Angel With a Glasses

By TsubasaKEI

11.5K 1K 479

Bukan salah Fang kalau ia tidak suka manusia, mereka makhluk lemah, tidak seperti malaikat. Tidak sepertinya... More

A Stalking Angel
S.O.S! The Big guy is Missing!
And There'll be War
Not In War Yet, Just Stuck In Confusion
TeamWork Makes The Dream Works
Hello, Who Are You?
Five Pillars
Hi, I Am
Away, Anew
Tubruk
💛Ying & Ocho [Character Sheet]💙

To Mourn is To Let Go

742 88 39
By TsubasaKEI

~Angel With a Glasses~

By: TsubasaKEI

Don't try to make it yours!

Enjoy~

Warning: blood, character death.
Be prepared, it's going to be a hell of a ride.

---------------------------------------------
Chapter 6: To Mourn is To Let Go

Boboiboy mengerang saat ia mendengar seseorang mengetok pintu kamarnya. Ia masih ingin meringkuk mencari kehangatan didalam selimut dan kembali ke dunia mimpi. Jam berapa ini?

"Boboiboy? Ini Atok."

Atok? Mendengar kakekknya yang mengetuk, Boboiboy memaksakan diri untuk bangun. Ia meregangkan tubuhnya bak kucing.

"Tok?" Boboiboy menguap dan terpincang membuka pintu. "Ada apa pagi-pagi ni?"

Wajah Atok pucat seolah melihat hantu. Alisnya mengerung sedih. "Boboiboy... kau... dengar kabar dari Gopal tak tadi malam?"

"Gopal? Tak lah. Aku tertidur pulas tadi malam. Ada apa memang?" Mendengar itu wajah Atok berubah bimbang. Atok menggaruk belakang lehernya yang mendadak gatal.

'Ada sesuatu yang terjadi...'

Boboiboy menggenggam tangan kakeknya lembut dan berkata perlahan. "Atok, ada apa? Atok bisa cerita ke Boboiboy. Ada apa dengan Gopal?"

Rasanya tidak mungkin sahabat baiknya itu membuat onar sampai membuat kakeknya khawatir seperti ini. Gopal memang suka menimbulkan situasi jenaka. Cara dia bertingkah, ucapannya  yang sering menggelitik perut dan menarik tawa hingga Boboiboy tertawa terpingkal-pingkal.

Ada sesatu yang pecah bercerai di saat sosok Atok yang begitu tegar menitikan air matanya dan bertumpu pada cucunya ketika lututnya lemah bergetar. Jantung Boboiboy berhenti berdetak ketika Atok terisak dan berkata;

"Gopal meninggal, Boboiboy."

.
.
.
.
.
.
.
.

Menurut kesaksian Pak Kumar —ayah Gopal, Kemarin Gopal keluar rumah sekitar pukul 7 malam untuk membeli cemilannya yang habis. Lewat pukul 12 malam Gopal tidak kunjung pulang. Beliau memutuskan untuk mencari Gopal, namun mereka hanya membawa pulang rasa panik yang kian menggebu. Batang hidung Gopal tak kunjung nampak. Pukul 2 pagi, Rob Burger menelpon keluarga Gopal dan berteriak kalau polisi tidak sengaja menemukan Gopal tidak sadarkan diri di halaman rumah terbengkalai yang setengah hancur, puing-puing dan asap mengebul, seolah granat baru saja dilempar ke arah gedung.

Boboiboy berlari sekencang mungkin. Ia bisa mendengar sirine dan melihat lampu berkedip-kedip dari kejauhan. Ada seseorang yang menangis meraung-raung.

"Itu anak aku! Kau nak apakan dia hah?! Minggir! Minggir aku kata!" Dua orang aparat keamanan menahan Pak Kumar sebelum ia dapat menyerbu lokasi. Petugas medis tetap bekerja tenang di bawah tekanan dan mata penasaran. Boboiboy bisa melihat mereka mengitari sesuatu yang terbaring di rumput, tidak bergerak. Beberapa orang mendokumentasikan dengan ponsel mereka. Boboiboy merasa ingin membuang ponsel-ponsel itu.

Langit berubah kelabu—kenapa mereka berubah kelabu?—dan rintik pertama jatuh di pangkal hidung Boboiboy. Tetesan berikutnya mengikuti; satu, dua, tiga. Tetes ke empat mengalir hangat di pipinya. Boboiboy tidak sempat menghapusnya, hujan sudah terlebih dulu turun dengan deras.

Tanpa sadar, kaki Boboiboy sudah membawanya ke tengah-tengah pusat perhatian. Sesuatu membuat orang-orang diam sejenak, membuka jalan untuk bocah yang perlahan berjalan menuju sahabatnya. Pak Kumar berhasil membobol blokade dan ikut berlari ke samping Boboiboy. Tidak pernah sebelumnya Boboiboy melihat ayah Gopal menangis. Dia adalah pria yang keras, rotan siap ditangan setiap kali Gopal berbuat ulah. Namun sekarang pria itu menangis meraung-raung meneriakan nama anaknya.

Angin berkecamuk, guntur bergemuruh tajam di atas mereka, mencerminkan hati orang-orang di lokasi. Boboiboy diam melihat personil medis cepat-cepat menaikan tubuh Gopal yang tertidur ke atas tandu, menutupi tubuhnya dengan kain putih bernoda merah luntur di bagian dada.

Sesuatu mencakar dada Boboiboy dengan keji. Kuku-kuku tajam kasat mata menancapkan dirinya kedalam daging dan menggali sungai merah. Sakit. Tapi keadaan yang terjadi membuat kaki Boboiboy menjangkar di tanah.

Boboiboy tidak sadar kapan hujan mendadak berhenti menghantam kepalanya. Ataupun mantel yang menutupi tubuhnya, dan juga seseorang yang memegang bahunya ketika ia bergetar kedinginan.

'...Boboiboy..?'

Ah, ada Fang toh rupanya. Apa dia kehujanan? Jangan-jangan mantel ini miliknya. Kenapa dia meminjamkan mantel ini untuknya? Dia terlalu baik pada Boboiboy hingga membuatnya merasa bersalah.

Kerumunan orang terbersihkan air hujan. Yang tersisa tinggal lahan kosong yang tidak lagi berlumur merah, tangan Fang yang memegangnya erat, menjangkar dirinya dalam bentuk pelukan, dan seorang bocah yang kehilangan sahabat baiknya.

Ah.

Ia tidak sempat mengucapkan selamat tinggal.

.
~Angel With a Glasses~
.

Malam itu sebelum hujan turun, sebelum seorang pemuda kehilangan sahabat baiknya, Fang tengah berdiam di ujung kasur Boboiboy. Di kegelapan matanya menyala ungu. Beberapa menit ia diam memperhatikan detil wajah yang setiap hari ia lihat. Wajahnya begitu tenang. Fang merasakan tenang itu membalutnya, membasuh semua kegeraman sore tadi ketika bertemu dengan Crowley.

Mengingat setan itu kembali membuat Fang gerah. Tangan Fang mengepal erat. Seolah merasakan emosi si malaikat, Boboiboy mengerang, tidurnya berbelok ke arah yang tidak enak. Fang membeku sesaat, tidak berani menarik nafas walau paru-parunya tidak membutuhkan oksigen. Takut membangunkan, Fang cepat-cepat terbang keluar. Tapi matanya tidak lupa untuk melirik sekali lagi sebelum ia pergi.

Atap kediaman Boboiboy sudah menjadi tempat bertengger favorit Fang. Di malam dimana ia resah, pola atap rumah yang repetitif menenangkannya. Tapi kali ini ada satu sosok janggal yang ikut mengambil tempat di salah satu atap. Dengan kerudung merah jambu tertiup angin, Yaya berdiri di seberang Fang.

"Malam Fang." Sapa Yaya—Crowley—lembut.

Fang menghentakan tangannya. Dari lengan mantel, Sang malaikat mengeluarkan belati. Ia menodongkannya ke depan. "Berikan aku alasan untuk tidak menghabisimu saat ini juga." 

