TRS (6) - A

By wulanfadi

4.5M 195K 40.6K

TELAH DITERBITKAN The Rules Series (6) : Alvaro Radyana Putra Ini cerita tentang Alvaro Radyana. Si Kasan... More

Prolog
N-D :: [1] Prom Night Idea
N-D :: [3] Cliche
HOW TO BUY A
N-D :: [4] "Jerk, is You"
N-D :: [5] True Love Never Exist
N-D :: [6] Cause I Hate You So
N-D :: [7] So I Will Sing
N-D :: [8] The Punch
N-D :: [9] Stalk
N-D :: [10] Mind-Blown
N-D :: [11] The Spontaneous Dinner
N-D :: [12] Revenge
N-D :: [13] Another Phobia
N-D :: [14] Flashback
N-D :: [15] A
N-D :: [16] Denied
N-D :: [17] Just Kidding
N-D :: [18] The Promise
N-D :: [19] Heartbeat
N-D :: [20] Seventh Target
N-D :: [21] Broadcast
N-D :: [22] Upside Up or Down
N-D :: [23] I'm Sorry
N-D :: [24] Dinner
N-D :: [25] The Text
N-D :: [26] Br(ok)en
N-D :: [27] You're Not His Girlfriend
N-D :: [28] Volleyball
N-D :: [29] So Do I
N-D :: [30] Crushed
N-D :: [31] This Is The Ending, Isn't It?
N-D :: [32] Time
N-D :: [33] I Want to Tell You Something
N-D :: [34] Dark Past
N-D :: [35] "Prom With Me, Pretty, Please?"
Epilog
Fun Fact and Upcoming One-Shot Story
5 One-Shot Story and The Title
One-Shot : B
One-Shot: Bad Boy Looks Good On You
BAB 1
BAB 2
BAB 3
BAB 4
Pengumuman Penting
Frequently Asked Question
OPEN PRE-ORDER!
Pre-Order - 2 [Promo Januari: Goody Bag A]
Tentang Goody Bag A
Buat yang Kebingungan Mesen / Beli A, No. Rekening, dan Lain-Lain
Tanggal Pengiriman Sesi 1 [16-01-2016]
Bedah Buku A: [31 Januari 2016]
Pre-Order - 3 [Promo Februari: Pillow Heart]
Poster A: Aku, Benci & Cinta
Trailer A: Aku, Benci & Cinta

N-D :: [2] Tutor? What About NO

180K 8.1K 497
By wulanfadi

N-D :: [2] Tutor? What About NO

Dari ketiga orang yang duduk diam dan memiliki sikap itu, hanya terdengar suara dentingan sendok beradu pada piring porselain mahal, kesayangan ibunya. Tidak ada yang berbicara, bahkan batuk sekalipun. Memang selalu seperti ini sejak insiden itu dan Alvaro berusaha memahaminya.

Tapi, akhirnya, ayahnya memecah keheningan. "Gimana sekolah?" tanyanya.

Alvaro mengambil segelas air minum, mereguknya, lalu menjawab. Jawaban yang konstan, berulang.

"Baik-baik saja."

Setelah ini, ibunya pasti menimpali. "Jadilah anak baik."

Dan Alvaro akan menjawab. "Tentu."

Sebenarnya, Alvaro tidak akan tahan dengan segala sikap formal ini andai saja ia tidak mengingat orangtuanyalah yang membiayai semua biaya rumah sakit milik Athala. Sikap formal inilah bayaran yang pantas agar Athala tetap ditunjang oleh alat-alat itu, supaya dia tetap hidup.

Meski rasanya Alvaro ingin menggaruk lidah saking gatalnya ia ingin berbicara non-formal. Seperti; "Ah, nanya itu mulu. Bosen. Yang lain, dong."

"Varo sudah selesai makan," ucap Alvaro seraya menyilangkan sendok dan garpunya di atas piring, mengangguk pada kedua orangtuanya dengan sorot mata patuh. Persis seperti anak anjing kesayangan majikan. "Varo pamit ke kamar, belajar."

Alvaro memang ke kamar, tapi ia berbohong. Dia tidak belajar, sibuk bermain PS.

Semuanya bermula saat kedua orangtua Alvaro masih akur. Mereka mengajak bocah berumur enam tahun itu ke panti asuhan yang dibangun oleh kedua orangtuanya. Awalnya, Alvaro menolak sekuat tenaga. Dia tidak mau semua mainan kesayangannya dibagi oleh orang lain.

"Ini 'kan mainan kesayangan aku semua!" bantah Alvaro keras, persis seperti sekarang.

Supir yang mengendarai mobil menuju panti asuhan itu mengerut mendengar suara keras tuannya. Majikan kecilnya itu memang tidak bisa dibantah atau dilawan.

