ARMY (Completed)

By itsfiyawn

320K 44.4K 11K

Gue Army. Orang yang baru sadar kalau cinta itu tersusun dari banyak hal. Tercermin dari banyak perlakukan. D... More

Sepenggal Kata
1. Aku, Langit, dan Bulan
2. Pernyataan Langit
3. Kepergian Bulan
4. Bima
5. Aku di Garis Terdepan
6. Kabar Bulan & Rahasia Langit
7. Army on Revenge
8. Mr. Arrogant
9. Deal! Kesepakatan Baru
10. Ms. Batu
11. Misi satu... berhasil!
12. Prome Night
13. Misi Kedua, Gagal.
14. Prabumi dan Semesta Barunya
15. Rumpang
16. Perselisihan
17. Pelukan Pertama
18. Kita akhiri ini, ya?
19. Sisa Waktu
20. Perasaan Baru
21. Menghindar
22. Kedatangan Tamu
23. Perjanjian yang Sebenarnya
24. Perasaan Army
25. Kita Ini Apa?
26. Untuk Hati yang Jatuh Lagi
27. Army in My Arm
28. Rahasia Bima
29. Rin, Si Cinta Pertama
30. Tentang Maaf yang Seluas Jagad Raya
31. Waktu Perjanjian Selesai
32. Titik Nadir
33. Kemarahan Bima & Penyesalan Army (1)
34. Kemarahan Bima & Penyesalan Army (2)
35. Yang Memilih Pergi
36. Makna Keberadaan
37. Jangan Cari Gue
38. Terima Kasih
Epilog
Pengumuman
Special Ending 1 (We Meet)
Special Ending 2 (My Picture)
Special Ending 4 (Us)
Ada yang kepo tentang Army?

Special Ending 3 (Fated)

7.8K 1.2K 476
By itsfiyawn

"Itu muka ditekuk mulu." Valerie dan Nila masuk ke dalam kamar penginapan kami. Pakaiannya telah berganti jadi baju tidur. 

Valerie bergabung ke atas kasur, duduk di samping gue. Nila kembali berkutat dengan MacBook-nya mengumpulkan referensi tampilan aplikasi yang akan kami buat. 

"Nggak rela banget besok pulang," gumam Valerie yang kini merebahkan dirinya. 

Kali ini gue dan Valerie sependapat. Gue belum rela kalau harus pulang besok. Ya ampun, masa perkembangan hubungan gue sama Bima gini-gini aja. Iya sih, kami bisa saja LDR-an. Eits, LDR? Bagaimana mau LDR, setelah dia memeluk gue tadi siang, dia nggak bilang apa-apa lagi. Cuma mengusap bahu gue, terus pergi ke dapur mengambalikan piring dan gelas. Huft

Ponsel gue bergetar. Satu pesan masuk dari Bima. Mata gue mendelik senang, tetapi langsung meredup membaca isi pesannya. 

Bima:
Besok gue nggak bisa antar lo pulang. Tiba2 demam. Sorry. Salam ke tim 

Army:
Lo sakit apa? Udah ke dokter belum?

Bima:
Nggak perlu. Cuma butuh istirahat seharian aja. Makanya besok nggak bisa kemana-mana.

Malam itu, tidur gue nggak nyenyak sama sekali. 

******

Jadwal keberangkatan kereta pukul dua siang. Dari penginapan, kami diantar menggunakan mobil kantor Pak Rajen yang telah tiba sejak pukul sepuluh pagi. Ali yang bertugas mengemudi. 

"Kalau mau belanja oleh-oleh dulu, mending berangkat sekarang biar nggak dikejar-kejar waktu," kata Ali mengingatkan kami yang sedang packing barang. Tidak banyak yang dibawa, hanya ransel yang sekarang berisi baju kotor. Benda paling penting, yaitu laptop, sudah lebih dulu masuk tas. 

"Li..." Gue menghampiri Ali yang tengah merokok di teras hotel. 

"Oit, kenapa, My?" Ali menyingkirkan asap rokoknya menjauh dari gue. 

"Bima sakit, ya?" 

Ali mengangguk, "Badannya nggak bisa bergerak dari kasur. Dia kalau sakit, emang separah itu."

Gue kaget, "Ya ampun! Serius? Terus sekarang gimana?" Panik menyerang seluruh tubuh gue. 

"WA gue belum dibalas lagi. Si Bima itu, jarang banget sakit. Tapi sekalinya sakit, parah." 

