Still You

By decinnamons

5.4M 188K 9.1K

Batalnya pernikahan mereka karena suatu hal dan kesalahpahaman membuat keduanya berpisah. Bagi Aga Treviyan... More

Prolog
Stiil You Part 1
Still You Part 2
Still You Part 3
Still You Part 4
Still You Part 5
Still You Part 6
Still You Part 7
Still You Part 8
Still You Part 10
Still You Part 11
Still You Part 12
Still You Part 13
Still You Part 14
Still You Part 15
Still You Part 16
Still You Part 17
Still You Part 18
Still You Part 19
Still You Part 20
Still You Part 21
Still You Part 22
Still You Part 23
Still You Part 24
Still You Part 25
Still You Part 26
Still You Part 27
Still You Part 28
Still You Part 29
Still You Part 30
Still You Part 31
Still You Part 32
Still You Part 33
HAY... STILL YOU OPEN PO
OPEN PO lagi 😊
Stop Pembajakan oleh Olshop novel/Buku.

Still You Part 9

130K 5.6K 149
By decinnamons

Part 9



Clara masih masih menunggu jawaban pertanyaan dari dalam hatinya saat ini. Walau Aga terlihat cuek dengan sikap wanita di sampingnya ini, tapi dia membiarkan tangan wanita itu tetap merangkul pundaknya tanpa berusaha untuk mengenyahkan atau melepaskan rangkulan tangan itu.

Pertandakah?

Clara tersenyum kaku membalas senyuman manis yang terukir di wajah cantik wanita ini.

“Nanti aku hubungi lagi.” jawab Aga akhirnya dengan menoleh ke arah wanita itu.

Clara yang sengaja melihat ini hanya mampu mengendalikan detakan jantungnya saja, saat ini. Dugaannya masih samar tapi Clara yakin, mereka berdua bukan saudara atau teman. Wanita itu tersenyum tulus dan Aga menjawab pertanyaan dengan menatap wajah wanita itu.

Tanpa Clara sadari ada deheman kecil yang membuyarkan tatapannya.

Ia sedikit salah tingkah, kini tahu kalau Aga menatapnya.

“Jadi, dia asisten baru kamu?” tanya wanita berambut ikal coklat keemasan itu pada Aga. Terlihat manja namun wanita ini bukan type wanita manja, lebih ke elegant kalau Clara bilang. Tapi, apa yang dia bilang tadi. Asisten?

Asis—what??!!! Belum sempat Clara mengalihkan pandangannya ke wanita itu, deheman Aga lagi yang segera membuyarkan keterkejutannya.

Asisten Aga? Ya, Tuhan! Ini mimpi buruk atau apa? Semoga ini tidak benar. Semoga tidak benar! Doanya dalam hati ketika melihat raut wajah Aga yang tenang dan penuh dengan tatapan seperti menusuk matanya kini.

Jangan bilang YA! Ku mohon, batinnya.

“Ya. Dia asisten baruku.” jawab Aga singkat dan tatapannya masih melekat padanya.

Seketika tubuh Clara terasa lemas, tidak bertenaga.

Demi, Tuhan... apa rencana Aga selanjutnya untuk membuatnya merasa tersiksa karena kejadian empat tahun silam. Ironi memang, pria ini sepertinya sangat membencimu, Clara.

“Oh, selamat bergabung di Perusahaan ini. Kenalkan saya, Arinta.” sapanya tersenyum ramah pada Clara dan Clara membalasnya juga dengan tersenyum...kaku sekaligus gugup.

Clara segera menyambut uluran tangan wanita yang bernama Arinta ini, “Clara. Terima kasih.” lanjutnya masih... gugup dan ia tidak tahu harus bagaimana menyikapi situasi ini.

Arinta belum melepaskan genggaman tangannya membuat Clara mengernyit tapi ia bisa melihat ada tatapan penuh kasih di mata wanita ini...untuknya. Penuh kasih untuknya? Ini tidak mungkin.

“Saya, tunangan Bapak Aga. Senang berkenalan denganmu, Clara.”

DEG.

Seiring dengan debaran jantungnya berdebar dengan begitu keras saat itu juga genggaman tangannya dari Arinta terlepas.

