Jodoh Pasti Kembali [Complete...

By nikniknuraeni

339K 27.6K 1.1K

Rupanya Ibu memiliki tempat teramat istimewa di hati Ayah. Nyatanya, setahun setelah 'kepergian' Ibu, ia terl... More

Intro
Bab 1
Bab 1 | 2
BAB 2
BAB 2 | 2
Bab 3
Bab 3 | 2
Bab 4
Bab 4 | 2
Bab 5
Bab 5 | 2
Bab 6
Bab 6 | 2
Bab 7
Bab 7 | 2
Bab 8
Bab 8 | 2
Bab 9
Bab 9 | 2
Bab 10
Bab 10 | 2
Bab 11
Bab 11 | 2
Bab 12
Bab 12 | 2
Bab 13
Bab 13 | 2
Bab 14
Bab 14 | 2
Bab 15
Bab 15 | 2
Bab 16
Bab 16 | 2
Bab 17
Bab 17 | 2
Bab 18
Bab 18 | 2
Bab 19
Bab 19 | 2
Bab 20
Bab 20 | 2
Bab 21
Bab 21 | 2
Bab 22
Bab 22 | 2
Bab 23
Bab 23 | 2
Bab 24
Bab 24 | 2
Bab 25
Bab 25 | 2
Bab 26
Bab 26 | 2
Bab 27
Bab 27 | 2
Bab 28
Bab 28 | 2
Bab 29
Bab 29 | 2
Bab 30
Bab 30 | 2
Extra Part
Extra Part | 2

Extra part | End

10.9K 681 99
By nikniknuraeni

Sepagi ini rumah sudah terdengar ramai dan disibukkan dengan berbagai aktivitas, padahal matahari belum menampakkan dirinya di ufuk timur. Entah jam berapa semalam aku jatuh tertidur. Rasanya menunggu 1 jam bergulir sudah seperti menunggu satu minggu saja.

Wajah Bunda muncul dari balik pintu setelah terdengar tiga kali suara ketukan, membuat mataku beralih dari ponsel yang sedang kupegang.

"Sudah bangun?" Senyumnya mengembang sempurna. Senyum yang sama di wajahnya saat kutemukan Bunda sedang 'bersenang-senang' bersama Hana di dapur malam itu.

Kalau boleh jujur, aku sudah merindukan senyum Bunda seperti itu semenjak lama, sebelum Bunda mendapat vonis dokter. Lalu entah mengapa sedikit jealous ketika senyumnya ternyata bukan untukku, melainkan untuk wanita yang baru dikenalnya beberapa hari saja.

Saat Bunda memintaku untuk mengantar Hana pulang, seperti ada sesuatu yang janggal, hingga akhirnya kuiyakan. Berharap bisa mendapatkan sedikit penjelasan, walau ternyata sepanjang perjalanan kami hanya membisu.

Sejenak kuperhatikan wajah itu lewat kaca spion dalam, dengan sesekali mencuri pandang. Mata bening itu terlihat bersinar saat terkena pendar cahaya ponselnya. Semua kata yang ingin kumuntahkan hilang, semua tanya yang ingin kuajukan seketika lenyap. Mataku tersihir dengan mata beningnya.

"Sudah mandi?" Tiba-tiba saja Bunda sudah berada di depan mata sambil mengayunkan tangannya di hadapanku.

Aku mengerjap dan mendapati sebuah senyum terselip di bibirnya.

"Iya, tadi sudah mandi. Ini siap-siap mau ke masjid."

Wanita itu duduk di sampingku--di ujung tempat tidur--sambil menggenggam kedua belah tanganku hangat. "Entah kapan terakhir Bunda merasakan perasaan seperti ini," ujarnya. Bola matanya bergerak-gerak mengamati wajahku.

"Bunda bahagia?"

Kepalanya mengangguk. Ada cairan bening di sudut matanya. Segera kuusap dengan sebelah tangan.

"Bunda teringat papahmu."

Kubenamkan kepalanya di dadaku, lama. Membiarkan sampai tangisnya reda.

***

Keluarga besar almarhum Papah dari Malang sudah sebagian besarnya sampai sejak semalam, sementara keluarga besar Bunda dari Cirebon baru bergabung selepas subuh. Semua berkumpul di ruang tamu sambil mengecek persiapan sebelum berangkat.

Caca yang hari ini mengenakan abaya biru muda menghampiriku--yang tengah mengobrol bersama dua sepupu lain di samping tangga--dengan senyum lebarnya.

"Nervous, Kak?" tanyanya. Gadis itu semenjak kecil terbiasa memanggilku dengan sebutan 'Kak' bukan 'Mas', hanya karena aku lahir di Jakarta, walau semenjak SMP sudah tinggal di Malang.