Ini kok omongannya Ali nyeremin banget, deh. Keraguan gue untuk pulang semakin besar. Gue memutuskan kembali ke kamar, berbicara dengan Nila dan Valerie yang masih sibuk mengemas pakaian. 

"Apa? Lo mau ke rumah mas gondrong sekarang?!" Gue yang minta izin ke Nila, Valerie yang histeris. 

"Jadi, lo nggak ikut pulang bareng kita?" Nila menatap gue. 

Gue menggeleng, "Nanti gue pulang pakai ongkos sendiri aja. Gue juga ambil jatah cuti gue, ya, Nil. Please. Ini mendesak banget." Gue menangkup kedua tangan Nila. "Boleh, ya, Bu? Saya akan kerjakan berkas yang baru saja Ibu kirim. Tolong, Bu..." Kalau gue udah berbicara formal begini, Nila nggak mungkin menolak. 

Wanita itu mengangguk setelah berpikir. "Nggak usah ngalus lo, ah. Nggak pantes." 

Gue memeluk Nila senang. 

"Tapi lo harus tetap kabarin gue, ya, My," katanya khas seorang ibu. 

"Siap!" 

"Loh, gue juga mau dong, Nil!" Valerie menyambar. "Masa Army bisa langsung liburan di rumah cowoknya gue enggak?!" 

Nila tampak menahan kesal, "Army mau jenguk Bima yang lagi sakit! Bukan liburan!" 

Gue menjulurkan lidah ke arahnya. Valerie balas melotot.

"Dan lo tetap hutang cerita ke gue." Nila mengingatkan lagi. 

"Siap, Bos." 

"Lo juga harus cerita ke gue, My." Valerie menyambar lagi. 

"Cerita apaan?" 

"Malam panas lo dengan mas seksi," bisiknya setengah mendesah. 

Gue memukul lengannya dan Nila menjitak kepalanya. 

******

Setelah Ali mengantar rombongan tim kantor gue ke stasiun, dia mengantar gue ke rumahnya Bima. Kebetulan dia ada urusan dengan saudaranya yang berada di daerah yang searah. Kalau nggak ada Ali, gue mati kebingungan deh bagaimana bisa ke rumah Bima. 

Ali nggak bertanya perihal gue dan Bima. Dia fokus menyetir sesekali mengajak gue ngobrol seputar pekerjaan. Dia benar-benar paham situasi. 

Sampai di sebuah kawasan dengan banyak rumah yang berjajar di sisi kanan kiri, mobil melewati jalan menanjak, setelah itu berhenti di sebuah rumah sederhana berwarna putih yang di garasinya diisi SUV hitam. 

Ali mencari posisi paling pas untuk parkir, lalu kami berdua turun.

Gue mengetuk pintu beberapa kali. Tidak ada sahutan. 

Ali membuka pintu yang ternyata tidak dikunci. Rumah ini hanya tiga petak, tidak sulit menemukan Bima di dalam kamarnya sedang berbaring ditutupi selimut. 

Gue mendekatinya, lalu memegang keningnya yang sangat panas. Ali keluar untuk menerima telepon setelah menyerahkan kantung plastik putih ke gue. Gue mengeluarkan termometer, mengecek suhu tubuh Bima. 38,9 derajat. 

Badannya basah dengan keringat dingin yang mengucur di sekujur tubuh. 

"My, lo kompres aja si Bima. Terus bikin dia makan teratur. Jangan lupa, obat yang barusan kita beli dari apotek, diminum. Agak susah memang, tapi kalau lo, pasti punya cara sendiri, kan?" Ali menenangkan. "Gue udah dibawelin sama sodara gue, harus segera ke sana. Nggak apa-apa, kan?"

Gue mengangguk, "Thanks, Li." 

"Oh iya, sini. Gue tunjukin dapurnya." 

Ali memberitahu kalau kran westafel harus digetok lebih dulu agar airnya mengalir, letak-letak saklar lampu dan tempat alat-alat kebersihan. Dia sering menginap di rumah ini, makanya hapal betul apa saja yang Bima punya dan apa yang tidak. 

Gue mengantar Ali ke depan pagar. Setelah mobilnya menghilang, gue kembali masuk. Mengompres Bima adalah hal pertama yang gue lakukan. Gue membetulkan posisi tidurnya agar telentang, menempelkan sapu tangan basah di keningnya. 

Kayaknya nggak ada tanda-tanda Bima akan bangun. Gue memutuskan untuk membersihkan rumah, terutama bagian dapur yang berantakan banget. Piring kotor tergeletak dimana-mana, memanggil jiwa kebabuan gue untuk menyingkirkan pemandangan itu segera.

