ARMY (Completed)

By itsfiyawn

320K 44.4K 11K

Gue Army. Orang yang baru sadar kalau cinta itu tersusun dari banyak hal. Tercermin dari banyak perlakukan. D... More

Sepenggal Kata
1. Aku, Langit, dan Bulan
2. Pernyataan Langit
3. Kepergian Bulan
4. Bima
5. Aku di Garis Terdepan
6. Kabar Bulan & Rahasia Langit
7. Army on Revenge
8. Mr. Arrogant
9. Deal! Kesepakatan Baru
10. Ms. Batu
11. Misi satu... berhasil!
12. Prome Night
13. Misi Kedua, Gagal.
14. Prabumi dan Semesta Barunya
15. Rumpang
16. Perselisihan
17. Pelukan Pertama
18. Kita akhiri ini, ya?
19. Sisa Waktu
20. Perasaan Baru
21. Menghindar
22. Kedatangan Tamu
23. Perjanjian yang Sebenarnya
24. Perasaan Army
25. Kita Ini Apa?
26. Untuk Hati yang Jatuh Lagi
27. Army in My Arm
28. Rahasia Bima
29. Rin, Si Cinta Pertama
30. Tentang Maaf yang Seluas Jagad Raya
31. Waktu Perjanjian Selesai
32. Titik Nadir
33. Kemarahan Bima & Penyesalan Army (1)
34. Kemarahan Bima & Penyesalan Army (2)
35. Yang Memilih Pergi
36. Makna Keberadaan
37. Jangan Cari Gue
38. Terima Kasih
Epilog
Pengumuman
Special Ending 1 (We Meet)
Special Ending 2 (My Picture)
Special Ending 3 (Fated)
Ada yang kepo tentang Army?

Special Ending 4 (Us)

13.2K 1.2K 600
By itsfiyawn

=====Chapter ini panjang, gue harap kalian baca baik-baik. Bacanya setelah buka atau sebelum sahur, ya. Hehehehe. -Army=====

"Karena lo takdir gue. Sesederhana itu 'kan?" Bima menyimpulkan. 

Gue tertawa sumbang, menyentuh ujung mata dengan telunjuk. Sial. Ini orang paling bisa bikin hati gue jungkir balik. 

"Mine, gue bahagia lo di sini." Bima menyentuh puncak kepala gue. 

"Lo jahat banget nulis surat kayak gitu, Bim. Lo jahat banget menghilang tanpa kabar!" Gue tetap nggak terima. Enak aja, gue hampir gila nangis tanpa alasan yang jelas, sampai harus pergi ke dokter mata segala, padahal mata gue baik-baik aja. 

Bima tersenyum. "Ini juga nggak mudah buat gue." Dia menarik gue agar mendekat. "Gue nggak mungkin bertahan di situasi sesulit itu, Mine. Pergi adalah jalan satu-satunya. Tapi, ternyata gue salah. Tanpa lo, gue kehilangan diri gue sendiri. Dan itu yang terburuk sepanjang hidup gue."

Ini sulit, tetapi gue menahan diri supaya air mata ini nggak turun lagi. 

"Gue bertaruh satu persen kemungkinan dari sembilan puluh sembilan persen ketidakmungkinan pertemuan kita. Seperti yang lo bilang, hal ini hampir nggak mungkin. Tetapi, nyatanya kita bertemu. Gue berhasil memenangkan satu persen itu, Mine. Dan itu sangat melegakan buat gue sekarang." 

Gue menunduk, meremas selimut. 

"Gue... nggak bisa ngelepas lo lagi, Mine."

Sial, air mata gue jatuh juga. Gue memeluk Bima untuk menyembunyikannya. Tenggelam di dalam dadanya yang hangat, sangat membantu gue menenangkan diri. 

"Gue menyuruh lo untuk bergerak. Nyatanya, gue yang diam di tempat," ucap Bima. 

"Gue selalu berdoa, di mana pun seorang Bima Prabumi berada, gue harap dia baik-baik aja. Doa gue dikabulkan lebih dari itu."

