ARMY (Completed)

By itsfiyawn

320K 44.4K 11K

Gue Army. Orang yang baru sadar kalau cinta itu tersusun dari banyak hal. Tercermin dari banyak perlakukan. D... More

Sepenggal Kata
1. Aku, Langit, dan Bulan
2. Pernyataan Langit
3. Kepergian Bulan
4. Bima
5. Aku di Garis Terdepan
6. Kabar Bulan & Rahasia Langit
7. Army on Revenge
8. Mr. Arrogant
9. Deal! Kesepakatan Baru
10. Ms. Batu
11. Misi satu... berhasil!
12. Prome Night
13. Misi Kedua, Gagal.
14. Prabumi dan Semesta Barunya
15. Rumpang
16. Perselisihan
17. Pelukan Pertama
18. Kita akhiri ini, ya?
19. Sisa Waktu
20. Perasaan Baru
21. Menghindar
22. Kedatangan Tamu
23. Perjanjian yang Sebenarnya
24. Perasaan Army
25. Kita Ini Apa?
26. Untuk Hati yang Jatuh Lagi
27. Army in My Arm
28. Rahasia Bima
29. Rin, Si Cinta Pertama
30. Tentang Maaf yang Seluas Jagad Raya
31. Waktu Perjanjian Selesai
32. Titik Nadir
33. Kemarahan Bima & Penyesalan Army (1)
34. Kemarahan Bima & Penyesalan Army (2)
35. Yang Memilih Pergi
36. Makna Keberadaan
37. Jangan Cari Gue
38. Terima Kasih
Pengumuman
Special Ending 1 (We Meet)
Special Ending 2 (My Picture)
Special Ending 3 (Fated)
Special Ending 4 (Us)
Ada yang kepo tentang Army?

Epilog

7.6K 952 232
By itsfiyawn

2 Tahun Kemudian...

"Eh, lo tahu nggak? Bakal ada pembentukan tim kecil buat proyek aplikasi Dishub nanti." Nila menyikut lengan gue ketika kami duduk di pantry

Mata gue berputar jengah, "Gue harap gue nggak masuk ke tim itu."

Nila meneguk hapis kopinya, "Why?" 

"Karena gue susah bekerja sama dengan orang baru." 

Dia melotot, tapi sejurus kemudian mengangguk paham, "Ya, gue paham, sih. Waktu pertama lo masuk sini aja, lo bikin emosi nyaris semua divisi yang terlibat." 

Nah, 'kan. Gue harap Pak Bos nggak nekat jeblosin orang kayak gue buat masuk ke tim proyek besar itu. 

Proyek sistem Dinas Perhubungan ini mengintegrasikan seluruh kendaraan kota dalam satu aplikasi, secara otomatis nggak boleh ada miss sedikit pun. Permintaan sistem yang diajukan sangat rumit. Perusahaan gue memenangkan tender untuk membuat sistem ini. Tapi, nggak tahu atas alasan apa, proyek ini justru digarap bersama, bukan hanya perusahaan tempat gue bekerja, tapi ada perusahaan lain yang gue lupa namanya. Semacam kolaborasi perusahaan. 

Kami berdua keluar dari pantry begitu Pak Bos memanggil nama Nila. 

"Maaf, Pak. Saya di sini." Nila segera menghampiri Pak Bos. 

Gue kembali ke dalam kubikel kerja, meneruskan pekerjaan membuat desain maket sebuah web yang telah gue analisis karakter penggunanya. Memasang headset di kedua telinga, membongkar pasang berbagai elemen yang tergambar di layar, bermain warna dan memadukan tipe font, ternyata pekerjaan yang gue geluti sekarang semenyenangkan itu. 