“Saya juga.” jawabnya nyaris berbisik.

Clara duduk kembali ke kursinya, masih di depan meja Aga yang kini bahkan masih menampilkan wajah datarnya. Maksud Clara, harusnya kalau Aga tidak suka dia akan menolak kalau Arinta mengatakan mereka bertunagan, tapi Aga bahkan hanya diam.

Mereka bertunangan. Serasi...benar-benar serasi.

Jadi inikah salah satu yang ingin Aga tunjukkan padanya, kalau ia sudah tidak ada kesempatan walau hanya untuk memperbaiki hubungan, sebagai keluarga atau teman...mungkin.

Sudah tidak ada harapan, Clara... walau hanya untuk menjelaskan semuanya. Walau untuk meminta maaf. Jelas, sudah tidak ada.

Meminta maaf? Tidak ada gunanya lagi toh Aga sudah bertunangan dan entah kapan akan menikah. Yang pasti mereka akan menikah.

Dadanya terasa sesak dan ia sulit bernafas. Kepalanya terasa pening mendengar dan melihat keadaan di depannya.

Matanya tiba-tiba memanas dan ia tahu kalau ia akan... menangis. Jangan menangis, Clara. Ia terus menarik nafas dalam-dalam dan wajahnya masih menunduk. Ia tidak mau terlihat mengenaskan di depan pria-arogant dan tunangannya ini.

Clara mencoba mendongak setelah ia sedikit bisa menahannya dan tepat di saat itu ia menyadari Arinta sudah tidak ada di samping Aga. Bahkan Aga juga tidak ada di mejanya.

Apa yang ia lakukan? Melamun? Meratapi nasib hingga tidak sadar kedua orang sudah beranjak dari hadapannya? Clara mengumpat dalam hati karena ia terllau bodoh dan tidak bisa mengendalikan pikirannya.

Terdengar suara langkah. Tidak lama kemudian Aga sudah kembali duduk di kursi kebesarannya. Oh, jadi dia mengantarkan calon Istrinya ke depan. Manis sekali? Tapi, apa calon Istrinya juga bekerja di sini? Di gedung yang sama?

Kalau iya... Matilah kau, Clara. Clara memejamkan matanya merasakan hatinya yang terasa ditusuk-tusuk, nyeri.

“Jadi, kamu tahu kan, posisi kamu di sini. Sebagai Asisten saya.” ujar Aga tenang sembari merapikan map di mejanya kemudian menghela nafas panjang dan menatap ke arah Clara.

“Kenapa Bapak tidak bilang terlebih dulu kalau posisi yang Bapak tawarkan—“

“Maksud kamu?” potong Aga cepat menatap Clara dengan menyelidik dan tidak suka, “Bukannya sudah saya jelaskan kalau soal posisi kamu di sini, saya yang tentukan. Apa kurang jelas penjelasan saya waktu kamu menerima tawaran itu, hm.” nada yang ditujukan padanya sangat menohoknya.

Benar memang dan Clara ingat akan hal itu.

“Tapi kemampuan saya—“

“Kamu sudah pernah menjadi Asisten Bapak Ardi,” Aga menekankan lebih keras kalimat Bapak Ardi dengan tatapan tajamnya, “Untuk itu, kamu tetap pada posisi Asisten. Hanya sedikit berbeda karena saya... Tidak. Sama. Dengan. Pria itu. Kamu mengerti.”

Jelas sudah Aga sepertinya masih menganggapnya ada hubungan dengan Mantan Managernya itu. Benar-benar.

“Baik. Saya mengerti.” jawab Clara pelan dengan nada yang ia buat setegar mungkin agar ia tidak terlihat lemah di depan pria ini.

Tanpa Clara sadari, tatapannya tertuju pada Aga belum teralihkan, hingga ia juga baru menyadari Aga juga menatapnya dengan tatapan mata yang sedikit melunak, tidak sedingin tadi... lebih menghangat.

Ia rindu tatapan ini, walau dulu.... dia memang jarang sekali melihat tatapan mata-indah Aga menatapnya dengan lembut, setidaknya ia pernah merasakan tatapan hangat pria ini walau hanya sesekali saja.

