ARMY (Completed)

Od itsfiyawn

320K 44.4K 11K

Gue Army. Orang yang baru sadar kalau cinta itu tersusun dari banyak hal. Tercermin dari banyak perlakukan. D... Více

Sepenggal Kata
1. Aku, Langit, dan Bulan
2. Pernyataan Langit
3. Kepergian Bulan
4. Bima
5. Aku di Garis Terdepan
6. Kabar Bulan & Rahasia Langit
7. Army on Revenge
8. Mr. Arrogant
9. Deal! Kesepakatan Baru
10. Ms. Batu
11. Misi satu... berhasil!
12. Prome Night
13. Misi Kedua, Gagal.
14. Prabumi dan Semesta Barunya
15. Rumpang
16. Perselisihan
17. Pelukan Pertama
18. Kita akhiri ini, ya?
19. Sisa Waktu
20. Perasaan Baru
21. Menghindar
22. Kedatangan Tamu
23. Perjanjian yang Sebenarnya
24. Perasaan Army
25. Kita Ini Apa?
26. Untuk Hati yang Jatuh Lagi
27. Army in My Arm
28. Rahasia Bima
29. Rin, Si Cinta Pertama
30. Tentang Maaf yang Seluas Jagad Raya
31. Waktu Perjanjian Selesai
32. Titik Nadir
33. Kemarahan Bima & Penyesalan Army (1)
34. Kemarahan Bima & Penyesalan Army (2)
35. Yang Memilih Pergi
36. Makna Keberadaan
37. Jangan Cari Gue
38. Terima Kasih
Epilog
Pengumuman
Special Ending 1 (We Meet)
Special Ending 3 (Fated)
Special Ending 4 (Us)
Ada yang kepo tentang Army?

Special Ending 2 (My Picture)

8K 1.2K 662
Od itsfiyawn

Sabtu pagi kota Wonosobo menawarkan aura yang berbeda dibanding udara kota-kota lain. Pukul tiga dini hari jalanan mulai ramai oleh para pelancong yang ingin mendapatkan sunrise di Puncak Sekunir. Pukul empat dan lima, pasar-pasar tradisional dipadati para pedangang dan pembeli. 

Gue berjalan keluar kamar, lobby hotel, menuangkan wedang dan menyantap ubi rebus yang disediakan pihak penginapan. Setelah itu, gue jalan-jalan sebentar bersama Valerie dan Nila ke pasar yang terletak tidak jauh dari sini. Meeting akan dilakukan pukul delapan nanti. Lumayan, ada waktu senggang untuk menikmati suasana menyejukkan desa ini.

"Lo kemarin siang ngapain aja sama mas gondrong?" Valerie menyikut lengan gue.

"Makan doang," jawab gue sedikit menggigil. Padahal kedua tangan gue masuk ke dalam saku jaket Bima yang lumayan tebal.

"Makan apa makan?" ledeknya lagi. 

"Kayaknya kalian cukup akrab?" sambar Nila. 

"Kita satu program studi. Dia kakak tingkat gue." 

"Wooaa!!" Nila dan Valerie menyambut girang. 

"Army seleranya sama yang lebih tua ternyata." Si anak satu ini... ampun, deh. Gencar banget kalau ngomongin makhluk jantan. "Berarti saingan gue untuk mendapatkan Pak Rajen makin berkurang, yes!" 

Gue dan Nila kompak menjitak kepala Valerie. "Lagian sejak kapan gue pengin sama Pak Rajen!" tukas gue gemas. 

"Heh! Pak Rajen udah punya buntut, istrinya cakep. Sadar lo, ah!" Nila ikut kesal. 

Valerie manyun. "Jadi istri kedua nggak apa-apa." 

"VALERIE!!" Teriak gue dan Nila di kedua sisi telinganya. 