Ibu Alvaro, Karyna, mengelus punggung Alvaro. Hanya ibunya yang bisa membujuk. Bahkan, ayah Alvaro tidak bisa.

Akhirnya, Alvaro setuju untuk membagi mainan-mainan yang menurutnya membosankan saja. Alvaro yakin panti asuhan itu sama membosankan seperti mainan miliknya.

Tapi, Alvaro kecil salah. Ia bertemu sosok yang dulu mewarnai hidupnya sekaligus menjadi mimpi buruk terbesarnya sekarang; Athala.

▲▲▲▲

"Jadi, ini nilaimu," ucapan bibinya, Linda, membuat Anggi mengerut di kursi yang berhadapan dengan bibinya sekarang ini.

Secara sangat kebetulan, bibinya menjadi guru musik di sekolah Anggi. Tidak banyak yang tau tentang ini karena baik Linda maupun Anggi malas menjadi bahan omongan. Biasanya jika murid memilki hubungan kekerabatan dengan guru di kelasnya, pasti disangka ada KKN.

Tapi, di sini Anggi, dipanggil oleh Linda karena nilainya jelek. Dia dapat C. Menyebalkan. Baru kali ini Anggi mendapat nilai sejelek itu. Sudah Anggi bilang pada Linda bahwa ia benar-benar tidak bisa memainkan alat musik, meski hanya sekedar menaik atau menurunkan tangga nada. Tapi, bibinya ini serius ingin menerapkan sistem No KKN. Bete.

"Tapi, Bi," bantah Anggi kesal. Cukup keras sehingga guru lain mendengar suaranya dan menengok. Anggi mengoreksi kata-katanya saat melihat pelototan Linda. "Tapi, Bu. Saya bener-bener gak bisa main musik. Ibu kasih test saya apa aja. Sejarah musik. Susunan tangga nada mol atau kres. Tokoh-tokoh musik. Apa aja! Saya bisa jawab."

Linda menggeleng. Membuat Anggi melengos kesal. Pasti karena murid lain yang mendapat nilai jelek juga mengulang test dengan memainkan alat musik. Bukan test biasa. Otak Anggi memang sangat pintar untuk test teori. Tapi test praktek? Ah, lupakan saja.

Melihat Linda seolah melihat seseorang di belakang Anggi, membuat lamunan cewek itu buyar. Anggi ikut menoleh ke belakang dan terkejut melihat Alvaro. Cowok itu membawa setumpuk kertas yang cukup berat bagi Anggi, tapi ia tau tidak bagi Alvaro. Dilihat dari cara membawanya yang hanya satu tangan. Sementara tangan lain sibuk menggulir layar ponsel. Rambutnya acak-acakan dan sedikit kemeja seragamnya keluar dari celana bahan.

Sok keren, hina Anggi dalam hati.

"Alvaro bisa jadi tutor kamu," ucap Linda tiba-tiba.

Alvaro yang tadinya cuek di belakang Anggi kini mendongak. Matanya sedikit melotot tanda kaget. Berbeda dengan Anggi yang rahang mulutnya serasa lepas karena begitu lebarnya ia melongo.

Berdeham, Alvaro bergerak maju. "Bu, saya kira Ibu meminta saya ke sini untuk bantu bawa kertas-kertas Ibu."

Wajah Linda mirip ibunya saat menggeleng dan tersenyum. Senyum jahat itu, Anggi bergidik. Linda itu seperti kakak jahat yang tidak pernah Anggi inginkan. Rambut lurus hitam, bibir tipis, tulang pipi yang timbul dan mata belo itu benar-benar mirip dengan Anggi. Anggi sendiri bingung kenapa tidak ada yang menyadari kemiripan ini.

"Memang, saya memintamu untuk bawain barang saya. Tapi sekaligus memintamu menjadi tutor Anggia," jelas Linda dengan suara tegas itu. Tidak terbantahkan.

Alvaro menaruh tumpukan kertas di meja Linda. Tidak sekalipun cowok itu melirik Anggi. Bukannya Anggi ingin dilirik, tapi rasanya tidak sopan. Ah, Anggi lupa. Alvaro tidak pernah sopan padanya.

"Tapi, Ibu tau sendiri Anggi bego banget main musik," Alvaro terlalu terus terang hingga rasanya Anggi ingin menjitak cowok itu. "Saya gak mau, ah. Mending kalo dia cakep. Jelek gitu. Galak lagi kayak godzilla."

Kenapa ada cowok macam dia, sih?

"Nilai sikap kamu, C," senyum di bibir Linda begitu menakutkan hingga Alvaro kali ini melongo. "Ah, Ibu! Kok gitu? Masa sikap saya dapet C? Biasanya juga A."

