Ujian Nasional

Oleh KalaSanggurdi

8K 588 40

Ujian nasional tengah berlanjut di Indonesia pada tahun 2014. Sarah bersama teman-temannya tengah mempersiapk... Lebih Banyak

Menteng: Rabu, 25 Desember 2013
Sawah Besar: Jumat, 24 Januari 2014
Sawah Besar: Senin, 14 April 2014 - Bagian 1
Sawah Besar: Senin, 14 April 2014 - Bagian 2
Sawah Besar: Senin, 14 April 2014 - Bagian 3
Sawah Besar: Senin, 14 April 2014 - Bagian 4
Sawah Besar: Senin, 14 April 2014 - Bagian 4 [Tambahan]
Sawah Besar: Senin, 14 April 2014 - Bagian 5
Sawah Besar: Senin, 14 April 2014 - Bagian 6
Sawah Besar: Senin, 14 April 2014 - Bagian 6 [Tambahan]
[Tambahan] Matraman: Selasa, 15 April 2014
Senen: Selasa, 15 April 2014 - Bagian 1
Sawah Besar: Selasa, 15 April 2014 - Bagian 1
Sawah Besar: Selasa, 15 April 2014 - Bagian 2
Senen: Selasa, 15 April 2014 - Bagian 2
Senen: Selasa, 15 April 2014 - Bagian 3
[Tambahan] Senen: Selasa, 15 April 2014 - Bagian 3
Senen: Selasa, 15 April 2014 - Bagian 4
Menteng: Selasa, 15 April 2014
Swapsikoanalisis Sarah: Rabu, 16 April 2014 - Bagian 2
Swapsikoanalisis Sarah: Rabu, 16 April 2014 - Bagian 3
Swapsikoanalisis Sarah: Rabu, 16 April 2014 - Bagian 4
Menteng: Rabu, 16 April 2014 - Bagian 1
Menteng: Rabu, 16 April 2014 - Bagian 2
Menteng: Rabu, 16 April 2014 - Bagian 3
Menteng: Rabu, 16 April 2014 - Bagian 4
Sawah Besar: Kamis, 14 April 2039

Swapsikoanalisis Sarah: Rabu, 16 April 2014 - Bagian 1

165 19 5
Oleh KalaSanggurdi

"Siapa kamu?"

[Aku Sarah.]

"Sarah?"

[Iya. Sarah Nur Syahbani.]

"Itu aku."

[Benar. Itu kamu.]

"Berarti kamu siapa?"

[Aku adalah kamu.]

"Apa?"

[Aku adalah kamu.]

"Maksudnya?"

[Aku adalah kamu.]

"Aku masih nggak ngerti."

[Aku adalah kamu yang berada di dalam pikiran kamu. Aku adalah kamu yang telah kamu lupakan karena kamu harus mempertahankan "kamu" yang lain yang berada di pikiran orang lain. Kamu lebih memilih "kamu" yang ada di pikiran Robi, Novi, Diva, bunda, ayah, dan semua orang lain. Kamu lebih memilih "kamu" yang lain untuk hidup sejahtera, selagi aku dilupakan. Aku, yang jelas dipunyai kamu. Aku, yang bukan punya orang lain.]

"Kamu ngomong apa sih?"

[Kamu kenal aku?]

"Nggak."

[Jelas. Kamu tidak kenal aku. Kamu kenal kamu?]

"Aku nggak ngerti kamu dari tadi ngomong apa. Udah, ah. Aku nggak mau ngomong sama kamu lagi."

[Kamu kenal kamu?]

[Kamu kenal kamu?]

[Kamu kenal kamu?]

"Aku di mana? Kenapa cuma ada kita berdua?"

[Kamu berada di dunia aku. Dunia yang telah lama kamu lupakan. Kamu bisa lihat anak kecil di sana?]

"Di mana?"

[Di belakangmu.]

"Ini..."

[Iya. Di belakang kamu berjejer semua hal yang telah kamu lewati. Selatan kamu adalah masa lalu kamu. Di belakang aku, atau utara kamu, adalah masa depan kamu. Barat dan timur adalah semua yang dapat terjadi baik di masa depan maupun masa lalu kamu. Sekarang, kamu bisa lihat anak kecil di sana?]

"Siapa?"

[Berjalanlah ke arahnya. Kamu akan tahu siapa.]

"Ini... aku?"

[Iya, itu kamu. Itu aku. Tapi dia juga bukan kamu, bukan juga aku. Dia adalah fragmen dari masa lalu yang kamu pendam. Kabut yang menyelimuti dia dan debu-debu yang beterbangan dari kulit dia adalah ulah kamu. Ia terlupakan. Sebentar lagi ia akan menjadi kabut dan debu.]