Sekarang, gue bekerja di salah satu perusahaan penyedia jasa web yang cukup besar dan terkenal di Indonesia, sebagai staff  UX Designer. Kerjaan gue berhubungan dengan pengguna aplikasi, walaupun fokus kerja gue tetap di belakang meja, mendesain berdasarkan persona yang dibuat dan dianalisis oleh tim User Research. Kalau ada yang nggak gue suka dari pekerjaan ini, mungkin karena gue sering kena tipu Tim Front End saat gue mengajukan rancangan tampilan. Seringnya mereka bilang 'Ini ribet, butuh waktu lama kalau mau mirip', dan akhirnya rancangan mengalami kemunduran deadline. Dan gue yang kena omel Nila karena mau aja digoblokin sama mereka. Padahal, ngoding-nya nggak terlalu susah, tapi karena gue buta akan hal itu, gue cuma bisa pasrah. 

Nila adalah Kepala Divisi UX di sini. Umurnya lima tahun lebih tua dari gue. Dia seorang Ibu beranak dua. Biarpun Nila kadiv, ketika dia mengobrol atau berkumpul dengan timnya, kami tidak merasakan perbedaan itu. Bahkan, gue berani ngomong 'gue-elo' ke dia karena pembawaan dia yang santai banget. Apa karena guenya yang kelewat nggak sopan? Enggak, ah. Teman-teman yang lain juga gitu kok. 

Waktu menunjukkan pukul lima sore. Pemandangan tenggelamnya matahari bisa gue saksikan langsung di depan mata. Meja gue berhadapan dengan jendela yang selalu menampilkan panorama indah pencakar langit. Ya, ini juga salah satu alasan gue suka pekerjaan ini, dapat spot meja kerja yang nggak mengecewakan. 

"Army! You have to know this." Nila setengah berlari menghampiri gue yang bersiap merapikan tas dan meja. 

"Gue nggak mau dengar apa pun." Sinyal-sinyal jelek berhasil gue tangkap dari raut wajah Nila. 

Bibirnya melengkung ke bawah, "Lo jadi tim UX sistem ini bareng gue, Valerie, dan timnya Pak Rajendra. Sorry..." 

"Hah?! Lo gila?! Bisa darah tinggi orang lain kerja bareng gue!" Nada gue naik satu oktaf. "Emang si Devi atau... Itu yang cowok siapa namanya... Wendi. Nah, mereka, ke mana?" 

"Pak Bos mintanya elo. Karena kerja lo akhir-akhir ini meningkat. Jadi, dia pengin lo yang terjun. Gue nggak bisa bantah, sorry..." Nila memegang tangan gue. 

Mau marah, tapi nggak mungkin. Gimana pun Nila tetap kadiv gue, dan apa pun perintah atasan harus dipatuhi 'kan? Dengan berat hati, gue mengangguk. 

"Ya udah lah, mau gimana." Duh, hari ini semesta nggak berpihak gue. 

Nila tersenyum, memeluk gue. "Thanks, Dear!" Setelah dia melepaskan pelukannya, dia berkata, "Besok lo ikut rapat ya sama Pak Bos." 

"Gue pengin jadi anak bawang selamanya aja, deh, kalau gini caranya." 

Nila tertawa.

**********

Sesua kata Nila. Esoknya, gue dan tim rapat bersama Pak Bos dan Pak Rajen. Oh iya, Pak Rajen ini orang perusahaan sebelah yang akan menggarap proyek ini bersama perusahaan kami. Sebatas itu, sih, yang gue tahu. 

Rapat berlangsung selama kurang lebih satu jam membahas proses awal. Begitu ditutup, gue segera menghampiri Nila. Rasanya bibir ini gatal pengin teriak mendengar keputusan sepihak dari Pak Rajen yang nggak bisa ditolak Pak Bos. 

"Gila! Ngapain, sih, Tim Desain disuruh nyamperin dia ke Wonosobo?!" Gue berbisik kesal di telinga Nila. 

Nila mengusap-usap punggung gue, menenangkan. Kayaknya, kalau ada nominasi karyawan terbanyak protes, pasti gue yang menang, deh. 

