iL Legame (tamat)

By dramahati

369K 17.4K 284

Pintu di depanku berderit perlahan, bersamaan dengan daun pintunya yang membuka sedikit demi sedikit. Menyemb... More

BAB 1
BAB 2
BAB 3
BAB 4
Bab 5
Bab 6
Bab 7
Bab 8
Bab 9
Bab 10
Bab 11
Bab 12
Bab 13
Bab 14
Bab 15
Bab 16
Bab 17
Bab 18
Bab 19
Bab 20
Bab 21
Bab 22
Bab 23
Bab 24
Bab 25
Bab 26
Bab 27
Bab 28
Bab 29
Bab 30
Bab 31
Bab 33
Bab 34
Bab 35
Bab 36
Bab 37
Bab 38
Bab 39
Pengumuman Penting!!!
Tanya Dong
HALO.....

Bab 32

5.7K 313 0
By dramahati

                "Mbak sudah makan belum?" itulah kalimat mbok sumi saat kami berhadapan. Wanita setengah baya dengan rambut digelung itu mengulurkan tangannya, lantas mengusap rambutku yang berantakan.

"Sudah makan belum?" mbok sumi mngulangi pertanyaannya.

Aku menggeleng pelan.

"Ayo makan dulu." Mbok Sumi menggamit tanganku. Awalnya aku kira dia akan kembali mengajakku ke kerumah. Namun nyatanya tidak. Mbok sumi membawaku ke warung masakan jawa di dekat rumah.

Aku mengikuti wanita itu tanpa berbicara. Kembali mataku terasa panas, bukan karena teringat dengan apa yang sudah dilakukan mama, melainkan terenyuh dengan sikap mbok Sumi padaku. Sejak aku kecil, kenangan terbanyakku justru dengan wanita ini. saat mama masih sibuk dengan pekerjaannya dan jarang di rumah—ralat, mungkin mama sibuk dengan pacarnya di luar sana—dan papa yang benar-benar sibuk bekerja, mbok sumi-lah yang mengurusku dan memenuhi segala kebutuhanku. Maka aku tidak heran, batinnya juga pasti ikut terluka melihat keadaanku yang seperti ini.

"Mbak Alisha mau balik Jakarta?" tanyanya setelah kami sama-sama duduk di kursi. Di depanku sudah tersaji nasi rames beserta teh hangat. Biasanya aku akan dengan lahap memakan ini, namun sekarang jangankan makan, rasa lapar pun sama sekali tak aku rasakan.

Aku mengangguk, mengunyah nasi yang baru saja kumasukkan ke dalam mulutku meski rasanya hambar.

"Makan yang banyak, nanti biar nggak mabuk di jalan." Katanya kemudian.

Aku mengangguk pelan, kemudian memakan nasiku sedikit demi sedikit sedang mbok sumi hanya menunggu di depanku tanpa bicara, sesekali ia merapikan anak rambutku yang berantakan.

"Mbak....." kata Mbok Sumi kemudian menguraikan hening diantara kami.

Aku mendongak.

"Maafin ibu ya....?"

Aku tertegun, menaruh sendokku di atas piring lantas membuang muka ke sembarang tempat. Suasana warung tidak begitu ramai, sehingga tak ada yang memperhatikan mukaku yang berantakan.

"Kata dokter, dulu mbak Alisha kena amnesia sementara akibat terlalu kaget dengan apa yang mbak Alisha alami." Mbok sumi mulai bercerita. "Dan bapak sama ibu memutuskan untuk tidak berusaha mengembalikan ingatan mbak Alisha lagi. Toh, nggak ada untungnya juga kata bapak mbak. Kenangan semacam itu, lebih baik mbak Alisha memang nggak usah inget. Buat apa? Kita semua juga sudah lupa."

Aku terdiam, menunggu kalimat Mbok Sumi selanjutnya.

"Saya tahu ibu memang salah mbak. Tapi ibu sudah berubah..... itu masa lalu dan kami sama sekali tak pernah membahasnya lagi. Sebelum akhirnya mbak Alisha sendiri yang kembali membuka luka lama itu...." desah mbok Sumi.

