EGO - Jung Hoseok

By R_Seokjin

75.3K 6.9K 1.2K

Atur saja hidupku, aku tidak apa. More

Prolog
E.1
E.2
E.4
E.5
E.6
E.7
E.8
E.9
E.10
E.11

E.3

4.5K 619 91
By R_Seokjin

Hoseok sudah siap dengan pakaian rapihnya, mengingat hari ini ada kelas. Hoseok berjalan menuruni anak tangga dan menuju ruang makan untuk sarapan.

Terlihat Seokjin, Jimin dan tentu sang Ayah yang sudah lebih dulu sarapan. Hoseok benci sebenarnya berada di situasi seperti ini. Namun ia juga tidak bisa menghindar jika ia tidak ingin kembali mendapat tamparan dari sang Ayah seperti 2 hari kemarin.

"Selamat pagi hyung!"

"Pagi Jimin-ah." Hoseok mengusak pelan rambut Jimin.

Seokjin tersenyum melihat interaksi Hoseok dan Jimin. Ia membantu Hoseok untuk menyiapkan rotinya.

"Ingin selai apa?"

"Kacang."

Seokjin terdiam.

"Kau alergi kacang Hoseok-ah."

"Tak apa, aku ingin selai kacang."
Seokjin menatap Hoseok. Ada tatapan berbeda dari sang adik.

"Selai yang lain hyung. Aku tidak ingin melihat hyung sesak napas karena alergi hyung yang kambuh."

Hoseok mengalihkan pandangannya pada Jimin.

"Strawberry." Jawab Hoseok singkat tanpa mengalihkan pandangannya pada Jimin.

"Hyung, aku akan berangkat bersama Taehyung. Jadi hyung tidak usah menjemputku." Ujar Jimin pada Hoseok.

"Kau yakin?"

"Ya hyung, aku juga ada rapat klub untuk membahas kompetisi. Jadi sepertinya aku pulang terlambat."

"Ya sudah kalau begitu." Jawab Hoseok seperlunya.

Sang Ayah sebenarnya sudah menatap anak keduanya itu. Ada yang aneh dengan Hoseok. Namun ia lebih memilih acuh dan kembali fokus dengan sarapan paginya.

"Aku berangkat, terima kasih sarapannya." Hoseok menenteng tas gendongnya lalu pergi meninggalkan keluarga Jung.

"Aku juga! Taehyung sudah menunggu di luar. Hyung, Ayah aku berangkat!" Seru Jimin sambil menyusul Hoseok yang tertinggal beberapa langkah.

"Ayah, apa ayah tidak bisa jika tidak terlalu keras pada Hoseok?" Ucap Seokjin saat adik-adiknya sudah pergi.

"Seokjin-ah. Ayah selama ini diam. Tapi lihat? Adik kesayanganmu itu justru melunjak! Apa-apaan dia sampai bertengkar di kampus? Memalukan!"

Seokjin berdecak. Ia sadar sekarang dari siapa sikap keras kepalanya menurun.

"Ayah masih saja membahas itu. Padahal sudah 2 hari. Aku harap kejadian kemarin itu adalah yang terakhir. Ayah, hati Hoseok itu sudah rusak. Jangan sampai aku tidak bisa memeperbaikinya." Seokjin meneguk kopi terakhirnya lalu pergi meninggalkan sang Ayah.

***

"Hari ini buat janji dengan Hoseok!"

"Astaga! Kau mengagetkanku hyung!" Pria pucat itu terperanjat saat Seokjin tiba-tiba datang ke ruang kerja pribadinya dengan cara membuka pintu yang tidak sabaran.

"Yoon, ada yang aneh. Benar-benar ada yang aneh dengan Hoseok."

"Kali ini apalagi?" Tanya Yoongi yang selama ini sudah menjadi sahabat Seokjin semenjak ia mengenal dunia kedokteran.

"Dia berkelahi dengan temannya di kampus. Namjoon yang melihatnya. Tapi, dia sama sekali tidak mau mengakuinya."

"Jelas saja hyung! Itu namanya perlindungan diri!"

"Tapi itu bukan cara dia Yoon! Hoseok adalah orang yang akan mengakui kesalahannya jika memang benar ia salah."