Yaya tampak tidak terkejut. Setan itu menghela nafas jengkel. Namun senyum girangnya berkata lain. "Ya ampun. Kita 'kan sudah buat perjanjian. Tujuanku sama denganmu, kenapa harus risau begitu? Aku yakin Boboiboy juga tidak keberatan berteman dengan gadis manis sepertiku." Tangan berpose di bawah dagu, Yaya mengedipkan bulu matanya centil.

Jawaban yang salah.

Fang berteleportasi, tepat di atas membayangi Yaya. Sayap hitam terbentang lebar mengintimidasi, lalu ia menukik tajam ke bawah dengan belati dihunuskan. Yaya melompat kesamping, menghindari serangan Fang.

"Apa yang kau rencanakan?! Aku sudah toleran dengan semua keusilanmu," Fang menendang ke atas. Kakinya meleset beberapa centi dari kepala Yaya. "Lalu kau berpura-pura jadi teman Boboiboy? Beraninya kau!"

"Lho? Bukannya kau juga sama?" Cibir si setan. Ia melompat mundur dan memperluas jarak antara mereka. Yaya menyeringai hina. "Lihat dirimu, terbawa emosi yang seolah kau miliki. Apa kau lupa siapa dirimu? Oh wahai malaikat prajurit Tuhan. Apa kau lupa akan misimu?"

Sang malaikat seolah kehilangan tenaga. Raut wajahnya terjebak antara ingin meluapkan dorongan yang membutakannya tadi dan keresahan ketika ucapan Yaya benar.

Tapi sebelum Fang dapat membuat keputusan, sesuatu meledak di kejauhan. Gelombang kejut menggetarkan dada, Fang dan Yaya tersentak kaget.

"Itu—"

"Kematian malaikat." Fang mengutuk di bawah nafasnya. Tindakan itu membuatnya panas untuk sesaat.

Kedua makhluk yang tadi saling menyerang kini bertatap wajah. Seolah mengambil keputusan, keduanya mengangguk dan bergegas berteleportasi menuju lokasi ledakan.

"Menurutmu apa yang terjadi di sini?" Tanya Yaya ketika ia kembali berwujud setelah melebur menjadi asap. Puing-puing rumah berserakan dalam bongkahan besar. Tampaknya seperti rumah terbengkalai. Perlawanan si malaikat terlihat jelas pada tanah dan dinding yang tercabik oleh besetan sayap.

"Entahlah." Jawab Fang jujur. Mengetahui bahwa salah satu saudaranya gugur di sini sudah membuatnya janggal. Fang sudah melihat banyak kematian jenisnya dalam medan perang. Walau tidak banyak, setiap kepergian mereka selalu membuatnya merasa aneh, ada yang hilang dari dirinya. Entah apa itu yang hilang.

"Um, Fang. Aku menemukan sesuatu. Jangan marah, oke. Jangan tusuk aku." Mendengar itu Fang bergegas menghampiri Yaya yang tampaknya berada di pusat ledakan. Dibalik dinding yang secara ajaib masih dapat berdiri, Fang melihat tubuh yang familiar tergeletak tidak bergerak. Yaya mengangkat tangannya, berharap hal itu membuatnya lebih tidak dicurigai. "Asal kau tahu, bukan aku pelakunya."

Fang tidak pernah mengenalnya secara personal. Ia tidak dekat dengannya seperti dia dekat dengan Boboiboy. Tapi jelas-jelas tubuh yang terbaring itu tidak lain adalah Gopal.

Namun bukan hanya Gopal yang kehilangan nyawanya malam itu.

Mata Fang terbelalak lebar. Telapak tangan menutup mulutnya kaget. "Ini...Ezekiel." Fang jatuh berlutut disamping saudaranya. Sayap besar miliknya hangus terbakar menjadi abu, meninggalkan jejak di rumput. "T-tak mungkin! Kenapa dia di sini sekarang? Bagaimana bisa?"

Ezekiel salah satu malaikat tingkat atas. Walau bukan yang terkuat, kekuatannya berada diatas Fang. Rasanya mustahil ia bisa mati, apa lagi mati di bumi yang tidak pernah malaikat itu jelajahi sebelumnya. 

"Aku curiga karena ia lari dari siapapun yang meletakan lubang besar di dadanya—yang kemungkinan besar berasal dari belati milik kalian. Kenapa kalian punya senjata yang bisa membunuh diri kalian sendiri, sih?" Telunjuk Yaya mengarah ke lubang kecil di dada Gopal. Pinggirannya hitam seolah terbakar. Otak Fang berpikir akan siapa yang memiliki belati berukuran kecil, siapa yang cukup bertekad untuk mengejar Ezekiel untuk membunuhnya.

Mata Gopal tertutup seolah ia sedang tidur. Fang rasa dalam usahanya kabur ke bumi, Ezekiel mencari wadah terdekat yang bisa mengakomodasi. Gopal pasti tidak sengaja bertemu dengan Ezekiel dan malaikat itu memintanya untuk meminjamkan tubuhnya. Dari jejak reruntuhan, Ezekiel terlihat melakukan perlawanan, namun rupanya hal itu tidak cukup.

Yaya menengok ke kanan, matanya menangkap sesuatu. Ia berjongkok dan mendapati sebuah kacamata hitam bersembunyi di antara rumput. Yaya mengambilnya.

"Hey, apa menurutmu Ezekiel mengambil tubuh Gopal dengan paksa?" Renung si setan, jemari memainkan kacamata yang ia temukan lalu melemparnya asal. Fang tidak mengira Yaya ingat nama manusia itu. Namun Fang merasa sesuatu menggerogoti sabarnya ketika si setan malah menjatuhkan harkat yang sudah mati.

"Maksud kau apa?" Ezekiel menjunjung tinggi aturan yang ditentukan oleh-Nya. Semua malaikat diharuskan seperti itu (Fang teringat Ocho dan tendensinya menduakan aturan, tapi itu tidak penting) karena jika tidak, apa bedanya mereka dan makhluk lain yang sudah jatuh dari Heaven.

Yaya berdiri, mengelap tangan di celananya. "Coba pikir. Ezekiel sedang dalam situasi hidup atau mati. Kau pikir dia mau memberi waktu untuk Gopal membuat keputusan? Aku rasa tidak. Aku nggak peduli sih mau manusia itu ada atau tidak. Tapi yakin Boboiboy akan suka berita ini?"

Boboiboy.

"Yah, semoga beruntung menjaga manusiamu dari hati yang hancur."

Belati Fang terbang dan menancap ke tanah tempat Yaya berdiri. Namun setan itu sudah pergi, meninggalkan kebulan asap. Meninggalkan Fang dan jasad sahabat baik Boboiboy.

Suara sirine mendekat dari kejauhan. Seseorang pasti melaporkan suara ledakan itu pada pihak berwenang. Dengan enggan, Fang berteleportasi meninggalkan lokasi dan kembali ke kediaman Boboiboy. Ia tidak berani masuk, hanya sebatas bertengger di pohon seberang kamar Boboiboy. Menunggu. 

Tak lama kemudian, Boboiboy diberitakan kematian sahabatnya oleh Tok Aba.

.
~Angel With a Glasses~
.

Boboiboy merasa dirinya terombang-ambing. Layaknya kapal tanpa nahkoda di laut berombak dinamis, dan Boboiboy satu-satunya penumpang yang ada.

Di sekolah, dia beserta puluhan anak lainnya dikumpulkan di lapangan pagi itu. Telinganya mendengarkan berita duka bahwa 'sahabat kita, Gopal telah meninggal dunia. Mari kita panjatkan doa bersama untuknya agar dapat beristirahat dengan tenang.'

Boboiboy mati rasa. Semua yang ia dengar keluar lagi di telinga satunya. Banyak tangan simpatik menepuk pundaknya. Rasanya ia menjawab beberapa pertanyaan temannya tentang Gopal, tapi Boboiboy tidak ingat apa yang keluar dari mulutnya.

"Boboiboy, kau tak apa ké?" Yaya mengambil tempat duduk di sampingnya. Boboiboy menengok lamban. Mulut terbuka, lalu menutup kembali, tidak yakin kenapa otaknya tidak mampu menjawab pertanyaan itu.

Raut wajah Yaya berubah sedih. "Paling tidak makan sedikit, Boboiboy. Ayok, kau kan sudah ngambil makanan."

