Forget Me

By dizappear

50.5K 5K 945

"Kamu adalah pertemuan juga perpisahan yang layak dikenang. Sedang aku adalah memori yang akan kamu tinggalka... More

Prolog; Forget Me, Cause i'm not Forget Me Not
Satu; Bertemu Kamu
Dua; Hidupku Berharga?
Tiga; Arta
Empat; Mimpi yang Terlupa
Lima; Yang Pernah Pergi, Regi
Tujuh; Tentang Kamu

Enam; Tidak Lagi Sama.

3.3K 533 106
By dizappear

2021

Tuhan menciptakanmu sekukuh rindu
Yang kamu tak tahu, aku saat itu meragu
Karena kamu serapuh debu
Sedang aku adalah angin yang mengusirmu

Dan saat itu aku tahu, bahwa kita tak akan bisa satu

***

2020

Hari ini, untuk pertama kalinya Tera mau duduk manis di sisi lapangan bola outdoor sekolah mereka, dengan satu plastik es teh yang saking panasnya ingin Tera pakai untuk mandi saja. Cewek itu sibuk menghitung burung di angkasa, sambil sesekali melirik ke arah Rea.

Regi berhasil membuat suasana hati Tera memburuk. Gadis itu bahkan malas membuka ponselnya karena Regi pasti mengirim banyak pesan di sana.

"Mau gue bantuin nggak, Re?" tanya Tera pada Rea yang masih pura-pura fokus.

Rea cepat-cepat menggeleng, tatapnya kini berpindah ke layar laptop. "Yang ada lo malah bikin tugas kita ancur. Anteng aja di situ."

Tera mengerucutkan bibir, kakinya berayun konstan. Ia menyipit dan mengamati club sepak bola sekolahnya yang sedang latihan di tengah lapangan. Tunggu, yang pakai handband itu ... kayaknya Tera kenal.

"Nomor delapan siapa?"

"Mana?" sahut Rea.

Tera menunjuk cowok dengan nomor punggung delapan itu dengan dagunya. Dan setelah menyipitkan mata, Rea membuka suara.

"Arta, kan?"

Oh ... itu Arta.

"Bukannya dia anak mading?"

"Dia anak beasiswa ... yang jelas kalau bisa dia pasti ikut semua ekskul biar nilainya di atas rata-rata."

"Ohhh."

Sahutan Tera lebir bersama angin. Lama ... hingga ia lupa berapa lama tatapnya terpaku di sana. Bertanya-tanya apa yang semalam ia lihat benar Arta, atau hanya halusinasinya saja?

Ngomong-ngomong, Tera suka pada bagaimana Arta berlari. Dia ... terlihat penuh ambisi dan juga hidup. Seolah di sana ada sesuatu yang mengejarnya, atau malah dikejarnya. Bukan sekadar bola, jika bisa, Tera ingin mengetahuinya.

Tera melirik Rea lagi, lalu senyum jahil kemudian muncul di wajah gadis itu.

"Ngomong-ngomong, nomor punggung sepuluh juga keren, ya?"

"Bangetlah, pakai nanya sega–" Rea seketika menatap Tera dengan mulut terbuka. Wajah gadis itu memerah dan Tera makin senang menggodanya.

"Ups. Keceplosan, ya?" Tera tertawa. Sedang Rea buru-buru menatap laptop, seolah tak terjadi apa-apa.

"Diem, ih. Aku nggak bisa konsen."

"Nggak usah malu, Re. Lagipula, ada yang lebih keren."

"Siapa?"

Tak berniat menjawabnya, Tera hanya tersenyum dengan tatap yang lekat pada Arta yang baru saja mengoper bola pada Rayan, si nomor punggung sepuluh alias Mas Crush Rea. Nama Artanta Kasyavani tertulis indah di atas nomor punggung cowok itu, yang kemudian Tera tulis diam-diam di kepala.

"Ra, tugasnya udah gue kirim ke surel lo. Lo tinggal cek lagi aja. Habis itu lo yang cetak, ya?"

"Okey." Tera menggumam ringan dengan sedotan di antara bibir. Matanya enggan beranjak dari lapangan, tapi Rea kembali membuat Tera melakukannya.

"Ra, itu Kak Regi, kan?"