"Kenapa dia menangis?"

[Kamu tidak ingat?]

"Ingat apa?"

[Kenapa kamu menangis?]

"Aku... aku tidak ingat."

[Lihat ulah kamu. Anak kecil ini semakin diselimuti kabut dan menyublim menjadi debu. Coba ingat. Kenapa kamu menangis?]

"Aku... aku... Argh!"

[Dia lenyap.]

"Kenapa?! Ke mana dia?"

[Dia lenyap.]

"Kenapa?"

[Kamu melupakannya.]

"Aku... aku..."

[Kamu melupakan diri kamu sendiri.]

"Sarah."

[Kamu memanggil aku?]

"Kamu Sarah. Kamu itu aku."

[Benar. Aku adalah kamu.]

"Kenapa aku nggak bisa liat kamu?"

[Lihat ke sekelilingmu.]

"Nggak ada apa-apa."

[Selatan kamu.]

"Nggak. Nggak ngeliat apa-apa."

[Hanya kabut dan debu, kan?]

"Iya."

[Lihat seberapa luas masa lalumu yang telah kamu lupakan. Kamu bahkan telah melupakan aku. Hingga yang kamu lihat dari aku, hanya kabut dan debu. Aku di sini, Sarah.]

"Di mana?"

[Di belakangmu.]

"Di mana?"

[Di hadapanmu.]

"Aku nggak liat apa-apa!"

[Karena kamu telah melupakan aku.]

"Aku nggak ngerti!"

[Karena kamu memilih "kamu" yang tidak kamu miliki.]

"Aku nggak ngerti."

[Karena kamu memilih "kamu" yang dimiliki orang lain.]

"Aku nggak ngerti..."

[Karena di dunia ini, hanya ada aku. Dan "kamu" yang kamu rawat, ada di luar sana. Di dunia lain. Dunia milik orang-orang yang kamu jilat. "Kamu-kamu" itu tidak hidup di dunia ini. Yang hidup di sini hanya kamu dan aku.]

"Kenapa isinya cuma kabut?"

[Karena kamu telah melupakan dunia ini.]

"Aku nggak ngerti kenapa aku udah ngelupain kamu. Aku nggak ngerti kenapa aku udah ngelupain dunia ini."

[Pernah kamu bertanya kepada aku?]

"Bertanya apa?"

[Pernah kamu bertanya kepada diri kamu sendiri?]

"Bertanya apa?"

[Apa saja yang telah kamu lupakan?]

"Hah?"

[Apa saja yang telah kamu abaikan?]

"Maksudnya apa?"

[Kamu kenal aku?]

"Aku masih nggak ngerti."

[Kamu kenal kamu?]

[Kamu kenal kamu?]

[Kamu kenal kamu?]

"IYA!!! Iya! Aku kenal aku! Mana bisa aku nggak kenal diri aku sendiri?! Aku tau siapa aku!"

[Siapa kamu?]

"Aku Sarah Nur Syahbani. Umur aku tujuh belas. Aku anak IPA. Aku suka nasi goreng bunda. Aku suka minum susu. Aku suka belajar, baca buku, ngaji. Bundaku namanya Sari. Ayahku namanya Lintang. Bunda dokter, ayah tentara."

[Siapa kamu?]

"Tadi kan udah aku jawab!"

[Siapa kamu?]

"Aku Sarah Nur Syahbani!"

[Siapa kamu?]

"Aku Sarah!"

[Siapa kamu?]

"Aku Sasa!"

[Siapa kamu?]

[Siapa kamu?]

[Siapa kamu?]

"Aku nggak ngerti lagi, pertanyaan kamu..."

[Siapa aku?]

"Kamu sendiri yang bilang kalo kamu itu aku."

[Apa kamu ingat aku?]

"Aku nggak ngerti pertanyaan kamu."

[Apa kamu ingat aku?]

"Kamu itu aku, kan? Mana bisa aku nggak inget diri sendiri?!"

[Apa kamu ingat aku sekarang?]

"Argh!"

[Kenapa kamu terkejut? Kini aku punya wujud. Kini aku bukan lagi kabut dan debu. Kini aku adalah kamu.]

"Pake baju! Pake baju!"

[Baiklah.]

"Baju yang sopan! Mana kerudungnya?! Aku nggak bisa nggak pake kerudung!"

[Kamu tidak suka baju ini?]

"Nggak!"

[Bohong.]

"Apaan sih!"

[Kamu telah melupakan aku.]