Aku hanya melayangkan senyum kecil sambil menyugar rambut.

"Lucu, ya. Padahal hari itu Kak Hana udah terang-terangan menolak Kak Fathan."

Aku mengernyit.

"Menolak? Kapan?" Kedua pemuda yang hanya selisih satu tahun dengan Caca itu menjadi antusias untuk mendengar kelanjutan ceritanya.

"Jangan suka ngarang cerita!"

Caca terkekeh melihat ekspresiku.

"Itu lho, waktu itu Kak Hana ke rumah mau ketemu sama Caca, tapi Kak Hana malah pulang sambil marah-marah karena bertengkar sama Kak Fathan di luar. Padahal besoknya Tante berangkat ke Singapur itu."

"Jadi kamu nguping, ya?"

Caca kembali terkekeh. Aku menjadi bulan-bulanan karena pipiku sudah memerah.

"Waktu itu Caca nggak sengaja ikut dengar, waktu keluar mau nyamperin Kak Hana. Kalian berantem gara-gara Kak Fathan nggak mau cerita soal cincin itu, kan? Terus Kak Hana pergi waktu Kak Fathan bilang suka. Abis itu Kak Fathan jadi nggak bisa tidur semalaman. Ngaku!" Matanya melotot ke arahku dengan jenaka. "Apalagi pas besoknya Kak Hana cuma telepon aku sama Tante, tapi nggak telepon Kak Fathan. Caca berani jamin kalau pagi itu waktu Kak Fathan bilang mau keluar sebenarnya mau nyemperin rumah Kak Hana buat minta maaf. Iya, kan?"

"Masa sih?" Salah satu sepupuku terlihat tidak percaya, semantara yang satunya sudah terbahak sambil memegang perut.

Aku menjawil pipi sepupu sok imutku itu dengan gemas. "Sok tahu!"

Caca melotot, tidak terima jika blush on-nya kurusak.

Beruntung Bude memanggil Caca untuk membantunya menaikkan barang ke dalam mobil, sebelum gadis itu membongkar semua apa yang diketahuinya.

Tak lama kemudian, Bunda memanggil kami untuk bersiap.

***

Sepertinya aku sudah mengenal jalan ini dengan baik dalam kepala--termasuk setiap tikungan, walau hanya beberapa kali saja melintasinya. Mungkin maksudku, beberapa kali atas sepengetahuan Hana dan beberapa kali tanpa sepengetahuannya.

Caca benar, pagi itu aku memang nekat mendatangi rumah Hana sekadar untuk berpamitan atau meluruskan kesalahpahaman. Namun, saat melihat rumahnya dalam jarak dekat, niat itu segera kuurungkan.

Setelah dua pekan menemani Bunda di Singapura, ada sebuah urusan yang mengharuskanku pulang ke Jakarta. Saat selesai urusan itu, tanpa sadar mobilku sudah berada di jalan menuju rumahnya. Seperti sebelumnya, mobilku hanya melintas tanpa berniat parkir barang sebentar.

Dua pekan berselang, aku kembali ke Jakarta untuk urusan lain. Dengan bodohnya kuulangi hal yang sama, dengan hanya melintasi rumahnya. Sayangnya, tiga pekan setelahnya, mobilku berpapasan dengan motornya di depan rumahnya. Beruntung Hana tidak sampai mengejar mobilku.

Sebuah senyum mengulas di bibir saat mengingat kejadian itu.

Mataku melirik Bunda yang tengah duduk di samping, di kursi belakang supir. Sepanjang perjalanan tangannya tidak melepas genggaman tanganku.

"Salah satu penyesalan yang bisa menghantuimu seumur hidup adalah penyesalan karena tidak berani jujur pada diri sendiri," ucap Bunda di suatu sore selepas melakukan terapi.

"Maksud Bunda?"

Bunda hanya menatapku lurus, sambil tersenyum.

Aku menyandarkan punggung pada kursi. "Bunda, sebenarnya Fathan sudah membelikannya cincin semenjak dua bulan lalu dan ingin melamarnya, tapi ...,"

"Tapi?"

"Dia masih marah. Mungkin karena Fathan masih belum melepas cincin ini." Tatapanku jatuh pada cincin yang masih belum berani kulepas.

"Dinda sudah tenang di alam sana. Dia juga sudah rela jika kamu melepas cincinnya, kan? Merelakan apa yang tidak bisa kita raih di belakang merupakan satu-satunya jalan untuk bisa melangkah ke depan."

Bunda meraih tanganku dan membawanya ke dalam pangkuan.

