Memories and Salvation ✓

By anitaana13

11K 2.6K 641

Harvleon, putra tunggal keluarga Alvonsio, terdesak oleh syarat dari keluarganya di Perancis yang mengharuska... More

Untuk...
Alvonsio
01. Absinthe untuk Gadis yang Malang
02. Calon Duda Alvonsio
03. Mr. Coercer (Si Tuan Pemaksa)
04. Harapan Akhir Maret
06. Menyebalkan yang Manis
07. Memories (Ingatan)
08. Ruang Televisi di Lantai Atas
09. Salvation (Keselamatan)
10. Hari Paling Sialan
11. California
12. Kerabat yang Mengejutkan
13. Wanita Sejuta Dolar
14. Masa Penyembuhan
15. Friendship Goal
16. Guten Abend dan Seranjang Mawar
17. Elemen yang Egois
18. Fashion Show Paling Merugikan
19. Insiden
20. Gadis Itu Telah Menaklukkannya
21. Emerald Lain di Balik Kacamata Hitam
22. Charlotte Regen Whitelady
23. Terima Kasih
24. Kedatangan Paling Mencengangkan
25. Rumah Rahasia Hutan Schlieswig-Holstien
26. Di Balik yang Terlihat
27. Mozaik Penjelasan
28. Kematian Terencana dalam Siasat Mulus
29. Identitas Fuchser
30. Savy dan Leo

05. Seminggu Bersama Alvonsio

354 104 45
By anitaana13

Hard Rock Hotel Daytona Beach, Florida

Aroma seperti grapefruit yang feminim menyapanya ketika Harvleon bangun. Ranjang kamar president suite hotel itu sangat nyaman. Selimut keemasan membalutnya bagai sutra, membuatnya tak rela jika harus segera beranjak. Tetapi bukan Harvleon namanya jika tergiur begitu saja. Ia terbiasa bangun pagi dan menjalankan segala aktivitas terutama yang berhubungan dengan bisnis. Dia sendiri hampir melupakan kalau dirinya sedang mengambil cuti untuk liburan dengan Sharon.

Wait... di mana wanita itu?

Harvleon spontan bangkit untuk mengecek setiap sudut kamar. Nihil. Ia menyibak gorden dengan kasar, di luar juga tidak terlihat sosok wanita itu. "Sial!" Harvleon berkata kesal. "Kabur?"

Ia keluar dari kamar hotel masih memakai kaos oblong dan celana drawstring pendek yang ia pakai untuk tidur. "Lex, kau melihat Sharon?"

Alexie baru saja selesai membayar tagihan di restoran ketika Harvleon menelepon. "Terakhir kali saya bertemu dengannya di lobi," jelas Alexie melalui ponsel. "Nyonya bilang dia ingin keluar jogging di pantai."

"Killian bersamanya?" Harvleon mulai resah.

"Nyonya melarangnya. Dia bilang Tuan sudah menunggu di luar sambil menunjuk seseorang--"

Terdengar hembusan nafas kasar sebelum pria itu mengumpat, "Sialan!" Sambungan diputus sepihak oleh Harvleon.

Alexie menatap heran ponselnya. Ia berpikir sejenak sampai menyadari suatu kemungkinan--yang jika kemungkinan itu benar maka hanya berujung ia harus mengucapkan selamat tinggal pada pekerjaannya.

"Sial!" ia memaki dirinya sendiri dan segera berlari.

Harvleon menendang pintu lift yang tak kunjung terbuka. Sekonyong-konyong membuat kesimpulannya sendiri. "Jadi ini alasannya memilih Daytona daripada Breaker Palm? Berusaha kabur lagi? Dasar wanita sialan!"

Ini akan jadi percobaan kabur yang ketujuh gadis itu--jika dia memang kabur. Tentu peluangnya lebih besar mengingat penjaga yang disewa Harvleon hanya setengah lusin.

