SERPENT - NOREN

By spica01

32.9K 5.1K 665

Mereka adalah makhluk dengan karakter dualistik. Perlambang baik dan buruk. Gelap atau terang. Bijaksana, ata... More

SERPENT 00: The Dream
SERPENT 01: The Unexpected
SERPENT 02: The Casanova
SERPENT 03: The Black Knight
SERPENT 04: The Urge
SERPENT 06: The Chosen One
SERPENT 07: The Match
SERPENT 08: The First Step
SERPENT 09: The Myth
SERPENT 10: The Summer Camp
SERPENT 11: The Guardians
SERPENT 12: The Other Sign
SERPENT 13: The Aggression
SERPENT 14: The Heredity
SERPENT 15: The Prophecy
SERPENT 16: The Visit
SERPENT 17: The Secret Meeting
SERPENT 18: The Part Time Job

SERPENT 05: The Library Rendezvous

1.8K 316 28
By spica01


.


It's a mysterious thing, no one can't control it.


.


Renjun masih sibuk memasukkan id card perpustakaan ke dalam saku ransel, saat tangan Haechan melambai penuh semangat dari meja di sudut paling kanan study room lantai dua perpustakaan. Tumben sekali ruang belajar ini penuh sesak oleh pengunjung di Jumat sore, dan hanya menyisakan beberapa meja tak berpenghuni.

Mereka kembali membuat janji di perpustakaan kampus demi tahap finishing tugas bersama, sebelum dikumpulkan pada Senin besok. Haechan lagi-lagi memilih ruang belajar santai ini sebagai tempat pertemuan mereka dibanding ruang baca perpustakaan yang biasa. Karena di sini mereka bebas berdiskusi dan mengemil snack—jika suntuk—asal tidak mengganggu pengunjung lain. Itu mungkin hanya alasan. Padahal, kalaupun mereka mengerjakannya secara serius, tugas mereka mungkin sudah selesai sejak dahulu kala.

(Haechan itu... terlalu banyak bercanda, dan Renjun malah ikut terbawa suasana. Jadi pada kasus ini, mungkin mereka berdua sama-sama biang keladinya.)

Haechan menyapa Renjun, dan si Huang muda langsung duduk pada satu dari empat kursi yang mengelilingi meja persegi.

"Maaf, aku terlambat." Sekotak susu berperisa pisang—Renjun membelinya dari kafetaria—disodorkan kepada Haechan sebagai permintaan maaf.

"Wah, apa ini...? Ah, kau tidak perlu repot-repot!" Meski berkata begitu, tapi tangan Haechan tetap saja menerima upeti dari Renjun dengan sukacita. Anggap saja itu sebagai permintaan maaf karena Renjun terlambat lima belas menit dari jam bertemu mereka.

Laptop milik Haechan sudah menyala dan mengeluarkan bunyi mirip dengkuran halus akibat putaran kipas pendingin. Karena kinerja gadget itu mulai melemah, kabel charge terpaksa dihubungkan dengan outlet yang tersedia di setiap meja. Ada sekantung keripik gurih rasa rumput laut bersisa setengah, dan Renjun mendapati remah-remah berwarna hijau menempel cantik di sudut-sudut mulut temannya.

Risleting ransel dibuka, laptop dijajarkan rapi dekat buku-buku pinjaman perpustakaan sebagai sumber referensi. Hanya tinggal menambahkan kesimpulan dan daftar isi, maka tugas mereka siap bertumpuk manis di meja Profesor Park pada Senin pagi.

Keduanya segera larut dalam pengerjaan tugas. Berulang kali Haechan mengunyah keripik dengan riuh—dan Renjun terpaksa menyingkirkan jatuhan remah dari atas meja karena si pelaku kelihatan tidak terlalu peduli akan kebersihan diri.

"Ah ya, Haechan-ah, maaf karena aku hanya bisa sampai pukul lima. Aku harus menyiapkan makan malam, kebetulan ibuku sedang keluar kota sejak kemarin..." Renjun teringat kalau hari ini dia kebagian tugas untuk menyiapkan makan malam. Victoria ada perjalanan kerja ke luar kota, dan dirinya serta Lucas ditinggal berdua saja. Rumah dalam keadaan kosong—kebetulan isi lemari es juga, dan Renjun mesti memasak makan malam sebelum Lucas pulang pukul tujuh nanti. Duh, mana dia belum belanja pula...