"Gue nggak baik-baik aja, Mine. Nggak sebaik setelah gue ketemu lo," sambungnya. 

"Berarti lo sekarang baik-baik aja, kan?" Gue menegakkan tubuh agar bisa menatapnya. 

Bima mengangguk. "Jauh lebih baik." 

"Lo nggak akan ngilang dan jadi makhluk gaib lagi 'kan?"  

Dia menggeleng, tersenyum mengelus pipi gue. 

Gue bisa memasang perasaan lega sekarang. Telapak tangan gue menyentuh dahinya. Panasnya turun. 

"Mine, gue mau mandi..." katanya. 

"Lo nggak minta gue buat mandiin lo, kan?" Gue menggoda. 

"Kalau lo belum mandi, gue nggak keberatan kita mandi berdua." 

Gue memasang aba-aba ingin menonjoknya. Dia tergelak. "Tolong siapin air hangat, Mine. Gue mau mandi pakai air hangat."

"Oke, gue siapin dulu, ya." Gue baru saja hendak melangkah saat tangan Bima memegang lengan gue. 

"Makasih, ya, Mine." 

Gue mengangguk, "Makasihnya kalau demam lo udah benar-benar turun." 

********

Stok baju bersih di tas gue ludes. So, hari ini gue mencuci semua baju yang gue bawa di ransel. Eh, jiwa pembantu gue memuncak lagi ketika melihat pakaian kotornya Bima menumpuk di bak kotor. Yaudah, deh. Sekalian. 

Coba lihat, pembantu mana yang mau nyuciin daleman majikannya? Bima harus menggaji gue setinggi mungkin setelah ini.

"Lo ngapain nyuciin CD gue?" Bima keluar kamar dengan membungkus dirinya pakai selimut. Melongok ke kamar mandi. 

Nggak ada mesin cuci di sini, mau nggak mau gue harus menyentuh benda 'magis' itu secara langsung. Beruntunglah Bima bertemu seorang Army. Kalau cewek lain, mana tahan sama yang beginian?

"Persediaan CD lo di lemari tinggal satu. Mau terbang tuh punya lo?" Gue bersungut-sungut. 

Bima menjitak kepala gue. "Heh. Gue punya banyak. Tapi gue sembunyiin."  

Gue nggak menghiraukannya. "Udah sana, balik lagi ke kamar. Bi Ijah lagi kerja, nih. Habis ini langsung transfer seratus juta ke rekening Bibi, ya, Den Bima."

"Oke, deh, Bi." Bima melenggang pergi. Nah, kan, nggak ada malu-malunya juga dia. Fix! Ini hubungan terabsurd yang pernah gue jalanin.

******

Hujan turun malam harinya. Nggak mau hipotermia lagi, gue memakai kaus kaki, jaket, dan sarungnya Bima untuk melapisi tubuh ketika hendak tidur. 

Bima bergumul di dalam selimut tebalnya, terlelap dibuai mimpi indah. Mungkin dia sedang bermimpi bermain di awan-awan kapas yang empuk dan menyenangkan dikelilingi bidadari cantik, makanya nggak bangun-bangun dari tadi. Hhhhh, entahlah. Berita bagusnya, suhu tubuhnya berangsur normal dan nafsu makannya membaik. 

Gue membaringkan tubuh di kasur bawah, memasang earphone dan tenggelam dalam serial film kesayangan gue. 

Baru aja lime belas menit gue nonton, earphone gue tiba-tiba dicopot sama Bima. 

"Mine, gue panggilin dari tadi," katanya setengah mengantuk. 

"Eh, sorry. Lo mau apa? Makan? Minum?" Gue bangkit, berposisi duduk. 

Bima menggeleng. "Sini, Mine." Tangannya menarik lengan gue untuk mendekat. Gue naik ke kasurnya, berbaring di sampingnya seperti yang dia isyaratkan. 