Entah sudah berapa lama ia mengagumi wajah tampan di depannya ini dan Aga juga tidak mengalihkan pandangannya sedikitpun hingga kesadaran menguasainya saat ada suara telepon di meja kerja Aga.

Clara dengan cepat mengalihan padangannya dan segera menata raut wajahnya yang ia yakini kini sudah kacau balau dan pasti memerah karena ketahuan masih... mengangumi pria jahat di depannya. Oh, sialnya pria itu juga menatapmu juga kan?

“Ya. Pak Jaya bawakan berkas dari proyek kerja sama dengan Perusahaan Julian. Iya. Dia di sini. Baik.”

Clara masih mendengar suara tenang Aga menjawab dan berbicara pada Pak Jaya di telepon. Ia juga masih belum bisa mengangkat wajahnya.

“Ehm. Pak Jaya akan menjelaskan tugasmu.” ujarnya tenang dan Clara akhirnya mendongak, walau sedikit ia bisa melihat Aga yang kembali seperti semula. Sibuk dengan kertas-kertas di mejanya.

“Kembalilah ke mejamu.”

Meja? Clara masih belum berdiri. Mejanya?

Sadar Clara belum beranjak Aga segera mengangkat wajahnya, “Oh, mejamu... ada di sudut ruang ini, bagian depan sebelum kamu melewati sofa tamu tadi.”

Clara dengan ragu berdiri dan ia masih belum percaya kalau dia ada dalam satu ruangan dengan pria ini. Astaga! Apa yang akan terjadi dalam hidupnya dalam waktu mendatang? Ia mendesah pasrah.

“Saya sudah bilang pada Sekretaris saya. Pastikan mereka membantumu, nantinya.” suara pria ini masih tenang, namun ada rasa sedikit peduli.

“Baik.” Clara hanya mengangguk singkat dan melanjutkan berjalan ke mejanya, ia berbelok untuk menuju bagian depan ruangan ini.

Ia heran kenapa ruangan Aga sebesar ini. Maksudnya ini sangat luas dan hanya di huni satu asisten, juga Aga sendiri.

Di sana, Clara melihat ada sofa mewah yang berjajar berwarna merah marun sama dengan dinding walpaper ruangan ini, dan tak jauh dari sana, di dekat pintu masuk ruangan ini ada meja dan beberapa perlengkapan kerja, seperti rak kecil dan macbook sudah siap di atas meja kerjanya.

Dan... detakan jantungnya kembali berpacu lagi dengan keras mengingat ia bisa sedekat ini dengan Aga. Sedekat dalam artian, satu ruangan. Bahkan Clara tidak pernah membayangkan kalau ia akan bertemu dengan pria ini lagi dengan keadaan seperti ini.

*

Setelah mendengar instruksi dan beberapa pengetahuan yang Pak Jaya berikan padanya dengan cara-seperti memberi pelajaran pertama kalinya di sekolah dengan sabar, Clara kini sudah tahu apa yang harus ia kerjakan untuk Boss-nya, Aga Treviyan Mikail.

Seperti sekarang, ia sudah selesai menyalin jadwal Aga yang ia tahu dari Pak Jaya dan juga dari untuk selanjutnya ia bisa bertanya pada dua Sekretaris Aga dan Pak Jaya masih bersedia membantu kalau ia masih belum terbiasa bekerja dengan Boss barunya.

“Sudah selesai?” tanya Pak Jaya yang tahu-tahu sudah ada di depan mejanya.

Clara terkejut dan ia dengan cepat tersenyum ragu, “Sudah, Pak.” jawabnya.

Pak Jaya tersenyum simpul, kemudian berkata padanya, “Buatkan kopi untuk Bapak Mikail. Sudah tahu kan, takarannya?”

“Kop—Oh... belum.” jawabnya sedikit meringis.

“Ingat jadwal kopinya, kan?”

“Oh, iya... saya pikir tadi pagi sudah ada.”

“Tidak apa-apa. Jadi ini tugas pertamamu. Pantri khusus untuk direksi ada di ujung koridor ini. Di sana juga ada OB yang stand by.”