*******

Sesuai jadwal, pukul delapan pagi, ketika langit terlihat cerah menerangi hamparan sawah dan lereng, kami tiba di kantor Pak Rajen. Pria bertubuh tinggi besar itu menyempatkan diri menyambut kami sebentar. 

"Kalian silakan meeting dipimpin Bima dan Nila. Saya harus segera ke stasiun." 

"Yahh..." keluh Valerie. Suaranya terdengar oleh semua yang hadir. 

Gue segera menutup mulut gadis itu cepat-cepat. "Maaf, Pak," kata gue nggak enak hati. 

Pak Rajen tersenyum simpul, mengangguk. "Baik, semuanya. Terima kasih. Silakan Bima atau Nila yang lebih dulu." 

Bima, yang hari ini memakai kaus putih dilapisi kemeja kotak-kotak biru berlengan panjang yang ia gulung sesiku, berdiri di hadapan kami semua. 

Dia terlihat sangat... ahh, gue nggak bisa mendeskripsikan bagaimana kerennya dia hari ini. Gue menggeleng cepat, mencoba fokus terhadap penjelasan di depan.

Gue mencatat beberapa poin penting yang dipaparkan oleh Bima dan Nila. Valerie hanya mengangguk-nganggukkan kepalanya entah paham atau tidak. Gue mungkin bisa menjadi karyawan paling banyak protes di kantor, tapi kalau karyawan tercentil dan lemot, gue yakin Valerie yang menang.  

"My." Valerie berbisik.

Gue yang sibuk mencatat kesimpulan presentasi, mendekatkan telinga ke arahnya. 

"Mas gondrong ngelihatin lo," katanya membuat bulu kuduk gue merinding.

Mata gue perlahan melirik ke arahnya yang duduk di dekat whiteboard. Begitu tatapan kami saling bertubrukan, dia mengalihkan pandangannya dengan santai. Lagi-lagi jantung gue berdegup cepat. Gue menunduk, menyembunyikan pipi yang panas dan pasti warnya kemerahan. 

"Heh, My. Don't you think he's very... hot?" Valerie berbisik lagi.

"Lo pikir sambal, hot," balas gue. 

"Lo nggak lihat sih gimana cara dia menatap lo barusan. 'Kan gue yang lihat."

"Ya udah, lo pura-pura aja nggak lihat."  Kalau lawan bicara gue Valerie, nggak bisa pakai nada yang biasa-biasa saja. Harus ada gasnya sedikit. 

"Muka lo merah tuh." Dia tersenyum usil.

Gue dengan gaya kalem, menginjak kakinya yang berada di bawah meja. Dia mengaduh kesakitan tanpa suara.

Meeting berjalan lama, membahas proses alur kerja, material desain, juga rancangan maket yang telah disiapkan Nila. Kadiv gue memang selalu bergerak cepat.

"Baik. Setelah ini, kita bisa kerja di tempat masing-masing. Tim UX, laporkan segala progress kepada Nila, biar Nila yang melempar segala bentuk desain kepada saya. Nanti saya dan tim yang akan mengeksekusi. Walaupun kita dari perusahaan berbeda, saya harap kita tetap bisa bekerja sama dengan baik." Bima menutup presentasi. 

Nilang menyambungkan, "Terima kasih kepada... siapa nih biar enak manggilnya? Pak? Mas?" pertanyaan Nila mengarah kepada Bima. 

"Mas gondrong!" celetuk Valerie tanpa tahu malu. 

Gue langsung menginjak keras-keras kakinya. Semua yang ada di ruang rapat tertawa, tak terkecuali Bima. 

"Panggil apa pun terserah. Tanpa embel-embel pun, seperti Nila saja, tidak masalah. Biasa aja," ujarnya kalem. 

Valerie menyahut lagi, "Apa, My? Manggilnya sayang?" Pertanyaan keras itu dilemparnya ke gue. 

Sontak gue mendongak, membekap mulut Valerie hingga ia meronta, kesulitan bernapas. Kepala gue buru-buru menggeleng ke arah Bima. Mengklarifikasi lewat isyarat mata. Nggak, Bim. Bukan gue yang ngomong.