Merasakan kejengkelannya, Harvleon membenci keharusannya mempertahankan Sharon dari hal yang tidak diharapkan. Yang ada di pikirannya adalah reputasi. Media akan mengabarkan berita miring tentang kehidupan Alvonsio, mereka pernah mengalaminya. Apa yang akan publik katakan jika seorang istri Harvleon Alvonsio pergi hanya setelah 3 minggu pernikahannya? Alvonsio inilah... Alvonsio itulah... Sangat kontroversial. Selain itu, ia tak kuasa menyakiti hati ibunya. Ia mengingat bagaimana binar di mata Felicity saat melihat anaknya menikah. Harvleon tak pernah berurusan dengan perasaannya selain dengan wanita itu.

Alexie menyuruh pasukan keamanan Harvleon untuk menyisir pantai dan jalanan sekitar hotel. Dalam kegelisahan yang tak ia kehendaki datang, ia sendiri juga ikut mencari sang nyonya merepotkan itu.

Harvleon menunjukkan foto Sharon kepada resepsionis dan menanyakan apa dia melihatnya. Resepsionis itu mengiyakan.

"Apa yang dia pakai?"

"Dia memakai jaket biru, celana legging sport, dan sepatu," jelas resepsionis itu.

Dengan pakaiannya memang meyakinkan kalau dia ingin pergi jogging. Tapi juga tak menutup kemungkinan dia kabur. Harvleon berterima kasih pada wanita resepsionis dan memanggil Killian.

Ia berulang kali mengumpat saat Sharon tak kunjung mengangkat teleponnya. Harvleon turun tangan sendiri mengecek area pantai bersama Killian. Beberapa penjaganya dan Alexie terlihat berlarian di pantai itu.

Beberapa menit mencari tanpa hasil, mereka beralih menyusuri daerah perbelanjaan, seperti pasar. Sudah pasti mereka menjadi objek pengamatan para wisatawan dan penjual di pasar itu, apalagi Harvleon yang menjadi selebritis belakangan ini. Berita pernikahan mendadak itu gempar di seluruh Amerika Serikat.

Seorang gadis yang memegangi es krim rasa kopi terkejut dan heran saat dirinya dihadang sekelompok algojo yang nyaris menakutkan. Gadis itu adalah Sharon, baru saja keluar dari kedai dessert. Ekspresi polosnya berbanding terbalik dengan pria yang memandangnya dengan resah, khawatir, sekaligus kesal.

Namun, atensi pria itu sedikit teralihkan dengan Sharon yang memakai bralette sport putih--apa kata resepsionis tadi! Setiap kain pakaiannya menempel ketat di tubuhnya bagai cat. Jaket ternyata telah ia lilitkan pada lekukan mulus pinggangnya, dengan lengan jaket yang disimpulkan secara rapi.

Harvleon tak bisa menahan diri untuk tidak memperhatikan. Keramaian pasar tersapu habis dari pikirannya karena penampilan tak terduga yang diperlihatkan oleh Sharon. Ada kebanggaan aneh masuk ke kepala Harvleon, bahwa ia yang membelikan setiap set pakaian wanita itu, dan ia merasa tak akan menyesalinya. Terutama pakaian simpel ini.

Dan ngomong-ngomong simpel, bralette itu terlihat lebih menggiurkan karena pemiliknya berkeringat.

"Selamat pagi, gentleman."

Harvleon mendapatkan kesadarannya kembali. Memasang tampang sok paling benar untuk menyembunyikan kalau dirinya baru saja tergoda dengan penampilan Sharon. "Ke mana saja kau?"

"Aku sudah bilang pada Alexie kalau aku pergi jogging."

"Apa kau tak bisa hidup sehari saja tanpa membohongi penjagamu?" kata Harvleon. "Kau mengatakan aku sudah menunggumu."

Sharon menyipitkan mata. "Menurut pengamatanku, yang kau lakukan adalah mencoba membuatku tidak hidup. Dan ya, apalagi yang harus kukatakan? Aku butuh hiburan. Asal tahu saja, Harvleon, aku belajar keegoisan dari dirimu."

Harvleon memutar matanya. "Well, kau mendapatkan itu, Sayang. Jadi sekarang ayo kembali!"

"Tidak mau," balasnya ketus.

"Apa lagi sih, Sharon?"

Sharon sengaja menyendok es krim ke mulutnya seakan tak terjadi apa pun untuk membuat Harvleon kesal. "Aku mau jalan-jalan," ucapnya santai. Sebelum Harvleon sempat mengomentari, ia menambahkan dengan sinis, "Aku akan senang jika kau tidak ikut, Sir."