"Kalau mama lupa, kenapa mama masih nyimpen foto papanya Alexander di dalam lemari?" sambarku cepat. "Apa itu yang dinamakan sudah melupakan mbok?"

Mbok sumi belum menyahut.

"Mbak....." mbok sumi meremas tanganku dengan lembut. "Jangan putus hubungan sama ibu ya? bagaimanapun juga dia yang melahirkan mbak, terlepas apapun kesalahannya di masa lalu."

Aku tak menjawab, mengambil tasku lantas berdiri.

"Kasih aku waktu mbok....." jawabku datar. "Jika Alisha bisa menerima ini semua, suatu saat nanti Alisha akan pulang. Tapi Alisha nggak tahu kapan."

Mata mbok Sumi berkaca-kaca.

"Mbak Alisha yakin. Nggak kasihan sama ibu mbak?"

Aku tak menjawab, hanya meremas tangan mbok Sumi sebelum benar-benar pergi.

Hujan kembali mengguyur perjalananku kembali ke Jakarta. Aku termenung sendirian di dalam bus, dengan mata nanar menatap ke luar jendela. Bus melaju dengan kecepatan sedang, bersamaan dengan lagu Chandeliar yang terus mengalun perlahan dari earphone yang kugunakan.

*****

Masalah ini bukan saja mematahkan hatiku, namun benar-bena membuatku mati rasa. Tak ada yang bisa kulakukan sekarang selain termenung di dalam kamar selepas kuliah, jarang makan, sering mengidap insomnia, dan jikapun bisa tidur, aku akan terbangun tengah malam karena mimpi buruk, menangis sendirian dengan dada sesak dan nafas tercekik.

Perasaan rindu sekaligus bersalah pada Alexander-lah yang membuatku seperti ini, ditambah lagi rasa kecewa pada mama yang terus memukul-mukul perasaanku membuatku merasa menjadi seseorang yang tak berguna.

Sekarang yang ingin aku tahu, sesakit inikah perasaan Alexander? Sesait inikah perasaan mama? Atau hanya aku saja yang paling terluka dengan keadaan ini? Keadaan yang tak kuinginkan namun memaksaku untuk menjalaninya.

Pagi ini aku membuka mata dengan rasa sakit di sekujur tubuhku dan kepala yang berat. Aku mengerjap-ngerjapkan mataku, beharap pusing ini segera hilang. Namun nyatanya setiap kali aku mencoba untuk benar-benar melebarkan mataku, justru denyut di kepalaku bertambah hebat.

Aku mencoba meraba keningku. Astaga panas sekali! Ditambah pusing yang mendera kepalaku membuatku ingin muntah tiba-tiba. dengan sekuat tenaga, ku geser tubuhku untuk turun dari kasur, namun bukannya bisa berdiri tegak, aku justru terjatuh di lantai dengan lemasnya.

Dalam keheningan ini aku menangis, meringkuk menumpahkan kembali ai mataku yang tak tak pernah kering. Di saat seperti ini, sialnya aku sangat membutuhkan Alexander.

*****

Aku ragu apakah ini mimpi atau bukan. jika ini mimpi, kenapa aku merasa begitu nyata. Namun jika ini kenyataan, aku rasa ini terlalu mustahil.

Keringat dingin masih terasa membasahi tubuhku yang panas. Lemah, itulah keadaanku saat ini. meskipun sekarang sudah terpasang infus di tangaku, namun tetap belum bisa membuatku pulih. Pandanganku masih kabur dan aku tidak yakin apakah ini mimpi atau memang kenyataan.

Sekali lagi, aku sedang meyakinkan diriku bahwa aku sedang terbuai oleh fatamorganaku sendiri. aku mencoba tersenyum sebisaku, tentu saja pada seseorang yang duduk di sampingku dengan wajah khawatir. Berkali-kali aku merasakan jika tangannya mengelus keningku dengan lembut, memberikan kenyamanan yang aku tahu tak akan kutemukan dari tempat lain.