Haechan meneguk botol air mineral di atas meja seraya memberi angguk tanda mengerti. "Kita memang tidak akan lama-lama, ayo lekas selesaikan ini semua agar kau bisa kembali ke rumah lebih cepat!"

"Hu-um."


.


Sinar matahari sore menembus langsung pada kaca-kaca jendela besar yang berjajar simetris di sepanjang dinding lantai dua. Sesuai kesepakatan, Renjun dan Haechan sudah berkemas dan bersiap untuk meninggalkan perpustakaan sebelum jarum-jarum jam menunjuk tepat pukul lima.

"Biar aku yang mencetak laporan kita, kau tenang saja..."

Haechan berujar meyakinkan sewaktu mereka menuruni anak-anak tangga menuju ke bawah. Pengunjung perpustakaan di lantai satu tidak terlalu ramai. Bagi sebagian mahasiswa, akhir pekan dimanfaatkan untuk mengulang lagi materi-materi yang telah diberikan sebelum hari ujian tiba—walau sebagian lain lebih memilih bersenang-senang untuk melepas penat, ketimbang berkutat dengan tumpukan buku.

Renjun tengah berpikir apakah dia bakal sempat memasak menu kesukaan Lucas, saat sesuatu membuat langkahnya terhenti di separuh undakan. Ada tiga pemuda berjalan melewati pintu kaca otomatis ruang baca di lantai satu. Dua di antara mereka memang berwajah asing, namun dia mengenal yang seorang lagi.

"Lee Jeno?" Renjun jadi ingin menampar mulutnya sendiri karena bereaksi lebih cepat dibandingkan kerja otaknya. Dia tidak ada maksud untuk menyapa Jeno dengan nama depan, dan membuat dirinya terlihat sok akrab dengan pemuda tampan itu. Renjun hanya... dia hanya ingin menyapa Jeno saja, tidak lebih.

Merasa terpanggil, kepala Jeno menoleh pada sumber suara. Sorot mata tanpa minat sewaktu mendengar dua temannya bicara, mendadak hidup begitu melihat sosok Renjun sedang menuruni anak-anak tangga.

"Oh, halo, kita bertemu lagi." Seulas senyum diberi, tubuh kaku Jeno merileks di bawah tatap teduh milik Renjun.

Oke, Renjun tadinya tidak ingin banyak bertanya mengenai pertemuan mereka yang seakan-akan seperti telah terencana. Ia dan Jeno tidak pernah sekalipun bersua di perpustakaan sebelumnya, atau dimanapun juga.

(Atau mungkin mereka pernah berpapasan di suatu tempat dan di suatu waktu, namun saling tak acuh karena belum mengenal satu sama lain.)

Renjun merasa intens bertemu Jeno seminggu belakangan, lebih tepatnya baru terlewat empat hari, terhitung setelah mereka nyaris bertabrakan di tempat penitipan sepeda. Sama seperti waktu bertemu di halte—ini suatu kebetulan belaka, ataukah memang jalan takdir keduanya lebih berkuasa? Bukan Renjun terlalu percaya diri atau bagaimana, tapi... apakah boleh dia merasa kalau ada sesuatu yang tengah terjadi di antara mereka? Walau Renjun berpikir begitu, namun dia benar-benar tidak tahu apa jawaban dari rentetan pertanyaan dalam otaknya.

"Kau sudah selesai di sini?"

"Ya."

Interaksi kecil itu membuat para rekan masing-masing menatap dalam heran.

Apalagi Haechan. Dia sudah membuat wajah komikal dengan mulut menganga lebar. OMG! Demi apa Renjun kenal dengan orang ini? Dari ribuan mahasiswa dan dia ternyata mengenal seorang Lee Jeno?! Pakai terdengar sangat akrab pula, konspirasi macam apa yang kini tengah mereka hadapi?!

Kenapa Renjun tidak mengatakan apa-apa saat Haechan menunjukkan foto Jeno untuk pertama kali? Apa dia pura-pura tidak tahu, atau hanya ingin tetap menunjukkan kerendahan hati karena mengenal orang—yang di lingkungan kampus mereka sudah bagaikan selebriti?