“Baik.”

“Selamat bekerja ya.” senyum Pak Jaya sangat tulus padanya dan ia tahu kalau pria ini tahu apa yang Aga akan lakukan padanya, mungkin?

Ia merindukan Ayahnya, tiba-tiba.

*

Clara menghentikan gerakan jemarinya yang lincah menari di atas keyboard saat suara itu memanggilnya dengan lantang untuk kedua kalinya. Dan, ya... pertama tadi memang karena kopi buatannya yang katanya Aga terlalu manis.

Entah itu benar atau tidak, tapi Clara membuatkannya lagi. Semoga panggilan ini tidak karena kopi.

“Ya.” sapanya ketika sudah berada di depan meja Aga.

“Apa-apaan ini!” kata Aga sembari mengangkat cangkir itu kemudian meletakkannya dengan keras hingga menimbulkan bunyi yang membuatnya berjingkat.

Air kopi tersebut sedikit bercecer di meja kerja Aga. Pria itu marah. Terlihat dengan pancaran matanya. Astaga... cobaan lagi.

“Kopi apa yang kamu pake, ha!” sentak Aga, “Sudah tahu dari Pak Jaya, kan?” tanyanya menyelidik.

Clara masih sedikit ngeri mendengar suara Aga yang seperti sangat-marah. Demi, Tuhan, hanya karena Kopi?

“Hey, saya—“

“Saya memakai kopi hitam yang ada di sana.” jawab Clara apadanya.

Terdengar Aga membuang nafasnya keras. Terdengar frustasi?

“Pak Gigih.”

Clara melihat Aga menelpon seseorang.. entahlah?

“Kopi hitam yang biasa untuk saya, masih atau—“

“Oh, baik. Lain kali jangan sampai telat.” jawab Aga akhirnya kemudian melemparkan tatapannya pada Clara.

“Kamu tidak bertanya pada OB di sana atau?”

Ya, Tuhan? Apa katanya? Bahkan di ruangan tadi, saat ia membuat kopi tidak ada makhluk sama sekali di sana. Jadi... dia keliru atau apa? Clara benar-benar tidak mengerti, apa bedanya kopi hitam untuk Aga, sih?

Clara menggeleng pelan, “Tidak ada orang di sana, tadi.”

“Harusnya kamu bertanya dulu, jangan lancang dan sembarangan memasukkan apa yang akan saya minum.”

Lancang katanya? Dadanya terasa sesak. Matanya mengerjap tidak percaya dengan kata-kata menusuk dari Aga.

Aga tahu perubahan raut wajahnya kemudian mengalihkan pandangannya pada layar datar di depannya.

“Buat kembali, di sana tanya Pak Gigih, kopi hitam yang mana apa untuk saya.”

Clara mendesah dengan berat karena ia sulit sekali bernafas. Terlalu sakit hatinya.

“Baik.” ucapnya pelan dan sialnya ia menyadari suara bergetar. Jangan cengeng di depannya, Clara... Hingga Clara mengambil cangkir kopi yang sedikit tumpah itu untuk kembali ke pantry, lagi.

Entah karena ia tidak konsentrasi atau kesadarannya masih belum pulih karena sakit hatinya, ia merasakan panas di jarinya karean air kopi... hingga “Aww...!!!” pekiknya kemudian terdengar suara pecahan.

“Issh....” Clara mendesis ketika ia merasakan cipratan air kopi ke blouse putihnya dan tangannya. Sial! Panasnya terasa.

“Astaga!!!” pekik Aga kemudian terdengar pria itu membuang nafasnya kasar.

Clara berjongkok sebelum itu ia mengucapkan kata maaf dengan penuh penyesalan kemudian memunguti pecahan yang tercecer di lantai. Kenapa baru satu hari rasanya begitu tersiksa dan menyakitkan seperti ini.

Ayah... Ibu... Clara tidak kuat jika harus bertahan di sini walau hanya satu hari dengan Mas Aga. Clara rasanya ingin pulang dan kerja di Semarang saja. Tapi, gaji di sana tidak akan pernah cukup.

Ya, Tuhan...