Telunjuk Rea mengarah ke sisi lain lapangan, di mana seorang cowok berjalan sendirian. Ia tidak mengenakan seragam. Celana cargo hitam juga kaus polo abu-abu yang ia kenakan membuat sosok itu terlihat begitu tegap.

"Ngapain dia ke sini?" tanya Rea kemudian.

Tera tidak peduli. Tidak mau peduli. Sayangnya cowok itu sepertinya tidak berpikir sama. Regi menatapnya, dan tanpa ragu menghampirinya. 

Dan Tera juga tidak pernah tahu bahwa saat itu seseorang di tengah lapangan juga melihatnya.

***

Tera menarik napas dalam, lalu menatap Regi. "Ngapain lo ke sini?"

"Lo masih marah?"

Nada suara cowok itu masih tenang. Tatapnya teduh, tak menyudutkan. Namun emosi Tera selalu datang lebih besar lebih dari seharusnya. Jadi gadis itu hanya diam, menghela napas beberapa kali, berharap untuk bisa segera pulang.

"Maaf."

Tatap keduanya bertemu dan Tera menemukan ketulusan di sana. Namun Tera memilih bungkam. Ia takut kalimatnya berubah menjadi belati yang tajam.

"Gue nggak tau kalau lo masih sakit–"

"Nggak," potong gadis itu cepat. "Gue minta lo inget kalau lo pernah nyakitin gue, bukan berarti gue masih sakit."

Tera tidak lagi merasakannya, karena sakit itu tak ada apa-apanya dibanding apa yang keluarganya beri.

Mendengar jawaban Tera, Regi tersenyum. Ia melipat tangannya di atas meja. "Seneng denger lo udah baik-baik aja."

Diam-diam tangan Tera mengepal. Ia menahan segala letupan-letupan mengganggu yang muncul di dadanya. Tatapan Regi masih seteduh sore saat mereka memutuskan untuk tak lagi menggunakan kata saling.

Tidak pernah berubah. Dan meski Tera tak pernah mengatakannya, Regi pasti tau kalau Tera membencinya.

Tera tersenyum, berharap Regi bisa menangkap sisa-sisa kecewa di dalam matanya. Namun cowok itu memilih diam.

Pesanan keduanya datang. Satu jus strawberry tanpa susu dan satu air mineral.

"Strawberry, kesukaan lo."

Ada rasa getir yang mengusik Tera. Kenyataan bahwa Regi benar-benar masih sama membuatnya terluka. Bagaimana bisa hilangnya Tera seolah tidak berakibat apa-apa? Dan kenapa hubungan keluarga keduanya harus membuat Tera harus terikat dengan seseorang yang menyakitinya?

"Tera, gue beneran minta maaf. Gue nggak mau hubungan kita yang udah mulai membaik ini jadi rusak lagi."

Bagus. Dia memang harus minta maaf. Setelah dia pergi dan membiarkan Tera sendiri, seharusnya cowok itu benar-benar tidak usah kembali. Dan seharusnya dia tau kalau tidak ada yang membaik di antara mereka. Hubungan mereka sekadar jika Tera membutuhkannya.

Tidak lebih.

"Lo ngapain di sini? Cuma buat minta maaf?"

"Iya. Lo keberatan?"

Tidak. Sejujurnya, Tera senang karena dengan begitu, ia merasa ada.

Tera meneguk jusnya, mencoba mendinginkan hatinya sendiri, membiarkan kalimat Regi menggantung tanpa tanggapan. Perhatiannya kini terpusat pada pintu masuk kantin yang mulai ramai. Cowok-cowok dengan seragam bola mulai masuk. Tawanya mengisi kantin yang tadinya hening.

Dan kemudian mata Tera bertemu dengan Arta.

Cowok itu masih sehangat biasanya. Wajahnya terlihat lelah, beberapa kali Arta menghapus keringat di dahinya dengan handband yang kali ini berwarna abu-abu.

Lalu kejadian kemarin berulang di kepala Tera. Mungkinkah ia salah? Mungkinkah cowok itu bukan Arta?

"Lo kenal Arta?"

Aneh rasanya mendengar nama Arta dari seorang Regi Wijaya. Rasanya tidak sesempurna saat Tera yang menyebutnya. Namun bukan itu ...

"Lo tau Arta?" tanya Tera.

"Gue juga alumni sini, Tera. Arta itu lumayan aktif di organisasi karena dia anak beasiswa, jadi gue kenal."