Boboiboy melihat kebawah, dan benar juga. Sudah ada nampan di depannya. Sendok garpu sudah ia pegang di kedua tangan. Ia tidak ingat kapan ia mengambilnya.

Langit yang seharian sudah mendung kembali menitikan air hujan sejak tadi subuh ia beristirahat. Boboiboy hendak mendorong makan siangnya, namun suara Gopal mendadak menghantuinya. Keluhan tiap harinya terngiang dalam benak, kalau dia lapar dan meminta Boboiboy memberikan jatah hidangan penutup miliknya.

Nafas Boboiboy tercekat. Mencengkram sendoknya, Boboiboy memaksa masuk lauk pauk dipiringnya. Rasanya mual, tapi bocah itu tetap memaksanya masuk.

"Boboiboy..." hela Yaya pilu. Gadis itu duduk menemani Boboiboy, sadar bahwa bukan hanya dirinya yang terlihat begitu sedih melihat keadaan bocah bertopi itu.

Suapan tangan Boboiboy berhenti. Ia tersenyum susah payah. "...aku lapar saja kok." Jelasnya.

Yaya mengangguk, tidak yakin harus bilang apa.

"Bukan salahmu."

"Aku tahu." Suara guntur menggebu di langit. Tok Aba sudah mewanti-wanti hal itu sejak ia kembali ke rumah. Dia mengelus punggung Boboiboy, memeluknya erat dan berbisik bahwa apa yang terjadi itu bukan salahnya. "Aku tidak apa-apa."

Boboiboy tidak bisa merasakan apa-apa, ia tidak tahu apa yang ia rasakan.

Waktu berjalan begitu cepat. Mendadak bel pulang sekolah sudah berbunyi tanpa ia sadari. Yaya menempel terus di sampingnya. Ia menghargai intensi baik gadis itu, sungguh. Tapi kehadiran yang ia inginkan bukan milik Yaya. Kehadiran yang ia inginkan tidak lagi akan ia rasakan di sampingnya. Suara yang sudah menjadi bagian dari dirinya tidak lagi akan ia dengar—memikirkan itu akhirnya membuat Boboiboy merasakan sesuatu. Dadanya berdenyut pilu.

"Boboiboy, kau tunggu di sini saja dulu. Fang akan datang menjemput. Aku ingin mengambil barang dulu di kelas." Yaya menggiring Boboiboy untuk duduk di bangku taman, di luar gedung sekolah. Boboiboy menurut dan duduk menunggu sementara gadis itu kembali masuk ke gedung. Mata menyala merah dengan intensi tersembunyi.

.
.

Beberapa manusia berusaha menyapa Crowley saat ia melewati lorong. Ia balas senyum, tapi tidak memberikan perhatian lebih dari itu. Ia berniat mendalami perannya menjadi gadis ramah dan baik hati, sungguh. Tapi seharian menjadi pengasuh Boboiboy menguras tenaganya. Semenyenangkan apa ia menggoda Fang, Crowley tahu jika sesuatu yang buruk terjadi pada Boboiboy, kesepakatannya dan Fang yang sudah berdiri di atas sehelai rambut bisa putus seketika. Lebih baik aman ketimbang ia menyesal nanti. Boboiboy itu aset penting.

Crowley masuk ke dalam ruang guru, beruntung tidak ada yang mempertanyakan kehadirannya. Ia berjalan cepat, melebur dalam pojokan gelap untuk menghindari deteksi, dan masuk ke dalam ruang kepala sekolah.

"Bos!—uh, Yaya, a-ada yang bisa saya bantu?" Kepala sekolah itu terkejut di kursinya. Kertas laporan yang tengah ia tata berhambur kembali di atas meja.

Tanpa berhenti, Crowley menerjang sebagai bayangan, mencengkram kerah baju si kepala sekolah dengan kekuatan yang seharusnya tidak dimiliki oleh seorang gadis. Mata menyala merah, mereka berpindah tempat keluar gedung, ke tengah hutan belakang sekolah.

"Kau tahu," Crowley mendorong si kepala sekolah hingga punggungnya menghantam pohon, mendesis tepat di wajahnya yang terkejut. "Aku pikir setan kiriman Azazel diberikan paling tidak 10 persen dari kepintarannya. Tapi apa yang kudapat? Daging busuk berjalan yang bodoh. Apa yang kau pikirkan hah? Membunuh seseorang yang dekat dengan orang favorit malaikat itu. Apa kau sengaja membuat hidupku susah? Apa kau sengaja membuat jariku gatal untuk memenggal kepalamu, hah?!"

"Bu-bukan salahku!" Kaki setan itu gemetar hebat. Jika ia tidak sedang terjebak ia pasti sudah melebur menjadi asap. "Aku tidak menyentuh manusia itu! Apa lagi membunuhnya!"

"Oh, benarkah?" Crowley terbahak keras. "Lalu kenapa baumu seperti tahi burung hah? Dan lagi," Crowley mengetuk hidung si setan. "Kacamatamu hilang kemana?"

Wajahnya berubah sepucat abu. Tangan meraba wajah dan tersadar bahwa asesori yang biasa bertengger di wajahnya itu menghilang. "A-aku—aku tidak membunuhnya! Aku bersumpah-!"

"Kau tidak membunuh siapa, kau bilang?"

Baik Crowley dan si kepala sekolah menoleh ke arah suara yang ikut bergabung dengan mereka. Si kepala sekolah memucat ketika mendengar suara kepakan sayap dan sosok berambut ungu yang familiar.

Crowley melepaskan genggamannya, dan si setan yang ketakutan jatuh terduduk. Gadis itu mendengus puas dan mempersilakan jalan untuk Fang.

"Ma-malaikat—uh, a-aku berkata jujur! Aku tidak membunuh manusia itu! Aku kesana karena merasakan energi yang kuat. Ketika aku menemukan mayat manusia di sana aku langsung pergi. Aku bersumpah!"

"Jadi kau bilang ada makhluk lain yang membunuh Ezekiel, hm?" Satu hentakan tangan, dan belati Fang sudah tinggal beberapa inci dari leher si setan. Mata dingin, mulut si malaikat mendesis di dekat telinga.

"Jelaskan padaku kenapa aku harus mendengarkanmu." Crowley bersiul takjub, tertawa keras. Fang mengalihkan pandangannya pada Crowley yang berusaha menutup mulutnya, menahan tawa.

"Diam kau makhluk hina." Crowley malah semakin geli dibuatnya.

"Itu pujian buatku, terima kasih." Crowley menghapus air mata tawanya. "Wah, tidak ku sangka kau bisa menampilkan keganasan macam tu, malaikat kecil. Yakin kamu bukan setan sepertiku?"

Seolah tertampar, Fang menarik kembali belatinya hingga jarak aman. Si setan melihat kesempatan dan kabur menjadi asap hitam dengan tergesa-gesa.

"Hei!" Fang meneriaki kebulan asap yang perlahan menghilang kedalam tanah. Ia menatap kesal ke arah Crowley, dan si setan terlihat terhibur. "Lihat yang kau perbuat, dia kabur!"

"Bukan masalahku," Crowley mengangkat kedua tangan. "Aku hanya ingin memastikan sesuatu. Ku rasa setan kelas teri seperti dia tidak akan mengambil tindakan jika tidak diperintahkan. Dan aku tahu aku tidak menyuruhnya melakukan tindakan bodoh seperti membunuh sahabat manusia kesayanganmu."

Fang mengarahkan belatinya kearah Crowley.

"Oho~ hati-hati dengan benda tajam, malaikat kecil. Seseorang tidak berdosa bisa terluka karenamu." Udara di sekitar Si malaikat bergetar saat dia menggeram. Walau begitu, peringatan Crowley menggema jelas— jika berseteru, tidak akan tahu perhatian siapa yang akan mereka tarik. Fang menyarungkan kembali belatinya. Mentel panjang terkebas majestik saat dia berbalik, menghentakan kaki kembali pada Boboiboy. Yaya mengekori dari belakang.

"Kalau sampai setan itu membawa masalah—"

"Iya iya, kau mau membunuhku?" Si malaikat menarik nafas panjang, seolah ia memiliki jantung yang perlu ditenangkan.

"Apa hubunganmu dengan setan itu? Kau bosnya?" Crowley menggaruk dagunya berkontemplasi.

"Hmm, begitulah. Mereka menjawab padaku."