"Kamu yang lupa diri! Ganti baju cepet! Sarah nggak kayak gitu!"

[Sarah seperti ini.]

"Nggak!"

[Bajunya lucu, kan?]

"Bajunya nggak sopan! Nyebar aurat!"

[Bunda bilang begitu. Iya. Bunda juga bilang, waktu itu, kalau kamu sudah dewasa. Sudah tidak boleh lagi membuka aurat. Kamu harus mulai pakai kerudung tiap keluar rumah. Benar?]

[Benar?]

[Benar?]

[Benar?]

"Waktu itu... Aku pertama kali mens. Aku mau keluar, main ke rumah Alisa. Aku udah nggak boleh pake kamisol... Hah?"

[Lihat, Sarah. Kabut di selatan menghilang.]

"Itu... aku?"

[Bunda memakaikan kerudung pertama kamu.]

"Kenapa aku nangis?"

[Karena kamu tidak senang pakai kerudung. Panas. Pengap. Rambut kamu jadi mudah lepek.]

"Aku waktu itu masih belum kebiasaan aja."

[Karena semenjak saat itu, kamu tidak bisa lagi memakai kamisol favorit kamu. Dan kamu iri. Alisa boleh pakai kamisol kesukaan dia. Bahkan sampai sekarang.]

"Itu dia. Aku beda."

[Itu kamisol favorit kita.]

"Kamisol nggak nutupin aurat."

[Itu kamisol favorit kamu.]

"Udah nggak lagi."

[Yang tetap kamu pakai sampai lulus SMP.]

"Di rumah doang."

[Tidak.]

"Iya."

[Hanya kalau kamu lagi sendiri di rumah.]

"Iya?"

[Kalau ada bunda, kamu tetap pakai kerudung.]

"Terus bunda bakal bilang aku nggak perlu pake kerudung kalo lagi di rumah."

[Lihat. Kabutnya menghilang lagi. Di selatan.]

"Itu... aku. Lagi belajar ngaji."

[Mas Faisal.]

"Aku inget ini kapan. Ini waku aku lagi ngafalin surat Al-Hujurat. Habis itu aku pergi main ke luar sama Alisa sampai maghrib."

[Lalu kamu selalu ingat. Ada bau khas yang muncul dari bunda tiap kali kamu selesai main. Selalu habis mengaji sama Mas Faisal.]

"Bau... bau apa?"

[Bau amis.]

"Bau amis?"

[Bau amis yang sama dengan bau amis yang kadang muncul dari Diva.]

"Ah, iya. Aku suka curiga. Aku tau Diva anaknya nakal. Aku curiga, jangan-jangan itu bau ganja."

[Berarti, bunda merokok ganja?]

"Nggak mungkin. Bunda nggak tahan asap rokok."

[Di utara, kabutnya mulai menghilang.]

"Itu Novi."

[Novi Tju. Anak pindahan, dari SLB.]

"Sama ayahnya."

[Cokro Handoyo Tju.]

"Ayahnya baik banget."

[Bukan itu yang kamu pikirkan saat itu.]

"Tapi emang ayahnya baik banget."

[Bukan itu yang kamu pikirkan saat itu.]

"Ya udah. Terus apa?"

[Dia mantan pendeta.]

"Ya... udah! Terus kenapa?!"

[Dia mantan pendeta.]

"Kenapa kalau mantan pendeta?!"

[Dia non-Muslim.]

"Terus kenapa kalau non-Muslim?!"

[Dia penghuni neraka.]

"Aku nggak pernah mikirin itu ke ayahnya Novi!"

[Dia penghuni neraka.]

"Stop!"

[Itu, kan? Yang kamu pikirkan? Waktu ayah Novi meninggal? Waktu kamu melayat ke rumahnya? Waktu kamu dilihat semua orang karena memakai kerudung?]

"Udah!"

[Semua orang di rumah itu penghuni neraka.]

"Udah!!!"

[Novi penghuni neraka.]

"UDAH!"

[Novi penghuni neraka.]

"UDAH! UDAH! Aku nggak mau inget ini. Aku nggak mau inget pikiran jahat ini. Aku nggak mau. Aku nggak mau. Aku nggak mau!"

[Lihat ulahmu. Semua menyublim menjadi debu. Tempat ini kembali diisi kabut.]

"Aku nggak mau inget ini. Aku nggak mau inget ini. Aku nggak mau inget ini. Aku—"

[Sebegitu menyakitkannya ya? Sampai kamu lari dari kenyataan?]

"Aku nggak lari dari kenyataan."