Gue mencomot kaus dari lemari Bima, lalu memakainya sembari membaui aroma khasnya yang wangi pelembut pakaian. Kok, cowok sekeren dia nggak pakai minyak wangi atau parfum maskulin yang membuat para wanita bisa dimabuk kepayang, malah pakainya pelembut pakaian? Yah, masih mending, sih. Dari pada wangi minyak urut he... he... he...

******

"Lo ngapain?" Suara serak dari kamar menyentak tubuh gue yang sedang asyik mengepel lantai ruang tamu. 

Gue melongok, Bima telah duduk di atas kasur. Dia sudah bangun rupanya. 

"Menurut lo ngapain?" tanya gue sambil terus menggerakkan gagang pel ke kanan kiri. 

"Lo kenapa ke sini?" Dia mencopot sapu tangan yang menempel di keningnya. 

Gue memilih tidak menjawabnya dan melanjutkan pekerjaan. Begitu ruang tamu sudah kinclong, wangi dan bersih tanpa noda, gue masuk ke kamar menenteng ember. 

Gue berjalan ke meja di samping kasurnya. "Ini buburnya di makan. Abis itu obatnya diminum. Apa mau gue suapin?" Gue menawarkan. 

Bima menggeleng. "Gue makan sendiri aja nanti." 

"Sekarang." Gue melotot. 

"Nanti aja..." Dia memegangi kepalanya. 

"Begitu kamar lo selesai gue bersihin, buburnya udah harus habis." Gue nggak terima penolakan. 

Terserah, deh, kalau bukannya sembuh, Bima malah makin stress karena ada gue. Yang penting dia makan. Gue menyapu, mengepel, membuang barang-barang nggak berguna yang tergeletak di sekitar kasur, dan merapikan meja. 

"Gue kira lo nggak bisa ngapa-ngapain," celetuknya di tengah kunyahan. 

"Gue ditanam jiwa pembantu sejak SMP. Nyuci pakaian sendiri, bersihin kamar sendiri, semua yang terkait barang-barang gue adalah tanggung jawab gue sendiri. Nggak ada yang bisa bersihin sesuatu lebih baik dari pada gue." 

"Tapi lo nggak bisa masak."

"Iya, sih. Kalau masak emang bukan bidang gue." 

"Padahal gue lagi cari pembantu paket komplit," balasnya yang hampir gue siram pakai air bekas ngepel lantai. 

"Gue lempar ember baru tahu rasa lo." 

Akhirnya, seluruh kamar Bima jadi sekinclong ruang tamu dan dapur. Gue menatap penuh bangga hasil kerjaan tangan gue. Aroma lemon menguar dari lantai, menyegarkan. 

"My." Bima memanggil gue ketika gue mengembalikan alat-alat kebersihan ke tempatnya. 

"Hm?" Gue duduk di sisi kasur, mengambil mangkuk bubur yang masih tersisa banyak, menyuapinya. Dia menurut. 

Gue makin mirip pembantu apa pengasuh bayi?

"Kenapa lo ke sini?" tanyanya lagi. 

"Itu bukan pertanyaan yang harus gue jawab, Bim. Pertanyaan yang sesungguhnya adalah kenapa lo nerima gue di sini? Dan kenapa lo jadi kayak gini?" 

"Kenapa jadi gue?" 

"Karena gue melangkah ke titik tengah sementara lo masih berdiri di ujung jalan." 

"What?"

"Ini bukan situasi yang bagus buat ngobrol, Bim. Minum dulu obatnya, abis itu istirahat."

  ******

Kasur yang Bima punya ternyata kasur dua susun yang bisa ditarik di bagian bawahnya. Di situlah gue tidur. Dia tidur di kasur atas. 

Bima tertidur pulas dengan pakaian yang telah diganti. Itu juga setelah gue paksa karena baju yang dia kenakan lepek keringat. 

Gue sedang memainkan ponsel saat satu pesan dari Valerie menginterupsi layar. 

Valerie:
My
Gimana?
Malam panas dengan si mas seksi?
Yahud nggak?

Bibir gue nggak mungkin nggak terangkat.

Army:
Panas banget

Valerie:
Gila! Gue ngiri banget sama lo! 
Lo yang di atas apa dia yang di atas?

Army:
Gue di bawah dong

Valerie:
Goyangannya ajib dong?

Army:
Beuh! Ampe gue nggak bisa berdiri

Valerie:
Akkhhh! Lo bikir iri aja!

Army:
Lo ambil sapu aja, Val

Valerie:
Kok sapu? 