Argh, Haechan sungguh tidak mengerti!

Tapi, mau dilihat darimanapun, seorang Lee Jeno memang terlalu sempurna untuk disebut sebagai manusia (bahkan teman-teman dalam lingkaran mainnya juga sama saja). Haechan seolah menatap secara langsung pada sosok dewa dari surga... Mama, kenapa orang-orang tampan begitu indah untuk dilihat dan dipuja?

"Kenalanmu?" Seseorang—dari dua pemuda yang berdiri di belakang Jeno mengambil langkah maju, matanya menyorot penuh rasa ingin tahu. "Whoa! Dia manis sekali, aku tidak pernah melihatnya bersamamu selama ini!" Bisikan tadi terlontar cukup bersemangat begitu dia menatap langsung pada Renjun.

"Hyunjin, jaga tingkahmu..." seorang pemuda berambut hazel sudah merangkul bahu pemuda bernama Hyunjin tadi dengan bersahabat, walau nada bicaranya terdengar cukup memperingatkan. Hmm... karena bisik heboh Hyunjin, Jaemin jadi penasaran juga melihat tampang pemuda mungil yang baru saja Jeno sapa.

(Intonasi Jeno saat bicara sungguh berbeda dari cara biasa dia menyapa orang-orang di sekitar mereka. Terdengar lebih lembut dan penuh afeksi. Jeno seakan-akan bukan menjadi dirinya saja saat ini. Ah! Apa jangan-jangan anak ini adalah target baru Jeno setelah putus dari Yura?)

"Ya, kami mengenal satu sama lain." Jeno masih mengawasi langkah-langkah kecil Renjun meniti tangga, bahkan saat pemuda itu dan seorang temannya sudah berdiri di hadapan mereka.

"Ooh, kukira dia pacar barumu lho! Jarang-jarang kau mau menyapa orang selain kelompok main kita atau pacarmu..." ringis menggoda keluar dari mulut Hyunjin, dan tanpa diminta, pemuda itu tiba-tiba saja sudah mengenalkan dirinya sendiri. "Hwang Hyunjin-imnida... dan yang tidak lebih tampan dariku ini namanya Na Jaemin, kami mahasiswa Fakultas Ekonomi tahun kedua, salam kenal yorobun..."

Hyunjin itu benar-benar masokis. Dia bahkan tidak peduli pada tatap tajam Jeno saat selesai mengucapkan kalimat tadi. Jaemin nyaris saja menghadiahkan kepala Hyunjin sebuah jitakan penuh sayang—daripada dia berakhir didamprat Jeno—namun tidak jadi, begitu mendengar Renjun mulai mengenalkan diri, juga temannya yang bernama Lee Haechan.

Mereka berbincang singkat, dan tolong ingatkan Jaemin untuk bertanya lebih lanjut pada Jeno mengenai hal menarik yang baru saja terjadi.


.


"Kau tidak pakai sepeda?"

Lima pemuda itu berdiri di pelataran perpustakaan yang rimbun oleh pepohonan. Angin sore berembus ringan menyibak daun-daun pohon champor di atas kepala mereka.

"Ban sepedaku kempis tadi pagi, belum sempat dipompa." Renjun membalas kalimat Haechan dengan nada sedikit kecewa. "Ah, sepertinya aku harus bergegas. Kakakku bisa pulang kapan saja, dan aku belum sampai rumah..." dia menggumam pelan dan berniat mengucapkan salam perpisahan agar bisa secepat mungkin keluar dari area kampus.

"Mau kubonceng?" Haechan sudah membuka kunci pengaman satu sepeda dengan warna dominan putih dan keranjang di dekat stang yang berbanjar rapi bersama sepeda lain. "Aku bisa mengantarkanmu ke supermarket terdekat, bagaimana?"

Kebetulan sekali sepeda Haechan memang memiliki boncengan. Tapi kalau dia jadi mengantar Renjun, itu berarti Haechan mesti rela putar balik untuk pulang ke rumahnya yang berlawanan arah dengan letak supermarket.