"Apa aku bermimpi....?" Aku mengulurkan tangan, membelai wajahnya dengan pelan. Merasakan lembut wajahnya lewat jemari-jemariku.

"Iya, kamu sedang bermimpi....." katanya.

Aku menarik nafas panjang, mencoba menetralkan perasaan kecewa karena ternyata apa yang kulihat ini bukan nyata.

"sejak kapan kamu datang?" tanyaku lemah, mengusap-usap lengannya dengan lembut.

"Sejak tadi....." jawabnya pelan sambil mengelus pipiku.

"Aku merindukanmu...." bisikku pelan, dan kembali aku tak bisa membendung air mataku.

"Aku juga...."

"Maafin mama ya...."

Dia tak menyahut.

Akh, di dalam mimpi pun kamu tak bisa memaafkan mama. Apakah hatimu sesakit itu dengan apa yang telah mamaku lakukan pada keluargamu?

"Jangan tinggalkan aku....!" pintaku dalam isakan. Kucengekram lengannya dengan kuat, aku benar-benar takut jika dia pergi dariku dan mengacuhkanku lagi. "Meskipun ini hanya mimpi, aku mohon jangan pergi!"

Dia tersenyum kecil, beranjak dari duduknya dan mengecup keningku.

"Aku tak akan meninggalkanmu. Asal kamu mau berjanji padaku..."

"Janji apa?"

"Janji jangan menyiksa dirimu lagi. Jangan lupa makan, jangan lupa tidur, dan kurangi kopimu. Mengerti?"

Aku menelan saliva dengan susah payah lalu mengangguk.

"Iya...."

Kembali kulihat dia tersenyum. "Kalau begitu kembalilah tidur Alisha. Jangan berfikir tentang apapun."

Aku mengangguk dengan patuh. Ku tarik tubuh wanginya ke arahku agar aku bisa memeluknya dengan puas. Oh.....meskipun hanya mimpi, aku merasa jika dia benar-benar hadir di sini.

******

Aku mengerjapkan mata perlahan. silau matahari menusuk langsung ke mataku, membuatnya sedikit sakit. Aku mencoba beradaptasi dngan ruangan di sekitarku. Kamar berbau alkohol yang didominasi warna putih, serta infus yang tergantung terhubung dengan venaku. Tempat ini terasa familiar. Iya tentu saja, ruangan yang sama dengan mimpiku semalam.

Aku mencoba menegakkan tubuhku, siapa tahu wajah yang semalam sempat membuat perasaanku damai memang benar-benar nyata dan berada di sini. Persis seperti sinetron-sinetron, dimana dia akan tertidur di sampingku karen kelelahan menungguku.

"Sha....udah bangun?" Suara seseorang membuyarkan lamunanku.

Aku menoleh, namun sayang aku harus menelan kekecewaanku. Karena itu suara Abian yang baru saja keluar dari kamar mandi.

"Oh....kok gue....disini?" tanyaku penasaran.

"Kemarin Tere bawa lo ke rumah sakit." Abian berjalan medekati meja,menuang segelas air putih hangat lalu diberikannya untukku. Aku menegakkan tubuhku dan menerima itu.

"Untung aja lo kasih tau dia kalau sakit."

"Telepon?" Aku mengerutkan alisku. Jelas tidak ingat bahwa aku menelpon Tere kemarin. seingatku aku terjatuh saat hendak ke kamar mandi untuk mengeluarkan semua isi perutku, selebihnya aku memang sudah tidak ingat apa-apa.

Abian meraba keningku.

"Oke, udah nggak panas." Gumamnya lega.

"Lo ngigo kalau panas tinggi." Lanjut Abian kemudian disertai helaan nafasnya yang perihatin padaku. "Jaga kesehatan Sha. Sehat itu penting. Apalagi lo dalam keadaan nggak baik-baik aja, sistem imun tubuh lo gak sekuat biasanya. Makanya lo harus lebih jaga asupan makan lo, biar nggak sakit kayak begini." Mulai lagi, Abian membeo tanpa henti mirip seorang dokter pada pasiennya. Aku heran kenapa cowok ini dulu tidak megambil jurusan kedoteran saja, sepertinya dia tahu banyak tentang masalah kesehatan seseorang. "Dari kemarin lo nggak sadar-sadar Sha....kita sempet khawatir."