Pak Bos berjalan menghampiri kami. 

"Pak, masa kita harus nyamperin Pak Rajen ke Wonosobo, Pak?" tanya gue langsung kepada Pak Bos. 

Lelaki bertubuh gempal yang udah hapal tingkah laku gue itu, memijat kening, "Ya tidak apa-apa, lah. Kapan lagi kalian jalan-jalan gratis." 

"Bukan masalah gratisnya, Pak..." Gue memelas. 

"Army, tidak boleh mengeluh, ya. Harus tetap semangat!" Pak Bos mengepalkan tangan kanannya ke udara. Dia terkekeh sebentar sebelum akhirnya berlalu. 

"Nil..." 

Nila mengusap-usap lengan gue.

"Mau teriak boleh nggak?" 

"Ayuk, teriak di lapangan aja, yuk." Kadiv gue yang paling baik hati itupun menggiring gue keluar kantor. 

**********

Dengan hati yang gondok banget, gue dan tim berangkat ke Wonosobo untuk mengikuti rapat perancangan sistem antar muka dengan tim Pak Rajen. 

Hamparan lereng perbukitan yang hijau sedikit mengobati kekesalan gue. Barisan gunung yang gagah memanjakan mata yang selama ini melihat sebatas layar PC dan gedung tinggi. Semoga, perjalanan kali ini nggak begitu buruk. 

Setelah perjalanan yang entah berapa jam dari stasiun, kami tiba di sebuah rumah bertingkat dua, letaknya di pinggir jalan raya. Dari luar tampak seperti rumah biasa dengan dua buah tiang tinggi penyangga di terasnya, namun bagian dalamnya ternyata dipadati meja panjang dan komputer. 

Kami, yang masih menggembol ransel berisi persediaan baju tiga hari dua malam, dipersilakan menunggu di sebuah ruangan--yang sepertinya ruang rapat. 

"Kok kita nggak ke hotel dulu, sih?" bisik gue ke Nila yang duduk di sebelah gue. 

"Pak Rajen mau ketemu sekarang," jawabnya. 

"Lo tahu nggak, timnya Pak Rajen ganteng-ganteng katanya," sambung Valerie pelan ke gue dan Nila. 

Gue nyaris menjitak kepala Valerie. Sayanganya Pak Rajen lebih dulu masuk ke ruangan dengan senyum khasnya yang mengembang. 

"Selamat datang semua!" sapanya semangat di depan kami. "Gimana perjalanan dari Jakarta? Lancar?"

"Lancar, Pak." 

Dia menggulung kemejanya hingga sesiku, sembari mengoceh, "Maaf, ya, saya langsung minta kalian ke sini. Soalnya saya ada urusan lagi di luar kota, takutnya malah saya nggak sempat menyambut kedatangan kalian." 

Valerie berbisik lagi ke gue, "Eh, My, kalau Pak Rajen duda, lo mau nggak?" 

"Udah sinting, lo!" balas gue. Kayaknya isi kepala Valerie hanyalah pria-pria tampan dan mapan.

"Gue, sih, mau banget. Gue doain dia cepat cerai aja apa, ya?" Valerie mesam-mesem memandangi Pak Rajen. 

Gue mencubit lengan Valerie, supaya sadar dan nggak semakin gila. Gue ngeri kalau sampai penyakit gilanya nular ke gue. 

Pak Rajen bercuap-cuap panjang yang intinya kami akan diperkenalkan dengan timnya. Agenda hari ini hanya saling berkenalan dengan anggota tim lain yang nanti akan bekerja sama. Setelah itu, beliau izin pamit digantikan oleh timnya yang datang menyambut kami. 

Gue, Valerie, dan Nila alias tim UX berkenalan dengan tiga orang tim UX dari pihak Pak Rajen. Namanya Rifki, Ali, dan Ben. Pas. Kami berenam yang akan merancang maket antar muka sistem. Atas saran Ali, kami pun berpindah dari ruang rapat menuju ke outdoor

Hawa dingin terasa menusuk kulit begitu gue sadar kabut mulai turun. Gue menyesap teh hangat yang baru saja dibawakan oleh Ali.