[Kamu berhenti mempertanyakan keadaan Novi dan ayahnya. Mereka penghuni neraka atau bukan? Kamu berhenti mempertanyakan, sampai kamu akhirnya tak pernah mengajak Novi masuk Islam.]

"Agama bukan mainan."

[Orang yang seperti Novi bisa diajak masuk Islam. Kamu hanya perlu mengajaknya. Tapi kamu tak pernah melakukannya.]

"Nggak segampang itu masukin orang jadi Muslim. Orangnya sendiri yang harus mau."

[Oh, Novi gampang mau. Lihat ke utara. Masih ingat?]

"Novi..."

[Kenapa orang Islam pakai kerudung?]

"Nggak. Aku nggak mau inget ini."

[Kamu yang bilang kenapa.]

"Aku nggak mau inget ini."

[Kamu cerita tentang Islam.]

"Aku nggak mau inget ini."

[Soal surga dan neraka.]

"Aku nggak mau inget ini."

[Dan Novi tertarik masuk Islam.]

"Aku nggak mau inget ini."

[Biar masuk surga, katanya. Biar bisa sama kamu dan ayah dia.]

"Aku nggak mau inget ini."

[Tapi kamu bilang—]

"Aku nggak mau inget ini!"

[Ayah Novi meninggal sebagai non-Muslim.]

"Aku nggak mau inget ini!!!"

[Jadi, ayah Novi menjadi penghuni neraka.]

"AKU NGGAK MAU INGET INI!"

[Tapi, kata Novi, mama bilang papa pergi ke surga.]

"NGGAK!"

[Dan kamu bilang—]

"NGGAK!!!"

[Mamamu salah. Papamu bakal masuk neraka.]

"NGGAK!!!"

[Lihat diri kamu. Kamu menangis, sekeras Novi menangis waktu itu. Kamu meronta, sekeras Novi meronta waktu itu. Kamu bahkan menolak kenyataan, seperti bagaimana Novi menolak kenyataan waktu itu. Sehabis ini, seperti biasa, kamu akan meminta maaf kepada Novi. Kemudian, kamu akan berbohong agar Novi menenang. Kamu akan berbohong bahwa semuanya baik-baik saja, dan ayahnya berada di surga. Nanti, kamu akan melakukan hal yang sama kepada dirimu sendiri. Kamu akan membohongi diri kamu sendiri, bahwa semuanya akan baik-baik saja.]

"Kenapa..."

[Kamu tahu persis bahwa bohong itu dosa. Kamu belajar itu dari Mas Faisal. Namun kamu berbohong. Berkali-kali. Meski kamu merasa bersalah. Meski kamu tahu itu salah. Kamu berbohong, dan berbohong. Berbohong kepada diri sendiri.]

"Terus kenapa? Demi kebaikan orang lain. Demi kebaikan Novi. Aku harus!"

[Demi kebaikan diri kamu sendiri?]

"Aku nggak bohong ke diri sendiri!"

[Lihat ke utara. Hapus kabutnya. Kamu ingat?]

"Diva... Ih!!!"

[Rambut Diva masih ungu waktu itu.]

"Aku nggak mau inget ini!"

[Kamu mau ingat ini.]

"Apaan sih!"

[Ini pertama kalinya kamu melihat kelamin laki-laki dan kelamin wanita bertemu, kan? Setidaknya, di layar handphone lah. Lihat, Diva menyengir melihat kamu yang langsung jijik dan menutup mata.]

"Ih! Udah!"

[Tapi kamu masih lihat dari sela-sela jari. Prosesnya, hingga selesainya. Diva setengah tahu, mungkin. Dia bangga sudah mengajarkan kamu sesuatu yang tak pernah benar-benar kamu pelajari. Di sisi lain, kamu juga bangga, kan?]

"Apaan sih! Aku nggak bangga!"

[Kamu bangga sudah pernah lihat. Kamu penasaran. Kamu tak pernah benar-benar menyentuh tubuh kamu sendiri, apalagi tubuh laki-laki. Lalu datang orang seperti Diva. Perempuan yang terlalu cantik untuk jadi teman kamu. Perempuan yang parasnya biasanya cuma ada di sekumpulan perempuan cantik lain yang takkan benar-benar berteman dengan perempuan biasa seperti kamu.]

"Diva nggak kayak gitu. Diva beda."

[Dan kamu iri dengan perbedaan itu. Kamu bisa melihatnya di selatan.]

"Itu... habis pelajaran olahraga?"

[Kamu iri dengan lekuk tubuhnya. Kamu iri dengan payudaranya. Kamu iri dengan bokongnya. Kamu iri dengan tatonya. Kamu iri dengan bersih selangkangannya.]