Secara teknis Azazel berperan sebagai bos, sementara Crowley sendiri hanya pembisnis yang mendadak diutus jadi jendral yang beroperasi di atas permukaan. Perpanjangan tangan yang ditunjuk langsung oleh pangeran neraka.

Bukan berarti Fang harus tahu detil itu. Lebih baik menjaga persepsi kalau ia memegang kendali penuh akan semua personil Hell di atas permukaan.

"Bagus. Paling tidak, tidak ada bos yang mengawasi gerak-gerikmu." Fang mengangguk sigap, mencatat peluang baru dari perjanjian ini. Tanpa mata yang mengawasi, mereka bisa bergerak lebih renggang.

Crowley bergumam mengiyakan. "...iyap, aku bebas sebebas ayam broiler, ahaha."

Sindiran itu lewat begitu saja tanpa ditangkap si malaikat. Crowley memanyunkan mulutnya. "Ah, tidak seru."

Mereka menemukan Boboiboy tidak bergerak dari tempat dia ditinggal. Pemuda itu terlihat gelisah. Badan meringkuk, berusaha menyembunyikan diri dari mata penasaran yang lewat. Ibu jari tidak berhenti memainkan jaketnya. 

Seolah bertemu kembali majikannya, Crowley melihat Fang bergegas menghampiri Boboiboy. Crowley memasang senyum, kembali mendalami perannya sebagai Yaya, sahabat Boboiboy yang peduli pada mata berkantung dan wajah yang kehilangan rona.

Yaya memperhatikan bagaimana Boboiboy seolah ditarik medan gravitasi di sekeliling Fang dan menempel pada malaikat itu tanpa dia sadari. Dalam perjalanan Yaya melihat bagaimana manusia itu menyerap kehadiran yang Fang bawa bagai spons, bagaimana kedua bahu semakin lama semakin sering bersinggungan. Dan bagaimana kerutan lelah di wajah Boboiboy perlahan menghilang.

Yaya memutuskan  bahwa ia akan berpisah jalan, menyatakan bahwa rumahnya didekat sini dan membiarkan duo manusia dan malaikat itu pergi.

Yaya memperhatikan, bagaimana kedua makhluk itu perlahan memasuki wilayah yang bahkan setan sepertinya belum pernah masuki.

.
.

"Manusia sialan! Crowley sialan! "

"Ha! Kenapa kau? Buat masalah ya? Ahahaha!"

"Memang apa yang kau perbuat?"

"Ini gara-gara manusia gendut itu! Crowley kira aku membunuhnya. Bah! Memang aku mau membunuh manusia rendahan macam dia?"

"Ooh~ cari gara-gara dengan mainan baru pangeran kita, rupanya."

"Apa-apaan dia, datang dan langsung berani-beraninya mengambil kendali. Crowley harus diberi pelajaran, dia tidak pantas dipercayai kuasa."

"Betul betul!"

"Bunuh dia!"

"Bakar dia!"

"Tapi bagaimana caranya? Apa yang bisa kita lakukan untuk menggulingkannya?"

"Buat dia jera tentunya! "

"Hah? Bagaimana caranya?"

"Ohya, bagaimana ya?"

"Tolol!"

"Kau juga tolol!"

"Ah! Crowley dekat dengan satu manusia! Yang bertopi lucu!"

"Topinya jelek."

"Tapi bocah itu dibawah perlindungan  malaikat, kita tidak bisa menyentuhnya."

"Ah, sial."

"Bocah itu punya keluarga, bodoh! Jika kita sakiti orang kesayangan bocah itu, berarti kita menyakiti bocah itu, berarti juga kita menyakiti Crowley!"

"Wah! Pintar!"

"Hebat!"

"Aku tidak mengerti, tapi ini terdengar keren! Aku ikut rencanamu ini."

"Kita juga!"

"Bagus," makhluk bermata hitam itu menyeringai buas. "Malam ini kita berjaya."

.
.

Fang mengamati Boboiboy dari pinggir matanya. Mereka berjalan bersebelahan. Begitu dekat hingga Fang bisa merasakan kehangatan tubuh si pemuda—kehangatan tubuh seorang manusia.

"Apa..." Boboiboy melirik ke sebelah selagi ia berjalan. Bertanya-tanya akan pertanyaan yang digantungkan Fang. Namun pemuda itu menggelengkan kepalanya. "Maaf, lupakan saja."

"Oh..." Bisik Boboiboy kecil, dan Fang merasa kecewa pada ketidakmampuan dirinya berinteraksi layaknya manusia yang khawatir.

Tapi Boboiboy—pemuda berhati emas yang hatinya tengah berdarah atas kepergian sahabatnya— dia tersenyum. Dia tersenyum dan matahari tampak hendak ingin menembus di sela-sela awan kelabu lalu mengangkat rasa berat di dada Fang.

"Apa kau baik-baik saja, Fang?" Sihir macam apa ini?

"A-aku tak apa." Lidah Fang tersandung malu. "Harusnya aku yang bertanya itu padamu. Kau tak apa?"

Pilu kembali merayap ke alis Boboiboy, seketika membuat Fang merasa bersalah.

"...Entahlah." Ucap Boboiboy, berusaha tetap ringan. Madu bertemu amethyst, keduanya saling tenggelam di mata yang satunya.  "Ini semua terasa tidak nyata. Aneh, baru saja kemarin ku bertemu G-gopal d-dan—" Nafas tercekat, Boboiboy menyembunyikan wajah dibalik telapak tangannya. "A-ah maaf. Lho, kok, nangis gini sih, haha.."

Secepat matahari yang tadi menembus awan, mendadak langit kembali menangis.

Tidak pernah dihadapi emosi seperti ini sebelumnya, Fang panik. Boboiboy merintih, dan langit memutuskan sekarang adalah waktu yang tepat untuk melanjutkan hujan.

Prioritas, Fang! benak Fang mengingatkannya. Fang mengases situasi, dalam batin menyusun strategi. Boboiboy tidak mendapatkan istirahat yang cukup. Kemarin pula badannya sempat rusak. Langkah terbaik yang bisa Ia lakukan adalah menjaga suhu Boboiboy tetap hangat dan mencari tempat teduh. Fang berdecak pelan. Tapi bagaimana caranya? 

Boboiboy tersengguk, mengelap matanya yang tidak berhenti mengeluarkan air mata. Heran rasanya. Ia tidak merasakan dorongan untuk meluapkan tangis walau berhadapan dengan tubuh dingin Gopal sekalipun. Tapi ketika ia melihat wajah Fang—kebingungan, panik, sedih. Itu. Ekspresi itu mendobrak bendungan yang melindungi Boboiboy dari realitas. Dan alhasil semua yang pemuda itu pendam seharian meluap bak banjir bandang.

Semburat merah meronai wajah Boboiboy. Tuhan, Ia malu. Dibandingkan siapapun, Boboiboy tidak ingin dianggap lemah oleh pemuda itu. Fang sangatlah mandiri dan dewasa, pikir Boboiboy. Polos, namun cegak membela apa yang ia yakini dengan api membara. Rasanya tak pantas mereka berjalan bersebelahan layaknya teman lama.

Ha. Teman.  Apakah mereka teman? Atau hanya Boboiboy kah  yang berasumsi demikian? Ia baru mengenal Fang selama beberapa hari—dan betapa membekasnya hari-hari yang mereka lalui. Fang melukiskan warna baru pada kanvasnya. Suara hati kecil Boboiboy ingin Fang melanjutkan torehan kuasnya.

Tapi...apakah keramahan Fang datang dari kesopanan atas formalitas pada tuan rumah? Bagaimana dengan Ocho? Apakah dia juga—?

"Hentikan itu." Suara yang dingin. Pikiran Boboiboy terhenti. "Jangan dengarkan mereka. Dengarkan aku. Perintahnya. Nafas Boboiboy tercekat. Kepala kembali terombang ambing di atas ombak. Dadanya teremas tangan besi—tapi Boboiboy mendengarakan. Ia mengikuti suara Fang.

"Tidak ada yang menyalahkanmu, dan janganlah pula kau menyalahkan dirimu sendiri." Mantel yang pernah memeluknya kembali menudunginya dari hujan. Tangan Fang menggiringnya untuk berjalan.