"Nggak sadar dari kemarin? berarti semalem Cuma mimpi." Gumamku kecewa.

"Lo ngomong apa?"

"Ah....enggak!" gelengku.

"Oke, karena lo udah bangun, gue pergi sekarang." Abian mengambil jaket dan ranselnya di kursi.

"Kemana?"

Dia menoleh. "Ya kuliah lah....."

Aku mengangguk. menatap punggung Abian yang menjauh. Namun sebelum dia benar-benar hilang di balik pintu, ada sesuatu yang ingin aku tanyakan.

"Bi....." panggilku pelan.

"Iya." Abian kembali menoleh.

Aku berfikir sebentar, ragu apakah perlu bertanya tentang hal ini atau tidak. Bertanya padanya tentang kehadiran Alexander semalam apakah memang benar hanya mimpi atau nyata.

"Ah, nggak jadi...." gelengku sambil tersenyum kecil.

Abian berdecak. "Kalau ada apa-apa panggil susternya aja." Katanya kemudian sebelum akhirnya benar-benar pergi.

Kini aku sendirian di kamar rawat inap ini. Aku menoleh ke arah jendela, melihat langit biru dengan awan putih yang berarak di sana. Angin pagi sepoi-sepoi membelai wajahku. Dari sekian pagi yang kutemui beberapa waktu terkahir, inilah pagi yang cukup membuat perasaanku menghangat.

Benar apa yang dikatakannya semalam, meskipun aku tahu hanya mimpi, aku memang harus menuruti apa yang dikatakannya. Bahwa hidup memang harus berjalan, dan aku tak boleh terlalu larut dalam kesendirian,

***** 

Continue Reading

You'll Also Like

2.7M 154K 43
(COMPLETED) "Pak, kita kayanya pacaran aja deh" . . . . "Tidak mungkin. Kamu itu mahasiswi saya"
2M 126K 33
"Daripada gue susah-susah cari calon suami yang oke, mending nikah sama lo aja, Ren. Yuk!" Ucapan Sybil dibalas semburan kopi yang langsung membasahi...
125K 18.9K 36
โžช [ ๐‰๐ข๐›๐š๐ค๐ฎ ๐’๐ก๐จ๐ฎ๐ง๐ž๐ง ๐‡๐š๐ง๐š๐ค๐จ-๐ค๐ฎ๐ง ๐ฑ ๐‘๐ž๐š๐๐ž๐ซ๐ฌ ] ๐’๐ญ๐š๐ญ๐ฎ๐ฌ : ๐‚๐จ๐ฆ๐ฉ๐ฅ๐ž๐ญ๐ž/๐„๐ง๐ โ€ขโ”€โ”€โ”€โ”€โ”€โ”€โ”€โ€ขยฐโ€ขโ€โ€ขยฐโ€ขโ”€โ”€โ”€โ”€โ”€โ”€โ”€โ€ข ๐˜/๐ง ๐ฌ๐ž๏ฟฝ...
4.6M 134K 88
WARNING โš  (21+) ๐Ÿ”ž ๐‘ฉ๐’†๐’“๐’„๐’†๐’“๐’Š๐’•๐’‚ ๐’•๐’†๐’๐’•๐’‚๐’๐’ˆ ๐’”๐’†๐’๐’“๐’‚๐’๐’ˆ ๐’˜๐’‚๐’๐’Š๐’•๐’‚ ๐’š๐’ˆ ๐’ƒ๐’†๐’“๐’‘๐’Š๐’๐’…๐’‚๐’‰ ๐’Œ๐’† ๐’•๐’–๐’ƒ๐’–๐’‰ ๐’๐’“๐’‚๐’๐’ˆ ๐’๐’‚๐’Š๐’ ๐’…๐’‚๐’ ๏ฟฝ...