"Aku lebih senang kalau kau tidak senang," balas pria itu.

Harvleon menyuruh para penjaganya untuk kembali ke hotel. Alasan sebenarnya memang konyol, tapi dia tidak mau orang lain menyaksikan keindahan lekuk tubuh Sharon.

Apa ini? ia membatin. Ah, tidak! Mana mungkin aku menyukainya? Aku hanya menyukai tubuhnya.

Harvleon akhirnya menemani Sharon untuk melihat-lihat pasar itu. Walau sebenarnya Sharon lebih suka melakukannya sendirian. Ia risih saat setiap orang menatap mereka di sepanjang jalan. Ia harus menyadari kalau Alvonsio sangat terkenal. Bahkan pernikahan mereka saja dipenuhi sorotan blitz.

***

"Itu apa?" Sharon melihat sebuah keramaian di pantai.

"Apamaksudmu?" kata Harvleon samar di dalam mulutnya yang masih dipenuhi daging sapi panggang.

Sharon mendengus--reaksi itu nyaris menjadi otomatis. "Habiskan dulu makananmu," katanya jengkel, "baru bicara!"

Mereka memang selalu begitu sejak seminggu lalu. Menghabiskan waktu makan bersama di resto hotel. Meja-meja lainnya sangat kental dengan suasana romantis, lain halnya dengan meja 13 milik pasangan Alvonsio itu. Sharon sudah menyiramkan 4 gelas minuman ke kemeja Harvleon selama ini, lalu pergi begitu saja dengan bersungut-sungut.

Harvleon menelan makanan, sambil bertanya-tanya dalam hati pada hitungan berapa wanita itu akan menyiramnya. Dia sendiri kesal dengan perubahan sifat Sharon. Ia menjadi sangat bawel dan menyebalkan setelah menikah. Padahal wanita itu awalnya sangat penurut dan manis. Harvleon awalnya berpikir bahwa dia akan mudah dipengaruhi, maka tak ada salahnya menikahi Sharon. Tapi yang ada justru semakin menyusahkan.

"Hm, apa?" tanyanya ketus.

Sharon menjentikkan jari sambil meneruskan. "Kaulihat kerumunan di pantai itu? Mereka sedang apa?" Harvleon berpaling ke sana. "Sepertinya asyik."

"Tidak!" Harvleon tidak mau repot-repot menyembunyikan rasa tidak sukanya. Itu adalah pesta penuh laki-laki lapar yang minum-minum sampai teler. "Jelas itu bukan hal yang akan aku biarkan saja, Nyonya Banyak Alasan. Aku tidak mau kau ke sana. Aku tidak mau kau ke... kabur."

Hampir saja Harvleon mengucapkan kenapa-napa--yang artinya dia mengkhawatirkan Sharon. Tapi ia terlalu menjunjung gengsinya di depan gadis itu.

Untunglah Sharon tidak menyadari kejanggalannya. Terima kasih pada kemarahan wanita itu sendiri. Harvleon mengerjab dan berpaling ke makanannya yang menjadi tidak menarik. "Berhentilah mencoba menghancurkan liburan ini."

Sharon menyipitkan mata. "Kausebut ini liburan? Liburan macam apa saat aku harus terkurung dalam hotel sialan ini berhari-hari, bersamamu pula? Aku muak, Harvey!"

Harvleon menjatuhkan pisau dan sendok garpu di piringnya. "Kenapa kau kiddy sekali, hah?" Rasanya jijik mendengar panggilan terkutuk itu. "Baiklah kalau itu maumu, pergi sana!"

Sharon menghentakkan kakinya, tak terlewatkan sambil mendengus keras-keras. Gerakan yang tidak anggun. "Aku memang ingin pergi. Kau sendiri yang mengusirku kan, Tuan Alvonsio?"

Harvleon mengikuti punggung Sharon yang semakin menjauh dengan mata russet-nya. Awalnya, ia menduga dengan mengaitkan embel-embel hubungan pernikahan akan menjadikan Sharon budaknya. Tapi justru ia sendiri yang selama ini terpaksa menuruti permintaan konyol gadis itu. Siasat yang bagus sekali, pikir Harvleon. Gadis manja itu sedang berupaya membuatku menyesal? Coba saja, jalang!