Semuanya tertawa sambil berbisik-bisik, sementara Nila melotot kepada kami berdua. Ya Tuhan, gue pikir setelah bekerja, gue akan menemukan teman yang nggak gila. Ternyata malah lebih abnormal dari Nanang. 

"Maafin tim saya yang sedikit... kurang sopan, ya." Dia menjeda. "Kalau begitu, selesai sudah agenda kita hari ini. Terima kasih banyak teman-teman. Semoga kita bisa mengeksekusi rencana ini tanpa kendala yang berat." 

Meeting selesai pukul dua belas tepat. Kami keluar ruangan rapat dengan gue yang nggak berhenti mengomeli Valerie ditimpal Nila yang malah mengomeli kami berdua. 

"Kalau timnya Pak Rajen kaku bin formal, bisa mati lo berdua bertingkah kayak tadi," omel Valerie yang mengangkat gulungan maketnya ke arah kami berdua. Dia pasti mehanan diri agar tidak menjitak ubun-ubun kami, staff-nya yang tolol ini.  

Ali, Ben dan Rifki, yang mendengar pertikaian kecil itu, menghampiri kami. 

"Tenang aja, Pak Rajen selalu berkata kepada kami, kalau bekerja di sini, berbeda dengan di kantor bisnis. Tekanan kerja di bidang informatika punya presure yang sangat tinggi, jadi gampang stress. Relasi kekeluargaan dan teman belajar satu sama lain tanpa menanggalkan sopan santun, rasanya lebih cocok," jelas Ali. 

Kami bertiga mengangguk. Nila angkata suara, "Ya, betul, sih. Tapi tadi emang dua bocah ini kelewatan. Maaf, ya. Kayaknya gue juga harus minta maaf ke Bima." 

"Nggak perlu." Bima muncul dari belakang punggung tiga lelaki itu. Mereka menggeser tubuh, mempersilakan Bima berbicara. "Santai aja," sambungnya singkat. 

Entah ini sudah ke berapa kalinya tubuh gue mematung di tempat bak mati rasa. 

Nila mengangguk sungkan, "Kalau gitu kami duluan ya, Bim." Nila menarik Valerie, keduanya menjauh. Ali, Rifki dan Ben terlihat menahan senyum sembari berlalu. 

Tersisa gue dan Bima yang berdiri saling berhadapan. Duh, ayo dong! Bergerak. Masa gue mati kutu begini, sih.

"Mau makan siang bareng lagi?" tanya Bima. 

Gue mendongak, setengah nggak percaya, "Sorry?" Gue takut salah dengar. 

"Mau makan siang bareng lagi nggak?" ulangnya. 

Kepala gue kayak punya sensor sendiri agar otomatis mengangguk setiap kali Bima menawarkan sesuatu. 

"Tapi di ruangan gue aja, nggak apa-apa, kan? Gue udah pesan makan buat kita berdua." 

Sabit di bibir gue langsung terbit mendengar tawarannya. "Mau!" 

*******

Ruang kerja Bima tidak terlalu luas tapi desainnya sangat minimalis dan nyaman. Meja kerjanya terbuat dari kayu yang dipoles, temboknya berwarna cokelat berpadu putih, jendelanya menghadap langsung ke area terbuka yang menyuguhkan pemandangan sawah dan perkebunan milik warga. 

Selagi Bima mengambil piring dan gelas di pantry, gue berkeliling ke seluruh penjuru ruangannya. Sebuah karpet berbulu tebal dengan bean bag berukuran besar dan bantal-bantal kecil, diletakkan di depan sofa hitam. Mungkin kalau ada yang ingin lesehan atau selonjoran di bawah, bisa duduk di atas karpet itu. 