"Dan jika hatimu lelah tersakiti, tak apa untuk mengakui sakit itu. Tangisi lah, Lepaskan lah." Fang membawa mereka berteduh di bawah pohon. Rindangnya menahan air yang turun semakin deras. Isakan Boboiboy terlepas tak terbelenggu. "Tapi janganlah lupa. Satu-satunya obat ialah permohonan maaf dan hati yang tulus."

Malaikat itu mendekatkan tubuh mereka. Memberikan sedikit kehangatan yang ia bisa tawarkan untuk Boboiboy. Sayap hitam agung kasat mata terbentang ke atas lalu menekuk. Memelukkan kehangatan untuk kedua pemuda dibawah pohon.

Boboiboy menghela nafas gemetar. Jantungnya tidak lagi berdetak kesakitan. Ia tersengguk untuk yang terakhir. Perlahan, Ia mengangkat kepalanya. Hangat nafas Fang menerpa bibirnya yang membiru. Tetesan air menggantung di surai ungunya, dan Boboiboy tidak bisa melepas pandangan dari manik amethyst yang berkilau begitu jernih. Secara tidak disadari tangannya menyengkram erat pada punggung Fang, sementara kedua lengan pemuda itu mengurungnya di dalam pelukan.

Oh. Sejak kapan mereka jadi sedekat ini?

Fang tampak tersadar akan jarak diantara mereka yang semakin menipis dan melangkah mundur tergesa-gesa. Boboiboy melepas pegangan dan memindahkannya ke mantel Fang yang bertengger di tubuhnya.

Boboiboy merasa sekujur tubuhnya membara. Malu dan permohonan maaf menumpuk di ujung lidahnya. Apa yang tadi hendak ia lakukan?!

Fang berdiri gelisah. Mata melihat apapun kecuali Boboiboy.

"Boboiboy,"

"I-iya!" Boboiboy berdecit tegang saat namanya terpanggil.

Fang menegakkan badannya. Pundak tegap layaknya prajurit menghadap petingginya. Ia menarik nafas dalam. Jantung Boboiboy berdegup antisipatif.

"Aku..tidak benar-benar merasakan apa yang kau lalui. Aku tidak faham betul sakit yang kau rasakan." Ia tidak kenal baik dengan Gopal. Untuk pertamakalinya Fang merasa dirinya yang seorang Malaikat tidaklah memberi keunggulan.  Ia bukan makhluk yang diciptakan dengan emosi. Boboiboylah satu-satunya koneksinya dengan dunia manusia. Dengan segala hal yang membuatnya merasakan sesuatu. Sesuatu yang baru, berbeda. Sesuatu yang lebih manusiawi.

"Tapi aku akan tetap disini. Disaat pundakmu terlalu berat. Disaat kamu merasa sepi dan gelisah, aku akan ada di sini. Selama kau mengijinkannya, biarkan aku membantu ringankan bebanmu. Kita..."

Manusia memang makhluk aneh, itu tidak akan Fang pungkiri. Mereka tidak punya jalur pasti, tindakan mereka tidak tertebak. Keberadaan yang sunyi bisa mendadak meledak layaknya petasan. 

Tapi mereka tidaklah lemah. Emosi bukanlah liabilitas. Paling tidak, bukan lagi untuk Fang. Emosi ialah faktor X pada diri manusia. Detik penentu pilihan perubah nasib, sebuah keajaiban. Ramuan keberanian disaat mereka membutuhkannya.

"K-kita.. " Fang tampak ingin menunduk ke bawah—wajahnya merona. Tapi ia bertekad untuk tidak mengikuti insting itu. Ia membayangkan untuk sesaat ia memiliki emosi. Membayangkan ramuan keberanian itu memasak di dalam teko.  "...teman bukan?"

Tetes hujan terakhir jatuh ke dalam kubangan di bawah Boboiboy. Kedua pemuda tidak ada yang berani memutus pandangan. Sampai akhirnya Boboiboy menghela haru. Lalu ia tertawa dengan suara serak sehabis tangis, mengubur wajah yang sama merahnya di jaket Fang.

Dan ketika Boboiboy kembali menatap Fang—mata membengak, jejak air mata bercampur hujan, dan senyum tulusnya yang rasanya sudah lama tidak Fang lihat—, Si Malaikat tak kuasa menahan bibir untuk ikut tersenyum. "Tentu saja kita teman, selama kau mengijinkannya."

"Aku menijinkannya." Jawab Fang tanggap. Suara lembut Boboiboy terdengar begitu lega. Beban di dada Fang ikut meringan dibuatnya.

"Pulang?"

Fang menawarkan tangan, dan betapa hati Boboiboy menghangat dibuatnya. Pemuda bertopi itu merekah senyum, menerima ulurannya dengan kepercayaan diri yang baru.  Dan bersamanya awan membukakan jalan untuk matahari sekali lagi mengambil takhta di langit.

"Pulang."

.
~Angel With a Glasess~
.

Tik

Tok

Tok Aba mengecek jam di dinding. Sekitar 10 menit lagi Boboiboy kembali bersama Fang. 15 jika mereka terhambat hujan. Rasa khawatirnya membuat Tok aba meminta tolong pada Fang untuk menjemput cucunya itu. Setelah tragedi kemarin, instingnya sebagai kakek berkata bahwa Boboiboy membutuhkan wajah-wajah yang familiar untuk membantunya pulih.

BRUG!

Sesuatu menabrak pintu kediamanan Boboiboy dengan keras. Menaikan alisnya, Tob Aba berjalan ke arah pintu.

Perlahan ia menarik pintu terbuka. "Boboiboy?"

Tok Aba melihat iris-iris hitam terbelalak, dan menerjang masuk ke dalam rumah.

.
.
.

"Menurutmu makan malam hari ini apa ya?" Boboiboy mengayunkan tangan mereka yang masih tersambung. Tangan yang satu menjaga agar mantel Fang tidak jatuh dari punggungnya. Si Malaikat bergumam.

"Aku rasa makanan yang sehat dan hangat. Sup wortel, mungkin." Ucap Fang. Wajahnya tidak lagi berwarna, kembali pucat dan kekurangan ekspresi. Walau begitu manik amethystnya menaruh perhatian penuh pada Boboiboy. Sesekali mencuri pandang pada tangan mereka yang terjalin dengan penuh kalkulasi.

Boboiboy tidak sadar. Hatinya ringan, begitu pula dengan tubuhnya. Pandangannya kearah langit senja, membayangkan masakan Atoknya. Ketika tangan itu terlepas—Boboiboy menggaruk pipi, dan tangannya tidak kembali mencari Fang—Si Malaikat menatap tangannya sendiri heran.

"Ah, masuk akal. Mereka makanan favoritmu?"

Fang mengerungkan alisnya." Sup wortel bukan makanan favoritku."

"Oh, ya?" Boboiboy berucap tidak percaya. "Lalu apa?"

"Tidak ada. Semua makanan rasanya sama saja untukku. Bukan berarti mereka tidak enak, hanya saja aku tidak punya preferensi."

"Hmm..." Boboiboy melihat Fang seolah menemukan tantangan baru. "Mungkin bisa minta bantuan Atok buat mencari tahu..." batin Boboiboy. Mulai merencanakan misi kuliner untuk Fang. Ditengah pemikiran itu, Boboiboy teringat sesuatu.

"Ohya. Um, yang kau ucapkan padaku sebelumnya. Dari mana itu? Doa, kah?" Fang melihat Boboiboy dengan bingung, kemudian maniknya menyala ketika faham apa yang pemuda itu maksud.

"Ah. Itu...hanya nasihat yang...Ayahku pernah ucapkan." Kata ayag terasa aneh di lidah Fang. Dia adalah sosok yang lebih dari itu. Pencipta dari segala ciptaannya. Sosok cahaya yang kini hilang dari pandangan. Mengingat kekosongan  yang menghantuinya, Fang kembali gelisah.

Mengira berbuat salah, Boboboy cepat-cepat meminta maaf. "Maaf, aku tidak bermaksud mengungkit."