Renjun menggeleng cepat-cepat. "Tidak usah, aku akan belanja di dekat rumahku saja setelah turun dari bus." Tidak sampai hati ia membuat temannya bersusah payah karena hal sepele macam begini.

Baru Haechan akan membalas ucapan tadi, suara Jeno keburu menyela. "Tunggu sebentar, Renjun-ah," ponsel sudah didekatkan ke telinga untuk menghubungi seseorang. Jeda semenit setelah Jeno bicara sopan pada orang di seberang sambungan telepon. "Renjun bisa ikut denganku kalau mau. Supir keluargaku kebetulan datang menjemput, Paman Yoo mengatakan kalau beliau sudah dekat lingkungan kampus..."

Mata Renjun mengerjap sekali. "Eh, tapi—"

Jaemin hampir saja tersedak liur sendiri. Demi apapun juga, itu tadi adalah kode keras kalau dia dan Hyunjin batal—alias dilarang menumpang mobil Jeno untuk sampai ke apartemen Jinyoung! Niat awal mereka memang begitu, tapi nasib ternyata berkata lain...

Kedua mata Hyunjin membulat, bibir mengerucut bersiap melancarkan protes, "Eeeh?! Bagaimana sih? Bukankah tadi kita sudah sepakat (karena kami tidak membawa kendaraan pribadi) dan akan memakai mobilmu dulu, menuju aparte—hummph!!" Kalimatnya sukses dibungkam oleh tangan Jaemin, hingga pemuda itu terserang panik dan coba memberontak. Mulut dibekap, penampakan Hyunjin kini serupa ikan yang baru saja diangkat dari dalam air.

Renjun dan Haechan menatap heran tingkah keduanya, sementara Jeno hanya tersenyum puas mendapati tindakan sigap Jaemin barusan.

"Ini saatnya kita pergi, Hyunjinie! Oi Jeno-ya, kau hubungi aku kalau jadi bergabung bersama kami, oke? Dan sampai jumpa lagi kalian berdua! Hasta la vista!!" Pemuda itu tersenyum lebar, lalu melakukan gestur salute seraya menyeret tubuh Hyunjin menjauh dari area perpustakaan. Mereka terus berjalan dalam posisi 'ajaib' dan sempat membuat orang-orang di sekitar mereka memandang dengan wajah bingung. Sebentar saja, batang hidung keduanya sudah tak nampak lagi saat keduanya berbelok pada tikungan menuju gerbang kampus.

Deham canggung terdengar, Haechan memandang bergantian pada Renjun juga Jeno. "Jadi... aku duluan... ya?" Ragu-ragu dia menaiki sepeda dan bersiap untuk mengayuh.

"Apa ini benar tidak apa-apa?" Sebelum Haechan meluncur pergi, Renjun bertanya lagi dengan nada penuh sangsi. "Maksudku, apa ini tidak merepotkan?"

"Sama sekali tidak."

"Tapi..."

"Ah, Yoo-ahjussi sudah tiba."

Pipi Renjun menggembung tanpa sadar karena merasa tidak diacuhkan, bahkan ketika mobil hitam mewah berjenis sedan eropa itu berhenti di dekat area parkir perpustakaan.

"Umm, kalau begitu, sampai jumpa di Senin pagi, Renjunie! Nanti kuhubungi lagi soal tugas kita, oke?!" Haechan terkekeh kecil seraya menunduk sopan pada Jeno. Pedal sepeda dikayuh penuh semangat, sosok Haechan-pun perlahan menghilang ditelan tikungan jalan.

Sebelum supir sempat turun dan membukakan pintu belakang, Jeno sudah melakukan hal itu untuk Renjun. "Aku juga sepertinya akan mampir ke Emart. Ada sesuatu yang mesti kubeli. Nah, kita bisa sekalian saja pergi ke sana."

Karena tidak ada yang bisa dilakukan lagi, Renjun hanya mengucapkan terima kasih saat dirinya sudah duduk nyaman dalam salah satu kendaraan mewah milik Keluarga Lee.


.


"Mau memasak apa?"

Mata Jeno melirik isi dalam keranjang belanja Renjun. Ada plastik bening berisi kerat-kerat daging sapi, tiga butir kentang ukuran sedang, beberapa umbi wortel, dan dua gelondong besar bawang.