"Eh, gue panggil tim sebelah buat gabung di sini aja, ya? Ngobrol di luar lebih asik kayaknya," usul Ali. 

Semua mengangguk sepakat. Kami duduk di gazebo kayu di samping kolam bambu yang menghadap langsung ke pegunungan. 

"Itu puncak Dieng?" tanya gue kepada siapa pun yang mendengar. 

"Betul. Sekunir, negeri di atas awan," jawab Rifki.  

"Wah!" Nila dan Valerie berseru kompak. 

"Kalian belum pernah ke sana?" tanya Ben. 

Kami bertiga menggeleng. Kedua lelaki itu tertawa, "Kalian harus coba lihat sunrise-nya. Kalau beruntung, ikut Dieng Culture Festival nggak pernah mengecewakan," sambung Rifki.  

"Kalian pernah ke sana?" Nila bersuara. 

"Gue udah dua kali malah. Yang pertama sendiri, yang ke dua bareng istri gue." Ben terdengar bangga. 

"Loh, lo udah punya istri?" Valerie tampak terkejut. 

Ben tersenyum, mengangguk. 

"Kalau lo juga udah menikah, Rif?" Valerieyang kepo, beralih ke Rifki. 

Gue menyikur perutnya, melotot, memberinya isyarat untuk diam. 

"Alhamdulillah, sold out." Rifqi ikut mengangguk. 

"Wah! Gue kira kalian masih pada jomblo!" Valerie terdengar kecewa. 

Gue dan Nila menabok paha anak itu. Sumpah, ya, gue nggak paham mulut Valerie itu terbuat dari apa.

"Abis mukanya masih muda-muda." Valirie sungut-sungut. 

Rombongan Tim Interface datang. Ali berjalan lebih dulu memandu mereka. 

Gue menyipitkan mata, memfokuskan pandangan pada sosok lelaki yang rambutnya dikuncir satu. 

Apa gue salah lihat?

"Kenalin, guys, ini Tim Interface dari pihak kami," ucap Ali. 

Begitu mereka sampai, jantung gue berdetak cepat. Nggak, gue pasti salah lihat. 

"Nila, ini Bima, ketua Tim Interface. Tadi dia telat. Bima, ini Nila, ketua Tim UX." Ali memperkenalkan Nila ke  Bima dan sebaliknya. 

Bima...

Pikiran gue seketika berpacu cepat tanpa tahu apa yang harus diingatnya. Entah berapa lama gue bengong, saking bingungnya, Valerie harus menyikut gue agar sadar, karena lelaki itu telah mengulurkan tangannya lebih dulu di hadapan gue.

"Bima Prabumi," katanya memperkenalkan diri.

Dengan tangan yang bergetar, gue berusaha membalas uluran tangannya. "Army Al Fatih." 

Kami berjabat tangan dan saling melempar senyum.

------------SELESAI------------


Continue Reading

You'll Also Like

607K 40.5K 52
[BUKU KEDUA DWILOGI TENTANG DAVIN] Karena sejatinya, setiap dari kita akan kembali memulai kisah cinta--dengan orang, tempat, dan waktu yang tidak te...
326K 24K 64
seorang kim taehyung menyukai namja nerd seperti jeon jungkook
56.4K 2.2K 21
Ditolak calon mertua tidak membuat Jenni mundur atau berkecil hati. Perempuan itu malah maju dengan keyakinan dan tekad sekuat baja untuk meluluhkan...
492K 53.5K 34
cover by @nailayaa ❤ Karena Fanzone, Friendzone, Kakak-Adek Zone dan zona-zona cinta lainnya akan kalah sama yang namanya Halal Zone. Tapi untuk mema...