"Apa perlu seseorang untuk mengikutinya, Sir?" Alexie menawarkan dengan hati-hati sambil mencondongkan tubuh.

Harvleon menggeleng. "Biarkan saja. Aku lelah." Alexie kembali tegak ketika ia berpikir sejenak sebelum kembali bertanya, "Apa kau sudah menemukan identitasnya?"

"Belum. Suruhanku sudah men-scan semua data di Inggris dan Irlandia, tidak ada yang cocok dengan wajah Nyonya Sharon."

"Baiklah. Perluas hingga semua Eropa!" Ia murung sebentar, lalu berkata pelan dalam Italia, "Aku mulai muak melihatnya di Amerika."

***

"Oh, sial!" Sharon lupa mengganti sepatunya dengan sandal, sehingga heels tinggi itu tenggelam dalam pasir pantai.

Sharon melepas sepatunya. Membiarkan pasir dingin menggelitik kakinya yang telanjang. Dia berkeliling sebentar. Kata salah seorang warga setempat, itu adalah pesta tahunan yang diadakan warga dekat pantai setiap hari Selasa di minggu kedua bulan Mei.

"Pesta umum," katanya, wanita muda berambut merah dengan mata hijau yang berseri-seri. "Tak begitu Amerika. Ada banyak sea food dan barbeque. Dan, tentunya, bir gratis."

Beberapa pria sedang melakukan gulat air. Aneh rasanya melihat orang-orang itu adu kekuatan di air laut yang pastinya dingin. Sharon sendiri merasa dingin dalam gaun tanpa lengannya. Walau ini musim panas, tapi udara di pantai itu masih terasa dingin.

Seorang pria tiba-tiba sudah berada di sampingnya. "Minum?" tawar pria itu.

Sharon sebenarnya tak berminat, tapi tak ada salahnya juga. Ia menerima segelas bir dari pria itu. Hitung-hitung untuk mengurangi rasa kesalnya.

"Apa kau sendirian?"

Sharon bergumam ragu. Apa dia perlu mengatakan kalau dia bersama seseorang? Ia tidak mau kalau ini jadi canggung setelah ia tahu kalau yang ia ajak bicara adalah wanita bersuami. Jadi, dengan kejengkelan yang muncul karena mengingat Harvleon lagi, ia menjawab, "Iya."

Pria itu mengangguk seraya meneguk habis minumannya, Sharon melakukan hal sama. Mereka berkenalan, menawari Sharon lebih banyak minum, mengajaknya mondar-mandir di area pesta, dan membicarakan banyak hal. Jauh lebih asyik daripada terkurung dalam hotel mewah itu. Sang pria mengenalkan dirinya sebagai Alan Sciama.

"Sebentar lagi adalah kesukaanku," kata Alan.

Setelahnya, letupan kembang api menderu menghiasai langit. Sharon terpukau, dan senyumnya otomatis merekah. Siapa pun yang melintas dan melihat ke arahnya niscaya menganggap wajahnya menggemaskan.

Keterkejutan menohok Sharon saat tubuhnya ditarik paksa oleh Alan. Pria itu kini memaksakan bibirnya pada Sharon.

"Lepaskan aku!" jeritnya sambil mencoba mendorong tubuh Alan.

Pria itu justru semakin menjeratnya. "Ayolah, bukankah kau juga menginginkanku?"

Apakah aku? batin Sharon. Detik itu seolah memanjang jadi jam. Sharon bertanya-tanya sendiri dalam hati. Keterkejutan tadi memukul-mukul di jantungnya, takut sekaligus ada hasrat yang tak pantas berdetak di sana. Ada yang seolah mencuri kewarasan di otak, yang kemudian bersiasat agar sarafnya mengirimkan impuls untuk menyukai sentuhan dari jenis apa pun.

Gerakan yang tak pantas itu, kegilaan itu, hanya detik-detik.