"Mampus lu," umpat Anggi pada Alvaro.

Linda menggeleng kepalanya dan mengusap pelipis. "Kamu juga. C."

"Ibu!" Anggi menatap Linda tidak terima.

Tawa Alvaro terasa sangat puas di telinga Anggi. Membuat hati Anggi rasanya sepanas api. Kalau ada sesuatu yang bisa melenyapkan Alvaro dari hidupnya, Anggi akan sangat berterimakasih.

"Sikap kalian berdua terhadap satu sama lain itu yang gak pernah bisa Ibu rubah," Anggi mengerut melihat tatapan Linda padanya dan Alvaro. "Kalian itu udah besar. Udah 17 tahun. Berhenti bersikap kayak kalian masih berebut mainan waktu TK."

"Tapi--" Anggi ingin membantah, tapi Linda memotongnya.

"Tujuan tutor ini bukan hanya untuk memperbaiki nilai Anggi, tapi kalian," kata Linda. "Ibu bukannya mau ikut campur. Tapi kelakuan kalian berdua itu udah di luar batas."

Anggi memang sering bertengkar dengan Alvaro. Banyak insiden yang terjadi di antara mereka berdua. Insiden kamar mandi. Insiden kantin. Insiden ruang janitor yang membuat seisi sekolah berhenti belajar. Insiden kelas dimana Alvaro membuat rambut Anggi terpotong hampir setengah dari panjang awalnya. Insiden tempat parkir. Sepertinya di semua tempat di sekolah ini, Anggi pernah bertengkar dengan Alvaro.

Padahal mereka ketua dan wakil ketua OSIS.

"Kalo saya jadi tutor dia, apa nilai sikap saya dapat diubah?" tanya Alvaro dengan menekankan kata 'dia'.

Menyebalkan.

Linda melepas kacamatanya, lalu mengangguk. "Tergantung dari sikap kalian."

▲▲▲▲

Alvaro menarik pergelangan tangan Anggi cukup kasar sehingga cewek di belakangnya itu tertatih-tatih mengikuti langkah panjangnya. Bukan saja kesal, tapi juga gondok karena dirinya ikut terlibat dengan masalah Anggi. Nilai C? Ha, yang benar saja. Alvaro pernah mendapat yang lebih buruk daripada itu. Tapi menyangkut kelulusan yang sedikit lagi di depan mata, sepertinya ia harus mulai peduli dengan itu.

"Apa sih?! Sakit!"

Alvaro tidak peduli Anggi meronta di belakang. Juga tatapan orang-orang pada mereka berdua. Alvaro tetap berjalan menyusuri koridor yang penuh dengan siswa lain. Dari tampang jahat Alvaro, sudah jelas tidak ada yang mau ikut campur. Bahkan guru sekalipun. Well, kecuali si Linda itu.

Akhirnya sampai. Tempat sepi yang cocok untuk menyiksa batin Anggi. Ah, betapa senangnya Alvaro.

"Apa, sih, Roo!" teriak Anggi kesal begitu Alvaro melepas pergelangan tangannya.

Alvaro berhadapan dengan Anggi dan menonjok dinding persis di sebelah kepala cewek itu. Anggi membeku, membuat senyum iblis Alvaro timbul.

"Gue mau lo pura-pura baik ke gue di depan Nenek Linda itu. Secepatnya," perintah Alvaro.

Alvaro memang tidak akan pernah mau berdamai dengan Anggi. Baginya, bertengkar dengan Anggi adalah salah satu kesenangan tersendiri. Kadang membuat Alvaro merasa lepas. Dengan berargumen serta adu tatapan sinis, setidaknya satu beban di punggung Alvaro hilang. Apalagi saat melihat wajah memerah menahan emosi yang ditunjukkan Anggi. Alvaro suka itu.

"Jangan panggil Tante gue dengan sebutan Nenek," protes Anggi dengan mata menyala-nyala.

Alis Alvaro naik sebelah. "Oh, dia Tante lo?"

Sepertinya Anggi salah omong karena sekarang cewek itu mengumpat dan membuang mukanya dari Alvaro. Ini membuat Alvaro tidak habis pikir. Kalau Nenek Linda itu benar tantenya, kenapa harus repot seperti ini?

"Ya udah, si. Minta Tante lo kasih nilai A, beres," simpul Alvaro.

Anggi mendongak dan menatapnya sinis. "Gue bukan lo yang bisa dapetin apapun yang lo mau. Bahkan jabatan."

Perkataan itu ternyata menyentil Alvaro. Ini sudah kelewat batas. Anggi tidak tau apa-apa tentangnya. Alvaro terima semua kata-katanya. Tapi kali ini, ia tidak mungkin melepas begitu saja.