Army:
Lo bersihin otak lo biar nggak ngeres!

Valerie:
Lah lah lah! 

Army:
Gue melewati malam panas karena emang badannya Bima panas banget. Sekarang dia lagi bobo ganteng, nyaman, berselimut tebal sementara gue tidur di kasur bagian bawah yang agak keras, dengan hanya memakai jaket sebagai selimut. Itu malam panas gue! Panas yang malah bikin gue hipotermia. Puas lo?!

Valerie:
Hahahahaahaa. Gue nggak jadi ngiri deh sama lo

******

Pagi-pagi gue sudah berkutat di dapur, belajar membuat bubur dengan melihat tutorial YouTube. Gue membawa mangkuk ke kamar yang disambut heran oleh Bima. 

"Lo masak?" tanyanya. 

"Cobain deh." 

Bima melihat bubur buatan gue. Tatapannya nggak yakin gitu. Kayak juri kompetisi masak yang baru lihat saja sudah tahu kalau makanan ini pasti akan berakhir di tong sampah. 

Bima mencicipi, lalu mengangguk. Dia menyuap dengan santai tanpa ada tanda-tanda akan melepehkannya. Gue ikut mencicip. Eits, keasinan. 

"Bim, ini keasinan," kata gue menatapnya takut-takut. 

"Emang." 

"Kalau nggak suka, nggak usah dihabisin, Bim. Gue bisa bikin lagi." 

Dia nggak menanggapi perkataan gue. Tetap makan dengan lahap. 

Pagi ini, kondisinya membaik. Demamnya turun, tapi dia merasa sedikit pusing. Ah, itu tetap melegakan. 

"Tambah." Dia menyodorkan mangkuk yang telah bersih. 

Gue tersenyum getir. "Yakin?"

Bima mengangguk. "Tapi lo ikut makan bareng gue, ya? Tambahin kecap dikit." 

Gue mengangguk senang. Bahkan, dalam kondisi makanan gue yang keasinan dan nggak layak ditelan pun, sikapnya bikin gue merasa sangat dihargai. Gimana nggak makin sayang coba?

Gue menyuapinya, sesekali menyuapi diri sendiri. 

"Oh ya, Bim. Lo sejak kapan di punya rumah di sini?"

"Ini rumah sewa. Gue tinggal di sini sejak gue bergabung dengan Pak Rajen. Kurang lebih enam bulan lalu."

"Oh ya? Berarti sebelum-sebelumnya lo ke mana?"

"Kayaknya nggak penting bahas itu."

"Penting. Karena lo nggak bisa terus-terusan menghindari percakapan ini, Bim."

"Gue nggak menghindar." 

"Oke kalau lo nggak menghindar. Sekarang jawab pertanyaan gue. Kenapa lo nerima keberadaan gue di sini? Kenapa lo ngajak gue makan kemarin?"

Bima  memijat keningnya, terbungkam oleh jawaban yang sepertinya sangat sulit ditemukan oleh dirinya sendiri. 

"Kenapa lo nulis surat kayak gitu ke gue?" Gue meremas selimut, menahan emosi. 

"Gue mau lo benar-benar bergerak. Nggak jalan di tempat."

"Gue bergerak, Bim. Dan lo tahu semesta menggerakkan gue ke mana? Ke elo!" 

"Berarti lo emang takdir gue. Sesederhana itu, kan?" 

==================To Be Continue================

Udah pada berkoar-koar yak? Wkwkwkwkkkk... 1 SE lagi benar-benar ending ya

Btw, vote kemarin bisa ampe 600 tuh, sekarang 600 vote deh. Terakhir wkwkwkk


Continue Reading

You'll Also Like

22.8K 1.6K 40
[ Completed ] Viona dan Zevan adalah dua orang yang sama-sama pernah merasakan sakitnya ditinggalkan. Akankah pada akhirnya mereka bisa saling menyem...
8.8K 1.7K 37
"Kalau memang begitu, kenapa semua perempuan berlomba untuk memenuhi standar kecantikan?" * Present: Kimora Amaya Kusuma🌧️ Yohan Rahmat Wijaya☀️ S...
3.7K 961 26
Tolong berhenti sejenak saat aku berlari agar kita sungguh-sungguh bertemu. ---- Special Story Diikutkan dalam event Author Got Talent 2022 Teenlit...
17.3K 2.8K 53
Semesta ikut dalam sebuah misi pencarian mantan kekasihnya yang hilang di Gunung Argopuro. Hatinya bergejolak karena harus berhubungan tidak hanya d...