"Atau mungkin saja Namjoon yang mengarang?"

"Namjoon adalah teman baiknya kalau kau lupa Yoon."

"Aish! Lalu kenapa? Lagipula tidak ada yang aneh hyung! Mungkin saja dia punya alasan tersendiri kenapa dia menyembunyikannya darimu. Hyung, jangan terlalu berlebihan. Hyung hanya harus percaya padanya."

"Aku hanya takut dia semakin rusak Yoon." Lirih Seokjin membuat amarah Yoongi menguap menjadi sendu. Yoongi tentu sangat tahu bagaimana keadaan keluarga Seokjin.

Tentang Seokjin yang sebenarnya tidak suka dengan dunia dokter, tentang Hoseok yang menjadi boneka untuk Ayahnya, dan tentang Jimin yang di perlakukan istimewa. Beda halnya dengan kakak-kakaknya yang harus mengikuti perintah sang Ayah.
Seokjin begitu mempercayainya sampai ia mau bercerita tentang masalah hidupnya sampai ke kerak-keraknya.

"Aku tahu bagaimana rasanya terkekang Yoon." Seokjin meremas rambutnya frustasi. Bingung bagiamana caranya untuk melindungi sang adik. Yoongi menjadi tak tega saat melihat betapa frustasinya seorang Jung Seokjin.

"Baiklah baiklah. Aku akan mengubunginya untuk membuat janji denganku. Tapi, aku juga tidak bisa memaksa jika Hoseok tidak mau memberitahuku tentang masalah pribadinya. Kau tahu kan itu di luar batasku sebagai seorang dokter psikolog?"
Seokjin mengangguk dalam diamnya.

"Sudah jangan seperti itu. Bukan Jung Seokjin sekali!"

"Terima kasih Yoon."

"Sebelum aku melakukan konseling dengan adikmu, sekarang aku akan melakukannya denganmu terlebih dahulu."
Seokjin mengangkat alisnya tak mengerti.

"Kau, apa kau masih ingin menyalahkan Jimin karena dia bisa bebas memilih apapun yang dia mau oleh ayahmu?"

Seokjin tercekat. Darimana ia tahu ini? Seokjin memang selalu memberitahu apapun perasaan yang di pendam oleh Seokjin, tapi bukan berarti semuanya. Termasuk tentang perasaannya pada Jimin.

"Apa maksudmu, aku tidak mengerti." Elak Seokjin. Yoongi terkekeh.

"Kau lebih memikirkan Hoseok, selalu Hoseok yang kau perhatikan. Selama ini kau tidak pernah membicarakan Jimin padaku. Dan lihat! Raut wajah apa itu yang hyung tunjukkan saat membahas Jimin?"

"Karena Jimin sudah mendapatkannya dari Ayah. Sementara Hoseok? Jadi sebisa mungkin aku memberikan perhatian yang dia inginkan namun tak bisa dia dapatkan dari Ayah." Jawab Seokjin dengan datar dan acuh.

"Kau salah hyung. Jimin juga tak jauh beda dengan kalian." Batin Yoongi.
.
.
.
"Hoseok-ah!"

Merasa terpanggil, Hoseok membalikan badannya pada orang yang telah memanggilnya. Terlihat peria sipit berdimple dengan tumpukan buku di tangannya berjalan menuju ke arahnya. Hoseok melanjutkan langkahnya saat orang itu sudah berada di sampingnya.

"2 hari kau tidak ada aku kesepian. Bagaimana masa scors mu?"

"Asik, aku bisa tidur seharian tanpa memikirkan telat masuk kelas dan dosen killer." Jawab Hoseok enteng.

"Seok-ah. Kenapa bisa kau seperti itu? Itu bukan Jung Hoseok yang aku tahu. Kau tidak sekasar itu sampai harus memukul. Apa masalahmu dengan Baekyung benar-benar serius?"

"Demi tanganmu yang perusak, aku benar-benar tidak memukulnya Namjoon-ah!"

"Lalu siapa yang meninjunya hah? Aku lihat sendiri Hoseok-ah."