Gue rasakan hangat tubuhnya ikut menjalar ke dalam aliran darah gue meskipun gue pakai jaket. Bima memeluk gue, menyembunyikan kepala gue di dadanya yang bidang. 

"Bim. Sebentar, deh." Gue melepaskan pelukan Bima supaya bisa mencopot jaket dan sarung yang gue pakai. Rasanya, kalau kulit kami bersentuhan akan lebih nyaman. Gue kembali ke dalam selimut dan memeluknya. Hangat banget. 

Dia menarik pinggang gue sehingga tubuh kami saling melekat, tanpa jarak. Gue mendongak, menempelkan kening dan hidung kami satu sama lain. 

Kalau pahatan wajah yang sekarang ada di hadapan gue hanyalah sebuah ilusi, maka semesta terlalu jahat untuk membuat semuanya begitu nyata. Jemari gue menyusuri rahangnya yang kasar, matanya yang sekelam malam dan bibirnya yang tipis nan manis. 

Bima memegang tangan gue, mengecupnya dalam-dalam. 

"Cincin dari Ibu?" tanyanya begitu menyadari ada benda melingkar di jari tengah gue. 

Gue mengangguk. "Bagus nggak?" 

"Ibuku emang nggak salah pilih," bisiknya membuat gue tersipu. 

Ya ampun, suasana kayak gini bikin gue mustahil terkena hipotermia. Pipi gue aja memanas. Bima mendadak romantis pula. Oke, tingkatan romantis kami memang sekadar naik pada level 'aku-kamu'. Tetapi itu nggak 'sekadar' buat gue.

"Kamu tahu nggak, Bim. Aku selalu berpikir bagaimana perasaan istrimu nanti kalau ternyata ada seorang wanita yang memakai cincin dari Ibumu. Apalagi seandainya dia tahu kalau aku akrab banget sama Yura. Dia pasti minder." 

"Kalau itu terjadi, aku akan bilang sama istriku kalau kamu sosok terindah yang pernah mampir di hidupku."

Gue tertawa. "Yang ada kamu langsung digugat cerai hari itu juga. Ngaco aja."

"Dan itu nggak mungkin terjadi, Mine." Bima merubah posisinya menjadi telentang. Gue menumpu kepala di lengannya. Tempat yang paling cocok buat gue, Bima's arm

"Mine, aku punya mimpi."

"Apa?"

"Aku mau apa yang aku lakuin punya tujuan, bukan cuma buat aku, tapi buat yang lain. Aku mau berbagi hidup, Mine." Bima menatap gue serius. 

Hawa berat muncul di sekitar kami. 

"Maksudmu apa, Bim?" 

"Kalau aku memilih hidup bareng kamu. Kamu mau nggak?" 

Semesta terlalu kejam kalau sampai setelah ini gue mendengar teriakan Bunda yang menyuruh gue bangun karena hari telah siang. Gue mencubit pipi gue, sakit. Tapi nggak ada yang berubah. Gue pun mencubit perut Bima. 

"Awww! Mine! Sakit tau! Aku salah apa?" Dia meringis memegangi perut. 

Gue nyengir. "Aku nggak mimpi kan Bim?" 

"Cubitanmu itu yang mimpi buruk buat aku tahu nggak." Dia merengut sebal. 

Wajah gue bergerak ke atas dadanya. "Ayo kita hidup bareng. Aku hampir gila kehilangan kamu." 

Selanjutnya, Bima menerjang tubuh gue hingga kami berbalik posisi. Kedua tangannya menumpu di sisi tubuh gue. "Aku kurang enak badan, tapi kalau ngebuat kamu begadang semalaman, aku sanggup," katanya dengan napas yang memburu. 

Gue melingkarkan tangan di lehernya. "Kamu nggak akan bisa, Bim." 

Detik berikutnya, dia melumat bibir gue. Kami saling memejamkan mata, menikmati tiap detak yang bergema di dada. Ciumannya menuntut, tanpa kehilangan rasa lembut nan manis yang dulu pernah ia berikan. Gue balas menghisap bibirnya. Ah, sensasi ini sudah lama terkubur di dalam diri gue, namun sekarang bangkit dan bergejolak. 