Fang menggeleng. " Bukan apa-apa. A-ayahku orang yang baik. Hanya saja....kadang aku tidak mengerti apa yang ia pikirkan."
Fang tidak mengerti kenapa tuhan menghilang. Ia tidak mengerti kenapa hal yang sudah ada sejak miliaran tahun lalu mendadak pergi tanpa kabar. Meninggalkan anak-anaknya teresat dan kebingungan. 

"Ah, begitu." Boboiboy mengangguk-angguk. Ia mengeluarkan 'oh!'Kecil ketika benaknya teringat sebuah memori. "Gopal pernah mengomel padaku. Dia dan bapaknya kadang berseteru, kau tahu? Kadang Gopal perlu motivasi lebih untuk mengerjakan tanggung jawabnya. Tugas, kerjaan rumah. Aku sering mengimingnya dengan makanan agar dia mau bergerak." Boboiboy terkekeh mengingatnya. Membicarakan sahabatnya tidak sesakit yang ia bayangkan. Sedikit mencubit, tapi ia tidak mempermasalahkannya.

"Kesabaran Pak Kumar sayangnya tidak sebesar itu. Beliau sering menegur Gopal, kadang berujung emosi. Gopal selalu bilang padaku dia tidak mengerti kenapa ayahnya marah. Toh, tugasnya mudah dan ada aku yang membantunya. Buat apa dipermasalahkan." Boboiboy menggeleng-geleng. Ia ingat pada waktu itu rasanya ingin terpancing emosi. Tapi ia tahu, hal itu tidak akan berujung baik.

"Gopal tidak bisa melihatnya. Pak Kumar tidak mempermasalahkan tugas. Beliau mengkhawatirkan sikap Gopal yang menganggap enteng dan remeh. Berpikir bahwa tugasnya mudah, dan berpikir aku akan selalu ada disamping untuk membantunya. Akhir cerita Pak Kumar memaksa Gopal untuk mengerjakannya sendiri tanpa bantuanku. Sesungguhnya aku merasa bersalah." Keesokan harinya Gopal meraungkan namanya sembari tersedu-sedu. Tersadar bahwa selama ini ia menggunakan sahabat baiknya sebagai jalan pintas dan berusaha untuk menjadi lebih baik. Ironis, ketika sahabatnya yang duluan pergi meninggalkannya.

Pikiran negatif. Boboiboy membuangnya jauh-jauh.

"Maksudku Fang—mungkin jawabannya sudah ada di depan mata, tapi kau belum bisa melihatnya. Mungkin nanti. Di saat yang tak terduga,"

Fang terdiam, mengangguk tidak yakin. Ia berusaha mencerna ucapan Boboiboy. Benarkah jawabannya sudah di depan mata? Apa yang bisa luput dari mata seorang malaikat?

Disaat benaknya mengebulkan asap, sayup-sayup telinga Fang menangkap sesuatu yang ricuh. 

"Boboiboy?"

"Hm?" Si pemuda bertopi menjawab penuh distraksi. Pandangannya terpaku pada kerikil yang ia tendang.

Tanpa sadar langkah mereka sudah hampir membawa Boboiboy dan Fang kembali pulang. Boboiboy tidak sadar, tapi manik amethyst Fang menangkap sebuah kejanggalan.

"Apa...pintu depan bisa terbuka seperti itu?"

Boboiboy berhenti melamun dan segera menaruh perhatian.

Pada kejanggalan pintu yang terlepas dari engselnya.

Raut ekspresi Boboiboy berubah horor.

"Atok!"

Boboiboy berlari sekencang mungkin. Fang tepat di sebelahnya. Alis mengerung waspada, belati sudah dalam genggaman. Batinnya secara otomatis berdoa pada sosok yang tidak duduk di singgasananya.

Boboiboy mendobrak masuk dan membeku ketika mendapati rumahnya penuh dikerumuni orang tak dikenal. Tua, muda. Laki-laki dan perempuan berbagai okupasi, semuanya ada disini. Dan semuanya menatap Boboiboy seolah mereka menemukan mangsa baru.

"Aha! Tuan rumah satunya sudah kembali." Seru seorang lelaki paruh baya berbaju putih. Ia berbalik menghadap kawan-kawannya, bertanya." Kita bunuh yang ini juga 'kan?"

"Boboiboy! Cepat pergi dari sini!" Teriak suara dari ujung ruangan. Sembari berpegangan pada dinding, Tok Aba berusaha tetap menjaga tenang. Tangannya menyengkram dada—Boboiboy tersadar ada darah di bajunya. Darah di keningnya. Darah di dadanya. Darah. Darah. Darah.

"OI!" Boboiboy tersentak dan tersadar bahwa Fang ada di sampingnya. Tangan terbentang membelakanginya. "Pergi dari sini sebelum kalian menyesal."

Tapi pemuda itu tampak berbeda. Ada yang salah dengan suaranya. Tatapannya tajam tanpa emosi. Tubuh itu diam berdiri layaknya dinding beton yang melindungi Boboiboy. Melindungi, namun dingin. Boboiboy melihat sebuah belati di tangan yang melindunginya.

Dari ancaman Fang, Boboiboy melihat orang-orang itu saling pandang satu sama lain. Tampak bimbang mencari arahan. Sampai seorang pria maju kedepan. Tampang penuh percaya diri, ia membusungkan dadanya.

Kepala sekolah.

"P-pak? Ada apa ini?! Kenapa bapak disini? Apa bapak menyerang Atok?! Siapa orang-orang ini?!" Pertanyaan Boboiboy dibalas dengan tawa yang keji. Apa mata kepala sekolah memang sehitam itu sebelumnya?

Kepala sekolah menghiraukan Boboiboy dan memilih untuk menghadang Fang. "Kami tidak takut padamu, budak surga! Tidak padamu, atau si Crowley sialan itu! Menyesal? Ha! Kau yang menyesal jika berani melawan kami."

Kepercayaan diri itu seolah menularkan dirinya. Orang-orang dibelakangnya berdiri lebih tegap. Tersenyum lebih sadis. Bau sulfur menusuk hidung Boboiboy taktala mereka menyeringai layaknya hewan buas. Satu-satunya yang membuat Boboiboy sedikit tenang  ialah perhatian orang-orang itu terjauh dari Atoknya.

"Satu unggas melawan satu pasukan. Aku rasa pangeran kami akan sangat berterima kasih ketika kami persembahkan sayapmu untuknya, oh prajurit kecil."

Asap hitam naik ke permukaan. Bau sulfur kian menyengat hingga membuatnya mual. Boboiboy merasa terjebak. Ia tidak mengerti mengapa kepala sekolah yang pernah menyapanya di lorong sekolah kini berdiri seolah ia kerasukan setan. Ia tidak mengerti apa yang mereka ucapkan. Pangeran, prajurit, sayap, surga?

Disamping, Fang memutar belatinya. Kaki mengambil ancang-ancang. Matanya memicing setajam elang. Boboiboy bersumpah melihatnya menyala remang-remang.

"Fang ada apa ini? yang terjadi—?"

"Mundur Boboiboy." Boboiboy tersentak kaget. Suara Fang begitu dingin dan jauh. Kemana perginya pemuda yang tertawa lembut bersamanya tadi?

"F-Fang?"

"Kalian tidak ingin mengetes kesabaranku." Fang memotong tidak berkedip. Boboiboy merasakan udara di sekitarnya bergetar.

"Ah ah ah." Telunjuk diacungkan, seorang gadis 12 tahun berdecak pinggang, menegur Fang. "Manusia bertopi jelek itu mungkin tidak akan mati kesakitan," Boboiboy bergidik ngeri. Mata gadis kecil itu hitam seutuhnya. Dia lalu mengarahkan telunjuknya pada Tok Aba. "Tapi yang ini akan tenggelam dalam darahnya sendiri.

Boboiboy tidak sempat berkedip, sebilah pisau menembus perut Tok aba. Merah melebar, dan sang kakek jatuh ke lantai.

"ATOK!"

Tanpa berpikir, kaki Boboiboy sudah terlebih dahulu berlari menuju Atoknya. Ia tidak mendengar suara kepakan sayap yang muncul dan hilang, maupun suara bilah tajam yang menusuk tubuh tak siaga. Dalam pikirannya hanya ada atokatokatok dan bagaimana tubuh itu mengejang meregang nyawa.