***

Matahari Florida, terang seperti lemon, memenuhi ruangan hotel ketika sang penghuni menekan tombol di remot dan membuka tirai otomatis. Sinar itu mengenai wajah Sharon yang masih terlelap, mengganggunya. Pendingin ruangan ternyata mengalahkan kehangatan yang dibawa matahari. Sharon berguling karena kedinginan dan silau.

Setengah badannya yang tak tertutup selimut justru mengenai lengan pria di sebelahnya. Ia menemukan kehangatan di sana dan, memeluk lengan itu dengan manja, membiarkan dirinya menikmati sensasi nyaman itu.

Sang pria tersenyum dan balas memeluk wanitanya. "Apa ini cukup menghangatkanmu?"

Menyadari suara itu, Sharon menjerit dan menyentak diri dari pria itu. Mencoba mencari penutup tubuh dengan gelisah. Ia memungut baju terdekat dari ranjang dan mengenakannya cepat-cepat.

Pria itu semakin tertawa jail. "Itu pakaianku, Sugar."

"Sialan kau, Harvey!" Sharon berlari ke kamar mandi, namun berhenti mendadak ketika melihat bayangan tubuhnya di cermin.

***

Begitu menyadari kegilaan mendadak itu di detik selanjutnya, Sharon memberontak. "Lepaskan aku, berengsek!"

"Oh, ya, sweetie. Aku memang..."

Sharon telah menarik nafas, cukup siap menjerit lagi, ketika sebuah tinju tiba-tiba menghantam kepala Alan. Dan refleks yang lebih mengejutkan membuat jeritannya lebih menyakitkan. Pria itu tersungkur dan meneriakkan sebuah umpatan. Sharon tak bisa menjaga keseimbangannya sehingga ikut jatuh. Orang-orang sekitar mengalihkan atensi pada keributan itu.

"Berengsek." Tinju itu ternyata milik Harvleon.

Demi apa pun, ia bahkan terlihat lebih keren saat mengucapkan umpatan itu!

Wajah Eros yang mengeras, bibir melengkung, mata yang berkobar, bagai topeng kemarahan yang terburuk. Harvleon sudah dari tadi mengawasi Sharon dari kejauhan. Setiap detiknya menyiksa dengan emosi tidak menyenangkan. Ia sempat hendak membiarkan wanita itu menerima konsekuensi dari ketidakpatuhannya, tapi amarah irasional menenggelamkan Harvleon.

Sharon tak boleh tersentuh siapa pun selain dirinya.

Kali ini ia menarik kerah Alan dan memberikan serangan bertubi-tubi. Harvleon mendapat sekali tinjuan di perutnya-dan kelihatannya itu tak berpengaruh.

Tidak merasakan reaksi nyeri selain yang ditimbulkan dari nafsu ingin membunuh.

Suara retak dan darah yang mengalir dari hidung Alan membuat Sharon mual. Pria itu terkapar dan Harvleon menindihnya. Mengangkat lengannya yang menegang.

"Harv, stop!"

Tinju Harvleon tertahan di udara. Ia menoleh ke arah Sharon yang masih tersimpuh di pasir pantai. Hal itu membuat matanya menggelap penuh emosi. Ia tetap melayangkan kepalan tinju ke Alan. Pria itu meringis.

"Coba sentuh dia lagi!" Harvleon menarik kerah lusuh Alan. "Seujung kuku pun, maka aku akan senang hati untuk bertemu denganmu lagi!"

Bahkan Sharon sendiri ikut ngeri dengan ancaman itu.

Harvleon masih sempat menyiramkan segenggam pasir dengan kasar ke mulut Alan, untuk kelancangannya mencium Sharon.

Ia menuntun Sharon menuju hotel. Tak peduli lagi apakah gerakannya lebih seperti tarikan posesif. Persetan wanita itu!

Sharon berharap Harvleon menanyakan keadaannya, tapi tidak. Dia hanya bergeming dengan ekspresi buas. Setidaknya sudah tak seburuk ketika duel tadi.

Bodoh, batin Sharon, apa sih yang aku harapkan?

Namun tiba-tiba saja, ia merasakan hal aneh dalam tubuhnya semakin menjadi-jadi, terutama 'bagian bawah'. Udara di sekitarnya terasa panas. Perasaannya jadi resah, dia menginginkan sesuatu. Tak ada lagi akal sehat yang ia rasa akan berhasil ia pertahankan.

