MENIKAHI KAKAK IPAR

By Dewitya05

55.4K 1.3K 50

Ketika janji harus ditepati, mampukah Dika memenuhi janji mendiang sang kakak. Untuk menjadikannya Ayah dan S... More

Part 2 POV Vira
Part 3 POV Dika
Part 4 POV Vira
Part 5 POV Dika
Part 6 POV Vira
Part 7 POV Dika
Part 8 POV Vira
Part 9 POV Dika
Part 10 POV Vira
Part 11 POV Dika
Part 12 POV Vira
Info
Suara Author
Suara Author 2
free PDF MKI khusus hari ini!!!

Part 1 POV DIKA

10.2K 156 3
By Dewitya05

Bismillah! Semoga terhibur 🙏🏽😊

❤❤❤

“Lo, serius mau nikahin Kaka ipar, Lo?” Robi menjentikkan rokok yang ada di sela jarinya.

Aku menatap Robi sekilas, yang tengah duduk santai di kursi dalam kamar kost dengan kaki kiri terlipat di atas kaki kanannya. Aku mengangguk pasrah lalu kembali mencari jalan keluar dari masalah yang sedang kuhadapi ini.

Kalau saja malam itu aku tidak mengiyakan janji Abangku. Aku tidak akan dapat masalah yang setiap hari makin bertambah bebannya. Apalagi saat melihat senyum dari wajah polos Almira buah hati Bang Dito dan Mbak Vira seolah kata-katanya bak mantra yang enggan hilang dari pendengaran.

Namun, siapa yang bisa menolak di saat situasi seperti itu. Kurasa presiden pun tidak mampu menolak saat menerima titah dari orang yang ia sayangi. Kakak kandung sendiri.

Bang Dito mengidap penyakit maag akut yang secara berangsur melemahkan semua daya tahan tubuhnya. Hampir satu bulan ia terbaring di rumah sakit. Aku, Ibu, dan tentu Mbak Vira menjaga bergantian.

Seringnya aku ditugaskan menemaninya di malam hari setelah perkuliahan usai. Karena nggak mungkin Mbak Vira yang tengah hamil besar menungguinya setiap saat.

Kasian akan Almira yang masih dalam kandungan saat itu. Dan tepat sebulan sebelum kelahiran Almira, Bang Dito menghembuskan napas terakhir yang sebelumnya kembali masuk ruang ICU tidak sadarkan diri selama tiga hari.

Dulu sebelum Ayah meninggal pun, Beliau berpesan untuk pantang sekali sebagai laki-laki mengingkari sebuah janji. Hal itu pun selalu kami taati hingga kini. Usiaku dan Bang Dito terpaut sepuluh tahun.

Saat itu Bang Dito baru saja lulus SMA berjanji melindungi aku dan Ibu, membawa perekonomian keluarga menjadi stabil setelah usaha Ayah hampir bangkrut karena Beliau sakit yang cukup menguras tabungan keluarga.

Aku yang saat itu baru berusia 10 tahun berjanji pada Ayah menjadi anak yang penurut, tidak pernah menuntut bahkan ribut seperti anak seusiaku suka kebut-kebut di jalan.
Aku menepatinya dengan menjadi anak yang baik meski tidak sehebat Bang Dito.

Setidaknya, aku tidak merepotkan mereka dengan segala tingkah yang biasa anak seusiaku lakukan.

Kali ini, aku dapat sebuah janji yang sesegera mungkin harus kutetapi. Namun, sulit sekali untuk dijalani bahkan sekedar melontarkannya, siapa sangka aku harus menikahi kakak ipar sendiri.

“Terus, si Lili Lo mau ke manain?” Robi lagi melontarkan pertanyaan yang seolah membuat otakku tidak berfungsi.

Lili, gadis manis yang sejak awal masuk kuliah telah mencuri hati ini.
Dia si pemilik mata teduh. Kami dekat bahkan sering jalan bareng. Namun, tidak ada ikrar bahwa kami pacaran.

Aku lebih suka begitu. Karena nggak akan ada istilah mantan jika tidak lagi ada kecocokan antara kami. Lili pun tidak protes akan hal itu. Namun, lagi-lagi si lidah tidak bertulang merapalkan sebuah janji.

“Tau, lah. Ngobrol sama Lo, sama sekali nggak kasih gue solusi,” ucapku ketus, mengusap wajah yang kian frustrasi.

“Ye, lu kok marah Dik. Gue kan beneran tanya si Lili mau dikemanain. Dia beneran cinta sama lu. Lu kan janji mau nikahin kalau lulus nanti.” Robi menghempaskan asap rokok yang keluar dari sela bibirnya tinggi-tinggi semakin membuat udara dalam kamar indokost kian pengap.

“Ya itu kan nanti, sekarang masalahnya janji gue sama Bang Dito. Gimana caranya gue tepatin.”

“Ya, nikahin kaka ipar lo.”

“Masalahnya, mana mau Mbak Vira sama gue?”

Yakin, pasti Mbak Vira nggak mau. Sama aku yang masa depannya masih abu-abu ini. Kalau dibandingkan sama mendiang suaminya. Bang Dito sudah sukses secara finansial. Nah, aku. Uang kuliah aja masih dibiayai beliau.

Mbak Vira, salah satu Dosen yang kebetulan mengajar di kampusku. Mengingat hal itu, semakin membuat nyaliku ciut. Level kami jauh berbeda.

“Ya, pasti mau kalau lo bilang punya janji.”

Aku tidak lagi menimpali ucapan Robi. Yang dengan gampangnya bilang tepati janji. Menyambar ransel dan buru-buru keluar kamarnya  yang kian pengap yang semakin memperkeruh pemikiranku.