Hoseok tak lagi mendengarkan pembicaraan Namjoon yang menurutnya tidak masuk akal. Ia lebih memilih meninggalkan Namjoon dan masuk kelas lebih dulu.

Hoseok berjalan tanpa arah setelah kelas selesai. Tak ada Namjoon yang mengekorinya karena ia sedang ke perpustakaan. Hoseok berhenti dan masuk di salah satu ruangan kosong yang jarang terpakai. Ruangan luas, dan ada kaca besar di salah satu sisi ruangan.

Terdapat speaker juga di sudut ruangan. Hoseok menghela napas sejenak sebelum akhirnya ia mengeluarkan ponselnya dan menyambungkannya dengan speaker tersebut.

Ia memilih salah satu lagu di ponselnya, dan beberapa detik kemudian terdengar dentuman musik beat yang keluar dari speaker. Hoseok memejamkan matanya. Menikmati setiap irama musik yang keluar. Kepalanya mulai ia anggukan mengikuti irama beat musik tersebut.

Perlahan namun pasti, anggukan kepala Hoseok berubah menjadi gerakan tarian yang energik.
Hoseok melakukan break dance dengan baik meskipun tanpa pemanasan sebelumnya. Hoseok begitu terlihat ambisius saat menari, seakan ia berusaha meluapkan semua emosinya dalam tariannya. Peluh sudah membanjiri wajah dan punggungnya terlihat dari kaos abu yang basah di bagian belakang. Belum lagi nafasnya yang memburu. Matanya memerah menahan amarah.

Bruk!

"Argh!!!!" Hoseok berteriak saat ia terjatuh. Isakan mulai keluar dari diri Hoseok. Ia menangis sejadi-jadinya. Menenggelamkan wajahnya di antara kedua lututnya.

Selalu seperti ini saat ia meluapkan emosinya di ruangan yang sudah menjadi ruangannya sendiri. Ruangan yang ia rubah menyerupai practice room. Tempat persembunyiannya selama ini. Tempat yang menjadi saksi betapa rapuhnya seorang Jung Hoseok.

Namjoon yang sejak tadi sudah datang, merasakan betapa sesaknya menjadi Hoseok. Namjoon yang berniat untuk mengajaknya ke kantin ia urungkan setelah melihat keadaan Hoseok. Ia memilih kembali keluar ruangan, membiarkan Hoseok sendiri karena Hoseok paling tidak mau terlihat rapuh di hadapannya. Meskipun Namjoon tahu bagaimana Hoseok yang selalu menyimpannya sendiri.

Hoseok mengangkat kepalanya beberapa saat setelah Namjoon pergi. Tatapan ambisiusnya kembali. Wajahnya berubah drastis. Wajah penuh emosi, dengan rahang yang mengeras.

"Dasar tua bangka!" Desis nya. Ia menghapus kasar air matanya. Lalu seringai muncul dari bibirnya.

Musik yang tadi terputar berhenti begitu saja tergantikan dengan getaran di ponselnya. Tanda ada panggilan masuk. Hoseok segera mengambil ponselnya dan langsung menggeser tombol hijau.
"Hoseok-ah!"

"Eoh?"

"Bisakah kau datang kemari setelah kelasmu selesai?"

"Tunggu, ini siapa?"

"Yaak! Kau tidak menyimpan nomorku? Dan apa kau baru saja berbicara banmal padaku?!!"

"Kalau tidak penting aku tutup telponnya!"

"Aish! Aku Yoongi! Jangan banyak bertanya! Dan cepat datang kemari sebelum aku di bunuh oleh ocehan kakakmu itu!"

Terlihat alis Hoseok mengerut. Menjauhkan ponselnya saat suara di sebrang sana begitu memekikan telinga.

"Yoongi? Yoongi siapa?"
.
.
.
Jimin hanya mengaduk makan siangnya tanpa berminat untuk melahapnya. Selera makannya menguap entah kemana. Taehyung yang sedari tadi melihatnya begitu kesal dan akhirnya ia mengambil alih mangkuk makan siang Jimin yang masih utuh.

"Yaa Taehyung-ah! Itu punyaku!"