"Lo pikir gue bayar jabatan gue? Karena lo! Karena lo cuma iri ke gue. Lo judge gue. Apa lo pernah mikir rasanya harus jadi anjing peliharaan? Lo mau? Lo bisa dapetin jabatan apapun, Anggia. Asal lo mau jadi seekor anjing itu," kata-kata itu keluar begitu saja. Kata-kata yang Alvaro sendiri tidak menyangka akan ia muntahkan pada Anggi.

Dan mungkin itu kesalahan terbesar Alvaro.

Seperti dirinya yang tidak pernah berargumen dengan Anggi dengan menyebut Anggia, sekarang cewek itu menangis. Anggi tidak pernah menangis. Tidak ada pertengkaran mereka yang diikuti air mata cewek itu.

Anggi menggigit bibirnya untuk meredakan isakan yang meluap. Ia semakin mundur ke belakang. Alvaro melepas tinjunya dari dinding dan ikut mundur. Memberi Anggi ruang. Perut Alvaro seperti dililit oleh rasa bersalah. Seharusnya ia tidak berkata sekeras itu. Anggi tidak salah apa-apa. Dia hanya kesal karena Alvaro seenaknya.

"Anggi, sori. Gue tadi emosi," kata Alvaro dengan suara kecil.

Tangis Anggi malah semakin keras. Cewek itu menutup kedua mukanya dan mulai terduduk. Ini membuat Alvaro kelimpungan. Dia menggaruk tengkuknya, menengok kanan-kiri apakah ada orang atau tidak. Dirasa aman, Alvaro berjongkok dan menyetarakan wajahnya dengan Anggi.

"Nggi?" baru kali ini Alvaro memanggil Anggi selembut itu hingga Alvaro sendiri bingung. Kenapa dia merasa sangat bersalah? "Gue brengsek banget, ya?"

"Itu tau," respon Anggi, beriringan dengan isak dan bahunya yang turun-naik.

"Ya gue minta maaf, deh."

"Males maafinnya."

"Dih," Alvaro cemberut dan memilin jemarinya. Ia lelah berjongkok, lantas duduk di lantai yang dingin. "Eh, jam istirahat bentar lagi selesai. Udahan nangisnya. Berasa drama banget sih, lu."

"Bodo. Sakit hati gue. Masa dibilang anjing," suara parau itu membuat Alvaro semakin kelabakan.

Ah, kenapa Anggi harus sesensitif ini, sih?

"Lagi PMS, lo?" tanya Alvaro.

"PMS gak berpengaruh ke gue."

Alvaro menghela napas. "Kalo gitu, apa yang buat lo seneng? Ha?"

Anggi kini melepas telapak tangannya dari wajah. Ia melihat Alvaro, tepat di mata. Sebenarnya belum pernah Alvaro sedekat ini dengan Anggi. Dan melihat wajah Anggi benar-benar terluka, membuat Alvaro ingin memukul kepala sendiri dengan tongkat bisbol. Tapi di sisi lain, Alvaro heran. Biasanya wajah cewek menangis akan sangat menakutkan. Maskara luntur. Bibir bengkak. Bulu mata palsunya jatuh. Bedak kemana-mana. Melihat Anggi malah lebih cantik dari biasanya, membuat Alvaro memalingkan wajah.

Masa jantungnya malah berdetak cepat? Apa-apaan.

"Cokelat," jawab Anggi dengan suara kecil.

Lalu Alvaro bersyukur detakan jantungnya kembali normal. Ia melihat Anggi yang kini cemberut dengan mata menuntut. Minta cokelat? Yang benar saja. Alvaro mendengus dan mengacak rambut Anggi.

"Beli sendiri," Alvaro berucap kejam.

▲▲▲▲

31 Desember 2014


Continue Reading

You'll Also Like

Tinkerbell By Em

Teen Fiction

1.2M 109K 59
[Telah tersedia di toko buku] You're my Peterpan, but I'm not your Wendy.
14M 718K 60
Silahkan kalian berimajinasi sendiri tentang bagaimana hubungan Anna dan Angga. Menurut mereka, hubungannya sempurna bukan karena bersama tapi kare...
98.7K 3.8K 39
[LENGKAP] Dia Gerryl Evans, cowok dengan sejuta pesona yang mampu menarik siapa saja untuk mendekat. Si pemilik iris coklat tua tajam itu selalu berh...
1.2M 84.2K 24
Sequel R: Raja, Ratu, & Rahasia "Ratu marah?" tanya Raja, napasnya tidak teratur, gelisah tak berkelanjutan berkecamuk di hatinya. Ratu diam. Bukan s...