku untuk berlari lebih cepat. Nafasku mulai terengah-engah akibat berlari.

Kami berhenti berlari ketika telah sampai di halaman sebuah rumah kecil. Mas Arif mengajakku masuk ke dalam rumah yang menurutku lebih terlihat seperti gubuk tua.

"Lana, ini rumahku," kata Mas Arif sembari menaruh berkas-berkas yang ia pegang tadi di atas sebuah meja.

Oke, aku menarik kata-kataku kembali. Rumah ini tidak terlihat seperti sebuah gubuk tua. Rumah ini hanya terlihat sederhana, ya sangat sederhana.

"Kamu mau minum apa?" tanya Mas Arif.

"Air mineral saja," jawabku sambil melihat-lihat isi rumah ini.

Jujur, aku masih tidak mengerti dengan situasi ini. Apa aku baru saja mengalami time travel? Jika iya, itu berarti sekarang aku benar-benar terlempar ke tahun 1928?

Lamunanku buyar saat Mas Arif menaruh segelas air mineral di hadapanku. Ia tersenyum manis dengan tatapan teduhnya. "Ini, diminum ya," katanya.

Aku meraih gelas yang ada di hadapanku itu, kemudian meneguknya. Air ini terasa sedikit berbeda dengan air mineral yang biasa aku minum.

"Kenapa?" Mas Arif bertanya sambil menatapku. Mungkin ia sadar kalau aku baru saja membuat raut wajah yang sedikit aneh.

"Air ini berbeda dengan air di rumahku."

"Berbeda apanya? Bukankah semua rumah di sini menggunakan air sumur yang dimasak untuk minum?"

Hampir saja aku menyemburkan air ini setelah mendengar ucapan Mas Arif. Pantas saja rasanya berbeda, ini air dari sumur! Ya walaupun seharusnya air ini sudah bersih dan steril karena telah dimasak, tapi tetap saja rasanya aneh bagiku.

"Air di rumahku tidak perlu dimasak," kataku sembari meletakkan gelas itu di atas meja.

"Kamu minum air mentah?!" tanya Mas Arif setengah berteriak.

Aku menyilangkan kedua tanganku. "ENGGAK! Aku minum air dari galon."

"Galon? Apa itu?"

"Hmm ... kamu gak tau galon?"

"Gak, aku gak tau. Galon itu apa?" tanya Mas Arif lagi.

"Galon itu ya galon. Aku gak tau harus menjelaskannya bagaimana."

Mas Arif menatapku bingung, ia lalu menggelengkan kepalanya. "Kamu aneh, dari tadi pembahasaanmu sungguh membuatku bingung. Jangan-jangan kamu ini manusia dari masa depan, ya?!"

Aku membuka mulutku lebar-lebar, gotcha! Tebakannya tepat sasaran! Baru saja aku hendak mengiyakan ucapannya, tetapi Mas Arif kembali melanjutkan ucapannya, "HAHAHA aku bercanda, mana mungkin kamu dari masa depan, kan? Aku hanya asal bicara saja, kok,"

Sialan, padahal aku hampir saja mengiyakan ucapannya tadi. Benar-benar membuatku jantungan saja!

"Rif? Ada tamu?" tanya seorang wanita yang aku perkirakan berusia 50 tahun itu.

"Iya, Bu. Tadi Arif nemu di jalan."

Aku melotot saat Mas Arif berkata demikian. Nemu di jalan? Memangnya aku anak kucing?

Aku hampir memprotes ucapannya, tapi setelah aku pikir-pikir, tidak ada yang salah dengan ucapannya. Toh, aku memang ditemukan di jalanan olehnya, kan?

"Siapa namanya? Manis ya," ucap Ibunya Mas Arif.

"Nama saya Lana, Bu," jawabku sesopan mungkin. Aku memberikan senyum manisku kepada beliau, membuat Mas Arif tertawa kecil melihatku.

"Ibu adalah Ibunya Arif, panggil saja Bu Surnani. Nak Lana rumahnya di mana toh?"

