Forget Me

By dizappear

50.5K 5K 945

"Kamu adalah pertemuan juga perpisahan yang layak dikenang. Sedang aku adalah memori yang akan kamu tinggalka... More

Prolog; Forget Me, Cause i'm not Forget Me Not
Satu; Bertemu Kamu
Dua; Hidupku Berharga?
Tiga; Arta
Empat; Mimpi yang Terlupa
Lima; Yang Pernah Pergi, Regi
Enam; Tidak Lagi Sama.

Tujuh; Tentang Kamu

3.4K 486 124
By dizappear


2021

Ada hal-hal yang tidak pernah kamu katakan, yang kamu simpan sendirian
Seperti gores-gores luka yang kamu sembunyikan
atau air mata yang tak kamu keluarkan

Tanpa kamu tahu, mereka merusakmu dari dalam

***

2020

Kalimat Regi berputar-putar di kepala Tera, bersahut-sahutan dengan suara Mama yang sialnya membuat Tera kesal tiap kali mengingatnya. Tera benci diatur, tapi ia lebih benci jika ia harus menjadi penyebab hancurnya hidup seseorang.

Ia benci seperti Papa.

"Lo mikirin Regi?" Pertanyaan Rea lolos begitu saja.

"Nggak. Ngapain?"

Bahu Rea terangkat. "Siapa tahu makan bareng bikin perasaan lo tumbuh lagi?"

"Basi. Apa yang sudah mati nggak akan bisa hidup lagi, begitu pun mimpi-mimpi gue sama dia yang udah gue buang pas dia bilang lebih baik kami udahan."

Rea memutar bola mata saat Tera mengembuskan napas panjang. Gadis itu berusaha menjernihkan pikiran. Perhatian ia pusatkan lagi pada novel yang harus ia cari unsur instrinsiknya. Sayangnya, Tera itu tidak suka membaca, matanya gatal hanya dengan melihat huruf yang berjajar.

"Mata gue sakit banget, Re. Capek!" Gadis itu menggerutu, tak peduli kalau ia ada di perpustakaan yang harusnya tenang.

"Jangan bawel. Ini salah lo, udah tau ulangan, masih aja ntar-ntar pas gue ajak balik ke kelas. Lihat, sekarang gue juga kena."

"Ya ... tapi kan–"

"Gue pindah." Rea menutup novelnya lalu bangkit. "Lo terlalu berisik."

Tera menatap Rea dengan tatapan terluka. "Lo berkhianat sekarang, Re? Lihat aja, nanti malem gue bikin bantal lo ada belatungnya."

Rea tetap melenggang pergi dengan kibasan tangan sebagai tanda tidak peduli. Sekarang Tera tidak memiliki pilihan selain berkonsentrasi.

Gadis itu membaca lagi pengertian unsur intrinsik sebelum akhirnya mengkategorikannya di dalam coretan. Dan yang paling berat adalah, untuk bisa mengisi poin-poin di sana, Tera harus menyelesaikan novelnya.

Tera menyesal karena mengambil buku setebal batu bata. Namun saat Tera berniat mengganti bukunya, geraknya terhenti saat seseorang berdiri di sisinya.

"Tentang Kamu?" Arta menarik kursi dan menempatkan diri di sebrang Tera. "Tugas Bahasa Indonesia?"

Tera mengangguk kikuk dan diam-diam merutuk. Kenapa Arta hadir di saat Tera bahkan belum menentukan untuk berteman atau menjauh? Tera takut. Bagaimana kalau pilihan Tera justru semakin membuat hidup Arta berantakan?

"Gue sering baca buku itu. Mau gue bantu?"

Ah, tapi demi nilai cemerlang, kesempatan ini nggak boleh dilewatkan. Seketika gadis itu mengangguk. Wanita memang dilahirkan untuk egois, jadi persetan dengan menjauh, sekarang tugas Tera lebih penting.

"Unsur intrinsik, lo paham?"

"Iya," sahut Arta tenang dengan senyuman.

Tera sempat lupa kalau Arta juga anak mading. Maka saat cowok itu menjelaskan, Tera sepenuhnya percaya. Cowok itu bicara panjang-lebar, mulai dari tema hingga penokohan, juga detail remeh yang sering terlewatkan.

Tera tidak pernah mengira cowok ini mampu membuatnya benar-benar mendengarkan dan bahkan nyaris paham. Sepertinya guru di sekolah harus dipensiunkan, biar Arta saja yang menggantikan.

"Sekarang gue jelasin isi buku ini, lo tinggal isi poin yang lo buat itu dari cerita gue. Sederhana dan lo nggak perlu baca."

Nah, itu dia yang Tera suka; tidak perlu membaca.

Gadis itu mulai menyimak cerita tentang Sri Ningsih dari sudut pandang Zaman. Arta mengingat detail adegan dengan rinci, karena katanya tak hanya sekali ia membaca buku ini. Sri Ningsih adalah tokoh yang kuat dan dia kagumi, sedang Tera lebih kagum pada bagaimana Arta berbicara dan menatapnya.

Arta terlalu sempurna, hingga Tera lupa kalau ia bisa saja menghancurkannya.

"Lo paham?"

Tera mengangguk, jemarinya mulai bekerja di atas kertas coretannya. "Harusnya gue rekam pas lo cerita, biar gue bisa nyalin sinopsisnya."

"Gue minta nomor lo, kebetulan gue juga pakai buku yang sama buat tugas itu. Lo bisa lihat punya gue."

Tera membulatkan mata dan membanting pulpennya. "Kenapa nggak bilang dari tadi, Arta? Kepala gue udah ngebul gara-gara berusaha buat inget semua ocehan lo, tau?"