"Apaan sih, kamu?! Jorok!"

[Jorok? Iya. Sesuatu yang kamu benci? Tidak. Kamu ingin seperti dia, kan? Secantik, seseksi, dan seberani dirinya.]

"Udah! Jorok! Jorok. Jorok!"

[Tapi kamu menyalahkan Diva. Karena kamu iri.]

"Nyalahin gimana?!"

[Diva tidak seharusnya pakai baju ketat. Dosa. Tidak seharusnya punya tato. Dosa. Tidak seharusnya mengecat rambut. Dosa. Tidak seharusnya menonton percumbuan. Dosa. Tidak seharusnya melakukan percumbuan. Dosa. Tidak seharusnya. Dosa. Dosa. Dosa. Dosa. Semua yang ia lakukan adalah dosa. Semua keberanian itu adalah kenekatan. Semua itu pembangkangan. Diva adalah jalang, seorang non-Muslim—]

"Nggak."

[Diva adalah penghuni neraka.]

"Nggak!"

[Tapi Diva boleh memakai kamisol. Jenis baju favorit kamu. Diva boleh mengecat rambut menjadi ungu. Warna favoritmu. Diva boleh berpacaran. Hal yang kamu dambakan, yang kamu campakkan tiap kali kamu melihat laki-laki favoritmu. Diva boleh melakukan apa saja. Sesuatu yang ingin terjadi kepada kamu.]

"Udah."

[Diva bahkan boleh tidak peduli terhadap neraka. Dan mungkin itu juga alasan dia bebas melakukan apa saja. Bahkan boleh bunuh diri.]

"Udah!"

[Kamu iri sama Diva. Karena Diva tidak membohongi diri sendiri. Diva jujur. Jujur tentang apa yang ia mau. Jujur tentang siapa dirinya. Sesuatu yang tidak dapat kamu lakukan kepada diri kamu sendiri. Karena kejujuran dialah, Diva dijauhi banyak orang. Karena kejujuran dialah, Diva dibenci para guru. Karena kejujuran dialah, Diva menjadi penghuni neraka.]

"Udah!!!"

[Tapi kamu lebih pintar dari Diva. Kamu membohongi diri kamu sendiri. Kamu ubah iri kamu menjadi tuduhan. Kamu ubah keinginan kamu menjadi hal jorok yang menjijikkan. Dan karena itu, kamu lebih beruntung dari Diva. Kamu punya banyak teman, disukai guru, dan seorang penghuni surga. Tidak seperti Novi. Tidak seperti Diva. Kamu abaikan keinginan kamu, kepribadian kamu, dan kenyataan kamu. Kamu lari dari kenyataan. Kamu lari dari diri sendiri.]

"UDAH CUKUP! AKU NGGAK KAYAK GITU. AKU ANAK BAIK. AKU ANAK SALEHA. AKU HARUS JADI ANAK BAIK. AKU HARUS JADI ANAK SALEHA. JANGAN BANDINGIN AKU SAMA NOVI ATAU DIVA. MEREKA BEDA! MEREKA BUKAN AKU!"

[Anak baik? Anak saleha? Kamu sudah gagal jadi keduanya. Di perbatasan antara utara dan selatan. Di tengah-tengah dunia ini. Kamu bisa lihat kegagalan kamu.]

"CUKUP!"

[Lihat.]

"CUKUP!!!"

[Ada Robi.]

"ARGH!!!"

[Ia memasuki kamu.]

"UDAH!!!"

[Dan kamu menyukainya.]

"UDAH! AKU MAU NGELUPAIN SEMUANYA! AKU NGGAK MAU INGET APA-APA LAGI! AKU NGGAK MAU! NGGAK MAU! NGGAK MAU!!!"

[Dasar. Kini semuanya hanya kabut dan debu.]

Lanjutkan Membaca

Kamu Akan Menyukai Ini

Edelweiss Oleh Zee

Fiksi Remaja

143K 6.9K 30
"Hai. Kau suka dengan potret yang ini kah?" Tiba - tiba seorang pria berparas tampan, dan tinggi telah berada disamping Dea. "Eh. Hai, iya sangat suk...
829K 25.6K 72
Elia menghabiskan seluruh hidupnya mengagumi sosok Adrian Axman, pewaris utama kerajaan bisnis Axton Group. Namun yang tak Elia ketahui, ternyata Adr...
60.5K 10.4K 40
Edisi BeckFreen...
22.3K 941 8
Pengampunan adalah gunung emas bagi hamba yang berdosa. Seorang ibu menjadi syahid di bayang hitam kamarnya, meninggalkan wasiat yang amat tajam laks...