"S-sial, hajar dia!" Perintah si kepala sekolah ketika melihat malaikat itu menusuk dada rekannya. Makhluk neraka yang lain bersiap mengeluarkan senjata tajam. Kepala sekolah menyeringai. Namun sedetik kemudian tangan Fang sudah berpindah menyengkram kepalanya. "T-tunggu—!"

Tidak mendengarkan, cahaya muncul dari mulut dan mata si setan yang terkejut itu. Fang berteleportasi, belati mencari mangsanya yang lain, meninggalkan tubuh yang terbakar dari dalam di belakangnya.

Boboiboy menghindari pusat kerusuhan. Tidak ada yang bergerak ke arahnya, seolah Fang mencuri semua atensi mata di ruangan. Manik madu Boboiboy sesekali melantur mencari kilasan ungu, tapi atoknya menjadi prioritas.

"A-atok! Bertahanlah—oh, tuhan."  Besi bergelimang merah. Boboiboy sadar ia tidak bisa mencabut pisau itu. Tapi waktu terus berjalan, dan Atok semakin pucat. Boboiboy terisak. Ia mengambil tangan atoknya, menggenggamnya seerat mungkin. Si kakek berusaha melakukan hal yang sama.

"Sst, s-simpan tenaga Atok." Ucap Sang Cucu. Mantel Fang yang masih ia genggam Boboiboy gunakan untuk menahan pendarahan semampunya. Dunia di sekelilingnya penuh dengan jeritan. Boboiboy ingin menutup telinga, berdoa dan berdoa agar terbangun dari mimpi buruk ini.

Waktu seolah kembali mundur. Dimana dinding rumahnya tergantinkan puing-puing dan tanah becek. Air hujan menghantam punggung dan merah-biru sirine berputar dimatanya. Tangan keriput Tok Aba tergantikan tangan Gopal. Namun kali ini, bukannya melihat wajah sahabatnya yang tertidur damai, Gopal menangis. Dia terseok-seok meminta ayahnya, meneriakan nama Boboiboy, meminta siapa pun untuk menolongnya.

"Bo-Boboi—uhuk!—boy...!" Suara Gopal. Atau Suara Tok Aba 'kah itu? Cengkraman erat di tangan Bobobiboy mengendur, dan bocah bertopi itu merasakan perlahan kehidupan luntur dari genggam jarinya.

"Tidak tidak tidak tidak. Atok! Atok, kumohon.—FANG!" Boboiboy berteriak, menyentakkan kepala mencari sahabatnya. Matanya menemukan Fang tepat ketika Si Malaikat mencabut belatinya dari dada seorang gadis. Semburat merah deras, setengah tubuh Fang tersiram cairan berbau amis dan sulfur.  Warnanya kontras di kulitnya yang sepucat susu. Manik amethyst bertemu madu. Seolah tersadar dari apa yang ia lakukan, Fang terbelalak horror.

Boboiboy menghiraukannya. Menghiraukan tubuh gadis kecil di kaki Fang, merah yang membanjiri ruangan. Menghiraukan hatinya yang kembali tercabik-cabik dan sekali lagi meneriakkan nama pemuda itu sekuat tenaga. "Fang!"

Suara itu memanggil Si Malaikat. Menarik dirinya, dan Fang tergerak. Ada sesuatu yang terbakar dalam dadanya. 

"Minggir!" Sayap Fang menghempaskan makhluk neraka yang masih berdiri ke dinding. Selagi mereka mengerang kesakitan, mulut Fang merapalkan mantra Enochian. Cahaya biru termuntahkan dari mulut dan mata mereka, dan ketika padam tubuh mereka jatuh bak cangkang kosong.

Fang mendongakan kepala ke langit. Mulut terbuka terengah-engah. Belatinya menggantung lesu dari genggaman tangan yang kehabisan tenaga. Tubuh manusianya tidak bisa mengikuti pengeluaran energi yang berlebihan itu. Efek sampingnya mulai Fang rasakan di setiap tulang yang linu dan otot yang terbakar. Begitu banyak teleportasi, begitu banyak keajaiban kecil yang Fang panggil untuk menghabisi setan-setan itu.

Fang! jeritan Boboiboy berdengung dalam benaknya, mengingatkan kembali bahwa ini belum selesai. Fang melangkah mundur, menginjak kubangan merah. Ia terpogoh hampir tersandung tubuh yang bergeletakan.

"...Bo...boiboy..." Fang menarik nafas berat. Bocah bertopi itu terpaku. Ia memegangi kakeknya lebih erat, menutupi beliau dari pandangan Fang. Si Malaikat sadar bahwa manusia itu melindungi sang kakek dari dirinya.

Dada Fang sakit. "Bo-Boboiboy, aku—"

"—Mati kau!"

Setan itu muncul tiba-tiba dari kubangan asap. Belati yang tergeletak di lantai ia curi dan ayunkan ke arah punggung Fang yang tidak siaga. Boboiboy berteriak memperingati Si Malaikat.

Tapi ada sesuatu yang bergerak lebih cepat. Sebelum setan itu bisa mengambil langkah dirinya sudah lebih dulu tertusuk dari belakang. Boboiboy dan Fang diam terkejut. Tubuh yang tertusuk itu menyala terang dari dalam bak lampion, lalu jatuh terkulai seperti pendahulunya.

"Aku sarankan kita pergi sekarang juga, Fang."

Walau kesulitan menanggapi situasi, Boboiboy bisa melihat jelas sosok yang muncul tiba-tiba itu. Gadis berhijab yang menjadi sahabatnya dalam waktu dekat. Boboiboy terbelalak kebingungan, "Y-Yaya?"

Kerudung merah jambunya basah seolah ia berlari menerbos hujan. Wajahnya lebih pucat dari biasa. Bibir membiru itu menyengir miris. "Hai, Boboiboy." Yaya melambaikan tangannya.

"Kau!" Udara bergetar, Fang memanggil seluruh kekuatannya yang tersisa. Belati Fang terhunus mengancam Crowley. "Apa Yang kau perbuat?!"

Si setan memeras air di bajunya penuh emosi dan menggeram tidak mau kalah. "Bukan salahku mereka tiba-tiba membelot! Aku tidak tahu kebodohan mereka akan berakibat fatal. Aku baru sadar perbuatan mereka saat bau mayat ini menusuk hidungku." Crowley menunjuk mayat-mayat di sekeliling mereka.

"Kita harus pergi dari sini sebelum bala bantuan datang. Dan asal kau tahu, Malaikat kecil sayang, bala bantuan itu sama-sama berbau busuk jika kau paham maksudku."

Dan Fang paham. Ia paham betul apa yang akan terjadi beberapa menit kedepan jika mereka tidak bertindak cepat. Tanpa mereka sadari badai menggelegak di langit. Di antara kilat dan guntur Ia bisa mendengar puluhan jiwa menjerit tengah melesat ke arah mereka. Asap hitam bak torpedo membawa setan-setan haus pertempuran.

Fang berdecih. Ia menghiraukan Crowley dan berlari ke Tok Aba yang masih terkulai di lantai, sang cucu disebelahnya. Fang bertekuk lutut dan tanpa keraguan ia mencabut pisau yang tertancap dan menggantikannya dengan tangan yang menyala biru sebelum Boboiboy bisa menjerit. Fang sadar Pemuda bertopi itu tengah memperhatikan. Manik madu menggali lubang, menuntut jawaban dan disaat yang sama terkesima pada cahaya yang dibuat Fang. Si Malaikat menjangkar pandangannya ke bawah.

Fang bisa merasakan tendon yang merajutkan dirinya kembali. Tubuh manusia itu perlahan kembali ke kondisi awalnya. Fang melihat Boboiboy menganga takjub ketika lubang di perut Atok perlahan menutup. Tapi...

"...Ada yang salah.." Si Malaikat bergumam. Jiwa manusia yang bersih berwarna putih terang. Mengalir dalam tubuh seperti sungai susu. Lembut selembut sutra setiap kali Fang meraba mereka. Terakhir kali ia mengintip, jiwa Tok Aba layaknya sutra terbaik. Tidak kotor walau menguning termakan usia. Kualitasnya hampir menyaingi sang cucu.