Berusaha menahan gerakan gelisah, Sharon memeluk lengannya sendiri dengan defensif. "Harvey, ada apa denganku?"

"Kau baik-baik saja." Harvleon malah menjawabnya.

"Untuk kali ini saja, Harv, ini bukan saatnya kau menentukan nasibku."

Mereka menghentikan langkah. Harvleon memicingkan mata untuk mengamatinya. "Kenapa?"

Sharon ingin memikirkan kemungkinannya, tapi ia tidak bisa berpikir. "Aku tidak tahu. Tapi, Harvleon," ia menggenggam lengan pria itu, suaranya menjadi lebih rendah dan dalam, "sentuh aku!"

Harvleon langsung tahu apa yang bajingan di pantai tadi berikan pada minuman Sharon. Bahkan setelah membuatnya cukup mabuk dengan belasan bir dan gin!

"Cobalah melawan," katanya. "Kita akan sampai sebentar lagi."

"Melawan apa?"

"Nanti kujelaskan." Ia menarik Sharon untuk berjalan lagi, tapi gadis itu menahannya.

"Harvey..."

Wanita sialan. Sulit untuk mempertahankan anggapan panggilan itu tidak seksi. Benar-benar membakar telinganya. Ia terpaksa menggendong Sharon. Akan kacau kalau wanita itu semakin menggodanya, di luar ruangan pula.

Begitu memasuki lift, Harvleon menurunkannya, kesadaran Sharon mulai digegorogi rasa resah. "Harv, aku tidak bisa. Ada apa denganku?"

Saliva yang ditelan Harvleon justru menghauskan. Sejak Sharon tinggal dengannya, ia tidak bermain dengan gadis mana pun. Dan sekarang, saat mereka hanya berdua, keadaan menjebak mereka. Naluri manusiawi mendesak akal sehat maupun gengsi pergi jauh-jauh. Harvleon tahu hasratnya lebih nyata daripada Sharon yang di bawah pengaruh obat.

"Harvey...?" Wanita itu menengadah bagai kucing kelaparan. Karena terbuai, tangannya bahkan telah menjamah rahang Harvleon, seolah mengundangnya dengan seduktif.

Harvleon lagi-lagi menelan ludah susah payah. Panggilan--yang sangat sensual--itu sanggup membuatnya sinting.

Ini bukan wanita yang selama ini bersamanya, atau--ataukah?--justru diri wanita itu yang sesungguhnya. Sisi yang selama ini ia tutupi dengan alasan mempertahankan harga diri. Mengingat hal yang terjadi di pertemuan pertama mereka, di kelab, Harvleon tidak yakin--tidak mau yakin--mana kesimpulan yang lebih benar.

Bibir wanita itu yang merekah membuka lagi. "Harvey, aku tidak peduli lagi."

Di lain waktu, di keadaan yang terkendali, Harvleon bisa saja menertawakan Sharon karena kalah pada obat, tapi kali ini ia tak bisa. Ia sendiri kalah pada godaan yang disuguhkan terang-terangan oleh wanita itu.

Ah, sialan! "Kuharap kau tidak menyalahkanku, Sharon." Ia mengaku kalah dengan percikan gairahnya sendiri. Ego dan gengsi ditepisnya jauh-jauh.

Bibir mereka bertemu, Harvleon mencumbunya ganas. Tangan Sharon dibenamkan di rambut cokelat gelap berombak itu, mengusir seluruh akal sehat dari kepalanya. Mereka melepas ciuman saat pintu lift terbuka dan berakhirlah keduanya di kamar hotel.

Harvleon tak pernah menyangka honeymoon palsunya akan benar-benar menjadi nyata.

______________

June 21, 2020

Continue Reading

You'll Also Like

2.7K 251 16
[LENGKAP di Karya Karya] Lanjutan perjalanan cinta Mas Liam si Bucin 😘
415K 33.1K 43
Dilarang keras menjiplak!
2.2M 32.7K 47
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...
213K 6.5K 7
Sakit hati karena dijadikan bahan taruhan oleh Leon, cowok yang sedang PDKT dengannya, membuat Zara marah dan dendam. Akhirnya dia meminta bantuan pa...