"Arra! Tapi kau tidak memakannya sejak tadi! Lihat! Kau sampai merusak tekstur mie ini berubah seperti bubur yang menjijikan!"

Jimin menghela nafas. Ia akhirnya membiarkan Taehyung melahap makan siangnya.

"Cih! Katanya menjijikan. Tapi tetap saja di makan! Bilang saja lapar!"

Taehyung tentu tak akan menjawab. Asal kalian tahu, Taehyung akan fokus jika sedang bersama makanan.

"Ahhh.. Kenyang!" Taehyung menyedot jus buahnya hingga tandas. Jimin hanya melongo di buatnya.

"Makanmu banyak, tapi kau tetap saja kurus kerempeng."

"Kau iri yaa?"

"Hmm.. Aku minum air saja jadi daging!" Keluh Jimin yang justru di tertawakan oleh Taehyung.

"Sudah! Lupakan tentang bentuk tubuh. Mau bercerita?"

"Bercerita apa?"

"Menceritakan cerita yang membuat kau seperti ini."

"Tidak ada."

"Kita masih ada 1 jam sebelum rapat kompetisi. Ayo! Ikut aku!" Taehyung menarik tangan Jimin namun di cegah oleh Jimin.

"Kemana?"

"Tempat yang selama ini menjadi tempat persembunyianku. Kajja! Jangan banyak bertanya!" Taehyung kembali menarik lengan Jimin dan membawanya keluar dari kantin menuju tempat yang di maksud Taehyung.

"Woaaah..." Jimin begitu terkesima saat mereka sampai di tempat. Taehyung membawa Jimin tidak jauh dari kampusnya.

Hanya di belakang kampus, namun ia sendiri tidak tahu jika ada tempat seperti ini. Lahan hijau dengan hamparan langit di atasnya membuat Jimin tak berhenti membulatkan matanya yang kecil. Terlalu kagum.

"Kenapa tidak pernah memberitahuku kalau ada tempat seperti ini?" Tanya Jimin seraya mengikuti Taehyung duduk di sofa yang sudah tersedia.

"Kau tidak pernah bertanya." Jawab Taehyung yang masih memejamkan matanya.

"Sungguh kau menyebalkan Tae!"
Taehyung hanya mengedikan bahunya acuh.

"Kakak pertamaku tak pernah menyayangiku." Ucap Jimin tiba-tiba saat tak ada pembicaraan sama sekali selama hampir 20 menit.

"Cih! Hidupmu terlalu sempurna untuk tidak mendapat kasih sayang keluargamu. Terutama kakakmu."

"Apa aku terlihat begitu bahagia?"

"Yaa, dari caramu menceritakan hyungmu dengan raut wajah bahagia. Itu sudah cukup memberitahu yang lain, betapa bahagianya seorang Jung Jimin."

"Waah, sepertinya aku harus masuk kelas Teater! Aktingku sangat baik ternyata bisa menipumu dengan senyum palsuku."

"Siapa bilang aku tertipu?"

"Eoh?"

"Aku bilang yang lain Jim. Bukan aku. Aku tidak tertipu asal kau tahu."

Dahi Jimin mengernyit tak mengerti dengan apa yang di katakan oleh seseorang yang men-cap dirinya sebagai sahabatnya itu.

"Kau tahu alasanku sering berada di tempat ini?"

Jimin terdiam lalu menggeleng perlahan.

"Karena aku saat itu aku sepertimu. Hanya saja masalahnya berbeda."

"Kenapa?"

"Ibuku, dulu ibu sering sekali mengacuhkanku dan lebih memilih pekerjaannya sebagai dokter. Ibuku terlalu sibuk dengan pasiennya. Operasi tiada henti. Bahkan ibuku akan terus berangkat meski tengah malam sekalipun. Aku pernah mengatakannya padamu kan? Bahkan saat ulang tahunku pun, ibuku tetap pergi ke rumah sakit karena ada pasien darurat."

"Lalu?"

"Aku menemukan ini saat aku merasa bersalah dengan diriku sendiri."

"Wae?"

"Permintaanku saat akan meniup lilin di ulang tahunku. Aku meminta, agar ibuku tetap terus bersamaku dirumah. Tidak lagi pergi kemanapun."