"Gak punya rumah dia, Bu," sahut Mas Arif sembari menatap ke arahku.

"Loh, gak punya rumah gimana, Rif?" Sang Ibu memasang raut wajah terkejutnya.

Mas Arif mengangkat bahunya. "Gak tau, tadi Arif tanya dia gak mau jawab."

Aku menelan ludahku, bingung harus menjawab pertanyaannya bagaimana. "Saya lupa di mana rumah saya, Bu," kataku kepada mereka. Persetan dengan jawaban gak masuk akal ini, aku tidak tau harus menjawab apa!

"TUH KAN! KAMU INI ROMBONGAN YANG DIKIRIM BELANDA YA?" teriak Mas Arif sambil menunjukku.

"BUKAAN! AKU BUKAN ROMBONGAN BELANDA!" jawabku tak terima dengan tuduhannya.

"Hmm ... terus kamu siapa? Kamu bersikap aneh sejak awal pertemuan kita, Lan."

Masa aku harus mengaku ke Mas Arif kalau aku dari masa depan, sih? Ia pasti tidak akan percaya! Huft, lebih baik aku berpura-pura lupa ingatan saja deh. Eh, tapi kalau aku berpura-pura lupa ingatan lalu sama Tuhan dibuat jadi kenyataan bagaimana? Kan ucapan adalah doa?!

Nah kan, aku jadi bingung sendiri sekarang.

"Lan? Kok bengong?" Mas Arif menggerak-gerakkan tangannya di depan wajahku.

"Eh? Gak tau, Mas. Aku gak ingat rumah dan keluargaku. Yang aku ingat hanya namaku ...." ucapku berbohong kepadanya.

"Aduh, kasihannya Nak Lana. Ya sudah, tinggal di sini saja ya, Nak?" ucap Bu Surnani kepadaku.

Baik aku maupun Mas Arif terkejut mendengar ucapan beliau. Mas Arif kemudian menarik nafasnya dalam-dalam, lalu berkata, "Bu, yakin toh mau ngajak Lana tinggal di sini?"

Bu Surnani mengangguk. "Iya, Nak. Ibu yakin. Lana anak baik-baik, kok. Ibu percaya sama Lana."

Wah, aku terharu mendengar ucapan beliau. Sepertinya aku bisa memanfaatkan tawaran dari Bu Surnani sembari mencari cara untuk kembali ke masa depan nanti.

"Ya sudah deh kalau Ibu mau Lana tinggal di sini, Arif bisa apa kalau Ibu sudah berkata?" ucap Mas Arif sembari melepas pakaian atasannya.

Aku reflek menutup mataku, tak lama kemudian aku mendengar suara tawa dari Mas Arif. "HAHAHA Lana, kamu kenapa menutup mata? Kamu pikir aku mau memamerkan tubuhku di hadapanmu?"

Sialan! Mas Arif berhasil membuatku malu di depan Bu Surnani. Aku menundukkan wajahku dari hadapan mereka. Aku pikir, Mas Arif tidak memakai dalam pakaiannya, ternyata ia memakainya. Huft, hampir saja mataku ternodai olehnya.

"Nak Lana nanti tidur bareng Ibu, ya?" ucap Bu Surnani.

"Lah, nanti Arif tidur di mana, Bu?" kata Mas Arif sembari menatap Ibunya.

"Arif tidur di sini saja, biar Lana yang tidur sama Ibu."

Ah, rupanya di rumah ini hanya ada satu kamar tidur. Biasanya, Mas Arif tidur bersama dengan Ibunya. Tapi sepertinya mulai malam ini ia harus tidur sendirian di ruang tengah ini. Aku jadi merasa sedikit bersalah pada Mas Arif, tapi sepertinya laki-laki itu tidak mau mengambil pusing keputusan Bu Surnani tadi.

"Lana, ayo Ibu antar ke kamar," ajak Bu Surnani kepadaku.