Kami sama-sama menjauhkan bibir ketika kehabisan oksigen. 

"Sekarang kamu pandai membalas, hah?" Bima menyunggingkan senyum.

Gue mengelus bibirnya, "Aku belajar dari kamu." 

"Mau aku ajarin yang lain?" 

"Boleh kalau kamu mau." 

Dan malam itu menjadi malam yang panjang buat gue dan Bima. 

*****

Silau cahaya dari luar masuk ke sela-sela mata gue. Gue terbangun dengan perasaan yang sangat ringan. Gue mengintip tubuh di balik selimut, lalu tersenyum. Pakaian gue masih utuh, dong! Senang banget bisa ngerjain Bima semalam. 

Kasur di samping gue kosong. Loh, sejak kapan gue sendirian? 

"Kamu udah bangun?" Bima muncul dari arah dapur membawa roti bakar. Penampilannya rapi dengan kaus berkerah dan celana denim warna hitam. 

"Kamu mau ke mana? Jangan lupa antar aku ke stasiun." Gue merentangkan tubuh lebar-lebar. 

"Aku mau ketemu Pak Rajen sebentar. Abis itu balik lagi. Nggak lama kok. Setidaknya kita bisa ngelanjutin yang semalam." Dia mengedipkan sebelah matanya. 

Tawa gue berhamburan ke luar. "Kamu nggak akan bisa ngelakuin itu, Bim. Aku tinggal bilang 'Nanti kamu dibunuh Ayahku', dan mukamu langsung pucat. Hahaha!"

Bima menggaruk keningnya. "Beruntunglah kamu punya Ayah yang aura dinginnya bisa ngebuat aku kebayang-bayang ampe sekarang." 

"Tuh, kan kamu cemen." 

"Kamu aja ke sini nggak izin Ayah kamu, kan? Gimana kalau Ayahmu tahu anaknya tidur berdua dengan lelaki yang bukan suaminya? Bukan cuma aku yang digantung, tapi kami juga." 

"Kita nggak akan digantung, Bim. Cuma dilempar ke kutub utara aja, kok. Pulang-pulang tinggal nama, deh." 

Kami berdua tertawa. 

"Aku ke kantor bentar, ya, Mine." Dia mengecup bibir gue lantas pergi dengan sepotong roti di mulutnya. 

"Hati-hati, Bim!" 

Gue bangkit dari kasur, memeriksa penampilan yang sedikit... berantakan. Ada jejak Bima yang tertinggal di beberapa bagian. Gue tersenyum. Sumpah! Gue udah gila senyum-senyum sendiri memerhatikan bercak-bercak merah di leher gue. Kalau Bunda tahu, pasti seluruh isi dapur melayang ke arah gue.  

Semalam, ketika Bima secara nggak sadar hampir melepas seluruh pakaian gue, gue menahan gerakan tangannya. 

"Bim, kamu ingat gimana tatapan Ayah aku, kan? Kalau dia tahu kita..." 

Bima mengembuskan napas kesal, kemudian membanting dirinya ke samping gue. "Matilah aku," gumamnya kecewa. 

Gue tertawa. "Kita tidur sambil pelukan aja, ya? Sini peluk aku dari belakang." Gue menuntun tangannya agar melingkar di perut gue. 

Kami tidak langsung tertidur. Kami mengobrol panjang sekaligus bertukar cerita. Selama dua tahun, banyak yang terjadi di hidupnya, pun di hidup gue, tentang yang sebenarnya kami pendam dan sakit sama-sama kami rasakan. Dan itu jadi malam yang panjang untuk kami berdua.

******

Mobil SUV hitam yang dikendarai Bima berhenti di tempat parkir stasiun yang tidak terlalu ramai. Ini bukan musim liburan, tidak banyak orang yang naik kereta jarak jauh. 

Bima mengantar gue tepat di depan pintu masuk pengecekan tiket. Kami berdiri berhadapan, saling menatap satu sama lain dengan tangan yang bertaut.