Jimin mulai mengerti kemana arah pembicaraan Taehyung.

"Ternyata, Tuhan mengabulkannya. Ibuku, benar-benar tinggal di rumah bersamaku. Tidak pergi kemanapun. Bahkan sampai meninggalkan profesinya sebagai dokter. Tapi, dengan keadaan koma." Ucap Taehyung begitu lirih di akhir kalimat.

Jimin tersentak. Satu lagi fakta yang ia tahu dari Taehyung. Jimin mengusap punggung Taehyung. Mencoba memberinya kekuatan.

"Saat itu aku sangat tidak ingin pulang ke rumah. Aku tidak ingin melihat ibuku yang terbaring. Aku selalu merasa bersalah saat melihat ibuku. Aku mengitari kampus. Tanpa tahu kemana arah yang akan membawaku. Sampai akhirnya aku menemukan tempat ini. Dan aku selalu pergi ketempat ini untuk meluapkan rasa bersalahku."

Jimin terdiam.

Rasa bersalah ya?

Apa mungkin Jimin juga merasakan itu? Rasa bersalah dirinya pada kakak-kakaknya. Merebut kebahagiaan sang kakak. Kasih sayang yang ia dapat dari Ayahnya. Kebebasan yang ia dapat dari Ayahnya, membuat Jimin merasa bersalah pada kakak pertama dan keduanya itu.

Dan dengan tidak tahu dirinya, Jimin justru masuk ke jurusan seni dengan alasan ingin menggantikan kebahagiaan kakak keduanya. Jung Hoseok.
Jimin tidak pernah menyadari, bagaimana raut wajah Hoseok saat dengan teganya ia menceritakan tentang gerakan baru yang ia dapat dari pelatih kompetisinya. Jimin sadar itu sekarang. Hoseok tidak akan pernah bahagia hanya karena dirinya bisa menggantikan Hoseok untuk meraih mimpinya.

Tanpa Jimin tahu, justru itu membuat Hoseok semakin terluka.

To Be Continued

Hallo!
Long time no see!!
Akhirnya aku ada waktu buat ngetik Ego...
Kalian masih nungguin kan?
Makasih loh kalian masih mau nungguin cerita inii..

Kalian tau?
Ngetik cerita ini tuh bener bener sambil bayangin Hobie.
Entah hanya aku yang terlalu perasa atau emang kalian juga ngerasa..
Ngerasa ada yang beda ga sih dari Jhope?
Sorot matanya, itu kaya yang lagi banyak bebaaan bgt..
Kaya lagi ada masalah yang cukup besar..
Entah itu masalah pribadi, atau masalah grup aku ga tau.. Tapi aku gak liat Jhope yang senyum sumringah sampai matanya pun ikut tersenyum..

Tapi, semoga aja gak bener yaa.. Semoga aja cuma perasaan aku aja.. Semoga ga ada apa-apa sama Jhope, atau pun member lain..
Semoga semua baik-baik aja..
Aku cuma minta satuu aja sama kalian.. Support terus Jhope hyung yaa.. Ahh bukan Jhope aja, tapi member lain juga..
💜💜💜

Soo, gimana sama chapter ini?
Semoga bisa menemani minggu kalian..

Sampai ketemu di chapter selanjutnya..

Papay!

Continue Reading

You'll Also Like

101K 18K 187
Jimin membutuhkan biaya untuk operasi transplantasi ginjal sang bunda namun dia bingung mencari uang kemana dalam waktu kurung 2 bulan. Sementara CEO...
54.9K 4.3K 15
Selain bakat dan pesona dari para membernya, cerita yang konsisten di bangun dalam MV BTS menjadi salah satu alasan banyak yang mengidolakan BTS. Bag...
80K 7.8K 23
Brothership Not BL! Mark Lee, Laki-laki korporat berumur 26 tahun belum menikah trus di tuntut sempurna oleh orang tuanya. Tapi ia tidak pernah diper...
1M 84.7K 29
Mark dan Jeno kakak beradik yang baru saja berusia 8 dan 7 tahun yang hidup di panti asuhan sejak kecil. Di usia yang masih kecil itu mereka berdua m...