Perhatian Tera kini benar-benar terpusat pada Regi. Topik tentang Arta selalu membuat gadis itu penasaran.

"Kenapa emang kalau beasiswa?"

"Ah, itu." Regi tampak memilih kata, dia menopang dagunya dengan tatapan terpusat ke Tera. "Mereka dianggap nggak mampu dalam hal materi. Mereka ada karena kita, Ra."

"Kita?"

Regi mengangguk. "Sekolah kita nggak akan buang-buang duit cuma buat beasiswa, Ra. Kita bisa masuk sini karena duit, bahkan nilai kita bisa naik karena duit. Tapi apa pernah lo mikir kalau orang-orang kayak kita bikin anak kayak Arta tersingkir?"

Bulu halus di tubuh Tera seketika meremang. Ada satu sisi dalam dirinya yang menolak membenarkan, tapi logikanya tahu bahwa apa yang dikatakan Regi benar.

"Sekolah mihak ke duit, Ra. Anak beasiswa itu cuma anak nggak penting yang awalnya mau dibuang sama sekolahan. Tes beasiswa itu bullshit, sekolah kita berharap mereka gagal karena nggak ada duitnya. Itu alasan kenapa mereka diawasi. Satu kesalahan, mereka bisa langsung angkat kaki."

Lalu kalimat Mama seolah kembali terdengar. Tera tak mengerti, atau lebih tepatnya Tera menolak mengerti.

"Kenapa nggak ditutup aja pendaftaran untuk anak beasiswa?"

"Karena memang nggak pernah ada."

"Terus?"

Regi tampak berpikir. Dia menatap Tera lumayan lama dan Tera tak juga membuka suara.

"Gue pakai Arta sebagai perumpamaan boleh?" tanya cowok itu hati-hati dan langsung dihadiahi anggukan oleh Tera.

Regi tak langsung bicara. Dia melihat sekeliling, seperti memastikan bahwa tidak ada yang bisa mendengar mereka.

"Anggap aja Arta udah keterima sebelumnya dan gue masuk setelah pendaftaran ditutup ... pakai duit tentunya."

Rasanya seperti ditampar. Gadis itu seketika terdiam. Ia menatap Regi dengan tatapan tak terbaca, sibuk dengan pikirannya.

"Sekolah kita nggak mungkin nolak duit dari gue. Sayangnya, mereka juga nggak bisa asal keluarin Arta. Reputasi, Ra."

Sekarang Tera paham kenapa cowok itu terlihat begitu sempurna. Karena di sini dia tak pernah memiliki pilihan untuk menjadi dirinya, dia harus sempurna.

"Satu-satunya pilihan cuma tendang Arta pakai cara paksa. Pertama dengan ujian beasiswa, kedua dengan cari kesalahan dia. Sayangnya Arta lolos di ujian pertama dan bebannya harus dia bawa sendiri sampai lulus nanti."

Lidah Tera kelu. Ia mengerjap tak percaya. Sekarang semua jelas dan Tera mulai mengerti.

Ia mengerti kenapa Arta tidak baik untuk didekati.

Semua karena Tera. Gadis itu adalah segala keburukan yang perlahan menghancurkan orang-orang di sekelilingnya.

Dan Tera tidak ingin menghancurkan Arta.

Dada Tera seketika sesak.

Ia menatap Regi, mencari alasan juga kekuatan untuk tetap berdiri. Namun, menatap Regi yang telah pergi hanya membuat Tera semakin yakin bahwa ia tak pantas memiliki.

***

Continue Reading

You'll Also Like

850K 64.4K 31
ace, bocah imut yang kehadirannya disembunyikan oleh kedua orangtuanya hingga keluarga besarnya pun tidak mengetahui bahwa mereka memiliki cucu, adik...
458K 50.1K 22
( On Going + Revisi ) ________________ Louise Wang -- Bocah manja nan polos berusia 13 tahun. Si bungsu pecinta susu strawberry, dan akan mengaum lay...
2.6M 265K 62
Gimana jadinya lulusan santri transmigrasi ke tubuh antagonis yang terobsesi pada protagonis wanita?
10.6M 674K 43
Otw terbit di Penerbit LovRinz, silahkan ditunggu. Part sudah tidak lengkap. ~Don't copy my story if you have brain~ CERITA INI HANYA FIKSI! JANGAN D...