Bima membisikkan sesuatu ke telinga gue. Sesuatu yang sangat mengejutkan. 

"Kamu yakin?" 

Bima mengangguk. "Nunggu apa lagi? Kamu belum siap, ya?" Dia menguatkan genggamannya. 

Gue menunduk, belum bisa mengiyakan atau menolak permintaannya. Semua terlalu mendadak. 

"Masih ada waktu. Pikirkan baik-baik, ya, Mine." 

Gue mengangguk. "Makasih ya, Bim."

Tangan lebar itu mengelus puncak kepala gue. "Kabari aku kalau sudah sampai, ya." 

Gue mengangguk senang. Lambaian tangan Bima mengiringi kepergian gue. Lelaki itu masih terlihat berdiri memerhatikan gue hingga gue naik ke dalam kereta. 

Wonosobo, terima kasih. Aku nggak jadi membenci kamu, deh. Aku suka kamu. Aku suka kabut dingin dan angin yang kamu embuskan. Aku suka nasi megono. Pak Bos, aku nggak jadi jengkel sama Pak Bos, deh. Aku akan bekerja dengan kemampuan yang terbaik. Berkat Pak Bos dan Kota Wonosobo, aku menemukan kembali puzzle terpenting di hidupku. Puzzle itu bernama Bima Prabumi. 

*******

Jakarta...

Jarum jam bergerak konstan mengitari lingkaran angka. Mata gue bergerak mengikuti arahnya sementara dalam hati menghitung mundur. 

Lima

Empat

Tiga 

Dua 

Satu

Ponsel gue yang berdering segera gue angkat. 

"Mine, aku udah di luar. Bisa keluar bentar nggak?" Kaki gue berlari cepat keluar kamar. 

Di ruang tamu, Ayah dan Bunda yang tengah mengobrol, menengok ke arah gue. 

"Bun, Yah, tunggu bentar, ya," kata gue kepada mereka. Keduanya mengangguk. 

Gue menghampiri Bima yang berdiri menyender di pintu mobil. 

"Bim!" Sebelum dia siap, gue sudah berlari memeluknya. 

Bima mengelus kepala gue. Gue menggamit tangannya. "Yuk, Ayah dan Bunda aku udah nunggu kamu." 

Dengan ragu, Bima mengangguk. 

"Mine, tunggu..." Dia menghentikan langkahnya, membuat langkah gue ikut berhenti. 

Gue menatapnya bingung. 

"Jujur, Mine... Aku minder banget sebenarnya." 

Bisa gue tangkap kegugupan yang mendominasi ekspresi wajahnya. 

"Minder kenapa, Bim?" 

"Aku kepikiran ceritamu, Mine."

"Ceritaku? Yang mana?" Kening gue mengerut. Terlalu banyak cerita yang gue bagi ke Bima.

"Tentang Ayahmu. Saat dia melamar Ibumu. Dia... sudah mapan."

"Emang sekarang kamu nggak mapan?" 

"Aku belum punya rumah tetap untuk kita, Mine. Aku juga bukan pemilik perusahaan seperti Ayahmu." 

Gue menghela napas sebentar. Bisa gue rasakan telapak tangan Bima basah dan wajahnya menegang. Gue menggerakkan kedua tangannya ke pinggang gue, dan gue letakkan tangan gue di dadanya. 

"Bim... Kemapanan seseorang itu tolak ukurnya beda-beda. Nggak bisa kamu pukul rata. Dan, hei... coba lihat aku..." Gue menangkup pipinya. "Apakah kamu nggak cukup percaya kalau aku bisa nemenin kamu dari nol?" 

"Aku percaya sama kamu, Mine." 

"Kamu nggak perlu punya rumah, perusahaan, atau banyak harta untuk melamarku, Bim. Cukup bawa hati dan tanggung jawab kamu. Itu lebih aku butuhin."

Bima menarik napas dalam-dalam, menenangkan diri. 