"Biar lo usaha. Hasil usaha sendiri itu lebih berarti, Tera."

Arta hanya tertawa dan melipat tangannya di depan dada. Tatapannya tak lepas dari Tera saat gadis itu mulai menulis nomor di kertas kosong untuk diserahkan pada Arta. Sialnya, pipi Tera memerah karenanya.

Belum sempat menjawab, Tera mendengar nama Arta disebut dari arah pintu perpustakaan. Saat keduanya menoleh, Tera mendapati seorang gadis dengan rambut panjang yang dibiarkan terurai melewati bahunya. Gadis itu sedikit terkejut saat mendapati Tera di sana, tapi tak lama, senyum gadis itu bisa menyamarkannya.

"Lo diminta ke ruang guru, Ta. Ada hal penting yang mau diomongin katanya."

Tera bisa menangkap bagaimana Arta menghela napas berat. Raut lelah tak terelak meski cowok itu melempar senyum sebelum akhirnya bangkit.

"Gue duluan, Ra."

***

Ruang guru selalu mencekam bagi Arta, karena ia tidak pernah dipanggil tanpa dihakimi di sana. Cowok itu duduk dengan jemari bertaut sedang Bu Indah—wali kelasnya—tampak duduk sambil memijat pelipisnya.

"Sudah berapa kesalahan, Arta?"

Cowok itu menghela napas panjang dengan bulir keringat yang mulai bermunculan. Diam-diam ia mengepal, menyembunyikan jemarinya yang mulai gemetar.

"Maaf."

"Ibu udah nyoba menutupi kesalahan kamu, tapi kalau kamu terus-terusan melakukan pelanggaran yang mencolok mata, gimana Ibu bisa bantu?" Ada nada lelah di sana yang berhasil membuat Arta merasa bersalah. "Ibu nggak mau kehilangan kamu, Ta."

"Arta minta maaf."

Untuk semua pelanggaran yang akhir-akhir ini rajin ia buat. Dari terlambat, sampai absen di pengambilan nilai olahraga. Detik jarum jam seolah memberi Arta tekanan yang kian memuakkan dan sayangnya tak ada yang bisa cowok itu lakukan.

"Arta menyesal."

"Kenapa? Ibu harus tahu alasannya."

Arta menghela udara yang mendadak menjadi berat dan mendesak paru-parunya. Ia tak bisa mengatakannya, jika sekolah tahu, ia harus langsung angkat kaki tanpa pertimbangan lagi.

"Club Bola, Bu." Arta berdusta. "Sebentar lagi turnamen antar sekolah dan saya terlalu fokus di sana. Maaf, saya salah."

Bu Indah mengangguk. Ia menghela napas panjang sebelum akhirnya kembali menatap Arta. Tak ada lagi kemarahan di sana, hanya tatap hangat seperti seorang ibu pada anaknya.

"Gini, sekarang kamu keluar dulu dari club bola kamu."

Kalimat itu terdengar sederhana, tapi setelah mendengarnya, sesuatu dalam diri Arta seolah hancur, lebur tanpa sisa. Ia hanya bisa menatap gurunya tanpa kata.

"Fokus ke pelajaran kamu, kamu juga harus selesaikan tugas-tugas untuk perbaikan nilai. Kamu butuh A biar bisa bertahan, Arta. Yayasan nggak butuh apa pun selain itu."

Mutlak, di sini Arta hanya robot yang bergerak sesuai perintah.

Iya dan iya adalah kata wajib untuknya.

Cowok itu mengangguk dengan beban di pundak yang kian berat. Ia keluar dan menutup pintu sepelan mungkin lalu menjauh dari ruang itu.

Mengembuskan napas panjang, ia berharap dengan begitu benang kusut di kepalanya bisa terurai meski kaya sedikit. Namun tidak, rasanya sekarang semua semakin rumit.

Arta berhenti sejenak di tepi lapangan. Ia tersenyum samar, menatap teman-temannya yang sibuk berlari mengejar bola. Arta ingin di sana, karena hanya dengan itu ia lupa beban-beban yang menggantung di pundaknya. Karena hanya dengan itu ia merasa hidupnya tidak sia-sia.

Cowok itu menyeret langkahnya lagi, ia melalui perpustakaan dan lagi-lagi langkahnya memelan. Ia mengintip dari balik jendela, mendapati Tera yang masih fokus dengan buku di depannya.

Tentang Kamu ....

Ada percik-percik hangat yang mengisi dada Arta, rasa yang tak pernah cowok itu bayangkan akan ia dapat dari seorang Khatera Gassani ... gadis yang seharusnya Arta benci.

***

Cr: pinterest

Continue Reading

You'll Also Like

558K 27K 74
Zaheera Salma, Gadis sederhana dengan predikat pintar membawanya ke kota ramai, Jakarta. ia mendapat beasiswa kuliah jurusan kajian musik, bagian dar...
227K 21.7K 28
[JANGAN LUPA FOLLOW] Bulan seorang gadis yang harus menerima kenyataan pedih tentang nasib hidupnya, namun semuanya berubah ketika sebuah musibah me...
857K 64.7K 31
ace, bocah imut yang kehadirannya disembunyikan oleh kedua orangtuanya hingga keluarga besarnya pun tidak mengetahui bahwa mereka memiliki cucu, adik...
GEOGRA By Ice

Teen Fiction

2.4M 99.2K 57
Pertemuan yang tidak disengaja karena berniat menolong seorang pemuda yang terjatuh dari motor malah membuat hidup Zeyra menjadi semakin rumit. Berha...