"Kamu benar-benar menyukai Hana?"

Aku mengangguk.

"Kenapa selalu membuatnya marah?" Bunda tersenyum tipis.

"Melihat marahnya yang meletup-letup, rasanya membuat gunung es di hati Fathan mencair. Ada hangat yang menjalar. Entah kenapa, Fathan suka, tapi juga selalu berujung sesal."

Kami tertawa bersama.

"Sepulang dari sini, kita lamar Hana, ya?"

Aku kembali mengangguk.

Kepalaku menengok ke belakang, melihat iring-iringan mobil memasuki kawasan perumahan.

Sebuah tenda putih sudah menyambut kedatangan kami di depan sebuah rumah yang sudah tak asing lagi bagiku. Setelah mobil terparkir, beberapa sesepuh menyongsong kami dengan pakaian beskap--sejenis jas yang biasa digunakan saat acara resmi dalam budaya Sunda--beserta bendo di atas kepalanya.

Rombongan dipersilahkan masuk. Sebagian duduk di kursi-kursi yang telah disediakan di dalam tenda, sementara keluarga inti memasuki ruang tamu yang telah disulap menjadi ruangan untuk melangsungkan prosesi akad nikah.

Saat melewati daun pintu, wajah pucat dengan spatula di tangan--seminggu yang lalu--itu kembali muncul dalam kepala. Saat mata kami bersirobok, ada gelenyar aneh dalam dada. Seolah semua rindu yang kusimpan seketika telah sirna.

Mataku menyapu seisi ruangan yang dipenuhi dengan sanak keluarga dan beberapa kerabatnya, tapi belum juga menemukan keberadaan wanita yang membuatku tidak bisa tidur semalaman.

Bunda sedang berbincang dengan beberapa orang yang dikenalnya ketika seseorang dengan pakaian resmi hadir di tengah-tengah ruangan. Mataku masih mencari wajah pemilik mata bening itu.

Seorang pembawa acara memecah riuh dengan bacaan basmalah yang dilanjutkan dengan lantunan ayat suci Al-Qur'an, dan beberapa sambutan. Tak lama kemudian, petugas dari KUA yang memimpin prosesi.

"Nak Fathan, aku nikahkan Engkau, aku kawinkan Engkau dengan pinanganmu, putriku yang bernama Raihanah, dengan mahar dua ratus gram logam mulia, dibayar tunai," ucap Ayah Hana. Suaranya sedikit bergetar.

Hentakkan tangan pada genggamannya kusambut dengan kalimat, "Saya terima nikah dan kawinnya dengan putri Bapak dengan mahar tersebut, dibayar tunai."

"Sah!" Sahut kedua saksi.

Bacaan hamdallah dan takbir seketika menggema. Air mataku luruh.

Tanganku tiba-tiba berkeringat dingin saat pembawa acara memanggil mempelai wanita untuk segara memasuki ruangan.

Diam-diam kuintip wanita yang sudah kunikahi beberapa detik lalu itu ketika memasuki ruangan dalam balutan brokat putih yang menjuntai sampai ke lantai. Di kepalanya bertengger mahkota dengan untaian melati tersemat di kanan-kirinya. Sebuah senyuman seketika membuatku membeku. Wanita itu lalu mengambil tempat duduk tepat di sebelahku.

Selepas membaca hak dan kewajiban suami istri, serta menandatangi sejumlah dokumen, kami duduk berhadapan untuk menyerahkan mahar yang telah dibingkai. Saat itulah mata kami kembali beradu. Ada desir hangat yang menelusup.

Wanita bermata bening itu kini telah sah menjadi istriku.

🌸🌸🌸

Terima kasih telah menemani saya menyelesaikan cerita ini sampai akhir.

❤❤❤

Continue Reading

You'll Also Like

3.3K 282 19
Sulit sekali bagi Afaf untuk mendapat kan calon suami yang sesuai kriterianya. Membuatnya belum menikah hingga usianya 29 tahun. Setiap hari di tanya...
3.2K 65 35
Raina Maudya. Baik hati? Sudah pasti. Bahkan saking baiknya, kebaikannya sering disalahgunakan oleh orang-orang yang ada di sekitarnya. Cantik? Jelas...
81.2K 3.4K 31
Cerita ini diikutsertakan dalam kompetisi ODWC menyambut Anniversary AMB Publisher tahun kedua. Jangan lupa beri vote dan komenannya, wahai pembaca y...
88.8K 8.8K 52
Kegagalan pernikahan kedua orangtua dan Kakaknya membuat Pramesti Ayunindya takut melangkahkan hubungannya dengan sang kekasih ke jenjang yang lebih...