***

Motor besar yang kunaiki melaju pelan, membelah jalanan ibukota yang tak pernah lengang. Pikiranku kembali melayang antara ingkar atau menepati.

Jika saja, perjanjian ini biasa ditukar aku rela ditukar dengan apa pun. Bahkan motor kesayangan ini, aku rela. Sayangnya siapa yang mau? Karena janji adalah hutang dan hutang harus segera dibayar.

Aku berhenti tepat di depan masjid saat adzan magrib mulai berkumandang. Memarkirkan motor di halaman masjid yang mulai dipenuhi para jamaah yang juga ingin memenuhi panggilan-Nya.

Saat tidak ada yang bisa memberi solusi, ada Tuhan Sang Maha Pengendali hidup ini. Begitu ustaz yang mengisi kultum bada magrib tadi. Ya, aku hanya bisa berpasrah akan masalah yang tengah aku hadapi. Semoga segera dapat jalan keluar.

Aku kembali melanjutkan perjalanan, untuk segera sampai rumah meski belum dapat jawaban pasti akan doaku saat magrib tadi. Ya, setidaknya aku sudah mengadu kalau aku tengah kesulitan menghadapi hidup yang penuh cobaan ini.

Tanpa terasa, motor sudah sampai di depan rumah minimalis berlantai dua. Rumah yang selalu hangat meski duka masih menyelimuti. Baru seratus hari kepergian Bang Dito.

Jejak-jejak duka masih tertinggal yang terlihat jelas dari raut-raut wajah wanita dalam sana. Terkecuali Almira yang sekarang tangannya sedang lincah menggapai-gapai sesuatu yang ada di depannya.

Kurasa bagian dari tubuhku yang menjadi mainan paforitnya adalah rambut yang gondrong ikal ini.

Almira selalu sukses menjambak rambutku dengan gemas dan dia akan tertawa girang saat aku meringis kesakitan.

Hanya Almira, yang bisa mengembalikan wajah-wajah muram kembali ceria saat melihatnya.

Kuedarkan pandangan menyapu ruang tamu yang sepi. Berlanjut ke ruang keluarga pun juga sama. Seperti tidak ada tanda-tanda kehidupan. Ini baru habis magrib mana mungkin Ibu dan Mbak Vira langsung tidur.

Biasanya masih ramai dengan celoteh Ibu yang menggendong Almira di ruang ini. Atau mereka sedang pergi? Ah, mana mungkin Ibu seceroboh itu kalau pergi tidak mengunci pintu.

“Bu!”

Hening.

Beberapa saat, sayup terdengar isak tangis dari sudut ruangan sebelah tangga menuju lantai dua. Itu adalah kamar Mbak Vira, sepertinya aku mengenali suara isak tangis itu meski lirih.

Aku mencoba mendekat dan kali ini terlihat jelas bahwa Ibu tengah menangis memeluk Mbak Vira lewat celah pintu kamar yang tidak tertutup rapat.

“Ibu nggak mau kalian pergi dari sini.” Suara Ibu yang terdengar parau menahan Isakan.

“Bu, setiap weekend aku dan Almira bisa datang ke sini. Juga kalau ibu rindu Almira kapan pun Ibu bisa datang dan bawa Almira menginap.”

Aku mengerutkan kening saat mendengar ucapan Mbak Vira barusan. Weekend? Berkunjung? Itu artinya Mbak Vira mau pergi dari sini?

Shit!

Aku tahu penyebabnya.

Aku segera berlari menuju kamarku di lantai dua. Mendinginkan otak yang mulai mendidih memikirkan masalah yang kian pelik ini. Kurasa mandi cukup ampuh untuk diri ini bisa mengambil keputusan yang harus segera kuputuskan.

*

Acara makan malam kali ini tidak seperti biasanya. Kutatap bergantian ke dua wajah wanita yang ada di hadapanku, yang terlihat enggan menyantap makanan yang tersaji di atas piring mereka.

Kutahu Mbak Vira dan Ibu sedang dalam pikiraannya masing-masing.

Ibu yang memikirkan akan ditinggalkan cucu tersayang dan Mbak Vira merasa tidak enak meninggalkan ibu yang pasti hari-harinya bertambah sepi setelah ditinggal Bang Dito pergi.

Atmosfir dalam ruangan tiba-tiba saja mendadak menegangkan, seolah aku sedang dihadapkan pada sebuah jurang yang aku harus terjun ke dasarnya.

Jantung yang tiba-tiba saja berdetak lebih cepat, lidah yang seketika kelu untuk sekedar merapalkan kata-kata.
Aku menarik napas meski terasa berat. Bismillah dan ....

“Bu, ijinin aku nikahin Mbak Vira.” Akhirnya lolos juga kata-kata ajaib yang keluar dari mulutku.

Ucapanku barusan, sontak saja membuat kedua wanita berbeda generasi ini menatapku tak percaya.

Kini, aku siap mendengar jawaban mereka.

Next

Continue Reading

You'll Also Like

KING [End] By Kim Ryu

General Fiction

4.8M 263K 53
Queenaya Rinjani harus membayar hutang sang ayah kepada seorang CEO sekaligus seorang pemimpin mafia, dengan ikut bersamanya. Apakah Naya bisa bertah...
222K 12.2K 30
( sebelum membaca jangan lupa follow akunnya 👌) yang homophobia di skip aja gak bisa buat deskripsinya jadi langsung baca aja guys bxb bl gay homo ...
80.4K 13.7K 44
"Resusitasi adalah prosedur medis darurat yang dilakukan untuk menyelamatkan nyawa seseorang saat pernapasan atau jantungnya berhenti. Lakukan dengan...
SCH2 By xwayyyy

General Fiction

371K 44.8K 100
hanya fiksi! baca aja kalo mau