"Lagian, kata siapa kamu nggak akan punya perusahaan. Kamu pasti punya perusahaan , Bim. Namanya keluarga. Kamu yang jadi pemimpinnya. Aku yang jadi sekretaris dan bendaharanya. Anak-anak kita yang akan jadi divisi-divisinya." 

Bima menatap gue nanar dan mata gue mulai perih. 

"Kamu nggak mau hidup sendirian lagi, kan, Bim? Kamu mau berbagi, kan? Ayo, Bim, denganku. Dengan anak-anak kita nanti. Kamu nggak akan tidur sendirian lagi. Kalau kamu pulang kerja, akan ada sepasang kaki kecil yang berlari menyambutmu dengan tawanya yang polos. Dia kan berteriak 'Papa!' lalu loncat memelukmu, dan kamu nggak akan bisa istirahat."

Air mata gue mengalir. 

"Kita sama-sama wujudkan mimpimu, mimpi kita, ya? Dimana pun aku tinggal, selama ada kamu, itulah yang kusebut rumah. Aku ingin kita kayak orang tua kita. Menua bersama sampai aku nggak cantik lagi dan perutmu jadi buncit. Sampai kita sama-sama nggak punya gigi tapi nggak ragu untuk berciuman." 

Ibu jarinya mengusap pipi gue yang basah dan telunjuk gue menghapus air matanya. 

"Ayahku nggak mungkin nanya kamu macam-macam, Bim. Karena dia pernah bilang, selama anak-anaknya bahagia, itu lebih dari cukup. Dan aku bahagia sama kamu, Bim. Ayahku bisa lihat itu. Tinggal bagaimana kita menyakinkannya sekarang." Gue mencoba menegarkan diri. 

Bima mengangguk yakin. Dia menegakkan badannya lantas mengembuskan napas pelan-pelan, "Sejak kapan kamu pintar taruh bawang kalau kamu ngomong, Mine?" 

Kami sama-sama mengusap wajah. Masa iya belum menghadap Ayah mata sudah sembap. Setelah penampilan kami sedikit membaik, Bima menggandeng tangan gue  masuk ke dalam rumah.

Sampai di ambang pintu yang tertutup, gue menghentikan langkahnya. "Siapa pemimpin perusahannya?"

"Aku."

"Siapa sekretaris dan bendaharanya?"

"Kamu."

"Siapa divisi-divisinya?" 

"Anak-anak kita."

Gue tersenyum menatap Bima. Tangan gue menekan kenop pintu, mendorongnya. 

"Siap?"

"Siap." 

 Di ruang tamu, Ayah dan Bunda telah berdiri menyambut kami dengan senyuman. 

==============THE REAL END==============

Aku benar-benar nggak tahu harus ngomong apa. Soalnya ngetiknya sambil nangis.

Sekali lagi, makasih banyak buat semuanya. Akhirnya anakku satu ini kelar juga. Nggak tahu harus ngomong apa. Thanks buat yg udh selalu nungguin, vote, comment dan ngeshare cerita ini. 

Kritik dan saran silakan tinggalkan di sini. 

Selamat berpetualang di dunia  

Almiko #2 : Teach Me Mr. And (Andaru) 

Almiko #3 : Alka dan 10 Permohonan

-Fiya, 1 Mei 2020


Continue Reading

You'll Also Like

3.7K 961 26
Tolong berhenti sejenak saat aku berlari agar kita sungguh-sungguh bertemu. ---- Special Story Diikutkan dalam event Author Got Talent 2022 Teenlit...
65.8K 6.3K 31
Dari semua hal yang ada di dunia, Biru hanya ingin mereka semua menganggap kehadirannya ... nyata. ******** Follow my ig : @fatta_melly06 @diaryy_me...
326K 24K 64
seorang kim taehyung menyukai namja nerd seperti jeon jungkook
356K 31.8K 50
Memiliki rasa cinta sepihak selama satu tahun membuat Noah dihadapkan pada dua pilihan; menyerah atau bertahan. Dan ketika dia memilih untuk bertaha...