"Sesuatu seperti kari atau beef stew mungkin... Aku seharusnya memasak ini sebelum kakakku pulang pukul tujuh nanti, umh, apa kau juga sudah selesai?" Renjun gantian menatap pada kemasan rolled oat dan sekantung berry segar campur dalam pegangan tangan si pemuda bermarga Lee.

"Sudah."

(Sejujurnya Jeno kurang suka saat mendengar nada penuh afeksi atau perhatian berlebih yang terlalu sering Renjun tujukan untuk sang kakak.)

"Hanya itu?"

"Ya. Di rumah nanti aku akan membuat overnight oat untuk sarapan pagi, sama seperti saat tinggal di apartemen."

"Jeno tinggal di apartemen sendiri?" Lagi-lagi mulut Renjun kelepasan bicara.

"Sejak tahun lalu. Apartemenku tidak jauh dari kampus," dia menggumam pelan. "Tapi terkadang aku pulang di akhir pekan. Seperti hari ini, Paman Yoo datang untuk menjemputku."

Selama beberapa detik, Renjun terpaku oleh segaris senyum di wajah Jeno. Ia kemudian memberanikan diri untuk menatap langsung pada dua mata dengan warna tak sama itu. Seraya menarik napas, akhirnya dia bicara dengan suara pelan. "Walau tinggal sendiri memang membuktikan bahwa kita bisa hidup mandiri, tapi... tinggal bersama dalam satu atap dengan keluarga, menurutku hal itu ada di atas segalanya."

(Ada jeda cukup lama di antara mereka yang hanya terisi oleh bising gemeretak roda-roda troli menumbuk lantai, obrolan samar para ibu dan rengek manja anak-anak mereka, juga riuh denting botol-botol saus atau kecap asin yang bersenggolan di atas rak sewaktu pengunjung sibuk memilahnya.)

"Begitu ya?" Kepala Jeno lalu mengangguk paham. "Keluargamu sangat beruntung karena memiliki dirimu di tengah-tengah mereka." Tatap mata itu lekat memperhatikan ekspresi terkejut setengah malu milik Renjun. "Kau sungguh berhati mulia, kau tahu itu?"

Mengalihkan wajah yang bersemu, Renjun berusaha menyangkal semua kalimat milik Jeno. Ia berpikir jika Jeno bahkan tidak—belum mengetahui apapun tentang dirinya. Dia tidak punya hak berkata begitu, walaupun semua ucapannya tadi terdengar tulus di telinga.

"Umh, aku sama sekali tidak..."

"Katakan saja kalau aku pernah melihat dengan mata kepalaku sendiri mengenai hal ini."

Kepala Renjun menoleh secepat mungkin, sampai-sampai dia sendiri merasa heran mengapa lehernya tidak mengalami dislokasi sendi akibat gerakan tadi.

"Eh?"

"Mungkin kau tidak tahu, tapi katakanlah kalau aku sudah pernah melihatmu bahkan jauh sebelum pertemuan kita belakangan ini."

Ujung-ujung bibir Jeno terangkat ke atas sebagai reaksi singkat atas aksi Renjun yang mendadak tertarik mendengar kisah dari mulutnya.



"Jadi, beberapa waktu lalu..."


.


Tbc


.


.


Kalau ke depannya fic ini jadi sangat absurd, tolong dimaafkan ya, hehehe... nggak banyak konflik, cuma kisah mythical-cryptid-romance di antara Noren aja :) Okee, kalau begitu, sampai jumpa lagi en ciaoo!!

Continue Reading

You'll Also Like

1.4M 59.3K 106
Maddison Sloan starts her residency at Seattle Grace Hospital and runs into old faces and new friends. "Ugh, men are idiots." OC x OC
187K 5.2K 43
" She is my wife, stay away from her!" " Keep trying she will remain mine. " " Show me your scars, I want to see how many times you needed...
168K 5.8K 43
โ if I knew that i'd end up with you then I would've been pretended we were together. โž She stares at me, all the air in my lungs stuck in my throat...
282K 9.5K 107
She was a capitol elite. He was the youngest victor in history. Their friendship was frowned upon, but their love was forbidden. Extended Summary Ins...