Tapi layaknya sungai yang mengering, tubuh itu kehilangan sebagian besar sumber mata airnya. Esensi kehidupan itu luput dari Tok Aba, meninggalkan sebuah mesin yang mengais bahan bakarnya. Keringat dingin bertengger di pelipis, rutukan Fang dibawah nafas membuat bibirnya panas.

Ketika cahaya dari telapak tangan Fang padam, atok mengerang. Boboiboy berseru lega bukan kepalang.

"Atok!" Boboiboy terisak dan menahan dirinya untuk memeluk kakeknya erat. " A-atok tak apa? Atok k-kumohon, jawab aku."

Sang Kakek menjawab dengan senyum gemetar, noda merah di pinggir mulutnya. Air mata segar membasahi kedua pipinya. Boboiboy terisak lega, ia memeluk kakeknya seerat mungkin dan menangis di tenguk lehernya. Tok Aba meluapkan emosi walau suara tak bisa keluar dari mulutnya. Jari mengelus punggung sang cucu penuh afeksi, meninggalkan jejak merah.

"F-fang..." suara Atok setipis sehelai rambut. Mendengar suara atoknya, Boboiboy mengendurkan pelukan untuk menatap sang kakek. Tangan gemetar dari punggung Boboiboy terangkat ke atas. Fang mengatupnya erat dengan tangan yang sama-sama berbalut merah. Cahaya mata tua yang meredup itu menatap Fang. Menanti jawaban. Fang meneguk pilu.

"Atok, aku..." Nafas sang sepuh berderik serak. Fang merasa tubuhnya dingin. Kehangatan manusia itu menyelinap dari jarinya.

"A-aku. Aku tidak bisa mengembalikannya. Kehangatanmu—Atok, Boboiboy." Fang melihat Boboiboy menggenggam tangan Atok yang satunya. Wajahnya terkoyak pilu. "Maafkan aku."

Sang kakek menghembuskan nafas. Tersenyum seakan paham apa yang akan takdir berikan padanya.

"Apa...maksudmu, Fang..?" Boboiboy memberanikan diri untuk bersuara. Luka di tubuh Atoknya sudah menutup. Dihari lain mungkin Boboiboy akan berseru takjub pada keajaiban itu. Tapi suara Fang tidak berkata bahwa mereka menang.

"Mereka semakin dekat, Fang..." Menggigit resah bibir bawahnya, Yaya berjaga di dekat pintu. Matanya menerawang langit yang kian mengganas.

Kegoyahan itu muncul kembali di mata Fang ketika Boboiboy bertatapan dengannya. "Aku hanya bisa menahan jiwa Atok untuk sementara. Tempatnya sudah bukan lagi di sini. Boboiboy maafkan aku—"

"Dua menit! Bagaimana kalau kau cepat gotong pergi bocah itu, Fang. Capiche?"

Emosi asing bergemuruh di dada Boboiboy, terkhianati oleh Yaya yang bertindak seperti orang asing. Ia menatap Si Gadis penuh kekecewaan.

"Maksudmu aku harus pergi meninggalkan Atok karena menurutmu tidak ada lagi harapan?" Ia merasa panas, ia ingin menggertak. "Tidak. Aku menolak untuk menyerah. Lihat! Atok masih disini, bernafas dan hidup. Kau ingin aku meninggalkannya begitu saja?!"

Tangan Atok yang dingin memutus luapan emosi Boboiboy. Dengan Nafas berat, sang kakek menatap cucunya lama. Dua manik madu berkomunikasi. Apapun revelasi yang Boboiboy temukan nampaknya bukanlah jawaban yang ia inginkan.

"Tidak." Boboiboy menggeleng keras. "Atok, kumohon. Aku tidak mengerti apa yang baru saja terjadi. Aku tidak tahu siapa dan mengapa mereka menyerang kita." Mereka bisa saja seorang ayah, seorang ibu, anak dan sahabat dekat. Tapi mereka bergerak seolah tubuh mereka dipenuhi kejahatan. Niat buruk yang mendarah daging hingga mendorong mereka melakukan kekejaman tidak manusiawi.

Matanya berpindah pada Fang. "Aku bahkan tidak tahu lagi siapa kawanku." Si Malaikat membuang muka.

Boboiboy menggenggam tangan Tok Aba layaknya berdoa."Tapi kita masih bisa berdiri kembali, Atok! Kita bisa melewatinya bersama." Boboiboy berucap begitu yakin. Harapan berseri di matanya. "Kumohon. Aku—aku tidak bisa kalau tidak ada Atok."

Tapi baik Tok Aba dan Fang sadar, pasir dalam gelas tidak akan berhenti mengalir melawan gravitasi. Mereka tengah berlomba melawan waktu dan takdir.  Saat roda bergulir tak berhenti ke hilir, Tok Aba mencari Fang yang terdiam seperti domba yang tersesat. Sang Kakek mengangguk, keputusannya bulat.

"30 detik lagi!" Yaya berteriak.

"Fang? Apa yang kau? Akh! Tidak! Tidak!— Lepaskan aku! Lepaskan aku ku kata!" Kepalan tangannya memukul punggung yang menggotongnya paksa. Energi Si Malaikat sudah terkuras banyak. Tapi ia masih memiliki tenaga untuk mengangkut Boboiboy pergi. Manusia tanggung jawabnya itu berteriak minta lepas. Ia meraung kesakitan, layaknya seorang ibu yang melihat anaknya diseret pergi, Boboiboy menyengkram lengan atoknya tanpa tanda akan lepas. "Atok!"

"Bo...boiboy, le..paskan a..tok...P-pergi b-Bo—!" Dengan tenaga diambang batas, sang Kakek berusaha melepaskan jari yang menyakar lengan bajunya. Matanya menangis. Mereka bertemu dengan manik Fang—memohon.

"Tidak! A-atok harus ikut denganku! Kumohon—Fang! Fang-LEPASKAN AKU SIALAN!"

"10 detik lagi! FANG!"

Tok Aba tersenyum pada Fang, memejamkan kedua matanya.

'Sisanya aku serahkan padamu, Malaikat.'

Telapak tangan Fang menutupi mata Boboiboy dan mendadak si pemuda merasa tubuhnya kehilangan tenaga. Ia menangisi kesadarannya yang menghilang tergantikan hitam.

Boboiboy mendengar kepakan sayap, lalu suara hujan. Dirinya diterbangkan jauh, jauh, dan semakin jauh, meninggalkan potongan hatinya.
.
.
.
.
.
.
.
To Be Continued





———————————————
A/N:

Woah hampir ga bisa nahan diri buat yang adegan dibawah pohon, hampir kebablasan //eh.

Bagi yang heran kenapa Fang menggunakan kata 'mengijinkan', karena sebagai malaikat ia hanya mengetahui apa yang diijinkan &yang tdk diijinkan. Aku ingin nulis sebagai "menginginkan", tapi Fang sendiri belum paham dengan konsep emosi, apa lagi free will, yang membuatnya menginginkan sesuatu.

Untuk sekarang, dia 'ingin' melindungi Boboiboy karena itu memang misinya. Dan ia merasa untuk ukuran manusia, jiwa boboiboy sanagatlah suci dan bersih ^^)/

Susah banget nulis adegan di bawah pohon dan engingnyaa. Bulak- balik aku baca, takut emosinya ga sampai. Semoga hatinya ikut tersayat seperti hatiku hahahhaha //died

Itu saja dariku! Tetepa jaga kesehatan ya! Thanks yang sudah mampir, fav, and comment di fic ini. Kalau ada yang tertarik fanart" mereka bisa cek di IG:@ TsubasaKEI /shamelesspromotion

Sekian,
TsubasaKEI, out.

Continue Reading

You'll Also Like

57.3K 6K 21
Brothership Not BL! Mark Lee, Laki-laki korporat berumur 26 tahun belum menikah trus di tuntut sempurna oleh orang tuanya. Tapi ia tidak pernah diper...
475K 36.3K 59
Kisah si Bad Boy ketua geng ALASKA dan si cantik Jeon. Happy Reading.
604K 60.3K 47
Bekerja di tempat yang sama dengan keluarga biasanya sangat tidak nayaman Itulah yang terjadi pada haechan, dia menjadi idol bersama ayahnya Idol lif...
429K 34.5K 65
"ketika perjalanan berlayar mencari perhentian yang tepat telah menemukan dermaga tempatnya berlabuh💫"