Clara merasakan panas di matanya dan ia yakin ia sudah tidak kuasa menahan laju air matanya ini. Ia benci dirinya yang seperti ini, tapi kenapa keadaan selalu membuatnya terjepit dalam situasi yang bahkan ia tidak pernah bayangkan sebelumnya.

“Sudah biarkan OB yang membersihkannya.”

“Tidak apa-apa.” suara Clara terdengar seperti bisikan. Ia tidak ingin mendongak karena ia sudah tidak kuasa menahan tangisnya jika melihat wajah Aga.

“Ku bilang hentikan.” suara Aga terdengar tegas dan ia yakin Aga menahan emosinya kini.

Clara tidak menjawab dan ia memunguti pecahan yang tersisa kemudian ia merasakan lengannya ditarik dengan kasar hingga ia terjingkat dan berdiri.

Aga menariknya...

“Biarkan saya—“

“Menurut padaku. Mengerti.” desis Aga dan tatapannya begitu dalam menatapnya lalu dengan cepat berubah sedikit... terkejut karena mungkin melihat wajahnya yang hampir menangis.

Hingga tubuh Clara lemas dan tanpa ia sadari satu tetes, dua tetes dan seterusnya air mata telah membasahi pipinya. Ia sudah tidak mampu menahan beban perasaan yang sejak pagi ia rasakan, dari perkenalan dengan tunangan Aga, hingga perkataan serta tatapan Aga yang menusuk membuatnya tidak bisa menahan emosinya.

Tahu Aga melihatnya menangis Clara mengusap dengan kasar air mata di pipinya.

“Ka—kamu—“

“Saya tidak apa-apa.” jawabnya singkat dan ia hendak meninggalkan ruangan ini namun ia lupa kalau lengannya masih dalam cekalan tangan Aga. Hingga ia sadar ia tidak bisa bergerak menjauh dari sini.

“Lepas.” katanya berusaha melepaskan cekalan Aga.

“Ternyata kamu masih....”

Ada suara lain di ruangan ini yang familiar di telinga Clara.

“Oh, Maaf ada tamu atau—“

Kalimat pria ini terhenti ketika melihat keadaan dua orang di depannya yang tak lazim dan sepertinya, ada sesuatu terjadi barusan. Dia melihat tangan putra sulungnya ada di lengan wanita itu?

Sadar di perhatikan, dengan cepat Aga melepaskan cekalan tangannya di lengan Clara dan saat itu pula Clara membalikkan tubuhnya hingga ia membulatkan matanya, terkejut.

Tubuhnya kaku melihat siapa yang berdiri menatapnya kini.

“Papa.” ucap Aga gugup. “Kapan tiba?” lanjut Aga seperti ingin mengalihkan pandangan mata pria payuh baya ini pada gadis yang berdiri tak jauh darinya ini. Siapa lagi kalau bukan, Clara.

“Kamu? Clara?” tanya Pria itu dan Clara tidak tahu harus berkata apa atau berbicara apa pada pria yang dulu hampir ia panggil dengan sebutan... Papa Mertua ini.

***

Yeyeyelalalala~~!! Done Part 9 ;)) Masih kacau banget wqwqwq xD

Liat aja tar apa yang terjadi di part selanjutnya... Thankyu udah komen dan vote ya, makasih banyakkkkkk mwah <33333 Sori nggak bisa bales juga hihihi {}

Continue Reading

You'll Also Like

2.1M 17.5K 43
harap bijak dalam membaca, yang masih bocil harap menjauh. Kalau masih nekat baca dosa ditanggung sendiri. satu judul cerita Mimin usahakan paling b...
1.4M 119K 27
"Saya nggak suka disentuh, tapi kalau kamu orangnya, silahkan sentuh saya sepuasnya, Naraca." Roman. *** Roman dikenal sebagai sosok misterius, unto...
322K 13.5K 42
Typo bertebaran, harap tadani❗ Cinta pada pandangan pertama memang sebuah anugrah yang Tuhan berikan bada suatu hambanya. Tetapi tidak semua orang bi...
317K 3.8K 13
BoyPussy Bxb Cowo Bermeki