Gue meniti satu per satu dari sedikit barang dia pajang di ruangan ini. Bisa dihitung pakai jari. Di atas meja kayu itu ada keyboard, layar monitor, alat tulis, jajaran sticknote aneka warna, speaker kecil, dan dua bingkai foto berukuran kecil terpajang di sana. 

Ketika gue melihat gambar yang dia pajang, hati gue mencelus. 

Satu foto berbingkai kayu adalah foto Bima, Ibu, dan Yura sedang tersenyum di depan kedai. Sementara, pada bingkai yang lain, yang terbuat dari besi dengan ukiran kembang, terdapat gambar yang nggak pernah gue sangka. Itu... Foto kami berdua setelah Bima menyelesaikan sidang skripsinya. Sangat lekat di pikiran gue bagaimana dia merangkul gue secara tiba-tiba hingga gue terbengong-bengong ke arah kamera karena nggak siap sekaligus terkejut. 

Dada gue bergemuruh lagi. Ada perasaan yang kembali menerjang tanpa bisa gue cegah. Gue duduk di atas karpet, memegangi reaksi jantung yang di luar dugaan. 

Bima datang membawa dua piring, sendok dan gelas yang berisi air hangat. Gue lekas meminum air yang dibawanya, meredakan reaksi tubuh gue, pasca melihat foto itu. Dia membuka dua bungkus nasi dan meletakkannya di atas piring. 

Kami makan ditemani keheningan dan suara yang masuk lewat jendela yang terbuka. 

Gue teringat sesuatu, "Oh iya, lo tahu nggak, sekarang usahanya Kak Yura udah punya dua cabang, loh. Salah satunya dekat kampus kita." 

Sambil mengunyah, Bima mengangguk. "Terakhir gue dengar dia terkendala izin tempat di sana. Berarti sekarang udah buka?" 

Gantian gue yang mengangguk, "Udah, baru aja sebulan yang lalu. Oh ya, lo juga udah tahu kalau lo bakal jadi om?" 

Kunyahannya berhenti, dia menatap gue dengan kening yang berlipat. "Gue? Jadi om?"

Gue tersenyum lebar, "Kakak lo hamil, masa lo nggak tahu. Payah, ah."

Bima mengeluarkan napas berat. "Dia baik-baik aja, kan?" Nadanya tersirat rasa khawatir. 

"Iya, dong. Baik-baik aja."

"Makasih, ya. Udah ada buat Yura." 

 Gue menunduk. "Lo harus sering-sering ngobrol sama kakak lo, Bim," kata gue pelan. 

Bima mengangguk. Dia mengeluarkan ponselnya, menelpon seseorang. Satu kali gagal, dia coba yang kedua. Yang kedua gagal, dia coba yang ketiga. 

"Yah, nggak diangkat-angkat," keluhnya. 

"Dia lagi sibuk jam segini," sahut gue.

Bima meletakkan ponselnya di atas karpet. Begitu makanan gue habis lebih dulu. Gue meraih ponsel Bima. 

"Ponsel baru, ya?" Gue membolak-balikkan benda tipis berwarna putih itu.

"Udah lama. Lo baru lihat," jawab Bima sekenanya. 

Gue menekan tombol kamera ponselnya, lalu memasang mimik muka paling lucu. Dan... selfie...

"Awas lo jangan dihapus!" ancam gue ke dia yang terus mengunyah makanannya dengan santai. 

Bima mengangguk tanpa banyak komentar. 

Nggak cukup sekadar selfie, gue menambahkan beberapa video rekaman yang isinya sangat absurd. Isinya gue mengoceh nggak jelas dan Bima yang berusaha menutupi wajahnya di kamera ketika gue menyorot gambar ke arahnya. 

Setelah disimpan, gue membuka menu Galeri, melihat ulang gambar yang barusan gue rekam. Namun, karena gue kepo melihat galeri Bima yang isinya didominasi buku, tampilan layar, dan hasil rapat di papan tulis, jari telunjuk gue bergerak terus menggeser scroll. Sampai tiba di foto paling bawah, ada foto-foto gue yang dia curi dari akun instagram gue. Foto di bawah ini adalah salah satu foto yang dia screen shoot. Sisanya, ada kurang lebih lima foto lagi. 