Kini aku tengah berada di kamar milik Bu Surnani. Kamar ini benar-benar sangat sempit! Ukurannya hanya seperempat luas kamarku di masa depan. Hanya ada sebuah kasur dan lemari di kamar ini.

"Bu, ini gak apa-apa kalau Lana tinggal di sini?" ucapku yang merasa sedikit tidak enak kepada beliau.

"Tidak apa-apa kok, Nak. Biar Ibu ada yang menemani di sini. Arif itu selalu saja pergi kalau matahari sudah terbit, pulangnya selalu malam hari. Ibu jadi kesepian di rumah," ucap Bu Surnani.

Aku jadi kepikiran, memangnya ayah Mas Arif kemana? Kok Bu Surnani sendirian?

"Suami Ibu sudah gak ada, Nak. Sudah ditembak mati sama KNIL," terang beliau seolah mampu membaca isi pikiranku.

Ah, KNIL ya? Aku pernah mendengarnya! Seingatku, KNIL adalah singkatan dari Koninklijk Nederlandsch-Indische Leger atau Tentara Kerajaan Hindia Belanda. Semacam pasukan tentara yang ditugaskan untuk menjaga kedaulatan Belanda di tanah Indonesia.

"Nak Lana istirahat ya, hari sudah mulai gelap," kata Bu Surnani sembari merapihkan kasur yang akan kami tiduri.

"Iya, Bu. Terima kasih, ya."

"Oh ya, Nak, jangan terlalu dipikirkan, ikuti saja alurnya," ujar Bu Surnani sebelum beliau meninggalkanku sendirian di kamar ini.

Jangan terlalu dipikirkan, ikuti saja alurnya. Apa maksudnya?

📃📃📃

author's note:
hai guys, ini baru chapter 1 tapi aku udah bikin author's note HAHAHA. ok jadi aku mau jelasin sedikit tentang centeng dan KNIL.

nah, centeng itu awal mulanya adalah sebutan untuk orang yang bertugas menjaga gudang tempat menyimpan hasil bumi perkebunan pada abad ke-17. sebutan ini diambil dari serapan bahasa Hokkien. lalu seiring dengan berjalannya waktu, sebutan ini memiliki artian lain seperti seorang mata-mata, informan, atau bahkan pengawal pribadi para tuan tanah dan meneer Belanda.

kalau KNIL, seperti yang dijelaskan dalam cerita adalah Tentara Hindia Belanda yang bertugas menjaga kedaulatan Belanda di Indonesia. pasukan KNIL pada umumnya didominasi oleh masyarakat asli Indonesia, bukan warga Belanda. mereka yang menjadi bagian dari KNIL adalah tentara sewaan atau bayaran Belanda. nah, KNIL juga merupakan cikal-bakal berdirinya TNI di Indonesia.

itu aja deh buat author's note kali ini hahaha. maaf yaa aku menghilang beberapa hari belakangan karena aku kena writer's block guys :)) semoga kedepannya bisa rajin update kayak Another Time [MAJAPAHIT] ya wkwk.

see u on the next chapter! <3

-shanertaja

Continue Reading

You'll Also Like

677K 32.2K 44
"Anjing sekali everybody, yakali gue tidur langsung beda dunia" Bagaimana jadinya seorang Queena Selvi Dealova Kenward jiwa masa depan bertransmigras...
1.3K 63 143
Setiap yang bernama adalah yang berwujud. Setiap nama pula adalah hidup. Selama yang menyandang masih berpijak, selama itu pula namanya berkumandang...
58.1K 3.9K 6
Batavia, 1941 Seorang wanita pribumi tak sengaja bertemu dengan seorang mayor prajurit Angkatan Darat Belanda di kawasan Balai Kota Lama di Oud Batav...
Shades Of Twilight By Jeah

Historical Fiction

695K 59K 15
Semua orang tahu tentang dongeng Roro Jonggrang dan Bandung Bandawasa. Dan semua orang juga tahu bagaimana akhir kisah mereka. Tetapi pada kenyataann...