Jujur aja, ada perasaan senang menghangat di hati gue menyadari Bima yang ternyata belum melupakan gue sepenuhnya. Dia masih menyimpan foto-foto gue, memajang foto kami. Namun, ada banyak pertanyaan yang mencuat dari kepala gue dan sangat berat gue lontarkan, tapi nggak tahan pengin diomongin.

"Bim..."

"Hmm?" Bima menandaskan makanannya. 

"Kok lo masih nyimpen foto-foto gue?" Tangan gue bergerak menyentuh lengannya yang berdiam di atas paha. 

Bima hening, sebelum akhirnya bertanya balik, "Emang nggak boleh?" 

"Kalau gitu... nggak ada yang mau lo sampaikan ke gue sekarang? Apa kek gitu? Besok gue kembali ke Jakarta, Bim."   

Senyum Bima terukir samar, dia memindahkan tangan gue agar lepas dari lengannya. "Nggak ada." Gelengan kepalanya mengecewakan harapan yang tumbuh diam-diam di hati gue. 

"Padahal... Nunggu kesempatan ini terjadi tuh kayak satu di antara seribu ketidakmungkinan di hidup gue. Tapi, giliran ketidakmungkinan itu terjadi, lo tetap... terasa asing dan jauh," gumam gue, menunduk dalam-dalam. 

"Lo mau kita kayak gimana?" tanya Bima tanpa menatap gue. 

Gue membisu. Merapatkan bibir yang bergetar, enggan menjawabnya. Kalau gue jawab, pasti panjang bin lebar, sementara responsnya belum tentu sesuai harapan. 

"Bagi gue, melihat lo baik-baik aja, itu lebih dari cukup," ucap Bima setelah kami terdiam. 

"Tapi gue enggak!" Nada gue meninggi tanpa gue sadari. 

Mata kami saling bertemu. Tatapannya berubah teduh, seteduh udara Dieng yang dingin tapi tidak menusuk. Bima mengulum senyum. Senyum yang selalu bisa menenangkan berbagai gejolak yang timbul dari dalam diri gue. 

"Gue nggak berusaha mencari lo, sesuai permintaan lo, Bim. Tapi untuk ngelupain lo secara utuh, gue nggak bisa..." Suara gue melirih. Profil wajah Bima di depan gue lambat laun mengabur. 

"Ternyata..." Kepala gue menunduk, setitik air jatuh dari mata gue. "Ternyata... gue sayang lo, Bim." 

Gue rasakan belaian lembut tangannya di puncak kepala gue, lalu beralih mengusap pipi gue yang sedikit basah. 

"Jangan nangis..." katanya menghapus air mata gue kemudian menarik gue ke dalam peluknya. 

 ===================To Be Continue===============

Lanjot nggak nih? Kasih tahu dulu dong gimana perasaan kalian pas baca ini! :D

500 vote baru update SE 3 yep!

Pokračovat ve čtení

Mohlo by se ti líbit

634K 49.9K 39
Bagaimana rasanya ya, seandainya kamu terpaksa harus mendatangi sebuah kencan buta untuk menggantikan seseorang yang memegang rahasia terbesarmu? Hm...
17.3K 2.8K 53
Semesta ikut dalam sebuah misi pencarian mantan kekasihnya yang hilang di Gunung Argopuro. Hatinya bergejolak karena harus berhubungan tidak hanya d...
492K 53.5K 34
cover by @nailayaa ❤ Karena Fanzone, Friendzone, Kakak-Adek Zone dan zona-zona cinta lainnya akan kalah sama yang namanya Halal Zone. Tapi untuk mema...
326K 24K 64
seorang kim taehyung menyukai namja nerd seperti jeon jungkook